Kompas.com - 10/12/2019,
10:36 WIB
Penulis : Dian Erika Nugraheny
Editor : Kristian Erdianto
Editor : Kristian Erdianto
Aktivis mengikuti aksi
kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di
depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga
kini belum ditangani. (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)
JAKARTA - Perwakilan keluarga dan korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM), Senin (9/12/2019).
JAKARTA - Perwakilan keluarga dan korban dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM), Senin (9/12/2019).
Mereka meminta pemerintah untuk mengungkap kebenaran terkait
pelanggaran HAM masa lalu. Salah seorang keluarga korban kasus pelanggaran HAM
pada peristiwa Tanjung Priok, Syahar Banu, mengatakan hingga saat ini
pemerintah belum memberikan hak atas pengungkapan kebenaran.
Padahal, menurut dia, apa yang terjadi pada 1984 silam di Tanjung Priok perlu disampaikan untuk menghindari peristiwa serupa kembali terjadi.
Padahal, menurut dia, apa yang terjadi pada 1984 silam di Tanjung Priok perlu disampaikan untuk menghindari peristiwa serupa kembali terjadi.
"Memang proses hukumnya sudah. Tetapi ada hak yang paling kami inginkan untuk diungkapkan, yakni pengungkapan kebenaran," ujar Syahar di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat.Lewat peristiwa ini, lanjut Syahar, masyarakat perlu tahu bahwa isu radikalisme dan makar yang mengemuka saat ini sudah pernah terjadi sebelumnya.
"Jadi pengungkapan ini penting supaya tidak terjadi lagi peristiwa seperti Tanjung Priok. Ke depannya bisa jadi catatan sejarah untuk generasi selanjutnya," tutur dia.
Selain itu, Syahar juga ingin mengingatkan kembali bahwa
tugas Komnas HAM sebaiknya tidak berhenti setelah peradilan kasus Tanjung Priok
selesai. Ia mengungkapkan, masih ada ganjalan mengenai penyelesaian peristiwa
tersebut.
"Walau bagaimana pun, proses hukum peristiwa ini ada, kejadian dan korbannya ada. Tetapi tidak ditemukan siapa (sebenarnya) pelakunya, siapa aktornya," tambahnya.Kepastian hukum dan pengadilan Sementara itu, korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965, Bedjo Untung mendesak Komnas HAM untuk mau mendorong pemerintah memberikan kepastian peradilan atas kasus ini.
Bedjo menolak keras anggapan bahwa kasus genosida 1965
kekurangan bukti. Pasalnya, kata Bedjo, dia dan beberapa korban lain telah
menyampaikan laporan kepada Komnas HAM perihal pembunuhan massal yang pernah
terjadi.
"Kami sudah lapor ke komnas HAM ada 346 titik kuburan massal. Itu bisa jadi bukti. Jadi enggak benar Kalau enggak ada alat bukti," tutur Bedjo.
"Saya atas nama korban 1965 mendukung penuh proses hukum harus ditegakkan. Para korban saat ini masih ada, begitu pelaku yang menunjukkan lokasi (kuburan massal) pun masih ada," tegasnya.Penuntasan secara berkeadilan Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, mengatakan demi menjamin proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
"Untuk penyelesaian kasus yang lebih berkeadilan, kami mendesak agar Komnas HAM segera menyikapi hasil survei Litbang Kompas dengan menjadikan hasil survei tersebut sebagai basis argumen kepada Presiden, untuk mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan," ujar Dimas di Kantor Komnas HAM, Senin.Kedua, kata dia, Komnas HAM diberi mandat oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM untuk melaksanakan tugasnya berupa penuntasan kasus pelanggaran HAM dengan pro justisia.
"Sehingga mestinya jika Komnas HAM terkendala adanya penolakan berkas penyelidikan Kejaksaan Agung maka Komnas HAM perlu melakukan amanat dalam pasal 95 UU Nomor 39 Tahun 1999," ungkap Dimas.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa komnas HAM dapat meminta
bantuan kepada ketua pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan.
Ketiga, lanjut Dimas, Komnas HAM harus konsisten dengan
agenda pengungkapan kebenaran sebagai pihak yang melekat kepada korban dan
keluarganya.
"Komnas HAM harus terus mengawal secara aktif agenda pemerintah dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sehingga tidak ada celah intervensi dari pihak manapun yang justru dapat berakibat kepada langgengnya impunitas (kejahatan tanpa hukuman)," tegas Dimas.
Dimas mengingatkan kembali hasil survei Litbang Kompas
untuk Komnas HAM yang mengungkapkan hampir 99,5 persen responden menghendaki
penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Artinya, survei tersebut menjadi
pembuka harapan baru bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran korban
masa lalu.
"Hal itu membuktikan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh korban dalam mencari keadilan ternyata sejalur dengan ruang-ruang hukum yang tersedia di konstitusi dan utamanya dengan harapan masyarakat," tambah Dimas.Penuntasan melalui pengadilan Sebelumnya, hasil survei Litbang Kompas untuk Komnas HAM menunjukkan bahwa sebagian besar responden ingin agar penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, baik nasional maupun internasional. Dalam survei tersebut, sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional.
Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan
internasional. Sedangkan hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
Artinya, hampir 99,5 persen responden memilih pengadilan sebagai mekanisme
penyelesaian kasus HAM.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat merilis hasil riset di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/12/2019) lalu.Anam mengatakan, mekanisme pengadilan merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM. Bagi Komnas HAM, kata Anam, penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus ditempuh melalui pengadilan nasional. Komnas HAM mempersilakan apabila pemerintah tetap ingin membentuk KKR. Namun Anam mengatakan, Komnas HAM tidak akan turut serta dalam proses pembentukannya.
"Karena kewenangan Komnas HAM juga soal pengadilan bukan soal KKR. Kalau memang mau mengambil KKR, KKR-nya harus KKR yang Hak Asasi Manusia, bukan KKR yang jadi-jadian," tutur dia.
Adapun riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23
September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200
orang dan sampling error 2,8 persen. Wilayah riset ini dilakukan di 34 provinsi
di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan
kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Berdasarkan catatan Kejaksaan Agung, saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa.
Kemudian, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA,
Peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila
di Banyuwangi tahun 1998.
Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi sebelum
terbitnya UU Pengadilan HAM yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua
serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Kompas.CoM
Kompas.CoM
0 komentar:
Posting Komentar