Martin Sitompul
Sukarno masih perkasa namun tak ingin menumpahkan darah demi kekuasaan. Sementara Soeharto berani melakukannya.
Presiden Sukarno melantik Letnan Jenderal Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, 16 Oktober 1965. Foto: IPPHOS.
Di kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto adalah pahlawan. Kendati demikian, kepopuleran Soeharto tak mencegah para aktivis KAMI mendatangi rumahnya dan melayangkan protes. Mereka kecewa karena Soeharto tak melakukan apapun untuk mencegah pembubaran KAMI oleh Presiden Sukarno.
Pada 20 Februari 1966, Soeharto menerima beberapa pentolan KAMI di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim. Mereka mempertanyakan alasan mengapa Soeharto membiarkan KAMI dibubarkan. Salah seorang aktivis, Jusuf Wanandi –kelak menjadi pendiri CSIS– mencatat pembicaraan yang terjadi dalam memoarnya Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998.
“Jawaban Soeharto sangat tegas,” ujar Jusuf Wanandi. “Kalau kalian ingin saya memimpin, kalian ikuti cara saya,” demikian kata Soeharto. Perkataan selanjutnya yang menohok batin aktivis mahasiswa itu terlontar pula dari mulut Soeharto. “Memangnya KAMI itu sakral? Sekali-sekali, kita harus bergerak ke samping. Kalau kalian tidak dapat mengikuti saya, silakan benturkan kepala kalian ke tembok.”
Nada ketus dari pernyataan Soeharto menyiratkan dilema yang sedang dihadapinya. Menurut Jusuf, Soeharto sedang menyiapkan langkah demi langkah dalam pertarungan politik saat itu. Tak semua jenderal percaya Soeharto mengingat dia pernah terkucilkan di kalangan perwira tinggi Angkatan Darat.
Soeharto juga tahu bahwa Sukarno masih kuat di kalangan Angkatan Bersenjata dan kharismanya masih memikat di mata rakyat. Maka dari itu, Soeharto memerlukan mahasiswa untuk turun ke jalan. Untuk kepentingan menyudutkan Sukarno, mereka dapat diandalkan sebagai kekuatan “pendobrak” .
“Sementara ruang gerak Soeharto terbatas. Satu tusukan dari belakang, tamatlah riwayatnya karena ada jenderal-jenderal lain yang tak suka padanya,” ujar Jusuf.
Menolak Perang
Menurut pakar politik-militer Salim Haji Salid, Soeharto – dengan dukungan masyarakat anti komunis – nyaris tak menemukan hambatan dalam menghadapi dan menghancurkan PKI dalam waktu singkat. Namun ceritanya berbeda tatkala berhadapan dengan Presiden Sukarno. Bahkan, pasukan-pasukan Angkatan Darat tak semuanya dapat dikuasai Soeharto. Apalagi angkatan lainnya.
Di ranah militer, kekuatan tentara di belakang Sukarno bisa saja melucuti Soeharto dan kelompok pendukungnya seketika. Di tubuh Angkatan Darat masih terdapat panglima-panglima teritorial yang meskipun anti-komunis, namun pendukung setia Sukarno. Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie dan Panglima Kodam Jaya Brigjen Amir Machmud merupakan duo jenderal Angkatan Darat yang merepresentasikan kelompok ini
Angkatan Udara berkekuatan 36.000 pasukan di bawah Marsekal Omar Dhani masih merupakan kekuatan yang loyal terhadap Bung Karno. Kepolisan dengan 125.000 personel yang dipimpin Jenderal Soetjipto Joedodihardjo juga pro Sukarno dan kurang senang di bawah Angkatan Darat. Sementara Angkatan Laut di bawah Laksamana Martadinata semula bersikap netral tetapi menjadi pro Sukarno ketika dipimpin Muljadi. Adapun tentara Angkatan Laut berjumlah 44.000 yang separuhnya merupakan korps marinir KKO.
“Tapi yang paling menonjol diantara yang banyak itu adalah komandan KKO merangkap Wakil Panglima Angkatan Laut, Letnan Jenderal Hartono,” tulis Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto.
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri Sukarno yang ditangkap atas perintah Soeharto dalam memoarnya mengatakan, para panglima loyalis pemanggul senjata itu sungguh menghendaki Sukarno mengeluarkan perintah tempur.
Keinginan melancarkan serangan balik muncul karena gelagat pembangkangan yang diperlihatkan Soeharto. Pasalnya, setelah menerima mandat Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966, Soeharto bertindak sepihak dengan membubarkan PKI dan menggusur menteri-menteri loyalis Sukarno (Baca: Meringkus Loyalis Sukarno).
Di Jakarta, pasukan KKO, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI, dan Brimob telah siap turun membela Sukarno. Mereka semua menunggu instruksi Presiden untuk bertindak.
“Dan instruksi itu… tak kunjung datang,” ujar Oei kepada Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno.
Menurut Oei, berdasarkan penuturan orang-orang sekeliling Sukarno, Si Bung sangat khawatir melihat perang saudara terjadi di Indonesia sebagaimana Vietnam dan Korea.
“Bung Karno yang marah bila melihat orang menangkap burung dan mengurungnya, melarang keras menangkap apalagi menembak seekor menjangan di halaman Istana, memang tak bisa melihat darah Indonesia mengalir karena pertarungan antar sesama bangsa sendiri,” tutur Oei.
Merangkul Tangan Pemukul
Jelang pemandatan SP 11 Maret, Soeharto menggunakan jasa tiga perwira berhaluan sama: anti PKI dan anti Sukarno. Mereka adalah Panglima Kostrad Kemal Idris, Komandan RPKAD (kini Kopassus) Sarwo Edhie Wibowo, dan Hartono Rekso Dharsono, perwira dari Kodam Siliwangi. Ketiganya memainkan peran masing-masing di masa transisi peralihan kekuasaan.
Sarwo Edhie menghajar PKI berikut simpatisannya lewat serangkaian penangkapan hingga pembantaian. Kemal Idris melindungi aksi demonstrasi mahasiswa yang gencar menyerukan pelengseran Sukarno sebagai presiden.
Dharsono menggalang kekuatan politik di kalangan Angkatan Darat untuk mendukung Soeharto
“Soeharto mungkin memberikan kebebasan kepada Kemal dan Sarwo untuk melakukan apa saja yang mereka anggap baik untuk memanaskan suasana, asalkan apa yang mereka kerjakan tidak menyangkut-pautkan Soeharto,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia. “Strategi Soeharto adalah untuk memberi kesan bahwa ia telah kehilangan kontrol terhadap pasukannya yang dipimpin oleh para komandan radikal.”
Setelah menggenggam SP 11 Maret, Soeharto kian di atas angin. Namun dia sadar betapa sukar menghadapi Sukarno secara terbuka. Masih diperlukan waktu dua tahun lagi bagi Soeharto untuk menyempurnakan penguasaannya atas tentara.
Crouch mencatat, setelah penangkapan 15 menteri, terjadi pembersihan besar-besaran di tubuh Angkatan Bersenjata. Yang paling besar menerpa Angkatan Udara sedangkan pembersihan skala kecil terjadi di Kepolisian dan Angkatan Laut. Sementara pasukan pengawal presiden, Resimen Tjakrabirawa dibekukan. Semua perwira beraliran Sukarnois dicopot dan disingkirkan dalam kerangkeng penjara. Tak pelak, Presiden Sukarno kehilangan pelindungnya.
“Soeharto akhirnya berhasil berdiri tegak sebagai Panglima Angkatan Darat dan Ketua ‘Partai Tentara’. Dari posisi kuat seperti itulah secara berangsur Soeharto memenangkan pertarungan politik melawan Presiden Sukarno,” tulis Salim.
Pada 1968, Soeharto melakukan pukulan pamungkas. Sidang Umum V MPRS secara bulat memilih dan mengangkat dirinya menjadi Presiden RI menggantikan Sukarno. Selama 30 tahun kemudian, Sang Jenderal tampil dan bertakhta pada singgasana kekuasaan tertinggi Indonesia.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar