Martin Sitompul Kamis 15 Maret 2018 WIB
Supersemar juga dijadikan alat untuk menangkap 15 menteri pendukung Sukarno. Sisi kelam menjelang terbitnya Orde Baru.
Soebandrio, salah satu loyalis Sukarno yang ditangkap.
Foto: Arsip Nasional Belanda.
CHAERUL Saleh tak
pernah menyangka, tanggal 18 Maret 1966 menjadi hari Jumat petaka dalam
hidupnya. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III merangkap Ketua MPRS itu masuk
dalam daftar menteri yang ditangkap atas perintah Letjen TNI Soeharto. Kepada
rekannya Mohammad Achadi yang menjabat Menteri Transmigrasi dan Koperasi,
Chaerul berujar tanpa curiga mengenai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
“Tiga jenderal itu kan kawan-kawan kita sendiri. Masa tidak percaya?” kata Chaerul Saleh sebagaimana dikutip Achadi dalam Kabut G30S. Ketiga jenderal yang dimaksud adalah Amirmachmud, Basuki Rachmat, dan M. Jusuf. Merekalah yang menyampaikan Supersemar kepada Soeharto. Dengan surat itu, Soeharto punya kuasa bertindak apa saja dalam pemulihan keamanan pasca Gerakan 30 September 1965.
Sebelum
ditangkap, Chaerul sempat berpidato di corong radio membacakan pengumuman
presiden yang mengecilkan arti Supersemar. Karena sikap politiknya yang
terkesan sejajar dengan Sukarno, Chaerul akhirnya ikut “diamankan” bersama para
menteri lainnya. Semuanya berjumlah 15 menteri.
Mereka antara
lain: Soebandrio (Waperdam I merangkap menteri luar negeri dan ketua Badan
Pusat Intelijen Indonesia), Chaerul Saleh (Waperdam III merangkap ketua MPRS),
Surachman (menteri pengairan rakyat dan pembangunan desa), Setiadji Reksoprodjo
(menteri urusan listrik dan ketenagaan), Oei Tjoe Tat (menteri negara yang
diperbantukan pada presidium kabinet), Jusuf Muda Dalam (menteri urusan Bank
Sentral merangkap gubernur Bank Indonesia), Mayjen TNI Achmadi (menteri
penerangan), Mohammad Achadi (menteri transmigrasi dan koperasi), Soemardjo
(menteri pendidikan dasar dan kebudayaan), Armunanto (menteri pertambangan),
Sutomo Martopradoto (menteri perburuhan), Astrawinata (menteri kehakiman), J.
Tumakaka (menteri sekretaris jenderal Front Nasional), Mayjen TNI Soemarno
Sastroatmodjo (menteri dalam negeri merangkap gubernur DKI Jakarta), Letkol
Imam Sjafei (menteri khusus urusan keamanan).
Alasan Penangkapan
Penangkapan
sejumlah menteri merupakan kejutan kedua setelah Soeharto menerima Supersemar.
Soeharto memerintahkan operasi “pengamanan” dengan dalih keselamatan diri para
menteri dari amukan demonstran. Dalam pidato yang disiarkan RRI, Soeharto
menempatkan para menteri itu dalam tiga macam kategori. Pertama, mereka yang
mempunyai hubungan dengan PKI atau G30S dengan indikasi yang cukup. Kedua,
mereka yang kejujurannya dalam membantu presiden diragukan. Dan ketiga, mereka
yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas penderitaan
rakyat.
Dalam
disertasinya di Monash University, Australia, Harold Crouch menggolongkan
Soebandrio, Astrawinata, Oei Tjoe Tat, Setiadi Reksoprodjo dalam kategori
pertama. Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam termasuk kategori ketiga. Menilik
peran dan afiliasinya secara khusus, Chaerul, Achmadi, Achadi, dan Tumakaka
telah berperan dalam pengorganisasian Barisan Sukarno. Sutomo Martopradoto, Oei
Tjoe Tat, dan Armunanto adalah anggota nasionalis-kiri Partindo. Surachman,
sekretaris jenderal PNI merupakan sayap kiri dalam partainya. Sepasang perwira
Angkatan Darat, Sumarno dan Sjafei dinilai lebih loyal kepada Presiden Sukarno
ketimbang Panglima Angkatan Darat.
“Dapat dikatakan, semua ditahan karena kesungguhan mereka membantu presiden dan bukannya kegagalan mereka yang menyebabkan mereka ditangkap,” tulis Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.
“Semuanya, kelima belas orang itu, mendukung presiden dalam usahanya mengembalikan tentara di bawah kontrolnya.”
Soebandrio dan
Achadi merupakan dua dari lima belas menteri yang mampu melewati masa sulit
penahanan. Di usia senjanya, mereka masih sempat menuangkan kesaksian dalam
bentuk buku dan memoar. Menurut Achadi, dengan ditangkapnya para menteri,
Presiden Sukarno sedang dipojokkan secara taktis. Bung Karno kehilangan
kekuatan-kekuatan pendukungnya yang “dilumpuhkan” justru dengan menggunakan
Supersemar itu.
“Ini juga merupakan langkah pembubaran Pemerintahan Sukarno dan diganti dengan para menteri yang pro-modal asing (Nekolim),” ujar Achadi.
Sementara
Soebandrio meyakini tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri
adalah serangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Menurutnya “kudeta
merangkak” yang dilancarkan Soeharto terdiri dari empat tahap. Pertama,
menyingkirkan para jenderal pesaing dalam operasi G30S. Kedua, memperoleh Supersemar
yang menjadi dasar pembubaran PKI. Ketiga, penangkapan 15 menteri yang loyal
kepada Bung Karno. Keempat, mengambilalih kekuasaan dari Bung Karno.
“Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI -tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa,” ujar Soebandrio dalam manuskrip memoar Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S. “Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.”
Pencidukan
Pada 16 Maret
1966, tuntutan untuk menangkap para menteri bergaung keras dari kalangan
Angkatan Darat maupun demonstrasi mahasiswa. Tanggal 17, seorang menteri
tertawan oleh para pelajar KAPPI sedangkan sembilan yang lain mengungsi ke
Istana. Kolonel Sarwo Edhie dari RPKAD ditugaskan untuk menangkap mereka.
Pasukan RPKAD telah diperintahkan untuk mengepung Istana. Sementara Panglima
Kodam Jakarta Raya, Amirmachmud diberi tugas khusus untuk meringkus Soebandrio.
“Semua aparat ABRI, terutama yang bersimpati kepada perjuangan Orde Baru, dikerahkan untuk mencari dan menangkap mereka. Kodam V/Jaya sudah tentu mendapat tugas itu pula,” kata Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang.
Pada 18 Maret,
Angkatan Darat dengan mudah menangkap mereka. Hampir semua menteri dapat diciduk
tak lama setelah perintah penangkapan diumumkan. Achadi ditangkap pada 3 Mei
1966. Sedangkan Surachman melarikan diri dan terbunuh di Blitar Selatan dalam
“Operasi Trisula” pimpinan Mayor Jenderal M. Jasin pada 1968.
Chaerul Saleh
menjadi salah satu korban penangkapan yang mengalami akhir hidup mengenaskan
dalam status tahanan politik. Di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo,
Chaerul mendadak meninggal dunia karena serangan jantung pada 8 Februari 1967.
Menurut kesaksian
Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, yang juga ditahan di RTM
yang sama, pagi itu dia mendatangi kamar Chaerul Saleh dan menemukan tokoh
pejuang itu duduk diatas pispot namun sudah tak bernyawa. Hingga saat ini,
meski rezim Soeharto telah tumbang, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah
mengenai alasan penahanannya.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar