24 September 2018 | Wahyu Eka Setiawan
Ilustrasi (sumber gambar: Detik.com)
Pada tahun 2018 ini kita selalu disuguhkan berbagai drama, mulai
kecupetan gerakan ganti presiden dan tetap Jokowi presiden. Bahkan dalam
berbagai kesempatan tak jarang gesekan antar pendukung, baik di CFD atau di
acara-acara gathering nirfaedah. Misal di Surabaya tempo hari, di mana Ahmad
Dhani dan Neno Warisman show of force. Mereka berkoar-koar sudah saatnya
kedzaliman dihentikan, kemiskinan ditekan, solusinya satu ganti presiden.
Sementara, di kelompok sebelah mereka menunjukan sisi banalnya, menekan hingga
mempersekusi kelompok yang tidak sepemikiran dengannya.
Kebebalan
itu berlanjut, tatkala kelompok cupet ganti presiden seolah-olah menjadi
korban, mereka playing victim serasa
tak dikasih tempat berekspresi oleh rezim. Di satu sisi pendukung incumben juga
tak kalah bebalnya, mereka mendaku moderat nyatanya juga melakukan
praktik-praktik sejenis kelompok sebelah. Kekerasan dilawan dengan kekerasan,
drama lebay disuguhkan. Sungguh tahun-tahun politik yang menjemukan dan
memuakkan.
Di
satu sisi, kelompok-kelompok intelektual progresif juga terseret arus
kontestasi sumbu pendek. Mereka berdebat dengan genitnya, mengenai pilihan
paling rasional ialah memilih Jokowi. Menghujat kelompok yang memilih golput
sebagai tindakan non-substabsial, bahkan mengatakan insignifikan pada mereka
yang memilih golput. Argumen berbusa-busa dibangun, seolah-olah paling rasional
dan relevan. Padahal jika ditelaah lebih dalam tidak cukup signifikan, cenderung
memaksakan pandangan demi kepentingannya saja.
Beberapa
orang menggunakan argumentasi Chomsky saat kontes presiden Amerika Serikat, di
mana dalam salah satu warta Independent, Chomsky menjabarkan argumentasi
terkait pemilu di Amerika. Dia berkelakar jika memilih pada kasus dua kandidat
yang sama-sama buruknya (Lesser of two evils), maka satu sisi ada kandidat yang
sisi jahatnya lebih besar dibandingkan kandidat lain. Maka pilihannya ialah
memilih satu kandidat yang dinilai lebih baik, alias kadar jahatnya di bawah
yang lebih jahat.
Pada
konteks di atas itu relevan dengan situasi yang panas saat ini, di mana
kelompok progresif dihadapkan pada kondisi yang sama. Prabowo dianggap lebih
jahat dibandingkan Jokowi, begitulah kira-kira inti tesis berjibun yang
digunakan sebagai basis argumentasi “mengapa kok harus memilih Jokowi.” Namun
pilihan itu cukup paradoks, di mana kedua kandidat memiliki potensi destruktif
yang sama. Jika mengacu pada pandangan terkait oligarki, keduanya memilik basis
pendukung yang sama-sama tidak “baik.” Jokowi dengan didukung taipan modal
perampas ruang hidup rakyat, ditambah jendral-jendral pelanggar HAM dibaliknya.
Sebaliknya begitu pula Prabowo, setali tiga uang tidak jauh berbeda.
Jika
pertarungan kini diarahkan pada soal siapa yang lebih baik, saya kira tidak ada
yang sesuai dengan kriteria baik. Jika Jokowi dianggap mempertahankan ide-ide
kiri, soekarnoisme tentu itu sangat kontradiktif. Lihat saja, tahun kemarin di
saat kita yang tengah berjuang untuk mentransmisikan pengetahun terkait “melek
sejarah” khususnya 65, pemerintah malah mewajibkan menonton film G30S. Nawacita
yang bicara soal penyelesaian HAM masa lalu, tidak pernah terwujud hingga detik
ini.
Bagaimana kita masih ingat kata-kata gebuk “komunis,” ketika pemerintahannya
sedang terancam oleh agitasi murahan kelompok-kelompok Islam Konservatif.
Tentu,
kita masih ingat juga bagaimana Ibu-ibu kamisan, Rembang dan lainnya, berdiri
di istana untuk menuntut haknya. Sampai detik aksi kamisan tidak pernah
didatangi, pada konteks Ibu-ibu Rembang mereka hanya diberikan janji. Tentu ini
menjadi salah satu penilaian tersendiri. Sementara di kelompok lain, mereka
memainkan isu yang tak kalah “sampah.” Mereka hingga detik ini masih memainkan
isu komunis, isu agama dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan.
Sekarang,
jika melihat perdebatan yang tidak ada ujungnya ini. Baik tesis yang
mengarahkan untuk memilih Jokowi dan mengatakan golput adalah sia-sia belaka.
Mereka tidak pernah memikirkan betapa muaknya rakyat yang lelah, mereka harus
menghadapi situasi yang cukup pelik. Banyak dari mereka yang tergusur dari
ruang hidupnya, ada kasus Alastlogo di Pasuruan yang kini masih berjuang
menuntuk haknya, di mana wilayah yang mereka diami akan digunakan sebagai
pangkalan perang. Kita juga harus melihat bagaimana warga Wongsorejo,
Banyuwangi bertarung mempertahankan tanah yang mereka hidupkan, tiba-tiba
dirampas demi proyek kawasan industri. Lalu, bagaimana nasib warga di lereng
Tumpang Pitu yang terancam terusir dari wilayahnya, karena dijadikan
pertambangan emas. Salah satu aktor di dalamnya ialah konglomerasi yang dekat
dengan kedua kandidat presiden. Itu hanya sebagian contoh rill, di mana tidak
ada perubahan signifikan selama rezim ini ada, bahkan jika rezim berganti masih
sama. Karena basis oligarkinya masih serupa.
Golput,
bagi kita yang berada di basis merupakan pilihan logis. Bahkan sudah muak
dengan asupan agitasi dan janji-janji manis. Golput memang ungkapan kekecewaan,
namun bukan berarti memilih ini tidak punya sikap politik. Kalian saja yang
tidak tahu situasi rill di basis, apa kalian pernah tahu jika kita sedang
konsolidasi dan lainnya. Argumen genit nan dewa memang seolah-olah keren, namun
lagi-lagi melupakan material historisnya. Bolehlah orang bilang, kita kelompok
golput seupil insignifikan. Boleh lah kalian bilang kalau milih golput tidak
boleh protes.
Namun
perlu diingat bung, situasi itu penuh kompleksitas. Kita ini ibarat writer
warriors yang garang dalam menulis, namun melupakan realitas.
Satu ton teori tidak akan ada gunanya, jika tidak dipraksiskan. Artinya jangan
sekonyong-konyong menghakimi, bagaimana perlu teori dan praktik guna mengetahui
makna di balik prefrensi pilihan seseorang. Intinya begini, turunlah ke basis
dan rasakan kondisi yang aktual dan faktual di sana. Kalau kata orang lawas 98,
rasakan bau dan keringat rakyat untuk tahu siapa rakyat.
Sumber: Locita.Co
0 komentar:
Posting Komentar