Abdul Basri – 2 Desember
2019
TABANAN – Karya-karya dari I Gusti Putu
Bawa Samar Gantang memang senantiasa ditunggu-tunggu para penggemarnya. Tak
hanya dikenal sebagai seorang penyair, putra kebanggaan Tabanan ini pun
merupakan seorang penulis, pelukis dan ikut bergelut di bidang teater. Pada
tahun 2019, Samar Gantang menerbitkan sebuah novel berjudul ‘Leak Tegal Sirah’.
Ditemui di kediamannya di Banjar Tegal Belodan, Samar
Gantang menuturkan, bahwa ‘Leak Tegal Sirah’ merupakam novel ketiga yang ia
cetak, dan rencananya masih ada dua novel lagi yang akan ia selesaikan tahun
depan.
“Sebenarnya ada 7 judul, tetapi hanya 3 yang dicetak,” ujarnya Senin (2/12).
Novel yang diterbitkan oleh Indonesia Tera pada bulan
November 2019 ini mengisahkan tentang seorang tokoh bernama I Gusti Wayan
Jabrag atau Ti Jabrag pada tahun 1965. Dimana terjadi pembunuhan terhadap 20
orang secara sadis.
“Novel ini mengambil latar belakang Bali pada tahun 1965 di Banjar Tegal Sirah,” ujarnya.
Selanjutnya ke-20 orang yang dibunuh ini kemudian mati
penasaran. Arwah mereka gentayangan dan mengganggu orang-orang yang menyebabkan
mereka mati. Bahkan ada juga arwah yang berubah menjadi Leak Jegeg. Mereka
bermarkas di setra Tegal Sirah dan di sekitar “campuhan”.
“Akhirnya satu per satu pembunuh itu mati amah leak atau dimakan leak,” imbuhnya.
Ditambahkannya, pembuatan novelnya kali ini menghabiskan
waktu sangat lama yakni mencapai 19 tahun dan merampungkannya selama 9 bulan.
“Saya menulis novel ini 19 tahun, dan merampungkannya selama 9 bulan. Kenapa lama? Karena yang dikisahkan betul-betul perasaan ketika masa itu, trauma pada masa itu, meskipun fiksi tetapi ada kaitannya dengan sejarah,” papar Samar Gantang.
Sejatinya novel Leak Tegal Sirah terdiri dari 49 bab.
Namun setelah dicoret-coret lagi, maka menjadi 20 bab. Pada tanggal 29 November
2019, novel Leak Tegal Sirah telah dibedah dalam acara Patjar Merah Festival
Kecil Literasi dan Pasar Buku Keliling Nusantara di Semarang.
“Tidak hanya mengulas Leak Tegal Sirah, juga dilakukan berbagi panel bersama sejarawan FX Domini BB Hera dan Kuncoro Hadi,” imbuhnya.
Menurutnya, ada yang menilai novelnya itu cenderung
tendensius, skeptis atau apriori terhadap kekuasaan. Namun
menurutnya, hidup tak lepas dari tiga unsur, yakni hitam, putih, dan
abu-abu.
“Saya menulis buku ini dengan tidak punya kepentingan apapun. Saya hanya ingin melukiskan apa yang yang terjadi saat itu apa yang saya lihat dan alami ketika itu, sehingga pembaca bisa turut merasakan,” pungkasnya.
(bx/ras/man/JPR)
0 komentar:
Posting Komentar