Reporter: Iswara N Raditya | 06 Maret, 2018
Prijono, Menteri RI yang mendapat Penghargaan Internasional Stalin untuk Memperkuat Perdamaian antar-Manusia dari pemerintah Uni Soviet. Foto/Wikipedia
Tanggal 16 Maret 1966 atau empat hari setelah Soeharto mengantongi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Sukarno, terjadi penculikan terhadap sejumlah menteri yang dianggap pro-kiri, salah satunya adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono.
Kala itu, situasi negara, khususnya ibukota Jakarta, memang sedang gonjang-ganjing setelah tragedi berdarah 30 September 1965. Ganyang PKI menjadi tagline utama seiring digaungkannya Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang kian menggoyang kursi kekuasaan Bung Karno.
Kala itu, situasi negara, khususnya ibukota Jakarta, memang sedang gonjang-ganjing setelah tragedi berdarah 30 September 1965. Ganyang PKI menjadi tagline utama seiring digaungkannya Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang kian menggoyang kursi kekuasaan Bung Karno.
Kendati tidak terlibat langsung dengan PKI, Prijono memang terindikasi kiri. Ia adalah tokoh penting Partai Murba yang didirikan Tan Malaka. Prijono juga penyokong utama Manipol/USDEK (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) yang dicetuskan Presiden Sukarno.
Tiga tahun setelah penculikan itu, Prijono, doktor lulusan Universitas Leiden, penerima Penghargaan Perdamaian Stalin dari pemerintah Uni Soviet, serta mantan menteri berprinsip teguh itu, meninggal dunia pada 6 Maret 1969, tepat hari ini 49 tahun lalu.
Selain kuliah, menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Prijono aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Ia turut mendirikan Studentenvereeniging ter Bevordering van Indonesische Kunst (SVIK) atau Persatuan Pelajar/Mahasiswa untuk Memajukan Seni Indonesia di Belanda dan menjadi anggota kehormatan pada Maret 1938 (hlm. 284).
Di tanah air, Prijono menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Universitas Indonesia (UI). Capaian akademis itulah, seperti dikutip dari Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State karya Tod Jones (2013), yang menjadi pertimbangan Presiden Sukarno menunjuknya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak 14 Maret 1957 (hlm. 98).
Tiga tahun setelah penculikan itu, Prijono, doktor lulusan Universitas Leiden, penerima Penghargaan Perdamaian Stalin dari pemerintah Uni Soviet, serta mantan menteri berprinsip teguh itu, meninggal dunia pada 6 Maret 1969, tepat hari ini 49 tahun lalu.
Rekam Jejak Memukau
Prijono dilahirkan di Yogyakarta pada 20 Juli 1905. Sebelum Indonesia merdeka, ia lebih banyak berada di Eropa, menempuh studi di Universitas Leiden. Prijono pun menyandang titel profesor setelah menerima gelar doktor dalam bidang sastra dan linguistik dari perguruan tinggi ternama di Belanda itu.Selain kuliah, menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008), Prijono aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Ia turut mendirikan Studentenvereeniging ter Bevordering van Indonesische Kunst (SVIK) atau Persatuan Pelajar/Mahasiswa untuk Memajukan Seni Indonesia di Belanda dan menjadi anggota kehormatan pada Maret 1938 (hlm. 284).
Di tanah air, Prijono menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Universitas Indonesia (UI). Capaian akademis itulah, seperti dikutip dari Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State karya Tod Jones (2013), yang menjadi pertimbangan Presiden Sukarno menunjuknya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak 14 Maret 1957 (hlm. 98).
Rekam jejak Prijono amat memukau. Tak hanya di level nasional, akan tetapi juga di tataran internasional. Ia adalah Ketua Asosiasi Persahabatan Indonesia-Cina periode 1955-1957. Sebelumnya, 18 Desember 1954, Prijono dianugerahi The International Stalin Prize for Strengthening Peace Among Peoples atau Penghargaan Internasional Stalin untuk Memperkuat Perdamaian antar-Manusia dari pemerintah Uni Soviet.
Itu bukan prestasi sembarangan. Deretan tokoh besar dunia pernah juga mendapatkan penghargaan yang sejak 1957 berganti nama menjadi The International Lenin Peace Prize ini, termasuk Pablo Neruda, Nikita Khrushchev, Fidel Castro, Rameshwari Nehru, Kwame Nkrumah, Pablo Picasso, Indira Gandhi, hingga Nelson Mandela. Bung Karno juga pernah memperolehnya pada 1960.
Namun, segala prestasi yang pernah diraihnya dan jasa mengharumkan nama bangsa itu musnah begitu saja setelah peristiwa G30S. Soeharto memasukkan nama Prijono dalam daftar petinggi negara yang harus ditindak lantaran beraroma kiri, pendukung setia Sukarno pula.
Prijono menegaskan, kesenian bangsa Indonesia memang harus berupa kesenian nasional dalam rohnya, tetapi dalam bentuknya bisa berupa kesenian daerah (Pewarta PPK, 1958: 11). Rumusan Prijono ini menandai awal dari sebuah kebijakan yang menempatkan kesenian daerah sesuai dengan tujuan nasional dan perilaku masyarakat Indonesia.
Terhadap budaya dan kesenian dari negara-negara Barat, Prijono tidak sepenuhnya menolak. Ia mengambil sisi positifnya, namun tetap berusaha membangun kualitas moral bangsa yang tinggi, termasuk dengan menangkal kesenian yang disebutnya “penuh nuansa seks” dan bermuatan karakter moral yang rendah.
Itu bukan prestasi sembarangan. Deretan tokoh besar dunia pernah juga mendapatkan penghargaan yang sejak 1957 berganti nama menjadi The International Lenin Peace Prize ini, termasuk Pablo Neruda, Nikita Khrushchev, Fidel Castro, Rameshwari Nehru, Kwame Nkrumah, Pablo Picasso, Indira Gandhi, hingga Nelson Mandela. Bung Karno juga pernah memperolehnya pada 1960.
Namun, segala prestasi yang pernah diraihnya dan jasa mengharumkan nama bangsa itu musnah begitu saja setelah peristiwa G30S. Soeharto memasukkan nama Prijono dalam daftar petinggi negara yang harus ditindak lantaran beraroma kiri, pendukung setia Sukarno pula.
Perumus Kebudayaan Nasional
Saat masih berkuliah di Belanda, Prijono berusaha keras memajukan seni dan budaya daerah Indonesia. Itulah yang kemudian terus-menerus dilakukannya selama menjadi menteri. Menurutnya, kebudayaan daerah yang berkualitas tinggi akan memperkaya kebudayaan nasional.Prijono menegaskan, kesenian bangsa Indonesia memang harus berupa kesenian nasional dalam rohnya, tetapi dalam bentuknya bisa berupa kesenian daerah (Pewarta PPK, 1958: 11). Rumusan Prijono ini menandai awal dari sebuah kebijakan yang menempatkan kesenian daerah sesuai dengan tujuan nasional dan perilaku masyarakat Indonesia.
Terhadap budaya dan kesenian dari negara-negara Barat, Prijono tidak sepenuhnya menolak. Ia mengambil sisi positifnya, namun tetap berusaha membangun kualitas moral bangsa yang tinggi, termasuk dengan menangkal kesenian yang disebutnya “penuh nuansa seks” dan bermuatan karakter moral yang rendah.
Selain itu, Prijono sangat menjunjung tinggi persatuan kendati menekankan kebudayaan daerah. Menurutnya, komitmen harus diarahkan untuk bangsa, bukan untuk suku tertentu. “Kita harus, jika mungkin, menghapuskan kesadaran kesukuan dan meningkatkan kesadaran manusia ke tingkat bangsa,” tegasnya dalam “Nation Building and Education” (Herbert Feith & Lance Castles, eds., Indonesian Political Thinking 1945-1965, 1970: 328).
Prijono adalah salah satu loyalis Bung Karno yang paling setia. Saat presiden mencetuskan Manipol/USDEK pada 17 Agustus 1959 yang ditetapkan sebagai haluan negara, Prijono langsung merespons dan mengaitkan Manipol/USDEK dengan program-programnya di kementerian.
Kebudayaan bangsa Indonesia, menurut Prijono, merupakan sebuah sintesis dari berbagai unsur, mencakup Hindu, Islam, bahkan Barat, dan mengacu pada keberadaan kebudayaan daerah. Maka, lanjutnya, seperti dikutip Tod Jones, pembangunan bangsa memerlukan sintesis berbagai kebudayaan itu menjadi satu (hlm. 115).
Dalam Musyawarah Besar Kepribadian Nasional yang digelar di Salatiga, Jawa Tengah, pada Agustus 1960, Prijono menyatakan:
“Kita bisa dan kita harus membentuk identitas Indonesia modern, yang saya rasa belum terbentuk sedalam dan seluas sebagaimana mestinya, dengan menggunakan apa yang telah kita warisi dari nenek moyang kita, dengan cara yang konsisten, dengan Manifesto Politik dan USDEK” (Prijono, Sekitar Arti Kepribadian Nasional, 1960: 20).
“Dengan cara ini,” tambahnya, “identitas Indonesia modern akan menjadi identitas nasional Indonesia yang karakteristiknya diterima secara luas dan yang jiwanya sosialis.”
Di perjalanan karier politiknya, Prijono pernah bersinggungan dengan gerakan mahasiswa Islam sebelum G30S 1965 terjadi. Ia disebut-sebut mendukung pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diserukan oleh petinggi PKI, D.N. Aidit.
Prijono adalah salah satu loyalis Bung Karno yang paling setia. Saat presiden mencetuskan Manipol/USDEK pada 17 Agustus 1959 yang ditetapkan sebagai haluan negara, Prijono langsung merespons dan mengaitkan Manipol/USDEK dengan program-programnya di kementerian.
Kebudayaan bangsa Indonesia, menurut Prijono, merupakan sebuah sintesis dari berbagai unsur, mencakup Hindu, Islam, bahkan Barat, dan mengacu pada keberadaan kebudayaan daerah. Maka, lanjutnya, seperti dikutip Tod Jones, pembangunan bangsa memerlukan sintesis berbagai kebudayaan itu menjadi satu (hlm. 115).
Dalam Musyawarah Besar Kepribadian Nasional yang digelar di Salatiga, Jawa Tengah, pada Agustus 1960, Prijono menyatakan:
“Kita bisa dan kita harus membentuk identitas Indonesia modern, yang saya rasa belum terbentuk sedalam dan seluas sebagaimana mestinya, dengan menggunakan apa yang telah kita warisi dari nenek moyang kita, dengan cara yang konsisten, dengan Manifesto Politik dan USDEK” (Prijono, Sekitar Arti Kepribadian Nasional, 1960: 20).
“Dengan cara ini,” tambahnya, “identitas Indonesia modern akan menjadi identitas nasional Indonesia yang karakteristiknya diterima secara luas dan yang jiwanya sosialis.”
Di perjalanan karier politiknya, Prijono pernah bersinggungan dengan gerakan mahasiswa Islam sebelum G30S 1965 terjadi. Ia disebut-sebut mendukung pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diserukan oleh petinggi PKI, D.N. Aidit.
Dalam suatu forum terbuka di Senayan, dikutip dari buku Pemuda dan Politik: Pertanggungjawaban atas Agenda Reformasi terbitan DPD KNPI Sulawesi Selatan (2005), Aidit menyerukan:
“Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadap HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa Indonesia yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersamaan dengan bubarnya Masyumi” (hlm. 45).
Seperti diungkapkan Sulastomo, Ketua Umum PB HMI saat itu, dalam Hari-hari yang Panjang: Transisi Orde Lama ke Orde Baru (2008), HMI kemudian menggelar aksi unjuk rasa yang salah satu tuntutannya mendesak Sukarno untuk mencopot Prijono dari jabatan menteri. Bung Karno sendiri kemudian menolak pembubaran HMI, tetapi juga tidak mengganti Prijono (hlm. 85).
Sejak saat itu, Prijono menjadi salah satu bidikan utama gerakan mahasiswa Islam, yang kemudian benar-benar dieksekusi beberapa bulan setelah seruan Aidit tersebut. Menteri Prijono diculik sekelompok aktivis mahasiswa Islam yang mendapat dukungan dari Soeharto.
Ini berlaku pula bagi Prijono. Ia memang bukan anggota PKI, tetapi partainya yang sosialis, Murba, terlanjur dianggap pro-PKI. Terlebih lagi, citra PKI dan Murba lekat sebagai pendukung Sukarno. Maka, Soeharto pun memasukkan nama Prijono ke dalam daftar pejabat tinggi yang harus ditangkap.
Pada 16 Maret 1966, Prijono dicokok. Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986: 215) menyebutkan, selain Prijono, ada tiga petinggi negara lainnya yang diciduk di hari yang sama, yakni Soedibjo (Menteri Negara Front Nasional), Astawinata (Menteri Kehakiman), serta I Gusti Gede Subarnia (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong).
“Seharusnya tidak ada plintat-plintut terhadap HMI. Saya menyokong penuh tuntutan pemuda, pelajar, dan mahasiswa Indonesia yang menuntut pembubaran HMI, yang seharusnya sudah lama bubar bersamaan dengan bubarnya Masyumi” (hlm. 45).
