Martin Sitompul | 13 Maret 2018
Surat perintah
susulan dari Presiden Sukarno diterbitkan untuk merevisi Supersemar.
Keberadaannya juga samar-samar
Ilustrasi: Gungun Gunadi/Historia
SETELAH menerima Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal
Soeharto langsung bikin kejutan. Dalam Surat Keputusan Presiden No.1/3/1966
tertanggal 12 Maret 1966, Soeharto atas nama Presiden Sukarno mengeluarkan
perintah pertamanya: membubarkan PKI. RRI sejak siarannya yang pertama
mengudara pukul 06.00 pagi memberitakan keputusan ini seharian penuh.
“Pada hari itu juga timbul ketegangan yang luar biasa. Setelah mendengar siaran radio tersebut, Presiden Soekarno tampaknya marah dan telah memanggil semua Waperdam (wakil perdana menteri) ke Bogor,” ujar Maraden Panggabean dalam memoarnya Berjuang dan Mengabdi.
Di Istana Bogor, semua waperdam hadir: Soebandrio,
Johanes Leimena, dan Chairul Saleh. Turut serta pula A.M. Hanafi, Duta Besar
Indonesia untuk Kuba yang merupakan orang kepercayaan Sukarno. Menurut Hanafi,
tindakan Soeharto membubarkan PKI dinilai lancang oleh Sukarno. Bagi Sukarno,
pembubaran partai politik adalah hak prerogatif presiden dan bukan melalui
pemegang Mandat Supersemar. Dalam amatan Hanafi, Sukarno tampak gelisah dan
mengkhawatirkan aksi sepihak selanjutnya yang akan dilancarkan Soeharto.
“Soeharto bukan Wakil Presiden, dan saya tidak uzur. Saya tidak takut membubarka PKI kalau memang PKI yang memberontak, tapi harus jelas dulu apa itu GESTOK, yang jelas baru Aidit yang keblinger,” demikian perkataan Sukarno sebagaimana dikisahkan Hanafi dalam A.M. Hanafi Menggugat: Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar.
Sementara itu, di paviliun Istana yang lain, kesibukan
terjadi. Soebandrio dan Chairul Saleh sedang mempersiapkan Surat Perintah
Presiden tertanggal 13 Maret 1966. Surat yang panjanganya hanya separagraf itu
berisi tiga pokok penting: mengingatkan Soeharto bahwa Surat Perintah 11 Maret
hanya bersifat teknis administratif bukan politik; Soeharto tidak diperkenankan
bertindak melampaui bidang dan tanggungjawabnya dalam pemulihan keamanan;
Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah 11 Maret, diminta
pertanggungjawabannya dengan menghadap Presiden Sukarno
Sukarno kemudian mengutus Leimena ke Jakarta mengantarkan
Surat Perintah tersebut kepada Soeharto. Sementara di Istana Bogor, Surat
Perintah 13 Maret itu digandakan sebanyak lima ribu lembar dengan mesin stencil
Gestetner.
Sebagian akan dibawa oleh anggota Tjakrabirawa yang terpercaya ke
Jakarta. Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi bertanggung jawab mengenai
penyebarannya. Hanafi sendiri, menurut pengakuannya, mengambil beberapa
eksemplar untuk dibagi-bagikan kepada pemuda-pemuda Partindo supaya disebarkan.
Soeharto Menolak
Perintah
Deru helikopter mendekati Istana Bogor pukul 22.55 malam,
13 Maret 1966. Leimena kembali untuk melapor kepada Sukarno disertai dengan
Komandan KKO, Mayjen Hartono. Dengan nada pelan Leimena menuturkan isi
perjumpaannya dengan Soeharto.
“Surat perintah sudah saya sampaikan kepada Letnan Jenderal Soeharto … di tangannya sendiri,” ujar Leimena. Leimena menerangkan respon Soeharto terkait Surat Perintah susulan Bung Karno yang diperantarainya. Soeharto hanya membalas dengan dingin dan secukupnya.
Kata Soeharto, “Sampaikan kepada Presiden, semua tindakan yang saya lakukan adalah atas tanggung jawab sendiri.”
Soeharto juga mengatakan
bahwa dirinya berhalangan menghadap ke Bogor sehubungan dengan diadakannya
sidang lengkap Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Merdeka esok hari.
“Jenderal Hartono diam saja. Presiden pun diam dan kami pun terdiam semuanya. Oom Jo –panggilan Leimena– menunduk melihat ke lantai,” kenang Hanafi. “Masing-masing dengan perasaan terharu ditimpa tragedi yang sama.”
Jurnalis senior Kompas Julius Pour mencatat
dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, Soeharto
mengakui dirinya sengaja menolak permintaan Bung Karno. Alasannya, dalam Surat
Perintah 11 Maret yang dia terima tercantum kalimat, “untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu, demi tetap terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan.”
Dengan bermodal Supersemar, sudah cukup bagi Soeharto
jalan terus melanjutkan manuvernya. Di pihak lain, Presiden Sukarno menanti
dengan harap-harap cemas agar kekuasaannya tidak dipreteli.
Dimana Surat Itu?
Maraden Panggabean yang di era rezim Soeharto menjabat
Panglima ABRI, dalam memoarnya mengakui pengutusan Leimena menjumpai Soeharto
untuk mengoreksi Surat Perintah 11 Maret. Menurut Maraden misi Leimena ini
gagal, berhubung Soeharto tidak dapat meninggalkan kamar karena sakit. Leimena
akhirnya hanya membicarakannya melalui Brigjen Soetjipto, salah seorang staf
Komando Operasi Tertinggi (KOTI).
Soebandrio dalam memoarnya Yang Saya Alami Peristiwa
G30S: Sebelum, saat Meletus, dan Sesudahnya yang diterbitkan setelah rezim
Soeharto tumbang membenarkan pengakuan Hanafi. Surat Perintah 13 Maret
dikeluarkan setelah ada indikasi Soeharto menyeleweng dari amanat Surat
Perintah 11 Maret. Soebandrio menyebutkan sekira pukul 21.00, Bung Karno
mengirimkan surat kepada Soeharto yang menegaskan tugasnya hanya bersifat
teknis untuk mengamankan ibukota.
“Surat Perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk membubarkan PKI. Kok malah main tangkap,” kata Leimena kepada Soeharto sebagaimana dikutip Soebandrio dalam memoarnya.
Namun sama halnya seperti Supersemar, Surat Perintah 13
Maret tak pernah terendus keberadaan otentiknya. Menurut sejarawan Asvi Warman
Adam, meski bersandar kepada kesaksian tunggal dan tidak ada bukti tertulisnya,
Surat Perintah 13 Maret cukup masuk akal mengingat konteks sejarahnya bahwa
Soeharto bertindak diluar wewenangnya.
“Bahwa Sukarno marah dan memanggil Soeharto ke Bogor ada informasi itu,” kata Asvi kepada Historia. “Tapi kenyataannya surat itu tidak pernah sampai ke tangan pers dan disiarkan. Kita juga tidak tahu apa surat pencabutan Supersemar itu betul-betul ada.”
Asvi mengatakan, kini Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) sudah memasukkan Supersemar dalam Daftar Pencarian Arsip. Maka Surat
Perintah 13 Maret bisa saja masuk agenda pencarian. Namun Asvi meragukan
perihal Surat Perintah 13 Maret benar-benar ada.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar