Tampilkan postingan dengan label Kliping #65. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kliping #65. Tampilkan semua postingan
Selasa, 24 Maret 2020
Kebenaran di masa korona: Hari internasional tentang hak atas kebenaran, martabat korban
Jakarta / Sel, 24 Maret 2020 / 02:46 siang
Galuh Wandita*
Direktur di Asia Justice and Rights (AJAR)
Komisi
Nasional untuk Kamar Pengaduan Hak Asasi Manusia. (JP / Dhoni Setiawan)
Dalam beberapa minggu
terakhir, kami telah ditangkap oleh narasi tunggal kelangsungan hidup kami
melawan COVID-19. Ini adalah waktu
introspeksi, waktu untuk melihat fakta-fakta sulit dan mempelajari pelajaran
dari masa lalu.
Hari Internasional untuk Hak
Kebenaran dan Martabat Korban jatuh pada tanggal 24 Maret — hari untuk
mengingat kebenaran tentang pelanggaran HAM berat- - yang menjadi korban, apa
akar masalahnya, bagaimana pelanggarannya menjadi begitu masif dan bagaimana Apakah
kita sebagai masyarakat berurusan dengan mereka.
Ini juga merupakan kesempatan
untuk merenungkan bagaimana pelajaran-pelajaran dari masa lalu dapat membantu
kita dalam menghadapi tantangan utama yang kita hadapi saat ini. Anda tidak dapat memecahkan masalah atau mencoba untuk
menyembuhkan tanpa berani menghadapi kebenaran objektif. Penyimpangan fakta hanya bisa membuat masalah menjadi
lebih buruk dalam jangka panjang.
Pengalaman kami tentang
pelanggaran massal di Asia telah menunjukkan hubungan antara kesehatan dan hak
asasi manusia: bagaimana situasi pelanggaran massa menyoroti dampak sosial,
ekonomi dan kesehatan yang mengerikan. Contohnya
termasuk kelaparan besar di Cina (1948), Timor Leste (1978-1979), ratusan
kematian akibat malaria di antara para tahanan politik yang dipenjara di Pulau
Buru (1968-1978) dan kematian karena kelaparan dan penyakit di ladang-ladang
pembunuhan di Kamboja (1975-1979). Mereka juga termasuk, ancaman penyakit yang
berkelanjutan di antara para pengungsi dan pengungsi internal yang tinggal di
kamp-kamp di Nduga di Papua, kepada 1 juta pengungsi Rohingya dari Rakhine di
Cox's Bazaar, Bangladesh.
Amartya Sen, peraih Nobel
untuk Ilmu Ekonomi (1998), telah menulis tentang bagaimana kurangnya demokrasi -
ditunjukkan oleh pembuatan dan penegakan kebijakan yang buruk - dapat menjadi
faktor pendukung kelaparan, seperti yang disebutkan di atas.
Pada 2010, Majelis Umum PBB
memutuskan bahwa 24 Maret adalah hari untuk memperingati hak atas kebenaran dan
martabat para korban pelanggaran HAM berat. Hari itu menandai pembunuhan tahun 1980 oleh Uskup Agung
Oscar Romero dari San Salvador, seorang pembela kaum miskin yang berani
berbicara menentang regu kematian yang terkait dengan junta militer pada waktu
itu.
Hari ini juga merupakan hari
yang penting bagi Indonesia, karena kita merenungkan masa lalu kita yang tidak
terhitung. Lebih dari dua dekade
dalam reformasi kita, kita masih tidak tahu berapa banyak orang yang
tewas selama pembunuhan 1965-1966, dan berapa banyak lagi yang mati karena
penyakit dan kelaparan di kamp-kamp dan penjara-penjara di seluruh Indonesia.
Tidak ada perhitungan resmi
tentang bagaimana kita sebagai masyarakat membiarkan pembunuhan massal ini
terjadi. Apa kebijakan dan
penghilangan yang diizinkan untuk dibentuk, sehingga penahanan massal dan
pembunuhan dapat terjadi tanpa hukuman?
Selama 34 tahun pemerintahan
Soeharto, anak-anak sekolah diminta menonton film yang menggambarkan versi
tertentu dari peristiwa-peristiwa itu. Saya
ingat, sebagai siswa kelas enam, melakukan perjalanan sekolah ke berbagai
museum dan situs untuk menyaksikan ketidakbenaran yang telah dilatih dengan
baik ini. Sarjana tidak diizinkan
untuk meneliti acara ini dan buku-buku dilarang. Sayangnya, ini bukan satu-satunya bab berdarah.
Dari sudut terjauh negeri ini,
dari Papua hingga Aceh, kekerasan digunakan sebagai alat untuk menekan
perbedaan pendapat, dan menutupi kejahatan, pencurian, dan pelanggaran massal. Sejarah kita dipenuhi dengan para pahlawan yang tak
terucapkan, orang-orang yang membela hati nurani mereka dan secara brutal
dibungkam.
Setelah jatuhnya Soeharto pada
tahun 1998, beberapa korban mulai berbicara tentang apa yang terjadi pada
mereka. Tetapi tanggapan resmi telah
menjadi memekakkan telinga memekakkan telinga. Dengan pencabutan undang-undang komisi kebenaran, belum
ada kebijakan resmi untuk menangani kebenaran sulit ini. Indonesia mengesahkan undang-undang untuk membentuk komisi
kebenaran pada tahun 2004, tetapi hukum tersebut dibatalkan dua tahun kemudian
- tanpa dilaksanakan.
Sementara itu, komisi
kebenaran lokal di Aceh, yang didirikan berdasarkan Perjanjian Damai Helsinki,
telah mengumpulkan lebih dari 3.000 pernyataan, dan melakukan audiensi publik
untuk ratusan orang yang selamat. Di
Papua, di bawah undang-undang otonomi khusus lainnya, janji komisi kebenaran
telah bertahan lama dan sebagian besar ditinggalkan.
Pekan lalu, Jaksa Agung
kembali ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang dokumen pembunuhan Paniai
2014. Pepatah lama bahwa sejarah
akan diulang berdering benar dalam situasi ini.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo
penuh dengan pandemi saat ini. Di
masa-masa ketidakpastian ini, kita harus memberi perhatian khusus kepada yang
paling rentan — di antara mereka ada ribuan lansia yang selamat dari pelanggaran
HAM. Kita harus ingat bahwa selama
masa-masa kelam itu negara mengabaikan tugas utamanya untuk melindungi mereka. Banyak korban hidup dalam kemiskinan ekstrem dan masih
mengalami dampak stigmatisasi sosial.
Hukum internasional menetapkan
bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang
terjadi pada para korban yang tidak bersalah; kita perlu mengingat dan memenuhi tugas itu. Tentu saja, kita perlu memikirkan cara-cara baru untuk
mengumpulkan dan mengarsipkan cerita dari masa lalu kita, dengan menggunakan
teknologi online baru yang dikombinasikan dengan pendekatan akar rumput yang
telah teruji oleh waktu.
Kita perlu menjangkau mereka
yang telah terpinggirkan. Ini juga
diperlukan untuk penyembuhan sosial dan moral, untuk membangun masyarakat yang
lebih adil, bermoral dan berbelas kasih.
Hari ini hidup dan pekerjaan
kita dipenuhi dengan prioritas baru yang mendesak. Namun, penting bahwa pada hari internasional hak atas
kebenaran, kita ingat bahwa kebenaran perlu diungkap, dibagikan, dibahas, dan
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan yang baik. Ini selalu benar dan benar hari ini karena kami berjuang
untuk melindungi yang paling rentan dalam konteks yang berubah dengan cepat.
Penyimpangan kebenaran pasti
menyebabkan kegagalan untuk melindungi mereka yang membutuhkan. Waktu kita singkat. Ada pelajaran dari masa lalu kita yang memegang kunci
untuk kelangsungan hidup kita bersama.
***
Direktur
Asia Justice and Rights (AJAR). Ia juga seorang penasihat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
Penafian: Pendapat yang dikemukakan dalam artikel
ini adalah dari penulis dan tidak mencerminkan sikap resmi The Jakarta Post.
https://www.thejakartapost.com/academia/2020/03/24/truth-in-the-time-of-corona-international-day-on-right-to-truth-dignity-of-victims.html
Kamis, 12 Maret 2020
Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Kamis, 12 Maret 2020
RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, M. Mahfud MD bertemu Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Mualimin Abdi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU KKR merupakan salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang masuk kategori RUU Kumulatif Terbuka usulan pemerintah.
Setelah RPTM, tahap selanjutnya ialah menyampaikan permohonan izin prakarsa dan kumulatif terbuka kepada presiden. Setelah disetujui, tambah dia, Presiden Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (Surpres) RUU KKR ke DPR.
Seperti diketahui, pembentukan RUU KKR ini merupakan salah satu yang pernah direkomendasikan Komnas HAM kepada Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.
Menurut Komnas HAM, meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dibatalkan), bukan berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum, Presiden dapat (sementara) mengeluarkan Perppu mengenai KKR.
Selain itu, Komnas HAM meminta Presiden tetap memastikan agar Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan yang telah dituntaskan Komnas HAM sebelumnya.
Dalam perkembangannya, RUU KKR sempat menimbulkan perdebatan karena sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, tetap menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Namun, ada alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial.
Tahun lalu, Komnas HAM mencatat dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi (periode I) tidak ada upaya serius untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Anam mencatat narasi yang berkembang mengarahkan penyelesaian kasus itu melalui rekonsiliasi atau mekanisme lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Mengacu hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Oktober-September 2019 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, salah satu hasilnya menunjukan lebih dari 90 persen responden menginginkan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan.
RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial.
Sejumlah korban kasus Talangsari Lampung 1989 saat berunjuk rasa di depan Kejagung, Jakarta. Mereka menuntut Kejagung segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi 25 tahun lalu dan menghilangkan 426 nyawa. Agus Sahbani/ANT
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, M. Mahfud MD bertemu Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen HAM Kemenkumham) Mualimin Abdi yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU KKR merupakan salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang masuk kategori RUU Kumulatif Terbuka usulan pemerintah.
"Kami diperintahkan Pak Menko untuk mendalami informasi yang berkembang di kawan-kawan Civil Society Organization (CSO), tokoh-tokoh gitu, kan memang yang akan kita ke depankan masalah pemulihan (keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, red)," kata Mualimin Abdi di Kantor Kemenkopolhukam Jakarta, Kamis (12/3/2020) seperti dikutip Antara.Dia mengatakan pembahasan RUU KKR ini untuk mendalami mengenai penyempurnaan draf RUU KKR. Menurut dia, RUU KKR sebagai payung hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat pada masa lalu melalui jalur nonyudisial.
"Memang tujuannya itu, penyelesaian yang sifatnya non-yudisial, pemulihan untuk korban," kata dia.Mualimin menegaskan skema nonyudisial itu akan ditujukan kepada korban pelanggaran HAM masa lalu yang sudah terdata oleh Komnas HAM ataupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Di sisi lain, Mualimin juga mengungkapkan saat ini draf RUU KKR belum tuntas karena masih memerlukan perbaikan.
"Kita kan masih bekerja terus ya, perbaikan-perbaikan, mana yang paling baik," ungkapnya.Dalam kesempatan itu, Mualimin menuturkan Menkopolhukam Mahfud MD akan mengadakan rapat pimpinan tingkat menteri atau RPTM untuk membahas RUU KKR tersebut. "Pak Menko minggu depan mau mengadakan RPTM untuk membahas draf RUU KKR ini," ungkapnya.
Setelah RPTM, tahap selanjutnya ialah menyampaikan permohonan izin prakarsa dan kumulatif terbuka kepada presiden. Setelah disetujui, tambah dia, Presiden Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (Surpres) RUU KKR ke DPR.
Seperti diketahui, pembentukan RUU KKR ini merupakan salah satu yang pernah direkomendasikan Komnas HAM kepada Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 47 UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terkait penyelesaian pelanggaran HAM melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.
Menurut Komnas HAM, meskipun MK telah menyatakan bahwa UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (dibatalkan), bukan berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum, Presiden dapat (sementara) mengeluarkan Perppu mengenai KKR.
Selain itu, Komnas HAM meminta Presiden tetap memastikan agar Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan terhadap hasil penyelidikan yang telah dituntaskan Komnas HAM sebelumnya.
Dalam perkembangannya, RUU KKR sempat menimbulkan perdebatan karena sejumlah pihak, terutama korban pelanggaran HAM berat, tetap menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Namun, ada alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur nonyudisial.
Tahun lalu, Komnas HAM mencatat dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi (periode I) tidak ada upaya serius untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Anam mencatat narasi yang berkembang mengarahkan penyelesaian kasus itu melalui rekonsiliasi atau mekanisme lain seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Mengacu hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Oktober-September 2019 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, salah satu hasilnya menunjukan lebih dari 90 persen responden menginginkan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan.
“Sebanyak 62,1 persen responden menginginkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan nasional, dan 37,2 persen melalui pengadilan internasional,” kata Anam dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu (4/12/2019) lalu.Komnas HAM bisa membantu Presiden Jokowi untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat itu secara cepat, bahkan dalam kurun waktu satu tahun. Sebagai upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, Presiden Jokowi bisa menerbitkan Keppres yang intinya memberikan pemenuhan hak-hak korban tanpa menunggu putusan pengadilan.
“Atau Presiden bisa juga menerbitkan Perppu untuk memperkuat kewenangan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan memberi pemenuhan hak korban tanpa menunggu proses di pengadilan,” sarannya.https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5e6a223e4f42d/pemerintah-bahas-ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi
Minggu, 01 Maret 2020
Semua Adalah PKI
Oleh : Dandhy Dwi Laksono
Seperti halnya 'Genjer-Genjer" yang diciptakan M
Arief, lagu "Garuda Pancasila" juga diciptakan seniman Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat). Ia bernama Sudharnoto, pada 1956.
Karena militer dan Orde Baru menganggap Lekra sama dengan
PKI, Sudharnoto yang pernah bekerja di RRI Jakarta kemudian ikut dikejar-kejar
dan dibui. Setelah keluar penjara sekitar 1968-1969, ia bekerja sebagai penjual
es dan sopir taksi. Nasibnya memang sedikit lebih beruntung daripada M Arief
yang hilang setelah peristiwa 30 September.
Di mata Orde Baru, kesalahannya sangat fatal: Menciptakan
lagu "Genjer-Genjer" pada tahun 1942 dengan konteks penderitaan
rakyat menghadapi invasi Jepang, dan lalu lagu itu digemari Njoto (tokoh PKI)
yang sedang singgah ke Banyuwangi.
Lho, apa hubungannya dengan dia sebagai pencipta lagu?
Sejak kapan watak fasis perlu alasan yang masuk akal atas segala sesuatu?
LBH Jakarta dan YLBHI yang secara historis membela semua
kelompok dan ideologi (termasuk kubu Islam garis keras), dihasut sebagai
"sarang PKI" dan diserang.
Patung Tani yang merupakan simbol mobilisasi umum untuk
merebut Papua dari Belanda juga disebut simbol PKI. Buku "Das
Kapital" yang berisi dasar-dasar pemikiran komunisme, justru disebut
"mengajari generasi muda menjadi kapitalis".
Hanya karena sama-sama berjenggot, foto Mikhail Bakunin
yang dicetak di kaos merah salah satu peserta yang datang ke LBH, dikira foto
Karl Marx dan dianggap sebagai bukti keberadaan komunis di acara itu. Padahal
Bakunin penentang komunisme (negara) seperti yang terjadi di Soviet yang
dianggapnya sama menindasnya dengan kapitalisme.
Kelompok fasis yang membalut identitasnya dengan agama
ini bahkan ngotot menyebut Jokowi adalah komunis meski kebijakan dan
proyek-proyek pembangunannya justru sangat kapitalistik dan menimbulkan konflik
di mana-mana, seperti reklamasi Teluk Jakarta, sawah sejuta hektar di Papua
yang akan dikelola perusahaan (bukan rakyat), atau PLTU-PLTU dan bendungannya
yang tidak mencerminkan keadilan ekologis.
Kelompok ini tidak
mau tahu dan tidak peduli.
Jokowi dan Istana tetap disebut mendukung kebangkitan
PKI. Padahal ia tidak merebut dan membagi-bagikan tanah kepada petani seperti
BTI atau PKI. Ia hanya membagi-bagikan sertifikat yang secara jelas menguatkan
konsep kepemilikian pribadi terhadap tanah. Jauh dari ide tanah sebagai faktor
produksi yang harus dikuasai secara komunal.
Dengan disertifikasi, tanah yang milik pribadi, lebih
mudah dibeli dan dikuasai modal, seperti kasus komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan,
Jawa Barat. Beda dengan tanah di Baduy Dalam atau Tenganan Pegringsingan di
Karangasem yang tak dapat diperjualbelikan ke pemodal resort atau hotel karena
milik adat.
Jokowi harus disebut PKI. Begitu juga PDIP yang dalam
sejarahnya merupakan fusi partai nasional seperti PNI dan agama (non-Islam).
Meski dalam sejarahnya PNI dan PKI sengit berkonflik (sesengit saling serang
antara koran Suluh Indonesia-PNI dan Harian Rakyat -PKI), tapi gerombolan
ahistoris ini tak peduli.
PDIP dianggap sama dengan komunis. Padahal menjadi
Marhaenis saja, partai ini gagapnya setengah mati. Kader-kadernya seperti
Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lebih sibuk membela pabrik semen daripada para
petani seperti Pak Marhaen yang sedang mempertahankan sumber air untuk mengairi
sawahnya sendiri yang sepetak-dua petak.
Partai ini bahkan mendukung Basuki "Ahok"
Tjahaja Purnama yang kebijakan pembangunannya menggusur, bahkan dengan
melibatkan tentara. Ahok sendiri adalah pejabat yang dengan enteng menyebut
warga bantaran Waduk Pluit sebagai "komunis", karena dianggap
menduduki "tanah negara".
Tapi bagi kelompok sejenis "massa 299" ini,
semua itu tak penting dan tak relevan. Mereka kawin mawin dengan para jenderal
dan pensiunan yang rindu masa-masa kejayaan Dwifungsi ABRI di era Orde Baru.
Yang bisa memegang tongkat komando, tapi juga bisa duduk di pemerintahan
sebagai pejabat yang mengatur APBN atau APBD. Yang bisa mengerahkan pasukan,
tapi juga bisa duduk di DPR ikut membuat Undang Undang. Yang tetap
mempertahankan baret dan seragamnya, tapi juga bisa duduk di komisaris
perusahaan negara, daerah, dan swasta.
Siapa yang tak rindu masa-masa itu? Dan jalan paling
murah untuk mewujudkannya adalah menggalang sentimen anti-komunisme, dibalut
agama. Karena itu semua harus di-PKI-kan. Semua adalah PKI. Padahal merekalah
yang PKI: Penduduk Kurang Informasi.
***
(Matipa, Refleksi_Menolak Lupa,01-03-2020)Sabtu, 29 Februari 2020
Kisruh di Awal Kemerdekaan
Andreas JW - 29 Februari 2020
Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI
mengeluarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang seruan pembentukan
partai-partai politik, dalam kaitan rencana Pemilu pada 1946. Sejumlah partai
pun berdiri, antara lain Partai Masjumi, Partai Kristen Nasional, PNI, Partai
Sosialis, Partai Katolik, PBI, PKI dll.
Sedangkan Mr. Mohammad Jusuf dan Mr. Suprapto
(Yusuf-Suprapto) telah mendeklarasikan berdirinya "PKI", sejak 21
Oktober 1945. Tapi partai pimpinan Yusuf-Suprapto itu belakangan menimbulkan
masalah. Karena, banyak kaum komunis dan tokoh-tokoh komunis eks-Digul tidak
mau bergabung.
Rewang dalam memoarnya, "Saya Seorang
Revolusioner", mendeskripsikan suasana di Kota Solo begini: "...
Suatu hari, ketika sedang tugas jaga di suatu tempat, saya melihat ada orang
memasang plakat yang berisi pengumuman dibangunnya kembali PKI. Sontak saya
tertarik... Maka selesai menjalankan tugas, saya bersama seorang teman bernama
Suripto, medaftarkan diri ke kantor pendaftaran di daerah Laweyan, Solo...
... Namun saya merasakan ada gejala lain yang menunjukkan
ketidakwajaran. Sebab sejumlah tokoh-tokoh eks-Digoel serta aktivis-aktivis
revolusioner muda di Solo, justru tidak mau bergabung dengan PKI pimpinan
Yusuf, S.H. dan Suprapto, S.H., tersebut. Setahu saya, mereka antara lain
Ronomarsono, Achmad Dasuki Sirad, A. Rojis, Daliman, Sunaryo, Suprapto,
Suharti, dan Tumini. Gejala yang tidak wajar ini mencerminkan adanya
ketidakberesan, pikir saya..."
Dideklarasikannya partai pimpinan Yusuf-Suprapto memang
bermasalah dan salah. Sebab, PKI yang didirikan 23 Mei 1920, pada saat
meletusnya Revolusi Agustus1945, masih ada. Partai mempertahankan kedudukannya
yang ilegal persisnya sejak gagalnya pemberontakan tahun 1926.
Namun partai yang didirikan kelompok Yusuf-Suprapto,
markas besarnya berada di Jakarta, tidak menghiraukan. Mereka malah menerbitkan
Majalah Bintang Merah, yang edisi perdananya terbit pada 17 November 1945,
dengan alamat redaksi di Jl. Petjenongan No. 48 C, Jakarta. Bahkan dalam edisi
ini diturunkan pula sebuah berita dengan judul "PKI Australia akan
menggaboengkan diri dengan PKI disini". Mungkin melalui pemberitaan ini,
dimaksudkan untuk meyakinkan khalayak ramai yang berkepentingan.
Kelompok Yusuf-Suprapto memang cukup punya pengaruh di
kalangan pemuda-pemuda pergerakan terpelajar di Jakarta, misalnya Grup Menteng
31. Mereka juga mengklaim mendapat sambutan dari sejumlah daerah di Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lantas pada 11 Desember 1945 mendirikan Laskar
Merah.
Selanjutnya tanggal 6 hingga 10 Februari 1946, mereka
menyelenggarakan kongres di Cirebon. Namun terjadi insiden antara Laskar Merah
dengan CPM, yang berujung dilucutinya Laskar Merah oleh TKR. Insiden ini meluas
hingga sekitar wilayah Cirebon, dan baru berakhir setelah Yusuf-Suprapto
ditahan.
Mengapa tokoh-tokoh maupun kader partai yang didirikan
pada 23 Mei 1920, tidak mau bergabung?
Karena mereka berpendapat bahwa Jusuf-Suprapto tidak
berwenang menyatakan dirinya sebagai pimpinan partai. Sementara itu tokoh-tokoh
“partai illegal” tidak segera berinisiatif membangun partai legal, pada saat
situasi memungkin untuk itu. "Menurut saya, di sinilah letak kesalahannya.
Di Solo, pimpinan partai illegal adalah Suhadi alias Pak Karto. Sementara
Suhadi sendiri tampil secara legal dengan bendera organisasi massa GRI,"
papar Siswoyo dalam memoarnya.
Kelak hal tersebut dikritik sebagai suatu kesalahan
organisasi. Dan kesalahan organisasi ini baru terbuka ketika Muso mengoreksi
kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan partai pada waktu itu
Di tengah-tengah kekisruhan itu, awal tahun 1946, mulai
berdatangan sejumlah tokoh eks-Digul; seperti Sulaiman, Sabarman, Ngadiman,
Ruskak, termasuk Sardjono. Sejak kalah dalam pemberontakan tahun 1926, Sardjono
dibuang ke Digul, selanjutnya diungsikan ke Australia oleh pemerintah Hindia
Belanda, menyusul pecah Perang Dunia II. Selain itu, datang pula tokoh-tokoh
partai dari Belanda dan negeri-negeri lainnya; antara lain Drs. Maruto
Darusman, Mr. Abdul Madjid, Drs. Setiajid, dan Jusuf Muda Dalam. Dua yang disebut
terdahulu adalah anggota CPN.
Masalah partai pimpinan Jusuf-Suprapto memang akhirnya
dapat diselesaikan dengan baik. Dan Jusuf-Suprapto mengakui kesalahannya,
akibat ketidaktahuannya. Ini terjadi setelah ada pertemuan antara Maruto
Darusman dengan Mr. Soetan Moehamad Sjah.
Kemudian dalam bulan Maret 1946, ...kelompok-kelompok ini
mengadakan rapat di Jakarta, yang memutuskan untuk mengadakan pembersihan di
kalangan PKI. Juga diputuskan akan diadakan konperensi partai di Solo, pada
akhir April... (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie 1997: 63).
Bersamaan dengan diumumkannya pembangunan kembali PKI,
Laskar Merah, organisasi kekuatan bersenjata di bawah pimpinan PKI, usai
Peristiwa Cirebon ditata kembali. Seperti diketahui, waktu itu salah satu ciri
kehidupan politik pada awal revolusi di Indonesia ialah partai politik
mempunyai pasukan bersenjata. Misalnya, PKI mempunyai Laskar Merah, atau
Masyumi mempunyai Laskar Hizbullah.
"Tetapi orang-orang komunis di Solo yang mengambil
bagian dalam perjuangan bersenjata tidak semuanya berada di dalam Laskar Merah.
Hanya sebagian kecil yang bergabung," jelas Rewang. Sebagian lainnya ada
yang masuk Laskar Rakyat, pimpinan Ir. Sakirman, juga seorang komunis. Kemudian
ada pula yang berada dalam Laskar Buruh, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan ada juga yang
membangun Angkatan Laut RI di Solo.
Pada Juli 1946, Kantor CC sudah pindah ke Kota Solo, di
Jalan Purwosari No. 313, menyatu dengan redaksi Bintang Merah. Hal ini menyusul
perkembangan baru, pada 4 Januari 1946, Ibukota RI pindah dari Jakarta ke
Jogjakarta. Kepindahan ibukota dilakukan karena Belanda datang kembali ke
Indonesia dengan membonceng Sekutu, dan Jakarta berhasil diduduki pada 29
September 1945.
Akhirnya, bertempat di Sitihinggil Keraton Surakarta,
dari tanggal 11 hingga 13 Januari 1947, diselenggarakan Konferensi Nasional,
yang kemudian dinyatakan sebagai Kongres IV, karena menghasilkan Konstitusi dan
memilih CC baru.
Peserta yang hadir mayoritas eks-Digulis. Mereka datang
ke Solo sebagai utusan daerah, dan sebagian besar menginap di Kantor GRI.
Melalui Pak Suradi, Siswoyo sempat diperkenalkan dengan K.H. Tb. Achmad Chatib
. “Ini lo Bung Sis, kenalkan kawan kita Kyai Chatib,” begitu kata Suradi,
eks-Digulis kepala batu. Kyai Chatib, adalah Ketua SC Banten, dan tercatat
sebagai Residen Banten yang pertama.
Konfernas atau Kongres IV menghasilkan pengurus baru;
yakni Ketua I Sardjono, Ketua II Drs. Maruto Darusman, Ketua III Djokosoedjono,
Sekum I Ngadiman Hardjosubroto, Sekum II Soetrisno. Politbiro terdiri dari
Alimin, Sardjono, Maruto Darusman, Ngadiman Hardjosubroto, Soeripno. Kemudian
Biro Organisasi terdiri dari Djokosoedjono, D.N. Aidit (Agitprop), Soekisman
(Agitprop), dan Roeskak (Bendahara), Koenadi (penghubung). Lalu Pembantu
Sekretariat Umum terdiri Sabariman (urusan ketentaraan dan laskar), Boeyoeng
Saleh (urusan buruh), Koebis (urusan tani), Karsali (urusan pemuda),
SÃ pardiatmi (urusan wanita).
Struktur organisasi partai masih menggunakan pola lama,
seperti yang digunakan PKI Angkatan 1926. Yakni, badan tertinggi adalah CC,
kemudian SC untuk tingkat karesidenan, OSC untuk tingkat kabupaten, Resort
untuk tingkat kecamatan, dan Sarikat Rakyat sebagai onderbouw resmi partai.
Sedangkan Pesindo, BTI, dan SOBSI, masih tergabung di
dalam Sayap Kiri. Oleh karena itu, secara organisatoris, mereka tidak punya
hubungan langsung dengan partai.
Selasa, 25 Februari 2020
Tim Antropologi Forensik Argentina mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian
25 Februari 2020 10:48 GMT
- Tim telah melakukan investigasi di lebih dari enam puluh negara
Seorang anggota EAAF yang bekerja di penggalian. Foto dibagikan
secara publik di Facebook .
dinominasikan untuk
Hadiah Nobel Perdamaian 2020 untuk pekerjaan investigasi ke dalam pelanggaran
hak asasi manusia di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan
Eropa. The Latin
American Council of Social Sciences (CLACSO ) dan National University of
Quilmes (UNQ ) mengemukakan nominasi.
EAAF dibentuk pada 1984 melalui inisiatif antropolog
Amerika Clyde Snow ,
dengan tujuan mendukung LSM Nenek
Plaza de Mayo dalam penyelidikan mereka pada kasus-kasus orang hilang
selama kediktatoran
militer di Argentina (1976-1983).
Pada tahun 1986 mereka memperluas kegiatan mereka di luar
perbatasan negara dan telah berpartisipasi dalam misi di lebih dari enam puluh
negara di seluruh dunia hingga saat ini. EAAF memelopori penggunaan
ilmu forensik -dan terutama arkeologi forensik dan antropologi forensik-
dalam dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia.
Anggota EAAF sedang bekerja dalam penggalian di Siprus, 2006. Foto
dibagikan secara publik di halaman Facebook -nya .
Salah satu penyelidikan ahli internasional
yang penting EAAF adalah tentang penculikan massal dan
hilangnya 43 Ayotzinapa
Teachers College siswa pada September 2014, di negara
bagian Meksiko, Guerrero. Mereka secara khusus diminta oleh kerabat
korban, dan investigasi mereka menimbulkan kontroversi karena bertentangan
dengan versi resmi yang diberikan oleh pemerintah Meksiko. Pencarian untuk
siswa sedang berlangsung.
Bersamaan dengan organisasi Justice
for Our Daughters, EAAF melakukan
penyelidikan forensik lain yang berbasis di Meksiko untuk
membawa keadilan bagi ratusan wanita yang terbunuh selama 1990-an di Juarez,
sebuah kota yang berbatasan dengan El Paso, Texas ,
di Amerika Serikat.
Di Afrika Selatan, EAAF telah berkolaborasi dengan upaya
pencarian dan identifikasi atas nama para korban apartheid sejak
2007. Di El Salvador, mereka menggali ribuan tulang korban dari pembantaian Mozote 1981 yang
dilakukan oleh Angkatan Darat Salvador yang dikutip EEAF dalam
laporan
kesaksiannya di
pengadilan.
EAAF dalam misi pencarian dan identifikasi untuk orang hilang di
Chihuahua, Meksiko. Oktober 2019. Foto publik Facebook .
Kembali di Argentina, bersama dengan pencarian
orang-orang yang hilang dari era kediktatoran, EAAF juga berpartisipasi dalam
mengidentifikasi tentara
Argentina yang dimakamkan sebagai “NN” (untuk “tanpa identifikasi”)
di Pemakaman
Militer Darwin di Malvinas, Kepulauan Falkland.
Pekerjaan mereka juga meliputi berbagai kasus femicides,
perdagangan manusia, kejahatan politik dan etnis, dan kasus-kasus yang kompleks
seperti serangan1994
pada Reksa Asosiasi Israelita Argentina (AMIA).
Selain itu, mereka mengajar kursus antropologi
forensik di Argentina dan di negara lain juga.
Prinsip-prinsip dasar EAAF
yang paling dihargai adalah, di atas segalanya, penghormatan terhadap
keinginan keluarga korban dan komunitas mereka, dan perhatian terhadap
ketelitian ilmiah yang telah memenangkan mereka pamor internasional yang hebat
selama 36 tahun sejarah mereka.
Mereka dikenal karena
kepeduliannya yang besar melalui setiap langkah proses, dari laporan awal dan
investigasi hingga penggalian dan identifikasi sisa-sisa dan penyelesaian
kasus.
Karina Batthyány, sekretaris eksekutif CLACSO, menyatakan dalam
artikel La Nación:
"Setiap tulang yang ditemukan dan sisa yang teridentifikasi adalah kemenangan kebenaran dan keadilan yang penting untuk memelihara ingatan yang dibawa orang sepanjang sisa hidup mereka dan seterusnya ke generasi selanjutnya".
Hadiah Nobel Perdamaian akan menjadi pengakuan
tidak hanya lintasan tanpa cacat dari para anggotanya, tetapi dari setiap kasus
di mana mereka terlibat, dan setiap anggota keluarga yang telah menempatkan
semua kepercayaannya pada mereka dan menerima uluran tangan mereka .
Senin, 24 Februari 2020
PKI Cirebon Brontak
Februari 24, 2020
Pemberontakan PKI Cirebon jarang diekspos ke permukaan, padahal pemberontakan PKI di Cirebon adalah pemberontakan tertua selepas diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa pemberontakan tersebut terjadi pada 12 Februari 1946.
PKI Cirebon brontak ketika negara sedang dirundung ketidak pastian, menyerahnya Jepang pada sekutu membuat kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dibayang-bayangi ketidak pastian, karena diam-diam sekutu menyerahkan kekuasaan Indonesia pada Belanda.
PKI Cirebon brontak ketika negara sedang dirundung ketidak pastian, menyerahnya Jepang pada sekutu membuat kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dibayang-bayangi ketidak pastian, karena diam-diam sekutu menyerahkan kekuasaan Indonesia pada Belanda.
Ketika Tentara Nasional Indonesia (dahulu TRI) sedang mempersiapkan perlawanan pada Belanda, pada saat itu pula PKI cabang Cirebon justru mengadakan pemberontakan, bahkan pemberontakan tersebut berhasil menguasai Kota Cirebon, sementara Tentara Republik dibuat tak berdaya oleh tentara merah kaum komunis.
PKI Cirebon sebetulnya baru didirikan pada 7 November 1945, sedangkan yang menjadi ketua dan wakilnya adalah Mohamad Joesoef dan Suprapto. Ini artinya pendirian PKI Cabang Cirebon baru dilakukan selepas 3 Bulan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, PKI Cabang Cirebon ini rupanya agresif, sebab pemberontakan yang mereka lakukan hanya berselang 3 bulan selepas partai itu membuka cabangnya di Cirebon (7 November 1945-12 Februari 1946).
Pemberontakan PKI di Cirebon didalangi langsung oleh pemimpinnya. Dalam memuluskan aksinya, Mohamad Joesoef dan Suprapto mendatangkan Laskar (tentara) Merah PKI dari Jawa Tengah, tujuan utamanya adalah melakukan kudeta lokal di Cirebon.
Para Laskar Merah PKI tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon pada 9 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap, selanjutnya setelah dikordinir maka pada 12 Februari 1946 laskar merah PKI menginap di Hotel Ribrink, sekarang hotel tersebut berganti nama menjadi Grand Hotel, berlokasi persis sebelah utara alun-alun Kejaksan. Sesampinya di hotel, mereka menjadikannya sebagai markas pemberontakan.
Pada mulanya, ketika laskar merah PKI baru saja tiba di stasiun, seisi kota Cirebon heboh sebab laskar merah secara terang-terangan menengteng senjata, sehingga kedatangan para milisi PKI tersebut mengagetkan pihak keamaanan republik.
PKI Cirebon sebetulnya baru didirikan pada 7 November 1945, sedangkan yang menjadi ketua dan wakilnya adalah Mohamad Joesoef dan Suprapto. Ini artinya pendirian PKI Cabang Cirebon baru dilakukan selepas 3 Bulan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Meskipun begitu, PKI Cabang Cirebon ini rupanya agresif, sebab pemberontakan yang mereka lakukan hanya berselang 3 bulan selepas partai itu membuka cabangnya di Cirebon (7 November 1945-12 Februari 1946).
Pemberontakan PKI di Cirebon didalangi langsung oleh pemimpinnya. Dalam memuluskan aksinya, Mohamad Joesoef dan Suprapto mendatangkan Laskar (tentara) Merah PKI dari Jawa Tengah, tujuan utamanya adalah melakukan kudeta lokal di Cirebon.
Para Laskar Merah PKI tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon pada 9 Februari 1946 dengan bersenjata lengkap, selanjutnya setelah dikordinir maka pada 12 Februari 1946 laskar merah PKI menginap di Hotel Ribrink, sekarang hotel tersebut berganti nama menjadi Grand Hotel, berlokasi persis sebelah utara alun-alun Kejaksan. Sesampinya di hotel, mereka menjadikannya sebagai markas pemberontakan.
Pada mulanya, ketika laskar merah PKI baru saja tiba di stasiun, seisi kota Cirebon heboh sebab laskar merah secara terang-terangan menengteng senjata, sehingga kedatangan para milisi PKI tersebut mengagetkan pihak keamaanan republik.
Letda D Sudarsono selaku Polisi Tentara Cirebon yang mendapat info kedatangan orang-orang bersenjata ke cirebon mendatangi stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran kabar, namun baru saja sampai di stasiun, Letda D Sedarsono disambut dengan tembakan, Ia dikepung, senjatanya dirampas kemudian ditawan.
Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata (TNI-POLRI) di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan. Kala itu kondisi kota mencekam, seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah. Bahkan tindakan laskar merah semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung fital.
Menghadapi ancaman serius yang dilancarkan PKI dengan lascar merahnya, Panglima II/Sunan Gunung Jati, Kolonel Zainal Asikin yang lolos dari penangkapan segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mohamad Joesoef di Hotel Ribink. Dalam perundingan tersebut pihak PKI mulanya berjanji akan menyerahkan senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji tersebut rupanya tidak ditepati.
Karena perundingan gagal, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirimlah 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI (Polisi Tentara Indonesia), yang mana tujuannya merebut Hotel Ribink yang kala itu dijadikan markas PKI.
Selanjutnya, dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata (TNI-POLRI) di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan. Kala itu kondisi kota mencekam, seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah. Bahkan tindakan laskar merah semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung fital.
Menghadapi ancaman serius yang dilancarkan PKI dengan lascar merahnya, Panglima II/Sunan Gunung Jati, Kolonel Zainal Asikin yang lolos dari penangkapan segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mohamad Joesoef di Hotel Ribink. Dalam perundingan tersebut pihak PKI mulanya berjanji akan menyerahkan senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji tersebut rupanya tidak ditepati.
Karena perundingan gagal, Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirimlah 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI (Polisi Tentara Indonesia), yang mana tujuannya merebut Hotel Ribink yang kala itu dijadikan markas PKI.
Penyerbuan pertama gagal, karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang. Sedangkan senjata musuh lengkap.
Pada 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua, oprasi dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin. Hasilnya, mereka berhasil melumpuhkan PKI , sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak, Mohamad Joesoef dan Suprapto berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan tentara.
Pada 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua, oprasi dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek, Kolonel Moefreini Moekmin. Hasilnya, mereka berhasil melumpuhkan PKI , sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak, Mohamad Joesoef dan Suprapto berhasil ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan tentara.
Meskipun kisah pemberontakan PKI Cirebon ini diakhiri dengan dijebloskanya pimpinan PKI Cirebon, yaitu Mohamad Joesoef dan Suprapto ke pangadilan, namun sejauh ini belum ada kisah lanjutan mengenai nasib keduanya serta nasib para pengikutnya. Mengingat pada masa itu selain menghadapi PKI, negara juga sedang mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.
Zaman Peralihan
Andreas
JW – 24 Februari 2020
Meski sangat singkat, hanya tiga bulan, tapi Muso sempat
mewujudkan beberapa langkah strategis buat partainya. Ia kembali ke Tanah Air
medio Juli 1948, dan gugur akhir Oktober 1948. Diawali dengan mengeluarkan
otokritik Resolusi Jalan Baru, rencana selanjutnya, berlandaskan resolusi ini
akan diadakan kongres fusi tiga parpol, yakni PKI, Partai Sosialis, dan PBI;
menjadi satu partai ML bernama PKI.
Sebenarnya, sebelum kehadiran Muso, PKI dan FDR sudah
mengadakan otokritik, menyusul jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin. Tapi isi
otokritik tidak cukup mendalam. Meski begitu, beberapa materi kemudian menjadi
bahan masukan Resolusi Jalan Baru.
"Dugaan saya, Alimin dianggap kurang berhasil. Sehingga Kominform memutuskan agar Muso segera pulang," kata Siswoyo.
Sebelum pulang, kabarnya, Muso terlebih dahulu berdiskusi
dengan pimpinan Kominform (sebelumnya Komintern) untuk mengoreksi garis politik
kanan PKI, yang dinilai melemahkan perjuangan nasional Revolusi Agustus 1945.
Dalam diskusi tersebut, yang bertempat di Praha, hadir Sekjen CPN Paul de Grost
dan Ketua PK Cekoslovakia Clement Goswald.
Diskusi menyimpulkan bahwa PKI maupun CPN akan berjuang
membatalkan Perjanjian Linggarjati. Karena, tercapainya Perjanjian Linggarjati,
telah menempatkan RI dan Kerajaan Belanda dalam ikatan Unie Verband, di bawah
kekuasaan Raja Belanda. Sebab itu, harus dibatalkan.
Dalam sidang Pimpinan Pusat FDR, Muso, Drs. Maruto
Darusman, Tan Ling Djie, dan Ngadiman Harjosubroto, masuk dalam formasi
Sekretariat Umum (CC sementara), yang membawahi beberapa departemen.
Adapun Kepala Departemen Pertahanan dipegang Amir
Sjarifuddin, dengan anggota terdiri Mayjen. Ir. Sakirman (Laskar Rakyat/Partai
Buruh), Mayjen. Djokosujono (Kepala Biro Perjuangan RI, Pesindo), Ruslan
Widjajasastra (Ketua Pesindo). Departemen Tani, dikepalai dr. Cokronegoro
(Partai Sosialis), dengan anggota Asmu dan D.N. Aidit. Departemen Buruh terdiri
dari Drs. Setiajid, Djoko Sujono, Achmad Sumadi, serta Harjono. Departemen
Agitprop terdiri dari M.H. Lukman, Alimin, dan Sarjono.
Sedangkan Wikana (Pesindo) menangani Departemen Pemuda.
Departemen Organisasi, dipegang Sudisman. Departemen Luar Negeri, dipercayakan
pada Suripno. Nyoto menangani Departemen Perwakilan. Adapun Departemen
Keuangan/Bendahara, dipercayakan pada Ruskak.
Siapa Maruto Darusman? Ia adalah kader CPN, yang lama
bermukim di Negeri Belanda, dan baru kembali ke Indonesia kira-kira pada awal
Agresi I, sekitar tahun 1947. Sebelum kedatangan Muso, ia berfungsi sebagai
Wakil Ketua, di bawah Ketua CC PKI Sarjono.
Sementara Tan Ling Djie berasal dari Partai Sosialis.
Tidak banyak informasi mengenai sejarah perjuangannya, termasuk bagaimana ia
bisa begitu cepat menjadi tokoh Partai Sosialis dan FDR.
Akan halnya Ngadiman Harjosubroto. Ia Angkatan 1926, dan
pernah dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah. Dari Australia, ia pulang ke
Indonesia akhir 1946, bersama dengan Sarjono, Winanta, Dita Wilasta, dan
Suratno. Pada Kongres IV PKI tahun 1947, di Solo, Ngadiman terpilih sebagai
Sekretaris Umum.
"Saya tidak ikut dalam sidang PP FDR. Karena saya hanya salah seorang pimpinan PKI/FDR Karesidenan Surakarta." Meski begitu, lanjut Siswoyo salah seorang pimpinan FDR Pusat pernah memberikan kepadanya notulen lengkap hasil pertemuan tersebut.
Notulen berupa tulisan mesin ketik di
atas kertas doorslag berwarna kuning. Dari notulen ini diketahui ada sejumlah
tokoh FDR yang tidak sepenuhnya menyetujui garis Resolusi Jalan Baru.
Seperti seorang tokoh wanita SK Trimurti dari PBI, ia
justru mengecam PKI tidak mampu memimpin revolusi. Sebaliknya ia cenderung
memuji Tan Malaka. Begitu pun Sumarsono dari Pesindo, mendesak Muso segera
memimpin kudeta guna melancarkan perjuangan. Tapi Muso menolak semua itu, dan
dengan tegas mengatakan bahwa kudeta bukan jalan kaum revolusioner.
Sejarah mencatat, gagalnya penyelenggaraan Kongres Fusi,
merupakan akibat tidak langsung dari terjadinya Peristiwa Madiun, yang
memunculkan sejumlah masalah yang cukup rumit dalam kehidupan organisasi
partai.
Misalnya, secara yuridis formal Resolusi Jalan Baru belum
sah. Sementara itu, menyusul gugurnya Muso dan Maruto Darusman, otomatis Tan
Ling Djie menjadi orang pertama dalam CC Sementara. Padahal dia bukan dari
unsur PKI, tapi dari unsur Partai Sosialis. Ditambah lagi Partai Sosialis
pimpinan Tan Ling Djie belum mengadakan kongres istimewa untuk menghadapi
kongres fusi. Dan Tan Ling Djie sendiri tidak setuju dengan Resolusi Jalan
Baru, dengan alasan belum disahkan oleh Kongres Fusi.
Lalu muncul ide dari Tan Ling Djie bahwa Partai Sosialis
perlu dibangun kembali untuk selanjutnya menyelenggarakan kongres istimewa.
Buktinya, pada medio 1950, seorang utusan PP Partai Sosialis menemui Bung
Istijab, ketua Partai Sosialis Cabang Klaten. Ia diinstruksikan untuk
menghidupkan kembali Partai Sosialis. Dengan tegas Bung Istijab menolak, karena
Partai Sosialis Klaten sudah bubar, dan meleburkan diri ke dalam PKI.
Ide Tan Ling Djie juga ditolak sebagian besar anggota CC
Sementara. Begitu pula sejumlah anggota Partai Sosialis yang berada di
Yogyakarta, di markas PP Partai Sosialis, seperti Oloan Hutapea, Kadaruzaman,
Munir, Hartoyo, dan Yusuf Adjitorop, tidak mendukung ide tersebut.
Sebelumnya, pada akhir 1949 datang utusan CC Sementara,
Djoko Sujono dan Ruslan Wijayasastra, menemui pimpinan SC Surakarta. Dalam
beberapa kali kesempatan diskusi, keduanya tidak pernah mempermasalahkan
Resolusi Jalan Baru. Keduanya tahu, jika dipersoalkan pasti akan ditentang
keras. Keduanya tahu SC yang sependirian dengan SC Surakarta cukup banyak
jumlahnya. Selanjutnya Djoko Sujono menjadi petugas penghubung CC Sementara
dengan SC Surakarta.
Ketika itu partai secara resmi tidak dilarang pemerintah.
Tapi demi keamanan, dilakukan sistem “open office”. Dengan pengertian, ada
kantor resmi SC, tapi yang bekerja sehari-hari bukan pimpinan partai. Sedangkan
kantor yang sesungguhnya berada di tempat lain, dan sifatnya tertutup. Open
office SC Surakarta semula ada di Tipes, lalu pindah ke Jalan Honggowongso.
Sehari-hari dipimpin Pak Suratno, seorang kader Angkatan 26.
Karena sering bertemu, "Hubungan saya dengan Djoko
Sujono menjadi akrab. Dia respek dengan SC Surakarta, terutama karena punya
banyak kader, punya akar di kalangan massa, punya pasukan bersenjata (PSR), dan
banyak simpatisannya berada di TNI. Saya tahu, sebenarnya Djoko Sujono
sependapat dengan pendirian SC Surakarta, daripada dengan Tan Ling Djie,"
papar Siswoyo.
Masalah itu semakin jelas ketika Djoko Sujono datang ke
Solo membawa sejumlah petunjuk kerja dan beberapa instruksi dari CC Sementara.
Isinya berbagai macam soal-soal kecil dan bersifat teknis, justru dibahas
sangat detil, seperti urusan koperasi, usaha kecil, PMI, UU Peraturan
Pemerintah.
Yang mencengangkan, adalah tulisan Tan Ling Djie mengenai
idenya tentang Republik Federal Indonesia. Jalan berpikirnya, karena setelah
terjadi Peristiwa Madiun, NKRI menjadi sebuah negara yang anti-komunis. Ketika
itu Irian Barat belum termasuk wilayah Indonesia. Karena itu PKI perlu
mengerahkan gerakannya masuk ke Irian Barat untuk membentuk Republik Demokrasi
Rakyat Irian Barat, kemudian membentuk Negara Federal dengan Republik
Indonesia. Selanjutnya melalui Republik Federal mengubah NKRI yang anti-komunis
menjadi pro-komunis.
Setelah mempelajari isi dokumen itu, SC Surakarta
menyimpulkan sepenuhnya menolak; karena isinya ruwet, tidak masuk akal, dan
sama sekali tidak realistis. Dan SC Surakarta kembali menegaskan tetap memegang
teguh garis Resolusi Jalan Baru.
Sejak itu SC Surakarta tidak lagi berhubungan dengan CC Sementara
pimpinan Tan Ling Djie, karena ada perkembangan situasi baru yang lebih
penting.
Kira-kira medio 1950 datanglah Bung Aidit dan Lukman dari
Jakarta ke Solo. Setibanya di Solo, Aidit dan Lukman segera mencari Siswoyo
.dan Bung Suhadi alias Pak Karto, kader tua dan salah seorang pimpinan SC
Surakarta. Dalam kesempatan itu Aidit menjelaskan situasi intern CC Sementara.
Antara lain ia mengatakan bahwa terdapat perbedaan besar dalam berbagai soal,
terutama yang menyangkut sikap mengenai Resolusi Jalan Baru. Baik Aidit maupun
Lukman sepenuhnya setuju dengan pendirian SC Surakarta, yang tetap memegang
teguh garis Resolusi Jalan Baru. Aidit juga menjelaskan bahwa CC Sementara
membentuk open office yang dipimpin Sudisman. Dan disepakati hanya berhubungan
dengan open office saja.
Belakangan baru diketahui bahwa sebelum open office
dipindah ke Jakarta, sejumlah kader partai sudah terlebih dahulu dikirim
kesana. Kader-kader dari Yogyakarta ini merintis jaringan partai di Jakarta.
Mereka ialah Munir, Kadaruzaman, Hartoyo, Achmad Sumardi, Iskandar Subekti, dan
lain-lainnya.
Pada akhir tahun 1950 berlangsung Sidang Pleno CC
Sementara. Selain mempertegas berlakunya Resolusi Jalan Baru, juga terjadi
perubahan anggota Politbiro. Komposisinya terdiri dari Ketua D.N. Aidit; Wakil
Ketua M.H. Lukman; Wakil Ketua Nyoto; Sekretaris Sudisman, Alimin, Asmu, Ruslan
Wijayasastra, dan Sakirman. Juga dipromosikan sejumlah kader untuk mengisi
posisi Komisaris CC, yakni Oloan Hutapea untuk Jawa Timur, Suhadi untuk Jawa
Tengah dan DIY, Peris Pardede untuk Jawa Barat dan Ibukota Jakarta, Zaelani
untuk Sumatera Selatan, Bachtarudin untuk Sumatera Tengah, dan Jusuf Ajitorop
untuk Sumatera Utara. Mereka sekaligus dipromosikan sebagai anggota CC. Sidang
Pleno juga memutuskan untuk mendegradasi Tan Ling Djie dan Ngadiman dari
keanggotaan CC.
Tetapi keduanya tetap sebagai anggota partai.
Minggu, 16 Februari 2020
Tugu-Tugu Palu Arit di Indonesia
Oleh Andri Setiawan
Tugu-tugu palu arit pernah menjulang di beberapa daerah
di Indonesia. Simbol kekuatan PKI pada masanya.
Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Repro Harian Rakjat, 27 Mei
1965).
Sebuah tugu di Madiun tengah menjadi sorotan. Tugu
yang berada di interchange menuju gerbang tol Madiun itu disebut
mirip simbol palu arit. Isu ini viral setelah Roy Suryo melalui akun twitter-nya
mengunggah kicauan mengenai tugu ini.
“Tweeps, Patung yg terletak di pinggir Jalan Tol Madiun ini lagi kontroversi, banyak pihak yg menginginkan Patung ini dibongkar karena mengingatkan Trauma masa lalu di daerah tersebut sekitar tahun 1948 silam. Bagaimana pendapat anda? Benarkah Patung ini mirip2 simbol2 tertentu?” tulis Roy Suryo disertai foto tugu tersebut.
Unggahan tersebut kemudian ditanggapi oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon. “Kesan ‘Palu Arit’ tak bisa dinafikan. Apakah ada kesengajaan?” cuitnya.
PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK), sebagai
pengelola tol, menyebut bahwa bentuk tugu tersebut dibuat berdasarkan logo JNK.
“Dilihat dari sisi sudut tertentu, tugu ikonik membentuk huruf J, N, K. Tugu menjulang vertikal dari arah barat ke timur membentuk huruf J,” sebut Dwi Winarsa, Direktur Utama PT JNK, dikutip kompas.com.
Kemudian, jelas Dwi, lengkung yang melingkar akan
membentuk huruf N jika dilihat dari atas. Dan dari Simpang Susun Madiun ke arah
timur akan membentuk huruf K.
Sementara itu, mengutip detik.com, Kepala
Bakesbangpol Kabupaten Madiun Sigit Budiarto menyebut selama ini warga Madiun
tidak pernah menyoroti tugu tersebut.
“Saya tiap hari lewat tugu itu ya biasa saja,” ungkapnya.
Namun, sekelompok orang bersama Center of Indonesia
Community Studies (CICS) mendesak agar tugu tersebut dibongkar.
Saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya pada paruh
pertama dekade 1960-an, pernah berdiri tugu-tugu palu arit yang berukuran
besar.
Namun, pasca peristiwa 1965, tugu-tugu ini
dihancurkan bersamaan dengan pelarangan segala hal yang berhubungan dengan PKI.
Surat kabar Harian Rakjat, memuat beberapa foto tugu
yang tampaknya dibangun dalam rangka menyambut ulang tahun ke-45 PKI pada 23
Mei 1965. Berikut ini beberapa tugu yang termuat di Harian Rakjat periode
Mei-Juni 1965.
Tugu Palu Arit di
Cililitan
Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Harian Rakjat, 27 Mei
1965).
Harian Rakjat menulis, “Begitu kita memasuki Kota
Djakarta dari arah selatan, kita akan disambut oleh tugu raksasa yang menjulang
tinggi yang di puncaknya palu arit besar berdiri teguh. Bandingkan orang yang
berdiri di bawah dengan tinggi tugu itu. Tugu ini terdapat di perapatan jalan
Cililitan.”
Penyair Taufik Ismail menyebut keberadaan tugu itu dalam Himpunan
Tulisan 1960-2008.
“Di Cililitan, yang sempat saya saksikan, PKI mendirikan sebuah tugu berwarna putih, di atasnya lambang palu arit berwarna emas kemilau ditimpa sinar matahari,” tulisnya.
Tugu Palu Arit di
Palembang
Tugu palu arit di Palembang. (Harian Rakjat, 9 Juni 1965).
Di Palembang, PKI membangun dua tugu besar. Tugu pertama
berbentuk palu dan arit terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang,
Sumatera Selatan.
Sedangkan tugu kedua berada di depan Masjid Agung
Palembang. Tugu ini tidak menonjolkan palu arit sebagai obyek utama, melainkan
seorang laki-laki tengah memutar stir. Di belakang tampak Jembatan Ampera.
Tugu Banting Stir di Palembang. (Repro Harian Rakjat, 8 Juni
1965).
Tugu Palu Arit di
Surabaya
Tugu palu arit di Surabaya. (Harian Rakjat 10 Juni 1965).
Tugu
palu arit di Surabaya ini sekaligus menjadi podium rapat umum ulang tahun ke-45
PKI di Surabaya. Dalam foto ini disebutkan bahwa Wakil Ketua II CC PKI Njoto
tengah berpidato dalam rapat umum tersebut.
Tugu Palu Arit di
Losari
Tugu palu arit
di Losari. (Harian Rakjat, 5 Juni 1965).
Tugu ini berada di Losari, perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Disebutkan bahwa tugu ini juga menjadi jalur estafet panji-panji
PKI dari Denpasar.
Tugu Palu Arit di
Medan
Tugu palu arit di Medan. (Repro Harian Rakjat 23 Juni 1965).
Tugu palu arit ini disebut berada di Medan. Harian
Rakjat menulis, “15.000 massa dengan penuh perhatian mendengarkan pidato
Ketua Delegasi PB Vietnam Le Duc Tho dan Sudisman anggota Politbiro/Kepala
Sekretariat CC PKI dalam rapat raksasa ultah ke-45 PKI di alun-alun Merdeka
Medan tgl 30/5.”
Langganan:
Postingan (Atom)