HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Supersemar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Supersemar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Maret 2019

26 Maret 1968, Saat Soeharto Ditunjuk Gantikan Soekarno Jadi Presiden


26/03/2019, 18:24 WIB. 
Penulis : Aswab Nanda Prattama
Editor : Bayu Galih

Presiden Soeharto sedang panen bawang putih di Sembalun Lombok tanggal 15/10/1987.(KOMPAS/RAKA SANTERI)

Gejolak aksi mahasiswa pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 cukup menggoyang pemerintahan. Soekarno yang mestinya memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 harus segera pergi meninggalkan tempat.


Soekarno saat itu meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta setelah mendapat laporan adanya pasukan liar yang bergerak di luar Istana. Setelah itu, tiga jenderal mendatangi Soekarno di Istana Bogor, yaitu Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf, dan Mayjen Basuki Rachmat.

Pertemuan itu kemudian menghasilkan surat mandat yang diberikan Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Bermodalkan Supersemar, Soeharto tidak hanya memulihkan keamanan, tetapi juga secara perlahan mengambil alih kepemimpinan nasional.

Soekarno sempat menyikapinya dengan mengeluarkan pidato pembelaan yang dikenal dengan "Nawaksara". Namun, MPRS menolak pidato pertanggungjawaban itu. Soekarno pun diberhentikan sebagai Presiden pada 22 Juni 1966 dalam Sidang Umum ke-IV MPRS.

Soeharto kemudian ditunjuk sebagai "pejabat presiden" setahun kemudian, yaitu pada Maret 1967. Penunjukan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.

Posisi ini diemban Soeharto sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilihan umum. Soeharto jadi presiden Selama menjadi pejabat presiden, Soeharto melakukan sejumlah perubahan terutama rencana pembangunan.

Berbagai sektor mulai dibenahi dan mengubah sistem yang ada pada era Soekarno. Mendekati pemilihan umum pada 1971, perbincangan hangat mengenai penunjukan Soeharto menjadi presiden penuh akhirnya muncul.

MPRS melakukan sidang untuk meresmikan kepemimpinan Soeharto. Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 23 Maret 1968, pada musyawarah pleno ke-IV MPRS, beberapa pihak menyuarakan pendapatnya untuk mengangkat Soeharto menjadi presiden secara penuh.

Mereka adalah perwakilan dari masing-masing partai dan wilayah di Indonesia. Tentunya, pengangkatan Soeharto jadi presiden harus disertai upaya menghilangkan nama S dalam MPRS, jadi MPR.
Akhirnya, terjadilah kesepakatan bersama pada 26 Maret 1968, Soeharto dinyatakan sebagai presiden penuh untuk memimpin Indonesia.

Adapun, mekanisme yang dilakukan MPRS adalah dengan menyiapkan segala sesuatu terkait pelantikan Soeharto. MPRS juga menyiapkan rancangan ketetapan baru untuk menjamin lancarnya pelantikan tersebut. Soeharto dilantik

Soeharto dilantik

Presiden Soeharto saat dilantik/disumpah menjadi Presiden.(Hendranto, Pat)

Presiden Soeharto saat dilantik/disumpah menjadi Presiden.(Hendranto, Pat) Sehari kemudian, Soeharto dilantik menjadi presiden ke-2 RI secara penuh.

Status pejabat presiden yang melekat padanya seketika berganti menjadi presiden.

Pada 27 Maret 1968, Soeharto menyampaikan pidato perdananya sebagai presiden ke-2 RI. Harian Kompas yang terbit pada 29 Maret 1968 menjelaskan, Soeharto dalam pidato perdananya menyatakan dua tema pokok:

Pertama, mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kedua, menegakkan konstitusi termasuk mengembalikan demokrasi. Menurut Soeharto, kedua tema ini tak boleh dipertentangkan namun diserasikan satu sama lain.

Dalam upacara pelantikan selama 40 menit itu, Soeharto juga mengajak masyarakat untuk melaksanakan putusan-putusan SU (Sidang Umum) ke-V MPRS terutama bidang pembangunan.

