27/12/2019, 08.06 WIB
Penulis: Martha Ruth Thertina
Editor: Martha Ruth Thertina
Editor: Martha Ruth Thertina
Mahfud menyatakan tidak ada kecenderungan jalur
penyelesaian lewat nonyudisial atau di luar pengadilan.
Menko Polhukam Mahfud MD
memberikan keterangan pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (12/12/2019). ANTARA
FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Mahfud MD menyatakan keinginannya agar kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu
bisa segera selesai. Dirinya menyatakan tidak ada kecenderungan jalur penyelesaian
lewat nonyudisial atau di luar pengadilan.
"Apakah saya lebih cenderung ke nonyudisial. Enggak ada kecenderungan saya," kata Mahfud dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Kamis (26/12)
Ia menyebutkan ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang
harus diselesaikan. Nantinya, akan ada kriteria untuk menentukan jalur
penyelesaian kasus: yudisial atau nonyudisial. Kriteria tersebut akan diatur
dalam Undang-Undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Kecenderungan saya hanya ingin berakhir. Yang bisa yudisial, masuk. Yang tidak bisa, tutup. Kalau ditutup terus apa syaratnya. Follow up-nya. Begitu saja," ujarnya.
Ia menjelaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM itu
sesuai amanat Presiden Jokowi agar tidak jadi komoditas politik yang berulang.
"Nanti ada Pilkada rame lagi, di-up, ada ini rame lagi. Apalagi, pilpres. Itu semua bicara HAM yang tidak selesai," kata dia.
Untuk menyelesakan persoalan HAM ini, ia menyatakan sudah
berkomunikasi dengan Jaksa Agung, Komnas HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan para korban.
Sebanyak 12 kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Sebanyak 12 kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa 1965-1966; peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; dan peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Kemudian,
penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998; peristiwa Wamena dan Wasior
2001-2003; peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003; peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998;
peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta peristiwa dukun santet di Jawa Timur
1998-1999.
Dari 12 kasus pelanggaran HAM berat itu, delapan kasus
terjadi sebelum terbit UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan empat
kasus terjadi sebelum terbit UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena,
dan Jambo Keupok Aceh.
Reporter: Antara
0 komentar:
Posting Komentar