Cerpen Risda Nur Widia (Haluan, 23 September 2018)
Setangkup
sunyi itu merambat di udara, menjerat leher, dan merenggut setiap nyawa.
Setangkup sunyi itu bahkan mekar menjadi sekuntum bunga di tengah ladang
pembantaian. Bunga-bunga indah yang kelopak-kelopaknya terbuat dari percikan
darah. Bunga yang merekah ketika kesedihan dan kematian mengental di udara.
Kupikir:
Mungkin salah satu dari bunga kesunyian itu juga tumbuh di atas tubuh Ayah dan
Ibuku yang telah mati membusuk entah di mana.
Selain itu, bunga-bunga kesunyian pun
seperti diciptakan untuk menandai kemurungan di setiap kota. Karena bunga-bunga
itu hanya akan merekah tumbuh, setelah perperangan merenggut begitu banyak
nyawa atau tangis yang pecah dan memadati udara. Aroma bunga itu begitu anyir.
Dan setiap memetik bunga itu, aku merasa
seakan sedang mengumpulkan kesedihan demi kesedihan dari ratap dan air mata.
Apakah benar bunga itu tercipta dari kematian atau tercipta dari doa-doa yang
patah saat dipanjatkan?
***
Berapa banyak orang yang kehilangan
segala-galanya akibat pembantaian di tahun 1965? Aku tidak tahu. Yang kutahu,
anak-anak korban kekacauan politik sepertiku kini seperti gerombolan
gelandangan; yang sepanjang waktu hanya bersembunyi, mengembara, dan
mengumpulkan bunga-bunga kesunyian dalam kecemasan.
Setiap hari ketika sudah tidak ada lagi
pembantaian atau orang-orang brutal yang menghanguskan suatu desa, kami,
anak-anak tragedi politik, akan menyisir desa-desa dengan mengendap takut,
sembari sesekali masih menyaksikan kemalangan yang bergelimpangan dari
mayat-mayat orang yang tertuduh sebagai anggota partai Komunis; yang baru saja
dibantai.
Dari mayat-mayat itu—yang mungkin juga ada
satu dari sekian keluarga—kami menunggu saat bunga-bunga kesedihan itu
bermekaran.
Bila sudah demikian pun, kami berpindah
dari satu tempat persembunyian ke tempat lainnya—seraya berharap menemukan
sebuah tempat yang memberikan kedamaian. Tempat indah dengan rumah-rumah nyaman
yang masih berdiri kokoh; tempat dengan taman atau bunga yang bermekaran bebas;
tempat yang menawarkan kebahagian.
Tetapi barangkali tempat seperti itu hanya
ada di mimpi. Kisruh politik memang tidak begitu saja berhenti, sebelum seorang
pemenang dilahirkan dari lelehan air mata dan darah.
Copast: LakonHidup
0 komentar:
Posting Komentar