Ke luar negeri Sehari setelah pelantikannya menjadi presiden, Soeharto mempunyai jadwal kunjungan ke luar negeri. Jepang dan Kamboja menjadi tujuan rombongan presiden. Khusus Jepang, kunjungan ini bertujuan untuk mencapai kerja sama ekonomi.

Rombongan terdiri dari 45 orang, yaitu para pejabat negara dan wartawan. Sebelum Soeharto berangkat, mandat untuk menjaga keamanan dan keselamatan negara diberikan kepada menteri negara Hamengkubuwono IX, sekaligus menjadi pejabat presiden.

Harian Kompas yang terbit pada 28 Maret 1968 menulis, Soeharto memberikan mandat kepada Hamengkubuwono IX untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagai Kepala Negara selama berada di luar negeri.

Ia juga mempunyai wewenang sebagai menteri luar negeri karena Menlu Adam Malik juga ikut presiden ke luar negeri. Sejarah menarik tentang perjalanan kepemimpinan Soeharto hingga dia dijatuhkan oleh gerakan Reformasi 1998

Sumber: Kompas.Com 

Senin, 11 Maret 2019

Supersemar di Tahun Politik, Misteri Sejarah di Laci Cendana


CNN Indonesia | Senin, 11/03/2019 17:44 WIB

Indonesia hari ini memeringati Supersemar ke-53 tahun. (AFP PHOTO)

Jakarta, CNN Indonesia -- Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) hari ini diperingati di usianya yang ke-53 tahun. Supersemar adalah surat perintah yang berisi instruksi Presiden Sukarno kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan guna mengatasi situasi keamanan pada 1966.

Surat perintah tersebut ditandatangani Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966. Surat itu berisi perintah, salah satunya mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.

Surat itu juga memerintahkan kepada Soeharto--saat itu Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib)-- untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Sukarno sebagai kepala negara dan presiden.

Di luar istana negara saat itu, sisa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berkecamuk. Inflasi tak tertahan di angka 30 persen Sejak 1959. Pada era 100 menteri Februari 1966, inflasi merangkak hingga 3.000 persen. (DR AH Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, 1986. CV Haji Masagung).

Jadi persoalan dan masih membeban dalam sejarah, bukti fisik Supersemar sampai saat ini masih menjadi misteri. Memang ada empat versi surat tersebut secara fisik yang sempat dipegang Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Namun ketiga versi naskah Supersemar dipastikan palsu. Supersemar masih menjadi misteri. 

Soeharto. (Dok. Istimewa)

Kepala Pusat Jasa Kearsipan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat itu, Binner Sitompul mengungkapkan surat bersejarah itu hingga kini belum ditemukan.
"Terhadap empat naskah Supersemar yang ada saat ini, tapi keempat-empatnya belum ada yang asli," katanya, Senin 17 Maret 2014, berdasarkan arsip Antara. 

Ikhtiar tentang pencarian keberadaan Supersemar pernah diulas Eros Djarot, dkk dalam bukunya 'Misteri Supersemar' (2006, CV Mediakita). Naskah Supersemar diakui diketik oleh Eli Ebram, staf asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Karier militer Ebram tamat pada 1967. Dia ditangkap, dipenjara selama 12 tahun tanpa peradilan. Lepas dari penjara, dia diteror untuk tidak buka suara soal isi Supersemar.

Dalam pengakuannya, naskah Supersemar diketik berlapis karbon untuk tiga rangkap. Supersemar yang diketiknya dibuat dua halaman. Bung Karno meminta spasi dua sebagai pemisah antarbaris. Pengetikan dilakukan di kamar pribadi Bung Karno. 
"Saya yang mengetik, didampingi Sabur (ajudan utama Bung Karno). Bung Karno sendiri mondar-mandir sambil mendikte. Tanpa baju kebesaran, baju santai. Tidak pakai peci," ujar Ebram (hlm20). 
Ebram mengatakan Supesemar terdiri dari empat poin, yang diingatnya hanya pokok-pokoknya saja. Mengenai ajaran, koordinasi, dan laporan. Ebram tak menyebut pasti soal pembubaran PKI, apalagi pemindahan kekuasaan.

Peringatan Supersemar di tahun politik

Peringatan Supersemar ke-53 kini hadir di tengah hingar bingar tahun politik. Peringatan Supersemar jatuh sebulan menjelang penyelenggaraan Pilpres pada 17 April 2019. Faktanya, Supersemar nampak seolah bukan komoditas politik yang seksi bagi dua kubu capres-cawapres: Jokowi-Prabowo.

Puteri Proklamator Sukarno, Megawati Sukarnoputri mengaku telah cukup memetik pelajaran dari sejarah panjang Supersemar. Megawati yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku seolah mencukupkan misteri surat tersebut terkubur, berdiam di satu ruang sunyi.
"Kita belajar dari Supersemar. Saya selalu mengatakan, jangan pernah menghujat Pak Harto," ucap Megawati, Januari silam, di hadapan kader-kadernya. Namun Megawati mengenang, saat itu Supersemar membuat sang ayah diturunkan dengan cara yang tidak baik. "Sangat tidak baik," ujar Megawati.

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Tafsir Supersemar oleh Soeharto memang jadi fatal bagi Sukarno yang berambisi melanggengkan kekuasaan seumur hidup. Lewat Supersemar, sehari setelahnya, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966. Supersemar juga membikin Soeharto menerbitkan Surat Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.

Ujungnya, Supersemar seolah jadi legitimasi Soeharto merangkak ke kursi istana, merebut takhta pimpinan negara dari Sukarno. Peta politik dunia berubah. Dari situ, gendang lahirnya orde baru ditabuh, langgeng selama 32 tahun.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Ada menolak kajian tentang otentisitas Supersemar dicukupkan oleh bangsa Indonesia. Asvi menolak pihak yang beranggapan mencari pembuktian sejarah Supersemar berarti mencari celah untuk menghujat Soeharto. Supersemar akan terus menjadi beban sejarah, kata dia, hingga bangsa tuntas menemukan versi aslinya.
"Naskah otentik harus dicari. Ini akan menjadi pelajaran sejarah. Ketika kita beranggapan Soeharto diberikan mandat, mestinya ia menyelip di rumah Soeharto. Di Cendana," kata Asvi Warman, dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (11/3).


Sukarno. AFP PHOTO

Apalagi, kata dia, Supersemar telah ditasbihkan sebagai suatu arsip yang masuk dalam pencarian Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). 
"Dan saat ini siapapun yang menemukan, akan mendapat hadiah Rp1 miliar. Itu jelas," tegas Asvi. 
Menurutnya, saat inilah semua masyarakat Indonesia mestinya berlomba-lomba mencari naskah asli Supersemar. Pemerintah, kata dia, tinggal membuktikan seberapa beranikah menggeledah isi kediaman Soeharto untuk memeriksa dokumen bersejarah tersebut. 
"Kebenaran sejarah tetap perlu dibuktikan. Dapat atau tidak itu lain perkara. Itu kan belum dicari. Sudahkah di Cendana dicari?," kata Asvi menegaskan. (ain)

Sumber: CNN Indonesia 

Hilang Kemana Surat Perinah 13 Maret ?

Senin, 11 Maret 2019

"Soeharto bukan Wakil Presiden dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarkan PKI"

Presiden Sukarno bersama Jenderal Soeharto
Foto: Perpusnas/Yayasan Idayu

Malam itu, Minggu, 13 Maret 1966, lampu di Istana Bogor masih terang benderang. Ada kesibukan dan suasana tegang di satu ruang. Pada malam itu, Presiden Sukarno memanggil tiga Wakil Perdana Menteri yakni Soebandrio, Johannes Leimena, dan Chairul Saleh, ke Istana Bogor. Hadir pula di Istana Bogor, Panglima Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) Brigadir Jenderal Hartono dan Anak Marhaen Hanafi, Duta Besar Indonesia untuk Kuba.

Sehari sebelumnya Presiden Sukarno baru mendengar kabar yang membuatnya naik darah. Menteri Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden nomor 1/3/1966 soal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan Presiden itu ditandatangani Soeharto dengan mengatasnamakan Presiden Sukarno tanpa menyampaikan pemberitahuan lebih dulu kepada Bung Karno.
"Soeharto bukan Wakil Presiden dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarkan PKI kalau memang PKI telah memberontak," kata Presiden Sukarno seperti dikutip Hanafi dalam bukunya, A.M. Hanafi Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto. Mestinya, tak ada alasan Soeharto tak minta persetujuan dan tanda tangan dari Presiden Sukarno karena Presiden ada di Istana Bogor, hanya berjarak satu jam berkendara dari Jakarta.
Soeharto memang punya 'senjata' yakni Surat Perintah Presiden Sukarno tanggal 11 Maret 1966. Perintah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Lewat Supersemar, Presiden Sukarno menginstruksikan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengembalikan keamanan dan ketenangan, juga menjamin keselamatan Presiden.

Bung Karno menilai tindakan Soeharto sudah melampaui kewenangan yang diberikannya. Pada malam itu, dua hari setelah turun Supersemar, dibantu ketiga Wakil Perdana Menteri, Presiden Sukarno menyusun Surat Perintah 13 Maret 1966 sebagai 'koreksi' atas pelaksanaan Supersemar. Lewat Surat Perintah 13 Maret itu, Presiden mengingatkan Jenderal Soeharto bahwa Supersemar adalah surat perintah, bukan penyerahan kekuasaan. Setiap pelaksanaannya harus dikonsultasikan dengan Presiden. Presiden juga meminta Jenderal Soeharto menghadap untuk memberikan pertanggungjawaban.

Salah satu versi Supersemar
Foto : Wikipedia


Menjelang pukul 21.00, Surat Perintah 13 Maret itu ditandatangani Presiden Sukarno. Presiden meminta Wakil Perdana Menteri Leimena ditemani Panglima KKO Jenderal Hartono segera menyerahkan surat itu kepada Jenderal Soeharto. Dengan menumpang helikopter, keduanya terbang meninggalkan Istana Bogor menuju Jakarta.

Surat Perintah 13 Maret itu juga digandakan sebanyak 5000 lembar. Rencananya, surat itu akan disebarkan ke pelbagai tempat dan surat kabar. Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi ditunjuk sebagai penanggungjawab penyebaran surat tersebut.

Menjelang tengah malam, helikopter yang membawa Leimena dan Jenderal Hartono tiba kembali di Istana Bogor. Kepada Presiden Sukarno, Leimena melaporkan tanggapan Mayor Jenderal Soeharto setelah menerima surat perintah itu.
"Sampaikan kepada Presiden semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri," Leimena, seperti dikutip dalam buku A.M. Hanafi, menirukan kata-kata Soeharto.
Jenderal Soeharto juga menolak menghadap Presiden keesokan harinya. Dia berkilah, ada rapat pimpinan Angkatan Bersenjata pada hari itu di Istana Merdeka, Jakarta. Mendengar penuturan Wakil Perdana Menteri Leimena, suasana menjadi hening dan muram. 
"Presiden diam dan kami pun terdiam. Om Jo menunduk melihat ke lantai," kata Hanafi.
Sungguh sayang, dua dokumen sejarah yang amat penting itu, Supersemar maupun Surat Perintah 13 Maret, hilang tak berjejak. Arsip Nasional RI menyimpan tiga versi Supersemar. Enam tahun lalu, Arsip Nasional bekerjasama dengan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri telah menguji tiga versi Supersemar. Kesimpulannya, tak ada satu pun yang orisinil. Sementara arsip Surat Perintah 13 Maret 1966 tak ada sama sekali.

Menurut Melani Leimena, putri Wakil Perdana Menteri, J. Leimena, ayahnya tak pernah bercerita soal Surat Perintah Presiden dan kejadian pada 13 Maret 1966 di Istana Bogor itu. 
"Saat itu saya masih SMP, jadi belum dilibatkan," kata Melani beberapa hari lalu.  
"Sampaikan kepada Presiden semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri"
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Mayor Jenderal Soeharto


Supersemar versi TNI
Foto : Wikipedia


Jejak keberadaan Surat Perintah 13 Maret 1966 itu disinggung Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dalam memoarnya. Soebagio Anam, mantan Kepala Biro Penerangan di Departemen Koperasi dan Transmigrasi, kepada harian Bernas pada 1 September 1998 juga menuturkan bahwa dia pernah membaca Surat Perintah 13 Maret tersebut.

Surat Perintah Presiden Sukarno itu, menurut Soebagio, diantarkan oleh Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Jenderal Soetjipto Joedodihardjo kepada Menteri Penerangan Achmadi. 
"Saya melihat surat itu. Buktinya saya memang tidak bisa menunjukkan. Tapi saya berani berbicara di bawah sumpah bahwa saya melihatnya," kata Soebagio. "Anda bisa mencari kesaksian dari A.M. Hanafi. Atau dari Pak Tumakaka (J.K. Tumakaka, mantan Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional)."
Keluarnya dua surat perintah Presiden Sukarno itu merupakan tahap menentukan dalam proses tumbangnya kekuasaan Bung Karno dan peralihan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Pembubaran PKI hanya langkah pertama Soeharto setelah memegang Supersemar. Dengan Supersemar di tangan, Soeharto makin percaya diri, kendati tetap sangat berhati-hati. Hanya berselang beberapa hari setelah Partai Palu Arit diberangus, orang-orang dekat Presiden Sukarno mulai 'diamankan'.

Pada 16 Maret 1966, dalam rapat kabinet, Presiden Sukarno menolak memenuhi permintaan Jenderal Soeharto agar memecat beberapa menteri yang dicurigai punya hubungan dekat dengan PKI, salah satunya Wakil Perdana Menteri Soebandrio. Tapi dua hari kemudian, daftar 15 menteri yang diincar gerakan mahasiswa dan Angkatan Darat, Harold Crouch menulis dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia, tersebar di jalan-jalan.

Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo bersama Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Amirmachmud memimpin operasi penangkapan ke-15 menteri itu. Di bawah tekanan gelombang protes mahasiswa dan Angkatan Darat, Presiden Sukarno terpaksa 'melepaskan' Soebandrio kepada Jenderal Amir. Kepada Amir, Presiden berpesan agar Soebandrio tak dibunuh.

Menurut Soeharto, ada beberapa dosa para menteri yang ditangkap itu. Soebandrio, Oei Tjoe Tat, Setiadi Reksoprodjo dan Astrawinata, dianggap punya kaitan dengan PKI dan Gerakan 30 September. Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh dan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam dianggap punya dosa lain lagi. 
"Mereka secara tak bermoral hidup bermewah-mewah di tengah penderitaan rakyat."
Pengaruh Jenderal Soeharto makin kokoh setelah lewat sejumlah manuver, berhasil 'mengubah' status Supersemar menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara(MPRS) lewat Sidang MPRS pada akhir Juni hingga awal Juli 1966. Dengan keluarnya Tap. MPRS nomor IX/MPRS/1966, Presiden Sukarno tak bisa lagi menganulir Supersemar.

Presiden Sukarno diapit Jenderal Abdul Haris Nasution dan Jenderal Soeharto
Foto : Perpusnas


Tak banyak cerita soal jejak Surat Perintah 13 Maret. Namun sebaliknya dengan Supersemar. Meski dokumen asli Supersemar sampai hari ini tak juga ditemukan, ada lumayan banyak kisah soal dokumen ini. Satu cerita dituturkan oleh Kolonel (purnawirawan) Aloysius Sugiyanto, orang kepercayaan Ali Moertopo, tangan kanan Jenderal Soeharto

Saat itu, Jumat malam, 11 Maret 1966, Mayor Sugiyanto sedang ada di tengah rapat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Jakarta. Rapat dipimpin  langsung oleh Jenderal Soeharto. Tiba-tiba datang Letnan Kolonel Ali Moertopo dan menyorongkan dokumen kepadanya. 
"Tolong cepat gandakan dan cepat kembali," Sugiyanto menirukan perintah Ali dikutip dalam buku Rahasia-rahasia Ali Moertopo.
"Setelah itu saya tidak tahu lagi ada di mana Supersemar"
Rupanya, dokumen itu baru datang dari Istana Bogor dibawa oleh tiga jenderal ; Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Itu lah surat perintah Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto, Supersemar. Perintah Ali bukan tugas yang gampang. Saat itu Jakarta sudah gelap dan diberlakukan jam malam di ibukota. Zaman itu juga belum ada mesin foto kopi. Yang ada hanya mesin stensil.

Kendati sudah berkeliling Jakarta di atas jipnya, Mayor Sugiyanto tak kunjung menemukan tempat menggandakan Supersemar. Untung dia punya teman pengusaha asal Manado, Jerry Sumendap. Jerry punya banyak alat-alat baru yang canggih. Dengan kamera polaroid milik Jerry, dia menggandakan dokumen Supersemar. Hasil penggandaan dan dokumen Supersemar asli dia masukkan ke dalam map dan segera dibawa kembali ke Markas Kostrad.

Di ruang rapat Markas Kostrad, di depan Soeharto, Mayor Sugiyanto menyerahkan map itu kepada Brigadir Jenderal Soetjipto, Ketua G-V Komando Operasi Tertinggi (Koti). 
"Setelah itu saya tidak tahu lagi ada di mana Supersemar," kata Kolonel Sugiyanto. 
Bertahun-tahun kemudian, dalam satu seminar di Jakarta, Mayor Jenderal (purnawirawan) Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara, mengaku sempat memegang dua lembar dokumen asli Supersemar selama satu jam. Sebelum akhirnya dokumen itu dibawa pergi Boediono, ajudan Jenderal Soetjipto untuk dibawa kembali ke Markas Kostrad.
---
Editor: Sapto Pradityo
Sumber: xDetik.Com 

Selasa, 13 Maret 2018

Surat Perintah yang Terlupakan

Martin Sitompul | 13 Maret 2018

Surat perintah susulan dari Presiden Sukarno diterbitkan untuk merevisi Supersemar. Keberadaannya juga samar-samar

Ilustrasi: Gungun Gunadi/Historia

SETELAH menerima Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto langsung bikin kejutan. Dalam Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966, Soeharto atas nama Presiden Sukarno mengeluarkan perintah pertamanya: membubarkan PKI. RRI sejak siarannya yang pertama mengudara pukul 06.00 pagi memberitakan keputusan ini seharian penuh. 
“Pada hari itu juga timbul ketegangan yang luar biasa. Setelah mendengar siaran radio tersebut, Presiden Soekarno tampaknya marah dan telah memanggil semua Waperdam (wakil perdana menteri) ke Bogor,” ujar Maraden Panggabean dalam memoarnya Berjuang dan Mengabdi.
Di Istana Bogor, semua waperdam hadir: Soebandrio, Johanes Leimena, dan Chairul Saleh. Turut serta pula A.M. Hanafi, Duta Besar Indonesia untuk Kuba yang merupakan orang kepercayaan Sukarno. Menurut Hanafi, tindakan Soeharto membubarkan PKI dinilai lancang oleh Sukarno. Bagi Sukarno, pembubaran partai politik adalah hak prerogatif presiden dan bukan melalui pemegang Mandat Supersemar. Dalam amatan Hanafi, Sukarno tampak gelisah dan mengkhawatirkan aksi sepihak selanjutnya yang akan dilancarkan Soeharto.
“Soeharto bukan Wakil Presiden, dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarka PKI kalau memang PKI yang memberontak, tapi harus jelas dulu apa itu GESTOK, yang jelas baru Aidit yang keblinger,” demikian perkataan Sukarno sebagaimana dikisahkan Hanafi dalam A.M. Hanafi Menggugat: Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar.
Sementara itu, di paviliun Istana yang lain, kesibukan terjadi. Soebandrio dan Chairul Saleh sedang mempersiapkan Surat Perintah Presiden tertanggal 13 Maret 1966. Surat yang panjanganya hanya separagraf itu berisi tiga pokok penting: mengingatkan Soeharto bahwa Surat Perintah 11 Maret hanya bersifat teknis administratif bukan politik; Soeharto tidak diperkenankan bertindak melampaui bidang dan tanggungjawabnya dalam pemulihan keamanan; Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah 11 Maret, diminta pertanggungjawabannya dengan menghadap Presiden Sukarno

Sukarno kemudian mengutus Leimena ke Jakarta mengantarkan Surat Perintah tersebut kepada Soeharto. Sementara di Istana Bogor, Surat Perintah 13 Maret itu digandakan sebanyak lima ribu lembar dengan mesin stencil Gestetner. 
Sebagian akan dibawa oleh anggota Tjakrabirawa yang terpercaya ke Jakarta. Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi bertanggung jawab mengenai penyebarannya. Hanafi sendiri, menurut pengakuannya, mengambil beberapa eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada pemuda-pemuda Partindo supaya disebarkan.

Soeharto Menolak Perintah

Deru helikopter mendekati Istana Bogor pukul 22.55 malam, 13 Maret 1966. Leimena kembali untuk melapor kepada Sukarno disertai dengan Komandan KKO, Mayjen Hartono. Dengan nada pelan Leimena menuturkan isi perjumpaannya dengan Soeharto.
“Surat perintah sudah saya sampaikan kepada Letnan Jenderal Soeharto … di tangannya sendiri,” ujar Leimena. Leimena menerangkan respon Soeharto terkait Surat Perintah susulan Bung Karno yang diperantarainya. Soeharto hanya membalas dengan dingin dan secukupnya.
Kata Soeharto, “Sampaikan kepada Presiden, semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri.” 
Soeharto juga mengatakan bahwa dirinya berhalangan menghadap ke Bogor sehubungan dengan diadakannya sidang lengkap Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Merdeka esok hari.
“Jenderal Hartono diam saja. Presiden pun diam dan kami pun terdiam semuanya. Oom Jo –panggilan Leimena– menunduk melihat ke lantai,” kenang Hanafi. “Masing-masing dengan perasaan terharu ditimpa tragedi yang sama.”
Jurnalis senior Kompas Julius Pour mencatat dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, Soeharto mengakui dirinya sengaja menolak permintaan Bung Karno. Alasannya, dalam Surat Perintah 11 Maret yang dia terima tercantum kalimat, “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, demi tetap terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan.”

Dengan bermodal Supersemar, sudah cukup bagi Soeharto jalan terus melanjutkan manuvernya. Di pihak lain, Presiden Sukarno menanti dengan harap-harap cemas agar kekuasaannya tidak dipreteli.

Dimana Surat Itu?

Maraden Panggabean yang di era rezim Soeharto menjabat Panglima ABRI, dalam memoarnya mengakui pengutusan Leimena menjumpai Soeharto untuk mengoreksi Surat Perintah 11 Maret. Menurut Maraden misi Leimena ini gagal, berhubung Soeharto tidak dapat meninggalkan kamar karena sakit. Leimena akhirnya hanya membicarakannya melalui Brigjen Soetjipto, salah seorang staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI).

Soebandrio dalam memoarnya Yang Saya Alami Peristiwa G30S: Sebelum, saat Meletus, dan Sesudahnya yang diterbitkan setelah rezim Soeharto tumbang membenarkan pengakuan Hanafi. Surat Perintah 13 Maret dikeluarkan setelah ada indikasi Soeharto menyeleweng dari amanat Surat Perintah 11 Maret. Soebandrio menyebutkan sekira pukul 21.00, Bung Karno mengirimkan surat kepada Soeharto yang menegaskan tugasnya hanya bersifat teknis untuk mengamankan ibukota. 
“Surat Perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk membubarkan PKI. Kok malah main tangkap,” kata Leimena kepada Soeharto sebagaimana dikutip Soebandrio dalam memoarnya.
Namun sama halnya seperti Supersemar, Surat Perintah 13 Maret tak pernah terendus keberadaan otentiknya. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, meski bersandar kepada kesaksian tunggal dan tidak ada bukti tertulisnya, Surat Perintah 13 Maret cukup masuk akal mengingat konteks sejarahnya bahwa Soeharto bertindak diluar wewenangnya.
“Bahwa Sukarno marah dan memanggil Soeharto ke Bogor ada informasi itu,” kata Asvi kepada Historia. “Tapi kenyataannya surat itu tidak pernah sampai ke tangan pers dan disiarkan. Kita juga tidak tahu apa surat pencabutan Supersemar itu betul-betul ada.”
Asvi mengatakan, kini Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sudah memasukkan Supersemar dalam Daftar Pencarian Arsip. Maka Surat Perintah 13 Maret bisa saja masuk agenda pencarian. Namun Asvi meragukan perihal Surat Perintah 13 Maret benar-benar ada.

Sumber: Historia