Risa Herdahita Putri | Sabtu 11 Maret 2017 WIB
Supersemar bukan peralihan kekuasaan, tapi perintah pengamanan. Namun, Soeharto menggunakannya untuk merebut kekuasaan.
Diskusi bertajuk “Membaca Sejarah: 51 Tahun Supersemar vs 19 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan PARA Syndicate di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (10/3).
Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diberikan Presiden Sukarno kepada Mayjen TNI Soeharto merupakan tes kesetiaan. Hal itu dinyatakan Sukmawati Sukarnoputri saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Membaca Sejarah: 51 Tahun Supersemar vs 19 Tahun Reformasi” yang diselenggarakan PARA Syndicate di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (10/3).
“Jadi, sebetulnya bagi Bung Karno ini suatu surat tes. Soeharto ini sebenarnya masih mau patuh atau tidak dengan pemerintah,” ujar Sukmawati.
Sukmawati mengatakan bahwa isi surat itu salah satunya adalah untuk tetap patuh dalam bertindak dan bermusyawarah dengan para panglima, bukan hanya dengan Angkatan Darat. Namun, pada praktiknya, Soeharto lebih memilih bertindak sendiri.
“Praktiknya tidak begitu. Dia sudah mulai jalan sendiri tanpa ada musyawarah. Soeharto merasa sudah dipilih oleh Amerika untuk menggulingkan Sukarno. Jadi semacam gede kepala,” jelas Sukmawati.
Sukmawati mengingatkan bahwa Sukarno pernah berpidato yang mempertegas kedudukan surat perintah itu. Sukarno menjelaskan bahwa Supersemar bukanlah transfer kekuasaan.
“Ini memperjelas karena sudah ada tanda-tanda mereka (kubu Soeharto, red) maunya transfer kekuasaan,” tegasnya.
Namun, nyatanya pemerintahan Sukarno tetap berakhir dengan diberhentikan dan mandat kekuasaannya sebagai presiden dicabut oleh MPRS dengan alasan hukum dan politik.
Sukmawati menilai keputusan itu menyalahi aturan. Pasalnya MPRS tidak berwenang untuk mencabut jabatan presiden. Wewenang ini hanya dimiliki oleh MPR hasil pemilihan umum. Dia pun tak heran sampai kapan pun Supersemar akan selalu diperingati karena “Supersemar menjadi jimat bagi Soeharto untuk memperkuat kekuasaannya.”
Bonnie Triyana, Pimpinan Redaksi majalah Historia mengatakan bahwa kontroversi Supersemar tidak akan ada habisnya. Terutama soal keaslian surat, yang sampai kini ada tiga versi surat tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Ketiganya diragukan keasliannya.
“Memang yang tersimpan di Arsip Nasional sama-sama tidak jelasnya, sebagaimana peralihan kekuasaan itu sendiri,” kata Bonnie.
Namun menurut Bonnie, patokan keaslian isi surat tetap bisa diambil dari pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 yang menegaskan bahwa Supersemar bukanlah peralihan kekuasaan, namun perintah pengamanan.
Setelah surat itu terbit, Bonnie melanjutkan, perintah pertama Soeharto adalah membubarkan PKI, satu hal yang tidak akan pernah dilakukan oleh Bung Karno.
“Jadi, sebenarnya Soeharto itu menunggu Bung Karno untuk menyatakan pembubaran PKI,” jelasnya.
Peralihan kekuasaan itu melahirkan Orde Baru yang melakukan stigmatisasi terhadap PKI. Rezim ini juga melakukan penguasaan terhadap ingatan sejarah hingga hari ini. Oleh karena itu, kata Bonnie,
“Setelah 19 tahun Reformasi kerinduan terhadap Orde Baru masih muncul.”
Hal itu buntut dari monopoli ingatan. Salah satunya melalui kontrol media massa agar hanya memberitakan berita baik pemerintahan Soeharto untuk rakyat Indonesia.
“Sehingga kalau ditanya orang sekarang kebanyakan bilang enakan zaman Soeharto,” pungkas Bonnie.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar