HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Baperki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Baperki. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Desember 2019

Kawan Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in di Medan Gerilya



Sumber foto: google maps
Sebuah sudut jalan di Kampung Loji Wetan, Surakarta.

Walaupun gencatan senjata telah diberlakukan, tapi suasananya masih tetap seperti dalam keadaan perang. Di beberapa tempat masih genting. Tentara Belanda pun sebagian masih berada di Kota Solo. Sementara laskar-laskar gerilya dan pasukan TNI tetap siaga dan dalam posisi siap tempur.

Dalam keadaan seperti itulah, di penghujung tahun 1949, kawan-kawan Tionghoa menyampaikan keinginannya untuk melihat langsung situasi di daerah basis gerilya. Mereka berkeinginan bisa bertatap muka, berdialog, bergaul, dan turut merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari para gerilyawan.

Selama perang kemerdekaan berlangsung, kawan-kawan Tionghoa itu, tidak ada yang berani keluar Kota Solo. Tentu karena demi keselamatan jiwanya. Kalau pun terjadi pertempuran di dalam kota, pada saat pasukan gerilya menyerang tentara Belanda misalnya, mereka hanya mendengar suara tembakan dari dalam rumah. Itu pun biasanya terjadi pada malam hari. Jadi, mereka sama sekali belum pernah melihat langsung sosok gerilyawan itu seperti apa.

Mengenai kawan-kawan Tionghoa yang tinggal di Solo, sebagian memang ada yang menjadi anggota partai atau hanya simpatisan. Misalnya, seorang anggota RC Jebres, rumahnya di Kampung Warung Miri, bahkan dijadikan kantor RC. Ada lagi Bung Sie Sie-po, seorang intelektual lulusan MULO, rumahnya ada di Loji Wetan, dijadikan salah satu pos. Masih ada lagi Bung Tan Djiem-kwan, staf DPP Pesindo, dia anggota PKI ilegal pada zaman Jepang.

Siswoyo menyambut baik keinginan mereka. Meskipun harus berpikir panjang dan mempertimbangkannya secara matang. Sebab, pelaksanaannya tidak mudah serta cukup berisiko. Tidak hanya menyangkut bagaimana pengamanannya. Tapi juga masalah-masalah kecil yang terlihat sepele, tapi penting. Misalnya, faktor bahasa. Karena kawan Tionghoa itu tidak mengerti bahasa Jawa. Mereka Tionghoa totok.
 Paling mereka mengerti bahasa Jawa hanya sepatah dua kata saja.

Celakanya, bahasa Indonesia mereka pun tidak lancar. Belum lagi kehadiran mereka pasti akan mengundang perhatian masyarakat, karena jarang ada orang asing (Tionghoa totok) berada di daerah pedesaan.

Padahal mereka akan berada di daerah pedalaman, di daerah basis gerilya, selama berhari-hari. Ditambah lagi ada seorang wanita Tionghoa yang akan ikut. Sudah tentu, ini menambah soal.
Namun, pada prinsipnya Siswoyo setuju.
"Hanya saja saya mesti berunding dahulu dengan kawan komandan gerilya. Itu sebabnya, saya segera mengirim kurir untuk menyampaikan pesan singkat kepada Digdo di daerah basis gerilyanya."
Pendeknya Digdo siap melaksanakan. Dan tidak lama kemudian Digdo bersama sejumlah pengawalnya, tiba di pinggiran Kota Solo. Tepatnya di Kampung Pajang. Mereka siap menjemput kawan-kawan Tionghoa di situ.

Pagi hari, dengan mengendarai sepeda, Siswoyo menuju sebuah rumah di Kampung Loji Wetan, tempat berkumpulnya kawan-kawan Tionghoa. Tan Tse-thai dan seorang wanita bernama Oen Hwa-in sudah siap menunggu. Keduanya membawa pakaian secukupnya, untuk ganti selama berada di daerah basis.

Mengenai Tan Tse-thai, dia sehari-hari berprofesi sebagai pedagang berbagai jenis komoditas. Dialah orangnya yang berjasa membawa Bung Aidit ke Semarang. Sedangkan Oen Hwa-in, seorang wanita yang berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah Tionghoa di Kampung Kebalen, Solo.

Tidak sampai menunggu lama, mereka bertiga segera berangkat ke Pajang.
"Saya mengendarai sepeda. Sedang Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in menumpang becak, mengikuti saya dari belakang."
Selepas jembatan Jongke, di perbatasan Kota Solo dan Pajang, mereka berhenti. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sepeda dituntun.
"Sepintas saya melihat raut wajah kedua kawan Tionghoa ini kelihatan mulai tegang; terutama ketika mulai menyusuri lorong-lorong sempit jalan di sebuah perkampungan."
Maklum, daerah ini masih asing buat keduanya. Malah boleh jadi keduanya baru kali ini memasuki daerah itu.
Untuk diketahui, pada masa itu, tidak ada orang Tionghoa tinggal di daerah perkampungan di pinggir kota. Umumnya mereka tinggal di pusat-pusat kota.

Kita bertiga terus berjalan menyusuri gang-gang sempit, yang semakin lama semakin jarang penduduknya. Hanya sekali-kali berpapasan dengan penduduk setempat. Mereka terlihat heran dan penuh curiga.
"Tapi saya yakin daerah ini cukup aman. Sebab, beberapa hari sebelumnya saya sudah memberi tahu kepada kawan-kawan di Pajang mengenai kedatangan kedua tamu ini. Sehingga saya yakin mereka sudah melakukan pengamanan dengan baik. Apalagi saya lihat sendiri, dari kejauhan ada yang memberi kode bahwa situasi aman," cerita Siswoyo.
Ketika mulai mendekati pos singgah rombongan Mayor Digdo, terlihat ada petugas yang terus memantau kedatangan mereka bertiga. Begitu sampai di pos singgah, mereka segera dipersilahkan masuk ke sebuah bangunan berupa pendopo. Di situ terlihat sejumlah gerilyawan tengah istirahat, dengan senjata api digeletakkan begitu saja. Mereka ada yang sedang ngobrol, main gitar, tidur-tiduran, bersenandung, dan main catur. Pakaian mereka berbagai macam. Kedua kawan Tionghoa tampak sedikit grogi. Keduanya terpana. Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in kemudian diperkenalkan kepada para gerilyawan itu.

Di ruang tengah Digdo sudah menunggu. Dia berpakaian dinas gerilya, berupa baju dan celana warna hitam, dengan sapu tangan warna merah melilit di leher. Digdo didampingi beberapa stafnya. Siswoyo segera memperkenalkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo dan stafnya. Baik Tan Tse-thai maupun Oen Hwa-in terlihat senang. Wajah keduanya berseri-seri. Mereka bangga dapat bertemu sekaligus berkenalan dengan Mayor Digdo, seorang komandan batalyon yang disegani serta dihormati. Batalyon Digdo memang terkenal sebagai batalyon tempur, yang dekat hubungannya dengan rakyat. Tapi tidak sembarangan orang bisa bertemu dan berdialog dengan Mayor Digdo.

Sebaliknya bagi Digdo dan anggota pasukannya, mereka pun bangga mendapat kepercayaan untuk menerima tamu asing. Dan kepada Digdo, ia berpesan agar sebagai kader sekaligus komandan di daerah basis, bisa menyukseskan misi penting ini.
Sebagaimana watak Digdo, dia segera menjawab singkat: “Pokoknya siap, Bung Sis....”
Hanya sekitar setengah jam Siswoyo berada di tempat itu. Setelah menyerahkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo, ia pun segera berpamitan.

Kira-kira dua minggu kemudian Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in sudah kembali ke Solo dengan diantar kurir. Keduanya segera menemui Siswoyo untuk melapor. Banyak yang mereka ceritakan. Dari masalah yang penting sampai kesan-kesan keduanya selama di daerah basis gerilya. Antara lain keduanya terkesan dengan kemampuan anak buah Digdo dalam berintegrasi dengan massa pedesaan. Dengan kata lain, sebenarnya secara alamiah mereka telah melaksanakan metode “Tiga Sama”.

Metode yang dirumuskan pada 1960-an, dari hasil pengalaman praktek berintegrasi dengan massa, sebagai metode untuk turba.

Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in sangat terkesan melihat kerukunan dan keakraban pergaulan masyarakat pedesaan di daerah basis, juga tentang tersedianya logistik dalam jumlah yang memadai, serta adanya sarana pendidikan untuk anak-anak.

Selain itu ada cerita-cerita lucu yang disampaikan kurir. Selama di daerah basis, kawan Tionghoa itu selalu didampingi penerjemah. Tapi ada soal ketika Oen Hwa-in berkeinginan turut mandi di sendang. Tentu dia akan bertemu dengan banyak orang desa. Lagi pula, untuk keperluan ini, harus ada penerjemah yang ikut mendampingi. Banyak ungkapan-ungkapan lucu dan lugu yang keluar dari mulut simbok-simbok ndeso. 
“Lho, ono cino wedok melu adus ning sendang,” celetuk simbok ndeso.
Begitu pula ketika keduanya dijamu makan oleh keluarga seorang kawan. Seperti umumnya orang desa, mereka kalau makan nasi menggunakan suru, (sendok makan yang terbuat dari daun pisang). Jarang yang menggunakan sendok dan garpu.

Tentu saja Tan Tse-thai maupun Oen Hwa-in kebingungan, bagaimana cara menggunakannya? Sebab keduanya belum pernah sekalipun makan nasi memakai suru.

Senin, 30 September 2019

Yang Terpisah Karena 1965


Oleh Nur Janti



Setelah penangkapan besar-besaran di Yogyakarta, anak-anak Mia Bustam terpaksa hidup berpencar.

Sri Nasti Rukmawati di kediamannya. (Fernando Randy/Historia).

SRI Nasti Rukmawati (72) tak pernah lupa hari-hari setelah Peristiwa 1965. Baginya, hari-hari itu merupakan hari melelahkan, mengerikan, dan menakutkan. Yang lebih penting, hari-hari itu membalikkan nasibnya, nasib orangtuanya, nasib adik-adiknya, dan entah nasib berapa ratus ribu orang lain yang dicap kiri
“Kami hidup sudah seperti pelarian. Menumpang di rumah kerabat-kerabat,” kata Nasti.

Kala Nestapa Tiba  

Yogyakarta, 20 Oktober 1965. Tedja Bayu pamit pada ibunya, Mia Bustam, untuk tugas jaga di Gedung Chung Hwa Tsung Hui (CHTH). Baru beberapa langkah diayunkan Tedja Bayu dari pintu depan, ibunya memanggil. Seketika itu, Tedja Bayu dipeluk dan dicium ibunya.

Itulah momen terakhir kali Tedja Bayu dan Mia Bustam bertemu sampai akhirnya berpisah selama 14 tahun. Tedja dan kawan-kawannya yang menjaga Gedung CHTH diangkut dan ditahan di Penjara Wirogunan. Seperti dikisahkan Mia Bustam dalam Dari Kamp ke Kamp kala itu, usia Tedja masih 21 tahun.

Mia Bustam di usia senja. (Koleksi pribadi Sri Nasti Rukmawati).

Tedjalah orang pertama dalam keluarga Mia Bustam yang ditangkap. Mia dan keluarga was-was atas penangkapan itu. Selain Mia merupakan anggota Lekra, anak kedua Mia, Sri Nasti Rukmawati (adik Tedja Bayu), merupakan anggota non-aktif CGMI. Mereka pun khawatir sewaktu-waktu diciduk.
“Rumah kami yang dari bambu (gedheg, red.) dihuni ber-15 orang, keluarga sendiri 8 ditambah teman-teman yang lain,” kata Nasti pada Historia.
Beberapa teman Nasti menganggap rumah Mia Bustam di Papringan, Sleman cukup aman untuk sembunyi. Rumah itu ditinggali oleh Harno, Mojito, Waham, Dono, Kirnadi, Pujo, Wasito, Natangsa, Sampeten, Supandi, Harni, Proletari, dan seorang mahasiswi. Para perempuan tidur di dalam, sementara anak lelaki tidur di luar dengan menggelar tikar.

Pada 23 November 1965, Mia hendak ke pasar untuk belanja keperluan ulang tahun Watu Gunung yang ke-17. Saak akan berangkat, tiba-tiba di luar terdengar suara truk tentara. Satu per satu anak-anak yang tinggal bersama Mia pun lari tunggang-langgang. Sebagian besar lari dan sembunyi di kali.

Kirnadi, rekan Nasti di CGMI yang menumpang di rumahnya, langsung melepas kemeja dan celana panjangnya begitu tentara datang. Dengan hanya mengenakan singlet dan kolor, Kirnadi berpura-pura sebaga jongos, lalu menyapu-nyapu di kandang ayam. Menyaksikan hal itu, Watu Gunung langsung tanggap. Ia pun ikut bersandiwara.
“O… Kerjone mbok sing bener!” (Kerja yang benar, red.)
Ketika hampir semua penghuni rumah Mia Bustam diangkut ke truk, salah satu tentara menanyai anak-anak Mia yang usianya di bawah 17 tahun, seperti Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, kembar Daya dan Gawe, dan Abang Rahino (Rino). Rino kala itu masih 9 tahun, Kelas 3 SD sementara Watu Gunung kelas 2 SMA.
“Kamu kalau ibumu ditangkap untuk hidup sementara gimana? Sama siapa?” tanya si tentara.
“Ada kakak,” jawab salah seorang anak Mia.
“Di mana kakakmu?”“Itu, di atas truk.”“Yang namanya Sri Nasti Rukmawati turun. Jaga itu adik-adikmu!” kata si tentara.
Seketika Nasti turun dari truk, batal diciduk. Ketika pencidukan itu, Nasti berusia 18 tahun.

Saat itu banyak tersiar kabar gadis-gadis yang keluarganya jadi tahanan politik akan dibujuk oleh tentara agar mau jadi istri atau lebih parah, istri muda. Nasti yang ketakutan lantas mengungsi ke rumah kerabatnya di Klitren sementara adik-adiknya tetap tinggal di Papringan.
“Saya takut sekali waktu itu. Jadi saya tinggalkan mereka, pindah tempat. Tapi sampai sekarang masih tersisa rasa bersalah, kenapa saya tinggalkan mereka,” kata Nasti.
Nasti kemudian diungsikan ke rumah Pak Djadi Wirosubroto, anggota DPR dan mantan ketua BTI, di Jayengprawiran, Klitren. Pak Djadi pun kemudian ditangkap karena keterlibatannya dengan BTI. Selama tinggal di Jayengprawiran, Nasti hanya bisa berkirim kabar dan pesan kepada adik-adik melalui rekannya. Dalam kondisi penuh teror tersebut, jangankan bertemu langsung, berkirim surat saja sudah menimbulkan kekhawatiran.
“Cerita dari adik saya, ketika tinggal di Papringan selepas penangkapan ibu, itu sulit sekali. Kadang mereka kelaparan, makan daun pepaya sudah enak,” kata Nasti. Pasca-penangkapan pada 23 November itu, Watu Gunung mengalami shock sehingga lebih banyak merenung di rumah.
Dalam keadaan seperti itu, Sekar Tunggal-lah yang kemudian mengambil-alih peran berbagi tugas rumah tangga dengan adik-adik lainnya.

Hampir tiap malam, ada saja tentara yang mengetuk pintu rumah mereka. Suara khas sepatu lars, prok-prok-prok, selalu mendahuluinya. Satu kali, mereka mengaku sebagai Aidit, Njoto, dan tokoh-tokoh PKI lain. Mereka berpura-pura tidak tahu Mia Bustam telah tertangkap sehingg menyebut-nyebut namanya seolah minta tempat mengungsi. Enam bersaudara anak Mia pun sepakat untuk tidak membukakan pintu malam-malam. Sepanjang itulah mereka mesti menahan diri dari rasa takut yang muncul dari balik tiap ketukan pintu. 
“Sampai saat ini, adik saya Sekar Tunggal masih trauma jika mendengar suara sepatu lars atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa 1965,” kata Nasti.
Situasi anak-anak Mia yang terpencar dan hidup sendiri itu membuat Suhardo Harjodisastro, ipar sepupu Mia yang bekerja di Departemen Kehakiman, merasa iba. Dia lalu datang ke Yogya. Mulanya Hardo mengunjungi Mia di Wirogunan, lantas mengunjungi anak-anak Mia di Papringan. Hardo menyatakan bersedia menampung mereka.

Ketujuh anak Mia, yakni Nasti, Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino akhirnya sepakat ikut Hardo tinggal di Jakarta. Transistor dan barang-barang lain mereka jual untuk bekal ke Jakarta. Rino dan Shima berangkat lebih dulu, diantar Ali putra Pak Djadi. Nasti beserta adik-adiknya yang berkumpul di Stasiun Tugu menyusul kemudian.

Sesampainya di rumah Hardo,  anak-anak Mia lalu dipencar agar tidak menumpuk di satu kerabat. 
“Terus Ibu Hardo itu bilang, ‘sebelum kamu tinggal di rumah kerabat yang lain, ada baiknya kamu pamit dulu dengan bapak’,” kata Nasti menirukan bibinya.
Nasti menceritakan kembali tragedi 1965 yang memisahkan keluarganya. (Fernando Randy/Historia).

Anak-anak Mia pun menemui Sudjojono. Kala itu Sudjojono sudah menikah lagi dengan Rose Pandanwangi dan tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ketika Nasti meminta izin untuk tinggal di rumah kerabatnya, Sudjojono keberatan. 
“Kalian kan anak-anakku. Untuk apa tinggal di rumah kerabat lain? Tinggallah di sini saja bersama adik-adik,” kata Sudjojono, ayah Nasti.
Rumah Sudjojono cukup ramai saat itu. Selain ada dua anak Sudjojono bersama Rose, tinggal pula di sana tiga anak Rose dari pernikahan sebelumnya. Ditambah tujuh anak Sudjojono-Mia, maka total ada 12 anak di rumah tersebut.

Nasti menyadari bahwa ayahnya bukan orang kaya. Hanya lukisan modalnya untuk menghidupi 12 anak. Kalau sedang tak punya uang, Sudjojono akan datang ke Adam Malik untuk menawarkan lukisan karyanya. Untung Adam Malik pasti membeli lukisan itu.

Setelah sekira satu tahun tujuh bersaudara tinggal di rumah ayahnya, pada 1967 satu persatu anak Mia-Sudjojono mulai hengkang dari Pasar Minggu karena ada beragam faktor dan konflik. Nasti, Sekar Tunggal, dan dua adik kembarnya menuruti perintah Sudjojono tinggal di rumah nenek di Semarang.
 “Saya tahu bapak pasti berat. ‘Koe kudu ngerti, nderek eyang aja di Semarang!’ (Kamu harus paham. Ikut nenek saja, red.).
Sementara eyang (bibi Mia bustam yang kemudian jadi ibu tirinya, red.) di Semarang jarak umurnya dengan ibu saya hanya enam tahun dan masih punya lima anak untuk diurus,” kata Nasti.

Watu Gunung, Sri shima, dan Rino tetap tinggal di Pasar Minggu. Namun satu per satu dari mereka lalu juga pergi dari rumah ayahnya. Watu Gunung yang pertama, dia memilih tinggal di rumah temannya yang Tionghoa.

Watu Gunung bekerja jadi loper koran. Suatu hari ketika sedang menjajakan koran, dia bertemu dengan adik ibunya, Bibi Mimies. Watu Gunung pun kemudian ikut bibinya tinggal di Manggarai.

Sri Shima menumpang ke rumah Jenderal Sarwono, tetangga Sudjojono, setelah keluar dari rumah ayahnya. Oleh si jenderal, ia kemudian diantar ke rumah Mimies. Tak lama, Shima pun dikirim ke Semarang, ke tempat eyangnya.

Sementara, Rino tetap tinggal di Pasar Minggu sampai 1973. Ketika dijenguk Nasti di Pasar Minggu pada bulan Juni, Rino menanyakan alamat Nasti di Semarang. Dengan dibantu teman perempuan Watu Gunung (kemudian hari jadi isterinya), Rino lalu kabur ke Semarang. “Kebetulan sekolah (kelak) istrinya Watu Gunung dan Rino itu lapangannya sebelahan di PSKD,” kata Nasti.

Rino mulanya ke rumah Mimies. Dari Manggarai Selatan, dia baru berangkat ke Semarang untuk tinggal bersama Nasti yang sudah menikah. Rino kemudian disekolahkan di STM Ukir di Jepara, padahal keinginannya ialah belajar sejarah.
“Akibat dari 65 itu macam-macam. Soal pendidikan pun kami tak bisa berbuat banyak. Kuliah saya tidak bisa dilanjutkan. Minat adik-adik saya tak bisa disalurkan,” kata Nasti.
Dia dan adik-adiknya menjadi satu dari sekian nasib keluarga dalam pusaran konflik politik besar negara. Masa kecil mereka ada di bawah bayang-bayang teror, sementara mereka tak punya banyak daya di hadapan negara.
“Peristiwa 65 itu bikin kami tak berdaya, korban yang hidupnya ditentukan oleh orang lain,” sambungnya.

Kamis, 14 Maret 2019

Ulasan: Pemimpin budaya Siauw Giok Tjhan

Saskia E Wieringa | 14 Maret 2019


Untuk insinyur-berubah-ilmuwan politik Siauw Tion Djin tidak ada subjek yang lebih baik untuk tesis PhD-nya daripada menganalisis karir politik ayahnya yang terkenal, Siauw Giok Tjhan.

Untungnya tesis itu kini telah berubah menjadi biografi panjang penuh di mana kita mempelajari lintasan upaya ayahnya untuk memperjuangkan kepentingan orang-orang keturunan Cina yang tinggal di Indonesia dan untuk nasionalisme Indonesia pada umumnya. Posisi berbahaya penulis biografi telah dipahami dengan baik, hasilnya adalah bahwa analisis politiknya adil, sementara para pembaca mendapat untung dari pengetahuan intim yang diperoleh sang anak tentang ayahnya. Ketika ayah Siauw dipenjara dalam gulag Suharto, putranya mengunjunginya dan memiliki kesempatan untuk menanyainya secara luas tentang aspirasi dan lintasan politiknya.

Siauw Giok Tjhan (1914-1981) hidup melalui tahun-tahun penuh pergolakan di akhir penjajahan Belanda, pendudukan dan kemerdekaan Jepang. Dia membantu membentuk lintasan Indonesia, yakin bahwa hanya pengakuan akan keanekaragaman orang-orang di kepulauan ini yang dapat membawa stabilitas dan perdamaian. Dia sangat percaya pada pendekatan integrasi untuk orang Indonesia Tionghoa di masyarakat Indonesia, apakah mereka peranakan atau Tionghoa totok. Orang Tionghoa totok pada umumnya berbicara bahasa Tionghoa dan menganut budayanya, sementara orang Tionghoa peranakan lebih terintegrasi ke dalam Indonesia.

Bakat organisasi Siauw diakui sejak awal. Dia memasuki politik segera setelah kemerdekaan diumumkan, sementara juga memainkan peran penting sebagai jurnalis. Dia sangat percaya bahwa impian Soekarno tentang Indonesia yang sosialis dengan kemakmuran bagi semua akan menjadi yang terbaik bagi orang Indonesia Tionghoa juga. Sebagai anggota parlemen hingga tahun 1965 ia membela kepentingan organisasi terbesar orang Indonesia Tionghoa, Baperki (Badan Konsultatif Kewarganegaraan Indonesia), yang ia dirikan bersama. Pendidikan dan kewarganegaraan adalah masalah utama dalam asosiasi ini.

Selama tahun-tahun terakhir yang penuh gejolak kepresidenan Sukarno, Baperki sangat mendukung kebijakan Sukarno, termasuk dukungannya terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika PKI dimusnahkan oleh militer Soeharto setelah pembunuhan enam jenderal pada pagi hari 1 Oktober 1965, Baperki juga diserang. Kantor dan sekolahnya disita atau dihancurkan, universitasnya terbakar. Siauw Giok Tjhan dan para pemimpin Baperki lainnya dipenjara tanpa pengadilan - karena memang tidak ada yang bisa diadili. Dalam pembantaian yang menyertai datangnya kekuasaan Jenderal Suharto, banyak orang Tionghoa juga dibunuh - baik sebagai anggota Baperki atau karena motif rasis. Di bawah Orde Baru, ekspresi kediktatoran militer dari budaya Tiongkok ditekan.

Dalam bab-bab terakhir penulisnya merefleksikan pertanyaan apakah ayahnya mungkin bersalah atas nasib Baperki. Begitulah kekuatan propaganda Orde Baru, sehingga korban dan penyintasnya sudah lama merasa harus disalahkan. Ketika saya melakukan penelitian tentang Gerwani, organisasi wanita Indonesia yang terkait dengan PKI, beberapa pemimpin senior juga merasa sedih atas pertanyaan ini. Mungkinkah mereka dianggap bertanggung jawab atas nasib banyak wanita muda yang disiksa dan dibunuh secara seksual? Tidak, tentu saja tidak. Para pembunuh dan pemerkosa yang melakukan kejahatan ini harus bertanggung jawab dan terutama para pemimpin mereka yang menghasut mereka untuk melakukan pembunuhan.

Buku ini merupakan kontribusi besar bagi sejarah orang Indonesia Tionghoa, dan organisasi mereka yang paling penting, Baperki. Ini juga memberikan gambaran yang menarik tentang periode penting dalam sejarah Indonesia, dari tahun 1945 hingga 1965. Untuk melihat sejarah modern Indonesia melalui mata seseorang yang sangat terlibat dalam politik tersebut, tetapi jauh darinya, adalah pengalaman yang memperkaya.


Saskia E Wieringa (sewieringa@xs4all.nl) adalah ketua Gender dan Hubungan Sesama Jenis Kelamin Perempuan Lintas Budaya , University of Amsterdam. Dia telah menerbitkan secara luas tentang politik seksual di Indonesia, pemberdayaan perempuan dan hubungan sesama jenis perempuan secara global. Buku-bukunya termasuk Politik Seksual yang menonjol di Indonesia (Palgrave Macmillan, 2002). Dia adalah ketua Yayasan International People's Tribunal (IPT) 1965.

Source: https://www.insideindonesia.org/review-bicultural-leader-siauw-giok-tjhan

Sabtu, 29 September 2018

Sungai Pemali Jadi Saksi Bisu Penumpasan PKI di Brebes


Yunar Rahmawan - 29 September 2018


BREBES – Setiap 30 September, Bangsa Indonesia sudah pasti akan mengingat sejarah kelam, dimana pada tahun 1965 terjadi sebuah pemberontakan oleh PKI. Peristiwa tersebut kita kenal dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI).

Di Kabupaten Brebes, terdapat beberapa tempat bersejarah yang merupakan saksi bisu penumpasan PKI. Salah satunya di Jembatan Pemali Gantung yang berada di Desa Wanacala, Kecamatan Songgom Kabupaten Brebes.

Jembatan yang saat ini dilewati pengendara, merupakan bangunan baru. Sedangkan puing jembatan lama yang menjadi saksi bisu berada di sebelah selatan jembatan baru. Diperkirakan, jembatan lama yang opritnya sudah amblas tergerus arus sungai itu didirikan sekitar tahun 1930-an.

Sejarawan Brebes, Wijanarto menuturkan, sungai Pemali menjadi saksi bisu The Killing Fileds untuk menghanyutkan mayat anggota PKI maupun yang ditengarai sebagai bagian dari konflik horizontal pada masa itu.
“Angka kepastian berapa jumlahnya yang ditumpas tidak pernah kita ketahui, tapi ini bermula dari sejarah tutur yang diceritakan. Karena banyak masyarakat, terutama di wilayah muara sungai pemali, banyak menemukan korban korban ’65, ini menyerupai kejadian di Bengawan Solo dan sungai Brantas Sidoarjo,” jelas Wijan.

Dijelaskan lebih lanjut, pasca Pemilu 1955 menjadi titik kebangkitan PKI setelah berontakan pada Madiun 1948.
 “Konsolidasi dan penyegaran dibawah triumvirat kepemimpinan Dipa Nusantara (DN) Aidit, Nyoto dan Mh. Lukman, PKI melakukan penggalangan anggota hingga menjadi kekuatan politik Indonesia sejajar dengan kekuatan ABRI dan Soekarno pada tahun 1960-an,” papar Wijan.
Termasuk di Kabupaten Brebes, PKI melebarkan sayap dan melakukan penggalangan anggota. Salah satu pemikatnya yakni Program Lendeform, dimana penguasa tanah harus membagikan rata, tidak boleh lebih dari dua hektar. 
“Program tersebut dibawah kenadali Barisan Tani Indonesia (BTI). Ada juga kekuatan buruh melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang keanggotaan diantaranya buruh buruh pabrik Gula dan kereta api,” tutur Wijan.
SOBSI kata Wijan merupakan organisasi yang sukses, karena di Brebes terdapat tiga pabrik Gula. Di antaranya di Jatibarang, Kersana dan Banjaratma
Selain itu, propaganda PKI juga melalui organisasi profesi seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan guru yang tergabung dalam guru Vaksentra.   “Tidak ada angka yang pasti keanggotaan PKI di Kabupaten Brebes saat itu. Namun pasca 1965 terdapat warga Brebes yang ditahan di pulau Buru,” tambah Wijan.
Sementara itu, Wijan menjelaskan imbas dari peristiwa G30S/PKI 1965 baru terasa di wilayah Brebes setelah kehadiran Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) penumpas PKI di Jakarta yang datang ke Brebes pada 7 Oktober 1965. RPKAD datang untuk mengamankan wilayah. Tidak hanya di Brebes saja, tapi mereka juga mengamankan wilayah yang ditengarai sebagai basis PKI.

Pos pos komando didirikan diantaranya di Kecamatan Tanjung dan Brebes kota dengan sentra komando di tempat yang sekarang menjadi Markas Kodim/0713 Brebes. Pasukan lainnya bergerak dari Ciledug untuk menyisir wilayah Brebes Tengah seperti Banjarharjo, Ketanggungan dan sekitarnya.
“Kehadiran Pasukan tersebut menyemangati ormas ormas dan masyarakat untuk melakukan perlawanan dan pengganyangan terhadap gerakan kiri di Brebes,” kata Wijan.
Terdapat juga konflik horizontal. Salah satunya adalah keturunan Tionghoa dituding menjadi anggota Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). 
 “Banyak dari mereka yang melarikan diri ke Cirebon,” tutur Wijan.
Puncaknya, masyarakat Brebes menggelar rapat akbar di Alun-alun Brebes pada 18 Oktober 1965. Banyak dari anggota gerakan kiri maupun yang diduga ikut dalam pergerakan tersebut yang ditumpas dan mayatnya dihanyutkan di sungai Pemali.

Senin, 25 Juni 2018

Political Killing in Indonesia

Introduction: Siswa Santoso 
Berikut di bawah adalah laporan Amnesty International yang pertama terkait dengan pembunuhan massal di Indonesia pasca 1 Oktober 1965. 
Laporan ini setahu saya diembargo oleh Amnesty International, namun saya menemukannya lewat arsip Jacques Leclerq di Kitlv [kini ub-Univ. Leiden] di Leiden. 
Izin tertulis saya peroleh untuk mengakses arsip termaksud, dan saya mengetik ulang naskah laporan, karena tidak diperkenankan mengkopi, menscan, atau memfoto naskah asli.
Dengan begitu, segala kesalahan ketik ada pada saya. enarik, penyelidik Amnesty International pada Juni 1966 sudah mengidentifikasi banyak lokasi pembantaian di pelbagai tempat di indonesia terutama Aceh, Sumatra termasuk Medan, Sungai Ular; Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. 
Tentu laporan ini tidak lagi aktual, namun barangkali ada beberapa detail yang berguna...
__________
Nr.1140:
POLITICAL KILLINGS IN INDONESIA
This report was written by a member of Amnesty International, xxxxx xxxxxx, who was in Djakarta at the beginning of June, 1966. Amnesty does not wish, because of the derivation of some of the facts, to have its name directly connected as a source.
The events of the 30th September last year – the GESTAPU – and the 1st october will presumably remain unclarified for some time. The maze of fear and exaggeration, of lies and political necessity has produced an incredible crop of stories, easily enough to fit any political premise.
However deeply the PKI [Indonesian Communist Party] were involved, and whether Peking gave more encouragement than sympathy, Indonesians have been subject since to a considerable amount of newspaper and radio coverage of accounts of proposed PKI outrage, and a large part of the economic failure of the last years have been systematically blamed on the deliberate undermining of the economy by Peking-backed communism.
Apart from scattered violence that followed immediately after the failure of the coup, the main clashes with the PKI appear to have come only after the arrival of the RPKAD [the army's elite corps of para-commandos] in Central Java towards the end of October. There was little communist resistance although it was said that the killing of PKI in Central Java started as areprisal. The even more severe outbreak in East Javacame on a wave of violence from Central Java at the beginning of November. By the end of november the wave spread to Bali, where the backlog of resentment and rivalry, and the tensions since the beginning of October, produced an emotional fever which resulted in large numbers of houses of communists and Chinese being burned.
Estimates of deaths in Bali range from the official figure of the fact-finding committee at 12,000, to those of reliable observers who quote figures of more than 60,000. At Atjeh violence appears to have been injected with the fire of a holy war. There also there was a great deal of anti-Chinese rioting according to one report no Chinese were left alive in the west coast area of the Province. A notable instance of the strength of the anti-Chinese feeling were the riots in Medan in North Sumatra, where staff of the Chinese consulate frightened by a demonstration, fired above the heads of the crowd, and thereby provoked the wreckage of the Chinese district with a loss of approximately 200 lives. In north Sumatra the army seems to have played a more active role in the attempt to eliminate the PKI – the official figures from Antara were 10,500 arrested, and many of these were shot and their bodies thrown into the Sungai Ular. Reliable information, apart from rumours, about the undoubted killings and arrests in other areas is even more difficult to obtain, although there are some Antara figures, such as the arrest of 30,000 [reported on the 20th December] from S. Kalimantan.
Total figures of any accuracy may never be known. Major General Sumarno's fact-finding committee announced on March 1st a total of 78,000 killed. This would appear, however, to be well below the figures more commonly accepted [excepts, perhaps, by the student groups]. Before Dr. Subandrio's overthrow in mid-March there were strong rumours that he wanted to have Nasution and Suharto tried for genocide, and the number of dead was mentioned at a quarter of a million. The Western press usually quote figures between 300,000 and 750,000, although up to two million has been suggested. But as one Australian journalist pointed out, one raft carrying ten bodies floating down a stream seen by ten differrent people, becomes quite easily 100 dead. A reliable informant, in Bali in late may, said that the figures quoted to him by a village headmen could scarcely make up the lowest estimates. However a Balinese theological student, at home during December, talked of whole villages being wiped out, of streets piled high with bodies and of a total there of three quarters of a million killed.
Certainly the families of the PKI or suspected PKI suffered also. Many women and children were killed. Army authorities on several occasions are reported to have said that the killing of the immediate family was done in order to stop reprisals either in the near or less immediate future. The extent of the death must often have been carried out for fear of future power to redress a balance. There was a similar uprising of the Communists in 1948. PKI members, prior to the coup, numbered in the region of three million [in the 1955 elections – the last to be held in Indonesia – they polled 16.4 per cent of the total]. Their power was perhaps not so great as it appeared, but for years it had been a bluff that was working; andthe general reaction still is 'it was them or us'.
There are official numbers of arrests, but these too seem to be underestimated. Malik mentioned a figure in April of 160,000, but by early June it was generally accepted that the figure was nearer 200,000. even this may well be an understatement. Those reported as being directly involved in the coup [some of these are communists, but many are not] are being tried by military tribunal, and reports indicate that those tried are found guilty and shot. Leaders and cadres of the PKI and its associates, containing the middle echelon of important communists, are considered a major security problem, and despite official assurances, some detainees are being summarily executed. There have been realeases, but both the prison authorities – presumably in most cases the army – and the released prisoners have found themselves in difficulties. Those being released fear the consequences of freedom, an in some cases they are demonstratably correct in their fears. Those responsible for these releases fear both an upsurge of feeling against the ex-prisoners, and perhaps even more, reprisals from them.
Rumours have been heard from different sources of the sending of prisoners from java and Bali to the outer islands, to become auxiliary soldiers and/or forced labourers [settlers?]. Food at the moment is a problem throughout most of the islands, but usually it seems that the ration of six ounces of rice a day is being given to the prisoners. Accounts of illness, insufficient water and malnutrition are current. Food has improved but here certainly were many cases of malaria in the prisons inCentral Java at the beginning of June.
The Protestant and Roman Catholic Churches have been a right of entry and access to prisoners of their own faith. Fear has stultified the sual ability of the Indonesians to care for each other, and apart from some brave exceptions, widows and children have often been totally ostracised, churches there is little effort being made; Muslims [Indonesia is 90% Muslim, though only a small amount of this is at all extreme] regard the elimination of the Communists as being in many ways part of a religious war. The political tensions still extant, even after the banning or the PKI in March and the removal of Subandrio, have effectively frightened most people too much for the usual 'gotong royong' atmosphere. The possibility of the removal of Sukarno as an alternative to the unacceptable donditions he played on the endorsement of the Bangkok Pact [despite the curbing of his powers] is the cause of further tensions, about which, particularly in Central and East Java, and within the army itself there is mounting controversy.
_____________
July, 1966
xxxxxxx xxxxxx is of Investigation Bureau

Nr.1142:
...p.6:
October 1, 1965 and After then came the October 1 coup. Debate will continue for a long time on just what was attempted on that day, and particularly on what the precise relationship was between Lieutenant-Colonel Untung, the palace guard officer who attempted to seize power, and the Indonesian Communist Party which gave him at least qualified support, and on whether Peking was involved. What is clear is that the coup's defeat produced a radically new constellation of power in Indonesia, and that the army leaders who had survived the coup were able to blame it onto both the Indonesian Communists and the Chinese government. This is the explanation which has come to be accepted in Indonesia.
The Chinese in Indonesia were soon a target of army and popular hostility. Baperki, the largest organization of the Indonesian-citizen Chinese was banned in October, and its university in Djakarta was burned down. Chinese shops were burned in a number of towns inOctober and November and there were several attacks on the homes of Communist Chinese diplomats. Moreover there were occasional press demands for Chinese property to be seized. Some hundreds of Chinese reportedly left the country. But the violence directed against the Chinese was on a markedly smaller scale than that directed against the Indonesian Communists and army commanders in a number of the cities seem to have taken pains to see that no anti-Chinese rioting got under way. The tension was certainly great in this two-month period, and the number of Chinese who lost their lives asa result of mob violence – mainly in the smaller towns and rural areas, but also in one or two cities, like Makassar – probably ran to some hundreds. But the worst was still to come.
On December 19 an official at the Chinese consulate in Medan, North Sumatra, let off shots of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This of gunfire against a group of hostile demonstrators outside. This led the demonstrators to march on a part of the Chinese business district, which it proceeded to burn and wreck, with at least 75 and perhaps up to 200 Chinese persons losing their lives on the one day. There was similar violence, on a smaller scale, in Bandjarmasin and a great deal on the islands of Bali, Lombok and Sumbawa. Estimates can only be very general and tentative, but it seems likely that the number of Chinese who [mulai halaman 7:] hen been killed had reached four figures by the end of January 1966. this is not a particularly high figure if one bears in mind that the post-October 1965 massacres of people alleged to have had connections with the coup movement or the Communist party are thought to have cost between 200,000 and 500,000 lives [7]. 
President Soekarno's attempt to reassert his power in February, when he annouced a cabinet reshuffle which involved the dismissal of General Nasution, resulted in a temporary softening of Sino-Indonesian relations and a partial abatement of pressure on the Indonesian Chinese. But the abatement was shortlived. By March 11 President Soekarno had been forced to hand over most of his powers to General Soeharto, and it was clear that those who had brought about this change – a coalition of army officers and the KAMI and KAPPI student organizations – included some strongly anti-Chinese groups.
The Latest Phase [8]
in the period immediately after the “muffled coup: of March 11a new wave of anti-Chinese actions began, one which the Western press has almost entirely ignored. In late March the new government decided that the New China News Agency which had frequently been denounced for its attacks on the Indonesian government and army, would have to close it Djakarta office, and then that the Chinese consulates in Makassar, Bandjarmasin and Surabaja would have to close. A large number of Chinese diplomats left Indonesia around the same time.
In April KAPPI demonstrators seized Chinese language schools in a snowballing series of actions in various cities and towns actions which were justified on the grounds that these schools were centres of Communist indoctrinations. In almost every case the actions of the KAPPI groups were followed by decisions of the local military commanders that these schools would be closed; and these bans were extended in some centres to various Chinese social organizations, some of them said to be harboring fugitive Communists. By the end of April very few Chinese-language schools were open, and government statements suggested that their closing might be permanent. This was to be confirmed on May 19 when it was announced that the government had bannedthe operation of foreign - run schools apart from ones established by foreign embassies for the families of their own staffs.
On April 12 the Peking government demanded that Chinese nationals in Indonesia be permitted to return to China immediately, that emigration procedures be simplified to make this possible, and that the Indonesian governement provide ships to take them there. The Indonesian governement replied by saying that the alien Chinese were entirely free to leave the country, but only after complying with the emigration procedures which obtained, and that it was no part of Indonesia's responsibility to facilitate their travel to China.
On April 15 a rally of Indonesian-citizen Chinese was held in Djakarta, at which resolutions were passed for the closing down of all Chinese-language schools in Indonesia and the breaking of diplomatic relations with Peking. Those attending the rally went on from there to demonstrate outside the Chinese embassy, where they fought with chancery officials, wounding one of them. On the following day Djawoto, the pro-Communist Indonesian ambassador in peking, resighned from his post, denounced the Djakarta governement for its Right-oriented domestic and foreign policy and whipping up of “racist terrorism” and was granted political asylum in China. At the same time China withdrew the technicians who were building a textile mill in West Java under an aid agreement dating back to before October 1965.
by this time most of the stops were out. Radio Peking had been strident in what it ....
[7]: See especially the articles of Nicholas Turner [Guardian, April 7, 1966], of the Special Correspondent of the London Times [April 13, 1966], of C.L. Sulzberger [New York Times, April 13, 1966], of Robert Sa. Elegant [Los Angeles Times, April 22, 1966], and of Stanley Karnow [Washington Post, May 4 and 5, 1966].

Source: 
Siswa Santoso 

Sabtu, 28 April 2018

Kisah Muslim Komunis Jadi Pahlawan Nasional Cina

Novi Basuki | 28 Apr 2018, 22:36

Ma Jun (1895-1928). Foto: Repro "Kumpulan Tulisan Memperingati Ma Jun (Ma Jun Jinian Wenji)."

BIARPUN “selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam,” Gus Dur dalam esainya, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” yang dimuat Persepsi No.1, 1982, “menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.”
Buktinya, dalam ranah praksis, penganut Islam yang sekaligus menjadi pengamal komunisme pun ada di pelbagai negara. Jika Partai Komunis Indonesia (PKI) punya Haji Misbach dan Partai Komunis Prancis punya Hadj-Ali Abdelkader, maka Partai Komunis Cina (PKC) punya Ma Jun untuk dijadikan amsal. Sebut saja mereka, pakai bahasa Arab, “muslim syuyū‘ī”, alias muslim komunis.
Saya hendak memperkenalkan Ma Jun di sini. Mengenai Haji Misbach si Haji Merah dan Hadj-Ali Abdelkader, sila baca, misalnya, karya klasik Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926, dan “Hadj-Ali Abelkader: A Muslim Communist in the 1920s”, makalah Ian Birchall dalam International Socialist Review Issue #105 Summer 2017.
Latar Belakang Kehidupan
Ma Jun, ditengok sekilas melalui marga di depan namanya, sudah bisa diterka dia bukan bersuku Han. Sandarannya, “Ma” yang jamak diketahui merupakan perubahan kata (verbastering) dari “Muhammad”, adalah marga yang biasa dipakai Hui, suku pengikut Islam terbesar dan terluas perseberannya di Cina sampai dewasa ini.
Memang, “Ma Jun dilahirkan pada 12 September 1895 dalam keluarga suku Hui muslim di sebuah kota kuno di Cina bagian timur laut –Kabupaten Ning’an, Provinsi Jilin (sekarang bagian dari Provinsi Heilongjiang),” tulis Sha Yunzhong dalam “Ma Jun, Anggota Partai Komunis Suku Hui Pertama Jilin” (Ma Jun, Jilin Di yi wei Huizu Gongchandang yuan) yang tercantum di buku Kumpulan Tulisan Memperingati Ma Jun (Ma Jun Jinian Wenji) terbitan Agustus 1995.
Ayahnya, Ma Xigui, adalah pengusaha makanan asal Provinsi Shandong. Sebagai anak dari kelas borjuis –kalau boleh disebut begitu– Ma Jun disekolahkan di sekolah privat (sishu) sejak 1903. Tiga tahun kemudian, dia melanjutkan pendidikan dasar di sekolah Islam (qingzhen xuetang) yang didirikan oleh bapaknya untuk kalangan muslim tak mampu di kampungnya. Setelah tamat pada 1912, Ma Jun bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Jilin. Demikian diinformasikan Ma Weiping, cucu lelaki Ma Jun, dalam buku Bukan Sekadar Keturunan: Menyimak Sesepuh Bercerita Masa Lalu (Bu Jin shi Xueyuan de Chuancheng: Ting Fubei Jiang Na Guoqu de Shi, 2013).
Kejatuhan Dinasti Qing melatarbelakangi kehidupan Ma Jun sejak kanak-kanak sampai remaja. Setelah kehilangan Hong Kong lantaran dua kali kalah dalam Perang Candu (1839–1842 dan 1856–1860) melawan Britania Raya, Dinasti Qing kembali babak belur dibombardir Jepang sehingga harus melepas kendalinya atas Dinasti Joseon, Korea, melalui Perjanjian Shimonoseki pada 17 April 1895.
Para petani yang gerah terhadap terus menguatnya pengaruh asing di tengah semakin merosotnya Dinasti Qing, mengobarkan Pemberontakan Boxer (1899–1901). Mereka meneriakkan slogan “dukung Qing, ganyang Barat” (fu qing mie yang) seraya membunuhi orang-orang luar negeri yang berada di negaranya.
Dinasti Qing kian porak-poranda karena delapan negara beraliansi (Austria-Hongaria, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Britania Raya dan Amerika Serikat) menyerang Beijing untuk menumpas pemberontakan tersebut. Dinasti Qing tak berdaya. Protokol Boxer (Xinchou Tiaoyue) terpaksa diteken. Pajak nasional dinaikkan untuk memenuhi tuntutan ganti rugi negara-negara itu karena keuangan Dinasti Qing cekak. Rakyat berang. Revolusi Xinhai 1911 yang meruntuhkan Dinasti Qing tak terhindarkan.
Sun Yat-sen lantas mendirikan Republik Cina (ROC) yang berpondasikan nasionalisme (minzu), demokrasi (minquan), dan kesejahteraan sosial (minsheng). Meski negara baru ini tampak kokoh dan bersatu di atas Tiga Prinsip Rakyat (San Min Zhuyi) itu, namun sebenarnya rapuh dan terfragmentasi lantaran digerogoti para faksi militer panglima perang (junfa) yang lebih mementingkan keperluan pribadi di daerah kekuasaannya masing-masing ketimbang kepentingan nasional.
Puncaknya, di bawah kepemimpinan Jenderal Yuan Shikai, ROC secara sembunyi-sembunyi menyetujui tak sedikit dari 21 poin ultimatum Jepang (taika nijūikkajō yōkyū) setelah Negeri Sakura itu mengalahkan Jerman dalam operasi pengepungan Qingdao (siege of Tsingtao) pada 7 November 1914. Di antaranya, Tokyo diizinkan memperluas pengaruhnya di Manchuria dan mengambil alih wilayah konsesi Berlin di Shandong.
Atmosfer politik begitu, memungkinkan benih-benih perlawanan terhadap apa yang dibilang “exploitation d’lhomme par l’homme” dan/atau “exploitation de nation par nation” oleh Soekarno, mengakar dalam diri Ma Jun sejak dini. Apalagi, kampung halamannya –yang secara geografis bagian dari Manchuria– adalah medan yang bersentuhan langsung dengan penindasan imperialis dimaksud.
Aktivis Gerakan 4 Mei 1919
Maka, tatkala mendengar kabar ribuan pelajar di Beijing menggelorakan Gerakan 4 Mei (Wusi Yundong) sebagai protes terhadap melempemnya ROC pada tekanan Jepang yang bernafsu mengukuhkan kekuasaannya di Shandong melalui Konferensi Perdamaian Paris, jiwa patriotik Ma Jun tak bisa dibendung. Dia yang saat itu berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Atas Swasta Nankai (Sili Nankai Zhongxue), Tianjin, terang Shen Zhidu dalam “Beberapa Kenangan Mengikuti Gerakan 4 Mei” (Canjia Wusi Yundong de Ji Dian Huiyi) yang dirangkum jilid 2 buku Memoar Gerakan 4 Mei (Wu Si Yundong Huiyilu) cetakan Maret 1979, langsung mengikhtiarkan dan terpilih menjadi wakil ketua cum kepala pelaksana kegiatan Persatuan Pelajar Tianjin (Tianjin Xuesheng Lianhehui) yang didirikan pada 6 Mei.
Melalui organisasi yang mewadahi perwakilan pelajar dari 15 sekolah menengah atas dan tinggi Tianjin tersebut, Ma Jun mengorganisir massa turun ke jalan, melakukan aksi mogok sekolah dan mogok dagang serempak untuk menyuarakan dukungan terhadap Gerakan 4 Mei. Senada dengan pelajar ibu kota, dia melaknat pemerintah ROC yang dianggapnya menjual negara.
Ketika per awal Juni pemerintah ROC menangkapi pelajar yang hampir sebulan berdemonstrasi di Lapangan Tiananmen, ungkap Liu Qingyang dalam “Rakyat Tianjin yang Telah Sadar” (Juexing le de Tianjin Renmin) yang dihimpun antologi Gemilang 4 Mei (Guanghui de Wusi) keluaran April 1959, Ma Jun pada 5 dan 8 Juni memimpin long march berpeserta ribuan ke kantor gubernur Provinsi Hebei walau dihadang aparat bersenjata. Dia menghadap gubernur, menuntut supaya pemerintah memberikan kebebasan dan tidak mengintervensi aktivitas orasi pelajar. Ma Jun juga memintanya menelegram pemerintah Beijing agar melepas pelajar yang ditangkap dan membatalkan bisnis penjualan negara kepada Jepang.
Tak cukup di Tianjin, Ma Jun terjun ke Beijing. Masih merujuk Liu Qingyang, bersama pelajar lain, dia pada 27 Juni berpanas-panas selama dua hari di depan istana Presiden ROC Hsu Shih-chang untuk menyampaikan petisi penolakan penandatanganan Perjanjian Versailles sebab pasal 156–158 memandati Jepang mengambil konsesi Jerman di Semenanjung Shandong yang semestinya diserahkan ke ROC sebagai salah satu negara pemenang Perang Dunia I.
Sekitar dua bulan dari keberhasilan menekan pemerintah ROC tidak menandatangani Perjanjian Versailles, Ma Jun membawa massa dalam skala besar lagi ke Beijing. Dia, mulai 26 sampai 28 Agustus, mengomando sekitar tiga sampai empat ribu orang di Lapangan Tiananmen mendesak pemerintah menghukum Ma Liang, muslim yang menjabat danramil (zhen shou shi) Jinan, Shandong.
Lantarannya, Ma Liang telah membunuh Ma Yunting, tabib muslim yang menjadi ketua Asosiasi Muslim Jinan Penolong Negeri (Jinan Huimin Jiuguo Houyuandui), beserta dua anggotanya, Zhu Chunshou dan Zhu Chunxiang. Mereka bertiga dihabisi karena pada 21 Juli, jelas Fang Chuangui dan Wang Qunyan dalam “Awal Mula Penggerudukan Kantor Koran Changyan” (Za Changyan Bao Shimo) yang dimuat Literatur Kronik Provinsi Shandong (Shandong Sheng Zhi Ziliao) No. 2, 1959, turut dalam aksi menduduki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Shandong dan menggeruduk kantor Koran Changyan (Changyan Bao) yang pro-Jepang.
“Untuk memperingati perjuangan [‘aksi bela Islam’ Ma Jun di Tiananmen] tersebut, kami semua menggelari Ma Jun sebagai Ma Tian’an,” kata Liu Qingyang dalam artikel “Mengingat Ma Jun di Era 4 Mei” (Huiyi Wusi Shiqi de Ma Jun) di buku Memoar 4 Mei (Wusi Huiyilu) edisi April 1959. Liu adalah wanita Hui yang aktif berkecimpung dalam Gerakan 4 Mei bareng Ma Jun. Dia, Ma Jun, Zhou Enlai, Deng Yingchao, Guo Longzhen dan 15 orang lainnya membentuk kelompok progresif Paguyuban Sadar (Juewu She) pada 16 September 1919. Mereka pernah mengundang Li Dazhao –salah satu pendiri PKC yang dijuluki “penegak panji sosialisme pertama di Cina”– untuk memberikan petuah.
Ma Jun tak jera melakukan beragam gerakan sekalipun sempat dibekuk gara-gara aksinya di Tiananmen itu. Sekembalinya bertugas sebagai perwakilan Tianjin untuk Asosiasi Antargolongan Nasional (Quanguo Gejie Lianhehui) di Shanghai sejak 25 September, informasi mengenai pembunuhan pelajar Fuzhou oleh Jepang pada 16 November, membuatnya naik pitam. Dia bermanuver memboikot dan membakar produk-produk Jepang di pasar-pasar Tianjin. Celakanya, langkah tersebut malah mengantarkannya ke jeruji besi pada 24 Januari 1920.
Liao Yongwu dalam “Ma Jun di Era 4 Mei” (Wusi Shiqi de Ma Jun) yang dipublikasikan di jurnal Literatur Kajian Zhou Enlai Masa Muda (Zhou Enlai Qingnian Shidai Yanjiu Ziliao) No. 3, 1984, menuturkan, demi menyelamatkan Ma Jun dan kawan-kawannya yang diciduk, Zhou Enlai menghelat unjuk rasa akbar di depan kantor gubernur Hebei pada 29 Januari. Sial, Zhou malah ikut digiring ke bui. Mereka mendekam di penjara selama sekitar enam bulan lamanya. Seluruh perkumpulan berhaluan nasionalis dibubarkan oleh penguasa.
Komunisme & Agama Menurut Ma Jun
Setahun berselang, tepatnya pada 23 Juli 1921, PKC resmi berdiri di Shanghai. Ma Jun menjadi salah seorang yang paling awal masuk sebagai anggotanya. Dia lalu diutus ke wilayah Manchuria untuk mempropagandakan partai besutan Chen Duxiu dan Li Dazhao tersebut, sebelum pada Oktober 1925 dikirim ke Uni Soviet untuk belajar di Moscow Sun Yat-sen University.
Selama di Moskwa, Ma Jun membikin heran teman-temannya karena tetap ogah makan daging babi padahal dia sudah berpartai komunis. Catatan Chen Shaoyu alias Wang Ming –kelak ketua Komite Hukum Dewan Negara Republik Rakyat Cina (PRC)– bertitimangsa 1936 yang termaktub dalam Literatur Sejarah Pahlawan Revolusi Hebei (Hebei Geming Lieshi Shiliao) produksi Desember 1959, menyuguhkan jawaban Ma Jun soal itu.
“Sekitar tahun 1926 [...] tak ingat [kenapa saya] lagi-lagi bertanya kepada Kamerad Ma Jun perihal mengapa dia tidak makan daging babi. [Pertanyaan saya itu] membuat dia berbicara sekitar 40 menit mengenai masalah tersebut –bukan, bukan pembicaraan biasa, melainkan sungguh adalah pidato ihwal agama [beserta hubungannya dengan] relasi Hui dan Han.”
Berdasar ingatan Chen, Ma Jun menjawab:
Aku tentu ingat, terlebih paham betul dan percaya, ucapan terkenal Karl Marx ini: ‘agama adalah candu masyarakat’. Namun, di waktu yang sama, justru karena aku adalah pengikut Marxisme-Leninisme itulah, maka aku juga sangat paham dahsyatnya kekuatan agama di dalam masyarakat. Karena itu, aku bukan hanya tidak [mau] menghina orang yang menganut agama apapun, tapi juga sebaliknya, aku senantiasa menghormati kebebasan mereka berkeyakinan.
Aku tidak makan daging babi setelah beberapa tahun masuk partai [komunis], bukan hanya karena aku tidak rela meninggalkan kaumku, suku Hui [yang notabene muslim], tapi juga karena ingin, sebisa mungkin, menjadi mediator hubungan [yang acap tidak harmonis] antara suku Han [yang notabene nonmuslim]. [...] Sekalipun ada perbedaan keyakinan agama [antara Hui dan Han], tapi sesungguhnya tak ada perasaan benci, apapun bentuknya, yang tak bisa dihilangkan. [...] Kalau semuanya berseteru terus-menerus, akan sama-sama celaka pada akhirnya. [...] Aku ingin menjadikan Hui dan Han bersatu di bawah bendera perjuangan bersama.
Aku seorang Hui, [dan] aku sangat paham susahnya melakukan gerakan komunis di dalam masyarakat Hui, apalagi kalau gerakan itu dilakukan oleh orang yang bukan Hui. Karena itu, aku ingin berjuang dengan tetap tinggal dalam suku Hui. Namun, di waktu yang sama, sekalipun aku seorang Hui, aku tak memiliki sedikit pun stereotip etnis [dan agama] yang sempit.
Pendek kata, problem utama suku Hui dan suku Han [boleh dibaca: muslim dan nonmuslim], bukanlah makan atau tidak makan daging babi, melainkan bagaimana agar [keduanya] saling memahami, saling memercayai, dan saling mengasihi, agar bisa sama-sama berjuang untuk sama-sama merdeka.
Membaca jawaban Ma Jun yang dituturkan ulang oleh Chen Shaoyu itu, dia sepertinya ingin menjadikan komunisme sebagai jalan untuk –meminjam istilah Gracchus Babeuf (1760–1797), jurnalis Prancis berjuluk “komunis revolusioner pertama”– mewujudkan “kebahagiaan bersama” (le bonheur commun) tanpa perlu menghilangkan apapun identitas diri yang dipunya.
Pula, nampaknya, Ma Jun tak urus apapun agama atau kepercayaan yang diimani seseorang. Dia barangkali mau mengejawantahkan QS. Al-Baqarah 256 “lā ikrāha fī al-dīn” (tak ada paksaan dalam agama) serta QS. Al-Kāfirūn 6 “lakum dīnukum waliya dīn” (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Baginya, baik beragama atau tidak, yang paling krusial adalah “saling memahami, saling memercayai, dan saling mengasihi, agar bisa sama-sama berjuang untuk sama-sama merdeka.”
Sebab, memakai wejangan Dalai Lama –pemimpin spiritual Tibet yang dilansir laman Newsweek(1/11/2015) mengaku seorang Marxist– dalam buku Kindness, Clarity, and Insight (1984), “Tak peduli apakah seseorang percaya atau tidak pada agama, [...] [yang pasti] tak akan ada seorang pun yang tidak mengapresiasi sikap welas asih (compassion).”
Kematian Pahlawan Revolusi
Laskar Ekspedisi Utara (bei fa) pimpinan Generalissimo Chiang Kai-shek dari Akademi Militer Whampoa Guangzhou untuk memerangi pemerintahan panglima perang di Beijing guna mereunifikasi ROC, mulai melakukan pembantian besar-besaran terhadap anggota PKC di Shanghai pada 12 April 1927. Pembersihan komunis terus berlanjut di daerah-daerah lain. Front persatuan perdana PKC dan Kuomintang sebagai “balas jasa” atas sokongan Uni Soviet terhadap Partai Nasionalis tersebut, pupus karena Insiden 12 April itu.
Beijing yang sejak akhir 1924 dikuasai oleh faksi militer Zhang Zuolin, panglima perang Manchuria, juga memburu dan menghabisi orang-orang komunis. Li Dazhao pun mati digantung oleh Zhang pada 28 April 1927.
Di tengah mencekamnya situasi politik negeri, Ma Jun pada Agustus 1927 dipanggil pulang untuk mereorganisasi dan menjadi sekjen Komite PKC Beijing sepeninggalan Li Dazhao. Naas, seperti dikisahkan Li Longyin dalam buku Pahlawan Suku Hui Ma Jun (Huizu Yingxiong Ma Jun, Juni 1991), segerombolan intel menggerebeknya pada 3 Desember 1927, sekitar jam 4 pagi, sehabis memimpin rapat rahasia dengan bawahannya. Pembelot PKC bernama Xu Xiren yang membocorkan keberadaannya.
“[Pasukan] musuh menutupi informasi [perihal penangkapan kakek]. Waktu itu, nenek dan anaknya sedang berada di Ning’an. Dalam keadaan darurat, ahong masjid Beijing, tak takut mati, menulis dengan bahasa Arab di koran, diam-diam mengabarkan penangkapan Ma Jun. Berita ini secara estafet sampai ke masjid Ning’an. Takmir masjid cepat mengabarkan ke rumah. Kami baru tahu [dari situ kalau kakek ditangkap]. Nenek segera membawa anak perempuan dan laki-lakinya yang belum pernah bertemu kakek, untuk menyelamatkannya [keluar dari penjara Beijing],” tutur Ma Liying, cucu perempuan Ma Jun, kepada Harian Harbin (Haerbin Ribao, 19/6/2011).
Walakin, sebagaimana diutarakan Ma Weiping dalam wawancara dengan Radio Beijing yang transkrip dialognya bisa diakses di http://bj.wenming.cn/chy (8/7/2015), Ma Jun menolak inisiatif Yang Xiurong, istrinya, yang berusaha membebaskannya dengan membayar sejumlah uang. Bahkan, dia juga bergeming meskipun diiming-imingi jabatan menteri oleh Zhang Zuolin asal mau membeberkan rahasia PKC.
Alhasil, Ma Jun harus wafat di bawah regu tembak pada 15 Februari 1928. Jenazahnya dimandikan dan disalatkan di Masjid Nanxiapo, Beijing. Bai Baochun, muslim yang ikut memakamkan Ma Jun, mengenang dalam bukunya, Susah Senang 60 Tahun (Liu Shi Nian de Beihuan, 1985):
“Aku pergi [ke masjid], nampak usia yang meninggal lebih dari 30 tahun, berjenggot panjang warna hitam, di dadanya berjejeran lubang bekas peluru, tubuhya pucat. [...] Kami memakamkannya di tanah wakaf muslim (di jalan Jianguomen, pojok barat daya Taman Ritan sekarang). Setelah dikubur, istrinya terus bersimpuh meratap di depan makamnya, seraya menggendong anak perempuan yang berumur kira-kira 3 tahun di pangkuannya. Sementara di sekitar, ada tiga orang laki-laki bergamis hitam yang terus melihat kiri-kanan. Sepertinya adalah intel yang sedang mengawasi mereka. Teman-temannya dan keluarganya tak ada yang mengikuti prosesi pemakaman. Ini tak aneh: di masa-masa itu, sipapun yang terciprat secuil saja hubungan dengan partai komunis, pasti akan dibunuh. Bahkan, bukankah tentara-tentara itu tak mau melewatkan begitu saja [pembunuhan terhadap] anak yatim dan janda renta?!”
Kini, Ma Jun sudah tenang di alam sana. Di atas pusaranya yang terbuat dari granit putih, tergurat aksara Arab yang jika ditransliterasikan berbunyi “ḍarīh Mā Jiyūn al-syahīd liqaumiyah huwī.” Ya, sejak 1945, Ma Jun dinobatkan sebagai pahlawan revolusi (geming lieshi) yang syahid membela keyakinannya: komunisme dan islam.
Allāhumma igfirlahu warhamhu wa‘āfihi wa‘fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi‘ mudkhalahu.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina
Sumber: Historia 

Sabtu, 07 April 2018

Sosok Siauw Giok Tjhan di Mata Sang Anak

Alifia | 07 April 2018




Awal Maret lalu, bertempat di Tosaria Restaurant, digelar acara peluncuran buku yang juga sekaligus menjadi kesempatan untuk bertemu penulisnya. Ialah Siauw Tiong Djin dengan bukunya yang diberi judul ‘Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leader in Emerging Indonesia’.


Djin Siauw, begitu panggilan akrabnya, merupakan anak kandung Siauw Giok Tjhan. Ketika berusia 9 tahun, ia harus menyaksikan Indonesia dalam keadaan genting di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Siauw Giok Tjhan sendiri kala itu termasuk salah satu pemimpin Indonesia berdarah tionghoa yang cukup berpengaruh. Selain kontribusi politiknya di ranah pemerintahan, ia juga merupakan salah satu pendiri dan pemimpin sebuah organisasi bernamakan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang merupakan organisasi etnik tionghoa terbesar di Indonesia pada era tersebut. Hal ini kemudian menjadi salah satu faktor penangkapan Siauw Giok Tjhan pada November 1965 dan dipenjara selama 12 tahun.
Sama seperti jutaan anak Indonesia lainnya yang orangtuanya telah “diambil secara paksa” jaman kepemimpinan Presiden Soeharto, Djin Siaw tumbuh dengan pandangan bahwa sang ayah telah melakukan kesalahan terhadap negaranya sendiri. Akan tetapi, kunjungan jenguk dan diskusi karir serta perjalanan politik bersama sang ayah, meski dari balik jeruji besi, membuat Djin Siauw bertekad membersihkan nama sang ayah dan menceritakan kembali perjalanan yang sesungguhnya.
Ditemui usai acara peluncuran buku, Djin Siauw membenarkan hal itu. “Ayah saya meringkuk sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan apapun, selama 12 tahun. Ayah dituduh tanpa proses hukum sebagai seorang yang terlibat dalam peristiwa G30S. Dari tahun 1965 hingga 1969, memang pertemuan dengan ayah di tahanan hanya bisa dilakukan sebulan atau dua bulan sekali. Setiap pertemuan diadakan di hadapan penjaga penjara dan berlangsung tidak lebih dari 15 menit. Tidak banyak yang bisa dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan singkat itu,” tuturnya.
Djin Siauw mengaku baru mendapatkan kesempatan untuk bisa berdikusi panjang ketika pemerintah Orde Baru saat itu menginginkan seorang tokoh Tionghoa untuk diadili atas keterlibatannya dalam G30S pada tahun 1969. Seorang Siauw Giok Tjhan harus menurut untuk dipindah dari satu penjara ke penjara yang lain, hingga akhirnya berhenti di Penjara Nirbaya. Beruntung, upaya untuk mengadili Siauw Giok Tjhan gagal dengan alasan tidak mempunyai cukup bukti keterlibatannya dalam peristiwa G30S.
“Pembicaraan-pembicaraan di Penjara Nirbaya pada saat itu meyakinkan saya sebagai remaja bahwa ayah tidak bersalah dan ia menjadi korban politik. Timbul lah keinginan besar, bahkan obsesi, untuk membersihkan namanya dan meluruskan sejarah yang diputar balik oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru, di bawah Jenderal Soeharto, telah saya sadari bawa merekalah penyebar berita “hoax” yang paling hebat dalam sejarah Indonesia. Penyebar hoax dan pelaku pembunuhan, penangkapan dan pengejaran atau persekusi massal terbesar terhadap jutaan orang yang tidak bersalah,” ucap Djin Siaw saat ditanyai apa yang menginspirasinya menulis buku tersebut.

Siauw Tiong Djin

Bagi Djin Siaw, sosok Siauw Giok Tjhan sebagai ayah bukanlah milik keluarga. 
“Ia adalah seorang tokoh yang berani mencanangkan jalan keluar untuk komunitas Tionghoa,khususnya, dan nasion Indonesia umumnya”. 
Djin Siaw menilai bahwa sang ayah sangat teguh dalam memperjuangkan cita-citanya walau harus dikurung selama 12 tahun dalam kondisi yang sangat buruk. Kebanggaan Djin Siaw tentang sepak terjang ayah tentu tidak dapat dibendung lagi. 
“Ketika bebas penuh pada 1978 hingga hembusan nafas terakhirnya ia tetap teguh dengan pendiriannya dan optimistik bahwa jalan keluar yang ia perjuangkan akan membuahkan hasil,” kata pria kelahiran 11 Mei 1956 tersebut.
Menanggapi pertanyaan tentang harapannya melalui penerbitan buku tersebut, dengan tegas Djin Siaw menjawab, “yang saya harapkan, pembaca dapat mengerti apa yang diperjuangkan Siauw Giok Tjhan dan mengetahui sejarah perkembangan Tionghoa di Indonesia. Saya ingin pembaca juga mengerti bahwa pertama, komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Kedua, komunitas Tionghoa juga berjasa dalam pembentukan negara Indonesia, karena ambil andil dalam memperjuangkan kemerdekaan juga pembangunan Indonesia. Ketiga, saat ini komunitas Tionghoa tidak perlu menghilangkan ke-Tionghoa-an nya. Hal ini dikarenakan sebuah loyalitas terhadap negara tidak bergantung darimana ras, suku, agama maupun pandangan politiknya. Keempat, saya ingin pembaca mengerti bahwa rasisme tidak memiliki dasar hukum di Indonesia.”
Dalam proses penulisan bukunya, Djin Siaw menyatakan, “setelah tahun 1998, buku dan tulisan-tulisan saya tentang Siauw Giok Tjhan memperoleh sambutan positif. Kini terdapat banyak tulisan, artikel dan bahkan program TV yang menerima jasa-jasa Siauw. Namun di satu sisi, terdapat kemungkinan tulisan yang saya rampungkan ini diinterpretasikan sebagai sebuah tulisan yang bias. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk menulisnya dalam program penelitian ilmiah sebagai bagian dari disertasi PhD saya di Monash University, sehingga bisa jauh lebih objektif”.
Dalam menyelesaikan PhD-nya Djin Siaw direkomendasi oleh Dan Lev dan Herb Feith yang mengenal dan sangat mengagumi sosok Siauw Giok Tjhan. Herb Feith merupakan tokoh fakultas political Science di Monash University. Feith membantu Djin Siaw untuk bisa diterima sebagai mahasiswa PhD dalam bidang political science setelah menggondol gelar Master of Engineering dan MBA pada tahun 1982 dan 1990. Djin Siaw akhirnya dinobatkan gelar PhD pada 1999.
“Hampir 19 tahun kemudian ada usul dari Yayasan Herb Feith, yang bernaung di Monash University, terutama Dr. Jemma Purdey, anggota badan pekerjanya, untuk menerbitkan disertasi saya sebagai sebuah buku. Atas bantuan Yayasan Herb Feith dan Monash, terbitlah buku ini. Untuk itu saya haturkan banyak terimakasih,” tutup pria pecinta kuliner itu.
Tanpa perjuangan Siauw dan Baperki saat itu, komunitas Tionghoa bisa jadi berstatus asing saat ini, tanpa kewarganegaraan. Bisa jadi pula, jika Siauw dan Baperki tidak berjuang kala itu, komunitas Tionghoa tidak menerima Indonesia sebagai tanah airnya seperti sekarang ini, lantaran tidak akan ada pendidikan politik atau pendidikan akademi di ratusan sekolah maupun di Universitas Baperki, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Universitas Trisakti. Dan yang terpenting, Siaw dan Baperki tentu berhasil menjadikan pluralisme sebagai bentuk toleransi terhadap perbedaan ras, suku, agama dan pandangan politik untuk tercapainya kesatuan bangsa.
Mari bersama-sama kita lebih menghargai jasa para pahlawan dari berbagai etnik, suku, ras maupun agama. Karena pengorbanan mereka lah, Indonesia bisa berdiri seperti sekarang ini.
Sumber: BusetOnline