Mitrardi Sangkoyo | 2018, Sep 18
Sumber foto: www.kricom.id
1. Bapak saya lahir
pada awal tahun 1956, anak terakhir dari sepuluh bersaudara. Ia adalah satu
dari banyak orang yang merasakan bagaimana tragedi 65 menjadi kenangan buruk
bagi siapapun yang mengalaminya.
2. Satu dari banyak kenangan yang ia punya
adalah soal teman SD-nya. Ia tak menyebut nama. Namun bapak menceritakan
temannya itu sangat miskin, bahkan saking miskinnya, temannya itu sampai tidak
mampu membeli sepatu untuk sekolah. Saat 65 pecah, temannya ini tak
muncul-muncul lagi: Bersama keluarganya hilang tanpa jejak dan tidak pernah
kembali.
3. Kenangan ini yang diingat betul oleh bapak:
saat 65, ayah dari bapakku, almarhum Eyang Kakung diarak keliling kota karena
dicap PKI. Waktu itu Eyang Kakung tengah kerja sebagai pengawas kepala sekolah.
Bapakku yang saat itu umur 9 tahun kalut tak karuan. Kejadian kekerasan itu
adalah peristiwa yang paling membekas di ingatan bapak.
Di tengah ketakutan
yang dahsyat, bapak meminta tolong ke tetangga untuk mengantarnya ke tempat
Eyang Kakung ditahan. Di situ ia menyaksikan ayahnya diperlakukan layaknya seorang
penjahat. Dihukum berbaris bersama warga lainnya yang ditangkap.
Melihat itu,
bapak yang masih anak-anak menangis sejadi-jadinya. Bapak bilang, itulah
pertama kalinya dia sadar “ada ketidakadilan di dunia ini.”
4. Peristiwa lainnya yang saya alami sendiri,
beberapa tahun lalu saya pergi ke Kampung Inggris, Pare. Saya janjian main sama
kawan kuliah saya bernama Dicky, yang waktu itu sedang menetap di sana dan
sedang giat-giatnya belajar. Kosannya Dicky berada di seberang sebuah gedung
les berwarna kuning. Kamarnya nyaman, tapi sayangnya agak angker.
“Kalau malam
suka ada bunyi air sama orang lagi nyuci, Mit,” Dicky bercerita.
Malam pertama menginap, saya pun dengar bunyian
itu dan mencoba pura-pura tidak kaget. Saat itu Dicky kembali bercerita,
mengulang obrolannya dengan ibu kos:
“Mbah, agak angker ya Mbah kosannya?
Malam-malam suka dengar suara,” tanya Dicky.
“Ya wajar Mas, di bawah gedung les kuning di
seberang kan ada kuburan massal PKI,” jawab ibu Kos.
“Hah yang benar Mbah? Kok Mbah tahu?”
“Wong suami Mbah dulu yang ngubur waktu 65!”
5. Salah satu cucunya Aidit, waktu masih kecil,
pernah iseng belajar tembak-menembak dengan anggota Kopassus. Ada yang
menarikku ke samping dan kami ketawa cekikikan melihat kelakuan si bocah.
“Andaikan dia tahu.”
6. Tak ada penduduk Indonesia yang sepenuhnya
bebas dari reperkusi 65. Bukan hanya negara yang dengan bangganya menginjak
batang leher 65: secara bersamaan 65 juga menunggangi pundak kita semua,
memohon agar disingkap, dan agar negara ini dirukiah.
7. 65 bukan fragmen monolitik atau penanda
sejarah sebatas kejadian yang telah usang. 65 tidak letup dan usai “dahulu
kala, di luar sana,” melainkan setiap dari kita membawa serpihan 65 kita
masing-masing, sadar atau tidak. Serpihan itu harus dipersenjatai.
8. 65 itu luka yang mengucur dan dibiarkan
menganga. 65 itu amnesia yang diviralkan. Kejadian 65 tidak hitam putih, tetapi
refleks kita terhadapnya sejatinya biner.
Kita tinggal pilih: (1) menyodok jari
ke dalam luka menganga, mengoreknya hingga terus mengucur dan menggaraminya
agar menjadi siksa, kemudian melupakannya sebagai “masa lalu” belaka tanpa
tindakan korektif; atau (2) membaca dan mengakui sejarah seutuh, seobjektif,
dan sekritis (dalam maknanya yang paling provokatif) mungkin sebagai
pembelajaran dan peringatan dalam mengukir masa depan, memulihkan trauma lewat
kasih sayang dan solidaritas dengan penyintas, melawan warisan impunitas rezim
dengan menuntut penyelesaian hukum atas kejahatan terorganisir, dan merawat
ingatan serta pengalaman batin dengan berbagi serpihan 65 masing-masing. Kita
tinggal pilih.
9. Terakhir, 65 terjadi sekali, tapi setiap
kali rakyat disiksa dan dibunuh oleh jongosnya sendiri, lolongan 65 terdengar
lagi!
18 September 2018
Sumber: Ingat65
0 komentar:
Posting Komentar