Seperti diungkapkan Sulastomo, Ketua Umum PB HMI saat itu, dalam Hari-hari yang Panjang: Transisi Orde Lama ke Orde Baru (2008), HMI kemudian menggelar aksi unjuk rasa yang salah satu tuntutannya mendesak Sukarno untuk mencopot Prijono dari jabatan menteri. Bung Karno sendiri kemudian menolak pembubaran HMI, tetapi juga tidak mengganti Prijono (hlm. 85).
Sejak saat itu, Prijono menjadi salah satu bidikan utama gerakan mahasiswa Islam, yang kemudian benar-benar dieksekusi beberapa bulan setelah seruan Aidit tersebut. Menteri Prijono diculik sekelompok aktivis mahasiswa Islam yang mendapat dukungan dari Soeharto.
Diculik Mahasiswa Suruhan Tentara
Tragedi G30S 1965 membalikkan arah angin politik nasional. Orang-orang kiri yang semula mendapatkan tempat di pemerintahan maupun sektor-sektor lain, citranya anjlok secara drastis, bahkan menjadi buruan Soeharto dengan berbekal surat saktinya, Supersemar.Ini berlaku pula bagi Prijono. Ia memang bukan anggota PKI, tetapi partainya yang sosialis, Murba, terlanjur dianggap pro-PKI. Terlebih lagi, citra PKI dan Murba lekat sebagai pendukung Sukarno. Maka, Soeharto pun memasukkan nama Prijono ke dalam daftar pejabat tinggi yang harus ditangkap.
Pada 16 Maret 1966, Prijono dicokok. Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986: 215) menyebutkan, selain Prijono, ada tiga petinggi negara lainnya yang diciduk di hari yang sama, yakni Soedibjo (Menteri Negara Front Nasional), Astawinata (Menteri Kehakiman), serta I Gusti Gede Subarnia (Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong).
Para pelaku penculikan itu adalah sejumlah mahasiswa anggota Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim. Laskar ini diambil dari nama seorang aktivis yang tewas tertembak saat aksi unjuk rasa Tritura pada 24 Februari 1966.
Sebelum penangkapan, harus dilakukan "penciptaan kondisi" terlebih dulu. Untuk itu, Angkatan Darat di bawah kendali Soeharto meminjam tangan kaum muda, terutama dari gerakan mahasiswa Islam yang memang sangat vokal menuntut pembubaran PKI dan masih menyimpan “dendam” terhadap Prijono, untuk bertindak.
Harold menyebut nama dua petinggi Angkatan Darat, Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo, berperan besar dalam mengorganisir mahasiswa untuk menciduk menteri-menteri Kabinet Dwikora yang dicap pro-kiri. Mereka yang diculik, termasuk Prijono, kemudian dibawa ke Mabes Kostrad (hlm. 215).
Dua hari setelah penculikan Prijono, Soeharto baru mengeluarkan surat perintah resmi. Pada 18 Maret 1966, seperti dicatat Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) dan tank-tank berjajar di jalan-jalan sekitar istana. Mereka ditugaskan untuk menangkap 15 orang pejabat tinggi negara yang daftar namanya telah disiapkan oleh Soeharto (hlm. 961).
Dengan surat resmi itu, status Prijono bukan lagi “korban penculikan”, tetapi sudah menjadi tahanan pemerintah. Meskipun Sukarno masih menjabat sebagai presiden, tetapi pengaruhnya kian meluruh. Sebaliknya, Soeharto semakin kuat setelah mendapatkan Supersemar yang kemudian ditetapkan sebagai Tap MPR.
Sukarno murka atas tindakan Soeharto tersebut. Menurut Bung Karno, sebagaimana dicatat dalam Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (2007) terbitan Lembaga Analisis Informasi, Soeharto meminta izin kepadanya untuk mengawal sejumlah menteri yang diperkirakan akan menjadi sasaran demonstrasi. Namun, Soeharto justru menjebloskan menteri-menteri itu ke bui (hlm. 31).
Karier politik Prijono—anak bangsa yang pernah mengharumkan nama Indonesia dan turut membentuk identitas kebangsaan—dipastikan berakhir sejak saat itu. Begitu pula kehidupannya sebagai orang bebas, .
Prof. Dr. Prijono meninggal dunia mendadak pada 6 Maret 1969. Sumber dari pemerintah Orde Baru menyebutnya terkena serangan jantung (S. Sumardi, Menteri-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Tahun 1966, 1984: 15).
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini meninggalkan seorang istri, beserta anak semata wayangnya, yakni Lemboe Amiloehoer Prijawardhana atau yang nantinya lebih kondang dengan nama Ami Priyono. Ia adalah sutradara sekaligus aktor terkemuka pada era 1970 hingga 1990-an.
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar