Sumber foto: google maps
Sebuah sudut jalan di Kampung Loji Wetan, Surakarta.
Sebuah sudut jalan di Kampung Loji Wetan, Surakarta.
Walaupun gencatan senjata telah diberlakukan, tapi
suasananya masih tetap seperti dalam keadaan perang. Di beberapa tempat masih
genting. Tentara Belanda pun sebagian masih berada di Kota Solo. Sementara
laskar-laskar gerilya dan pasukan TNI tetap siaga dan dalam posisi siap tempur.
Dalam keadaan seperti itulah, di penghujung tahun 1949,
kawan-kawan Tionghoa menyampaikan keinginannya untuk melihat langsung situasi
di daerah basis gerilya. Mereka berkeinginan bisa bertatap muka, berdialog,
bergaul, dan turut merasakan bagaimana kehidupan sehari-hari para gerilyawan.
Selama perang kemerdekaan berlangsung, kawan-kawan
Tionghoa itu, tidak ada yang berani keluar Kota Solo. Tentu karena demi
keselamatan jiwanya. Kalau pun terjadi pertempuran di dalam kota, pada saat
pasukan gerilya menyerang tentara Belanda misalnya, mereka hanya mendengar
suara tembakan dari dalam rumah. Itu pun biasanya terjadi pada malam hari.
Jadi, mereka sama sekali belum pernah melihat langsung sosok gerilyawan itu
seperti apa.
Mengenai kawan-kawan Tionghoa yang tinggal di Solo, sebagian memang ada yang menjadi anggota partai atau hanya simpatisan. Misalnya, seorang anggota RC Jebres, rumahnya di Kampung Warung Miri, bahkan dijadikan kantor RC. Ada lagi Bung Sie Sie-po, seorang intelektual lulusan MULO, rumahnya ada di Loji Wetan, dijadikan salah satu pos. Masih ada lagi Bung Tan Djiem-kwan, staf DPP Pesindo, dia anggota PKI ilegal pada zaman Jepang.
Siswoyo menyambut baik keinginan mereka. Meskipun harus
berpikir panjang dan mempertimbangkannya secara matang. Sebab, pelaksanaannya
tidak mudah serta cukup berisiko. Tidak hanya menyangkut bagaimana
pengamanannya. Tapi juga masalah-masalah kecil yang terlihat sepele, tapi
penting. Misalnya, faktor bahasa. Karena kawan Tionghoa itu tidak mengerti
bahasa Jawa. Mereka Tionghoa totok.
Paling mereka
mengerti bahasa Jawa hanya sepatah dua kata saja.
Celakanya, bahasa Indonesia mereka pun tidak lancar.
Belum lagi kehadiran mereka pasti akan mengundang perhatian masyarakat, karena
jarang ada orang asing (Tionghoa totok) berada di daerah pedesaan.
Padahal mereka akan berada di daerah pedalaman, di daerah
basis gerilya, selama berhari-hari. Ditambah lagi ada seorang wanita Tionghoa
yang akan ikut. Sudah tentu, ini menambah soal.
Namun, pada prinsipnya Siswoyo setuju.
"Hanya saja saya mesti berunding dahulu dengan kawan komandan gerilya. Itu sebabnya, saya segera mengirim kurir untuk menyampaikan pesan singkat kepada Digdo di daerah basis gerilyanya."
Pendeknya Digdo siap melaksanakan. Dan tidak lama
kemudian Digdo bersama sejumlah pengawalnya, tiba di pinggiran Kota Solo.
Tepatnya di Kampung Pajang. Mereka siap menjemput kawan-kawan Tionghoa di situ.
Pagi hari, dengan mengendarai sepeda, Siswoyo menuju
sebuah rumah di Kampung Loji Wetan, tempat berkumpulnya kawan-kawan Tionghoa.
Tan Tse-thai dan seorang wanita bernama Oen Hwa-in sudah siap menunggu.
Keduanya membawa pakaian secukupnya, untuk ganti selama berada di daerah basis.
Mengenai Tan Tse-thai, dia sehari-hari berprofesi sebagai
pedagang berbagai jenis komoditas. Dialah orangnya yang berjasa membawa Bung
Aidit ke Semarang. Sedangkan Oen Hwa-in, seorang wanita yang berprofesi sebagai
guru di sebuah Sekolah Tionghoa di Kampung Kebalen, Solo.
Tidak sampai menunggu lama, mereka bertiga segera
berangkat ke Pajang.
"Saya mengendarai sepeda. Sedang Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in menumpang becak, mengikuti saya dari belakang."
Selepas jembatan Jongke, di perbatasan Kota Solo dan
Pajang, mereka berhenti. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sepeda
dituntun.
"Sepintas saya melihat raut wajah kedua kawan Tionghoa ini kelihatan mulai tegang; terutama ketika mulai menyusuri lorong-lorong sempit jalan di sebuah perkampungan."
Maklum, daerah ini masih asing buat keduanya. Malah boleh
jadi keduanya baru kali ini memasuki daerah itu.
Untuk diketahui, pada masa itu, tidak ada orang Tionghoa
tinggal di daerah perkampungan di pinggir kota. Umumnya mereka tinggal di
pusat-pusat kota.
Kita bertiga terus berjalan menyusuri gang-gang sempit,
yang semakin lama semakin jarang penduduknya. Hanya sekali-kali berpapasan
dengan penduduk setempat. Mereka terlihat heran dan penuh curiga.
"Tapi saya yakin daerah ini cukup aman. Sebab, beberapa hari sebelumnya saya sudah memberi tahu kepada kawan-kawan di Pajang mengenai kedatangan kedua tamu ini. Sehingga saya yakin mereka sudah melakukan pengamanan dengan baik. Apalagi saya lihat sendiri, dari kejauhan ada yang memberi kode bahwa situasi aman," cerita Siswoyo.
Ketika mulai mendekati pos singgah rombongan Mayor Digdo,
terlihat ada petugas yang terus memantau kedatangan mereka bertiga. Begitu
sampai di pos singgah, mereka segera dipersilahkan masuk ke sebuah bangunan
berupa pendopo. Di situ terlihat sejumlah gerilyawan tengah istirahat, dengan
senjata api digeletakkan begitu saja. Mereka ada yang sedang ngobrol, main
gitar, tidur-tiduran, bersenandung, dan main catur. Pakaian mereka berbagai
macam. Kedua kawan Tionghoa tampak sedikit grogi. Keduanya terpana. Tan
Tse-thai dan Oen Hwa-in kemudian diperkenalkan kepada para gerilyawan itu.
Di ruang tengah Digdo sudah menunggu. Dia berpakaian
dinas gerilya, berupa baju dan celana warna hitam, dengan sapu tangan warna
merah melilit di leher. Digdo didampingi beberapa stafnya. Siswoyo segera
memperkenalkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo dan stafnya. Baik Tan Tse-thai
maupun Oen Hwa-in terlihat senang. Wajah keduanya berseri-seri. Mereka bangga
dapat bertemu sekaligus berkenalan dengan Mayor Digdo, seorang komandan
batalyon yang disegani serta dihormati. Batalyon Digdo memang terkenal sebagai
batalyon tempur, yang dekat hubungannya dengan rakyat. Tapi tidak sembarangan
orang bisa bertemu dan berdialog dengan Mayor Digdo.
Sebaliknya bagi Digdo dan anggota pasukannya, mereka pun
bangga mendapat kepercayaan untuk menerima tamu asing. Dan kepada Digdo, ia
berpesan agar sebagai kader sekaligus komandan di daerah basis, bisa
menyukseskan misi penting ini.
Sebagaimana watak Digdo, dia segera menjawab singkat: “Pokoknya siap, Bung Sis....”
Hanya sekitar setengah jam Siswoyo berada di tempat itu.
Setelah menyerahkan kedua kawan Tionghoa kepada Digdo, ia pun segera
berpamitan.
Kira-kira dua minggu kemudian Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in
sudah kembali ke Solo dengan diantar kurir. Keduanya segera menemui Siswoyo
untuk melapor. Banyak yang mereka ceritakan. Dari masalah yang penting sampai
kesan-kesan keduanya selama di daerah basis gerilya. Antara lain keduanya
terkesan dengan kemampuan anak buah Digdo dalam berintegrasi dengan massa
pedesaan. Dengan kata lain, sebenarnya secara alamiah mereka telah melaksanakan
metode “Tiga Sama”.
Metode yang dirumuskan pada 1960-an, dari hasil
pengalaman praktek berintegrasi dengan massa, sebagai metode untuk turba.
Tan Tse-thai dan Oen Hwa-in sangat terkesan melihat
kerukunan dan keakraban pergaulan masyarakat pedesaan di daerah basis, juga
tentang tersedianya logistik dalam jumlah yang memadai, serta adanya sarana
pendidikan untuk anak-anak.
Selain itu ada cerita-cerita lucu yang disampaikan kurir.
Selama di daerah basis, kawan Tionghoa itu selalu didampingi penerjemah. Tapi
ada soal ketika Oen Hwa-in berkeinginan turut mandi di sendang. Tentu dia akan
bertemu dengan banyak orang desa. Lagi pula, untuk keperluan ini, harus ada
penerjemah yang ikut mendampingi. Banyak ungkapan-ungkapan lucu dan lugu yang
keluar dari mulut simbok-simbok ndeso.
“Lho, ono cino wedok melu adus ning sendang,” celetuk simbok ndeso.
Begitu pula ketika keduanya dijamu makan oleh keluarga
seorang kawan. Seperti umumnya orang desa, mereka kalau makan nasi menggunakan
suru, (sendok makan yang terbuat dari daun pisang). Jarang yang menggunakan
sendok dan garpu.
Tentu saja Tan Tse-thai maupun Oen Hwa-in kebingungan,
bagaimana cara menggunakannya? Sebab keduanya belum pernah sekalipun makan nasi
memakai suru.
0 komentar:
Posting Komentar