Reporter:
Vindry Florentin |
Editor:Ninis Chairunnisa
Sabtu, 29 September 2018 09:11 WIB
Warga nonton bareng
(nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe,
Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO
Jakarta - Bak mendapat
durian runtuh, Jess Melvin sungguh tak menduga apa yang ia dapat saat
melakukan penelitian tentang pembunuhan massal pasca G30S 1965 pada
2010 silam. Segepok dokumen berisi catatan tentang aktivitas militer di Aceh
itu seakan membuka kotak pandora tentang tragedi kelam pada 1965-1966 itu.
Peneliti Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi
temuan-temuannya itu. Hasilnya kemudian dijadikan
buku berjudul "The Army and the
Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".Dalam bukunya Melvin berpendapat pembunuhan massal 1965-1966 di
Indonesia bukanlah hasil aksi spontan rakyat yang marah terhadap PKI.
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai
pada kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara
nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor Jenderal
Soeharto.
Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat Indonesia yang
menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti yang memperkuat
keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir, militer menyangkal
terlibat.
Peneliti
Australia itu mencatat dan mengkonfirmasi temuan-temuannya itu.
Hasilnya kemudian dijadikan buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass
Murder".Dalam bukunya Melvin
berpendapat pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia bukanlah hasil aksi
spontan rakyat yang marah terhadap PKI.
Dari dokumen sebanyak hampir 3.000 halaman tersebut, Melvin sampai
pada kesimpulan bahwa pembunuhan massal 1965-1966 itu tersentralisasi secara
nasional di bawah kendali pemimpin Angkatan Darat saat itu Mayor Jenderal
Soeharto.
Melvin menyatakan sudah banyak peneliti dan masyarakat
Indonesia yang menduga peran militer dalam peristiwa ini. Namun tak ada bukti
yang memperkuat keyakinan tersebut. Selain itu, selama 50 tahun terakhir,
militer menyangkal terlibat.
Salah satu dokumen yang ada di
buku Jess Melvin tentang dugaan keterlibatan militer dalam pembunuhan massal
pasca G30S 1965
Mereka mengklaim peristiwa 1965-1966 terjadi karena gerakan spontan
masyarakat.
"Dokumen ini memungkinkan pembuktian militer di balik pembunuhan 1965-1966 menggunakan data yang ditulis militer sendiri," katanya kepada Tempo, Selasa, 25 September 2018.
Pembunuhan massal pada 1965-1966 selama ini dicitrakan sebagai ulah
Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dituding hendak melakukan kudeta dan
membunuh tujuh jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Peristiwa
itu dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S 1965. Media resmi negara
menyiarkan, rakyat murka atas kejadian tersebut dan mulai membunuh orang-orang
yang berafiliasi dengan PKI. Militer kemudian tampil sebagai penengah dari
kekacauan yang timbul secara spontan masyarakat itu.
Keterlibatan
Militer
Dalam bukunya
yang terbit pada 2018 itu, Melvin memaparkan keterlibatan militer dengan
merinci surat perintah militer dari file genosida Indonesia miliknya.
Surat pertama muncul dari Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad) kepada Komandan Militer Wilayah Aceh Ishak Djuarsa pada pagi
hari, 1 Oktober 1965. Dia mengabarkan telah terjadi kudeta di Jakarta di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Untung. Melvin menyatakan, kabar tersebut juga diduga
disampaikan kepada komandan wilayah lainnya meski hingga saat ini buktinya
belum ditemukan.
Pada pagi itu juga, martial law atau darurat militer dideklarasikan di
seluruh Sumatera. Operasi Berdikari diaktifkan di Aceh untuk memfasilitasi
operasi penumpasan.
Pesan tersebut sempat direspons Komandan Mandala I (Panglatu) Sumatera
Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Dia menginstruksikan tentara tetap
tenang dan bekerja seperti biasa dan “menunggu perintah/instruksi selanjutnya
dari Panglatu”.
Instruksi selanjutnya datang pada tengah malam. Melalui radio,
Mokoginta mengumumkan bahwa PKI telah melakukan upaya kudeta. Presiden Soekarno
selamat dan situasi di ibukota telah dikendalikan oleh Soeharto. Dia
memerintahkan agar semua perintah pengganti Jenderal Ahmad Yani itu dipatuhi.
Sugimin (tiga dari kanan) saat
menarik jenazah enam jenderal dan satu perwira dari sumur Lubang Buaya, 4
Oktober 1965. (Istimewa)
Mokoginta pun memerintahkan, "Segenap anggota Angkatan Bersenjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk pencianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja."
Melvin
mengatakan, perintah ini membuktikan militer menggunakan kampanye militer
ofensif untuk menumpas rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September sejak
hari pertama. Militer tetap memerintahkannya meski mengetahui situasi ibu kota
dinyatakan sudah terkendali
Militer juga terbukti memobilisasi warga sipil untuk menumpas orang-orang tersebut mulai 4 Oktober. Melvin merujuk kepada pernyataan Soeharto yang menyatakan, "kami yakin dengan bantuan dari masyarakat ... kami dapat menghancurkan kontra revolusi gerakan 30 September sepenuhnya."
Pada 5 Oktober, protes masyarakat terhadap PKI berubah berbentuk
kekerasan. Berdasarkan "peta kematian" yang dibuat militer, terdapat
1.941 pembunuhan terjadi di Aceh. TNI kemudian mendirikan Ruang Perang yang
berupa sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI.
Menurut Melvin, pembunuhan massal yang sistematik bermula saat itu di
Aceh. Setiap malam, truk bermuatan tahanan melaju memindahkan mereka ke situs
pembunuhan terkontrol militer. Di sana mereka dibunuh secara sistematis.
Melvin mencatat kegiatan militer ini dilakukan melalui sistem
komunikasi yang kompleks dan membentang hingga ke tingkat desa. Pola tersebut
membentuk pola pemberantasan berskala nasional. Dengan cakupan yang luas,
Melvin melihat upaya perebutan kekuasan negara atau kudeta di balik penumpasan
PKI.
Dalam periode terjadinya G30S 1965, Melvin mengatakan, TNI dan PKI
tengah bersaing memperebutkan kekuasaan. Pada Agustus 1965, Presiden Soekarno
mengumumkan pembentukan tentara rakyat yang disebut Angkatan Kelima.
Mereka
dipersiapkan untuk operasi Ganyang Malaysia, gerakan antisipasi potensi konflik
dengan negara tetangga itu. Soekarno sebelumnya juga telah membentuk KOTI yang
mengkoordinasikan militer dalam operasi Ganyang Militer serta Komandan Mandala
Siaga (Kolaga) sebagai koordinator di tingkat wilayah.
Mobilisasi masyarakat itu dikhawatirkan TNI. Mereka khawatir Soekarno
menggunakannya untuk melawan TNI. Di sisi lain, militer juga bersekutu dengan
pemerintah Amerika Serikat yang anti komunisme. Di bawah kepemimpinan Jenderal
Ahmad Yani, TNI menyusun strategi untuk kudeta setidaknya sejak Januari 1965.
Namun, kata Melvin, TNI tak ingin terlihat sebagai pengkhianat dan
merencanakan kudeta terselubung. Dugaan ini dibuktikan melalui rekaman dari
Duta Besar Amerika di Indonesia, Howard Jones, kepada atasannya di Washington.
Dia menyatakan pemimpin militer Indonesia sedang menunggu peristiwa yang dapat
digunakan sebagai dijadikan alasan untuk melancarkan kudeta terselubung itu.
G30S 1965 disinyalir Melvin sebagai kedoknya. Pasalnya Soeharto
langsung menyalahkan PKI atas gerakan 30 September meski tak ada bukti saat
itu, bahkan hingga saat ini, bahwa organisasi tersebut terlibat. Kudeta
terselubung ini juga menjelaskan alasan Soeharto menyasar anggota PKI di
seluruh negeri yang tidak ada hubungannya dengan G30S 1965 ketimbang menangkap
dan mengadili pelaku sebenarnya.
Melvin menyatakan tak diketahui apakah Soeharto mengetahui rencana
kudeta tersebut sejak awal. Namun dia terbukti memanfaatkan G30S 1965 untuk
mewujudkan rencana jangka panjang militer menguasai negara dengan cara kudeta
terselubung.
"Karena rencana ini, Soeharto mampu bergerak cepat dan meyakinkan melawan PKI," kata Peneliti yang kini menjadi Postdoctoral Fellow di Sydney University itu.
Pengungkapan Kebenaran
Dengan narasi baru yang ia suguhkan, Melvin berharap dapat memberi
landasan tambahan untuk menyelesaikan kasus pada 1965-1966 ini. Menurut dia,
peristiwa itu akan terus membelah bangsa ini jika tak diselesaikan.
Pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi diyakini akan mendorong Indonesia
beranjak dari masa lalu.
Melvin berharap Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen mendukung upaya
penegakan hak asasi manusia. Salah satunya dengan mendukung kinerja Komisi
Nasional HAM. Lembaga tersebut telah menyerahkan hasil investigasi terhadap
peristiwa 1965-1966 kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Laporan tersebut menyuguhkan
bukti kuat yang mengindikasikan pelanggaran HAM berat.
Namun Jaksa Agung Prasetyo menyatakan laporan tersebut tak cukup untuk
dibawa ke ranah hukum. Melihat detil bukti dalam laporan Komnas HAM, Melvin
menyatakan penolakan tersebut bermuatan politik. Harapan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966 dapat segera dibentuk pun belum terwujud
hingga saat ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah justru mulai berupaya
menempuh jalur non yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan
membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Wacana ini ditolak berbagai
organisasi HAM di Indonesia yang menilai DKN akan mengabaikan mekanisme
yudisial.
Melvin berharap Jokowi tetap berkomitmen terhadap penyelesaian kasus
HAM di Indonesia. Dia juga berharap Jokowi mendukung pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atas peristiwa 1965-1966.
Pemerintah sendiri hingga saat ini masih teguh menggunakan mekanisme
non-yudisial untuk menyelesaikan persoalan HAM tersebut. Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan kebijakannya tetap sama
seperti telah disampaikan pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya pada Ahad, 1 Oktober 2017.
"Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya. Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.
Di Lubang Buaya, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus
1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme tersebut akan
memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. Sementara Presiden Joko Widodo
meminta agar sejarah tidak terulang dan dijadikan pembelajaran untuk masa
depan.
"Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian secara yuridis tidak mungkin," katanya.
Pernyataannya konsisten
seperti disampaikan saat peringatan yang sama pada 2016. Wiranto mengatakan
negara dalam keadaan bahaya selama peristiswa pada 1965-1966 terjadi, jika
dilihat dari pendekatan yuridis. Artinya, segala tindakan yang dilakukan
dianggap sebagai upaya penyelematan demi keamanan nasional.
"Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adagium 'Abnormaal recht voor abnormaale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," katanya.
Jalur non yudisial juga
dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuh alat bukti yang cukup. Laporan
Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar pembuktian.
Ketua Yayasan Penelitian
Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung tetap berharap pemerintah
menempuh jalur yudisial untuk menyelesaikan kasus ini.
"Saya minta supaya pelaku kejahatan HAM diadili supaya ada pembelajaran dan tidak terjadi pengulangan di waktu yang akan datang. Karena mereka jelas bersalah," katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis, 20 September 2018.
Tentara menggiring orang-orang
yang diduga PKI [Perpusatkaan Nasional RI via Tribunal1965]
Dia menyadari banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa 1965-1966
sudah meninggal. Namun kenyataan tersebut seharusnya tak menghentikan upaya
penyelesaian melalui jalur hukum. Pemerintah dalam hal ini dapat mewakili
dengan mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat saat itu dan memohon maaf
kepada korban.
"Sampai sekarang negara belum memberikan pernyataan politik dan itu mestinya harus, karena semakin tidak segera, katakanlah meminta maaf kepada korban, tuntutan kami akan terus berkembang, tidak hanya di dalam negeri tapi juga luar negeri," katanya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang
mengatakan bahwa pihaknya ingin meluruskan mengenai tudingan Soeharto adalah
dalang pembantaian pasca peristiwa G30S 1965. Partai
Berkarya adalah partai yang memiliki paradigma Soeharto dan diisi oleh
anak-anak Soeharto.
Partai ini pun berencana menggelar nonton bareng film G30SPKI yang sempat diputar selama pemerintahan Orde Baru. "Paham-paham atau informasi-informasi yang memutar balikkan fakta dan sejarah itu yang kami mau luruskan,” kata dia.
Bagi partai ini, kata Badaruddin, Soeharto adalah tokoh penting di
balik pemberantasan paham komunisme di Indonesia.
“Tapi bagi kami di Berkarya, kami memahami bahwa pak Harto adalah tokoh di balik pemberantasan paham-paham itu, bukan sebaliknya seperti yang direkayasa oleh orang-orang yang punya maksud tertentu,” ujarnya.
Adapun pihak TNI hingga berita ini diturunkan belum memberikan komentar
terkait dokumen yang ada dalam buku Jess Melvin tersebut. Surat wawancara untuk
Panglima TNI telah dikirim Tempo, namun belum berbalas. Upaya mengontak Kepala
Penerangan Kodam Iskandar Muda juga belum berhasil.
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar