Kompas.com - 04/12/2019,
22:02 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari - Editor : Kristian Erdianto
Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan
Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis
(13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.(KOMPAS.com/GARRY
LOTULUNG)
JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil survei Litbang Kompas untuk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) menunjukkan bahwa sebagian
besar responden ingin agar penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu
diselesaikan melalui pengadilan, baik nasional maupun internasional.
Dalam survei tersebut, sebanyak 62,1 persen responden
memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan
melalui pengadilan nasional. Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh
pengadilan internasional. Sedangkan hanya ada 0,5 persen saja yang memilih
lainnya.
Artinya, hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
Artinya, hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019).
Anam mengatakan, mekanisme pengadilan merupakan jalan yang terbaik untuk
menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM. Bagi Komnas HAM, kata Anam, penyelesaian
kasus pelanggaran HAM harus ditempuh melalui pengadilan nasional. Komnas HAM
mempersilakan apabila pemerintah tetap ingin membentuk KKR. Namun Anam
mengatakan, Komnas HAM tidak akan turut serta dalam proses pembentukannya.
"Karena kewenangan Komnas HAM juga soal pengadilan bukan soal KKR. Kalau memang mau mengambil KKR, KKR-nya harus KKR yang Hak Asasi Manusia, bukan KKR yang jadi-jadian," tutur dia.Adapun riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen. Wilayah riset ini dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa
Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II
tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Kemudian, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA,
Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila
di Banyuwangi tahun 1998.
Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi sebelum
terbitnya UU Pengadilan HAM yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua
serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Kompas.Com
Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar