HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Teater. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teater. Tampilkan semua postingan

Selasa, 18 Desember 2018

Suara-suara yang tertindas dari warung sate


BAMBANG MURYANTO - THE JAKARTA POST
Yogyakarta  / Sel, 18 Desember 2018  / 08:57 pagi

Survivor: Kehidupan nyata Sumilah bekerja di warung sate di Prambanan pada 2 Agustus 2012. Setelah dibebaskan dari kamp wanita Plantungan pada tahun 1979, ia membuka kios untuk mendukung keluarganya. Sumilah wafat pada 27 Maret 2018 di usia 67 tahun. (The Jakarta Post / Bambang Muryanto)

Gedung Selasar Barat di dalam kompleks Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta diubah menjadi warung sate pada malam 30 November.
Kios itu dikatakan milik Sumilah, yang dikenal sebagai  Bu  Milah, yang selamat dari tragedi 1965 ketika ratusan ribu orang Indonesia yang dituduh mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sekarang telah mati.

Warung Sumilah tidak hanya menawarkan sate domba, dengan aromanya yang menggugah selera, tetapi juga sepotong kebenaran sejarah tentang genosida dan rekonsiliasi.

Warung itu, yang pernah dibuka di Pasar Prambanan Yogyakarta, adalah latar belakang cerita teater berjudul  Selamatan Anak Cucu Sumilah  (Jamuan untuk Anak dan Cucu Sumilah).

Tiga belas perempuan yang selamat dari genosida, anggota rombongan Teater Tamara, dan sekitar 30 mahasiswa UGM, yang merupakan bagian dari kelompok Teater Gadjah Mada, serta pemain dari Malya Studio, ikut serta dalam pertunjukan drama selama dua jam.

Drama itu tidak membuat pemisahan antara penonton dan pemain.
Penonton bebas untuk menyaksikan aksi para pemain, yang dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing melakukan gantung domba, memotongnya, menusuk daging dengan tusuk sate bambu dan memanggang daging tusuk sate menjadi sate.
"Proses pembuatan sate adalah metafora halus yang menggambarkan berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan pada orang [yang dituduh mendukung PKI]," direktur permainan Irfanuddien Ghozali mengatakan kepada  The Jakarta Post .
Spectre rise: Svetlana (kanan depan), salah satu putri ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, berpartisipasi dalam pertunjukan drama Selamatan Anak Cucu Sumilah. (The Jakarta Post / Bambang Muryanto)

Maria Goretti Sumilah, tokoh kehidupan nyata di balik drama itu, yang ditangkap secara salah, meninggal pada 27 Maret tahun ini. Sumilah bukanlah tokoh politik, artis, atau intelektual terkemuka. Dia hanya salah satu dari orang-orang biasa yang menjadi korban penangkapan yang serampangan tanpa pernah direhabilitasi oleh negara.

Yohanes Bayu Aji, anak bungsu Sumilah, tersentuh oleh pertunjukan itu. Di masa kecilnya ia juga memiliki stigma menjadi anak PKI.
“Saya ingin masyarakat tahu bahwa ibu saya bukan penjahat. Dia memang seorang tahanan politik tetapi dia tidak tahu apa-apa tentang politik,” katanya, sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Pada 20 November 1965, ketika Sumilah tinggal di Prambanan dan baru berusia 14 tahun, ia ditangkap oleh tentara. Target yang benar seharusnya adalah wanita lain yang juga memakai nama Sumilah, seorang guru sekolah dasar yang berasal dari Kulon Progo.

Sumilah kemudian mengalami serangan seksual ketika dia diinterogasi.
Negara kemudian segera menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun kepada Sumilah tanpa pengadilan yang layak.

Sepanjang masa hukuman, negara memindahkan Sumilah dari Penjara Wirogunan di Yogyakarta ke Penjara Bulu di Semarang, Jawa Tengah, dan akhirnya ke kamp wanita, Plantungan, di Kendal, juga di Jawa Tengah.
Sumilah akhirnya mendapatkan kebebasannya pada tahun 1979 dan kemudian membuka kios sate untuk menghidupi keluarganya.

Ketika sekitar 300 penonton berkumpul di panggung, membuat suasana di alun-alun barat Fisipol UGM sangat mirip dengan pasar tempat kedai Sumilah dulu, pertunjukan dimulai. Beberapa perempuan yang selamat sebagai pemain membagikan makanan ringan dan topi kertas kepada para pengunjung.

Pengeras suara tingkat menengah menyampaikan lagu "Bersuka Ria" (Bersukacita) dan "Soleram" dalam   irama lenso (tarian sapu tangan) untuk membangun getaran tahun 1960-an.

Para pemain juga menyanyikan lagu anak-anak berjudul “Mana Dimana Anak Kambing Saya?” (Where's My Baby Goat?) Dan memutar liriknya menjadi “Mana Dimana Kambing Hitam Saya?” (Where's My Scapegoat?). 
Ini menggambarkan bagaimana PKI dan anggotanya dijadikan kambing hitam atas kudeta yang gagal yang dimulai dengan pembunuhan enam jenderal angkatan darat pada 30 September 1965, di Jakarta, mendorong Angkatan Darat untuk memburu siapa pun yang dianggapnya sebagai pendukung PKI.

Perburuan tentara untuk anggota PKI dan dugaan pendukung mengakibatkan kematian antara 500.000 dan 2 juta orang, menurut berbagai sejarawan, menjadikannya salah satu pembantaian terbesar yang terjadi setelah Perang Dunia II.

Dalam kelompok yang tergantung domba, seorang wanita mengenakan topi berjalan sambil membunyikan jam kecil. Dia membacakan jumlah dosen, mahasiswa, dan pejabat administrasi UGM yang diberhentikan oleh rektor UGM karena diduga sebagai pendukung PKI.
"Prof. Herman Johannes, 6 Januari 1966: 112 dosen, tiga asisten dosen, 2.986 mahasiswa, 1.212 staf administrasi,” kata wanita dalam kelompok ini.
Menurut Abdul Wahid dalam artikelnya yang berjudul  Campus on Fire: Universitas Indonesia Selama Gejolak Politik tahun 1950-an-1960-an yang diterbitkan di  Archipel , Paris, tahun ini, dari 11 universitas negeri, UGM mengeluarkan jumlah dosen, mahasiswa, dan anggota staf terbesar. .

Sri Muhayati, yang saat itu menjadi bendahara Korps Dewan Mahasiswa Sekolah Kedokteran UGM, adalah salah satu dari korban itu.
“Lima puluh tahun yang lalu saya adalah seorang mahasiswa kedokteran UGM dan surat dari rektor UGM Prof. Herman Johannes memaksa saya untuk berhenti,” katanya kepada para penonton.
Kartu identitas mahasiswa dan surat pemberhentiannya sebagai mahasiswa UGM dipajang di pameran arsip yang diselenggarakan bersama dengan pertunjukan teater. Benda-benda lain yang dipamerkan adalah sepatu kets yang dimiliki oleh seorang yang selamat bernama  Bu  Endang, sementara dia dikurung di Plantungan, sabun mandi untuk penyelundupan surat cinta, foto-foto 1965 korban yang selamat dan empat video dengan testimonial.

Dalam pertunjukan mereka, beberapa aktor juga membaca kutipan dari penangkapan Minke oleh Jaques Pengemannan dalam novel Pramudya Ananta Toer,  Rumah Kaca. Kelompok-kelompok membaca versi yang berbeda:  Tugas Berat untuk Pangemannan  (Pekerjaan Berat untuk Pangemannan ),  Pitung-Pitung Moderen  ( Pitung Modern),  Pengasingan Minke  (Isolasi Minke) dan  Kematian Minke  (Kematian Minke).

Irfanuddien mengatakan, kisah Minke menggambarkan bagaimana para penguasa kolonial Belanda selalu mengawasinya sehingga membangkitkan semangat nasionalisme dan ini cocok untuk menggambarkan situasi para penyintas tahun 1965.
"Mereka [yang selamat] bebas tetapi mereka tampaknya tetap di rumah kaca di mana mereka selalu diawasi," tambahnya.
Sementara itu, dosen UGM Ulya Niami Efrina Jamson mengatakan pertunjukan teater berfungsi sebagai bukti bahwa universitas, yang merupakan salah satu tempat konflik dan kekerasan pada tahun 1965, sekarang bisa menjadi tempat rekonsiliasi.
"Rekonsiliasi tidak dapat terjadi kecuali ada pengakuan akan kebenaran tentang masa lalu," katanya.
Irfanuddien setuju dengan Ulya dan dia mengatakan bahwa pementasan drama itu juga merupakan bagian penting dari proses rekonsiliasi karena itu akan memberi tahu banyak anggota generasi muda tentang masa lalu.
 "Awalnya mereka terkejut mengetahui tentang insiden yang terjadi di masa lalu," katanya.
Retyan Sekar, seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia, adalah salah satu siswa yang terkejut setelah dia menonton pertunjukan itu dan mengatakan harus ada lebih banyak program untuk mengungkapkan kebenaran di balik genosida 1965.
"Suara para penyintas harus didengar untuk menerangi orang-orang muda," katanya.

Sabtu, 17 November 2018

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad'


Sabtu, 17 Nov 2018 17:21 WIB  ·   Tia Agnes

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Jakarta - Menonton untuk ketiga kalinya pementasan 'Bunga Penutup Abad' tak akan membuat penonton mati kebosanan. Akhir pekan ini, Titimangsa Foundation kembali menggelar pertunjukan 'Bunga Penutup Abad' yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer.

Durasi sepanjang 3 jam lamanya menghadirkan alur maju-mundur dari tiga karakter rekaan dalam novel Tetralogi Pulau Buru. Ada Nyai Ontosoroh (Marsha Timothy) yang dicap sebagai gundik namun memiliki pemikiran terbuka tentang kekuasaan dan isu perempuan.

Ada Minke (Reza Rahadian) sosok pribumi yang cerdas dan jatuh cinta pada perempuan Jawa-Belanda bernama Annelies Mellema (Chelsea Islan). Di kehidupan mereka, ada Jean Marais (Lukman Sardi), sahabat Minke yang memiliki seorang putri tunggal May Marais (Sabia Arifin).

Surat demi surat berdatangan ke rumah Nyai Ontosoroh di Surabaya sejak kepergiaan Annelies ke Belanda. Panji Darma yang rajin menuliskannya, Minke dan Nyai pun mendengarkan cerita perjalanan orang terkasihnya tersebut meski dalam hati keduanya merasa sedih atas ketidakadilan ini.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke usai membacakan sepucuk surat. 
Satu minggu berlalu sejak kepergian Annelies, rumah besar Nyai tampak sepi dan redup. 
 "Seminggu sudah jadi tahanan rumah. Pergilah jalan-jalan, nak. Mencari angin, terlalu lama tersekap membuat kau tampak muram," ucap Nyai pada Minke. 
Cerita pun mundur pada pertemuaan awal Minke di rumah Annelies. Setiap hari Minke kerap memandangi potret dari Ratu Belanda yang cantik. Tapi seorang sahabatnya mengatakan, ada dewi yang kecantikannya mengalahkan perempuan manapun di Hindia Belanda.

Awal perjumpaan yang berbekas membuat Minke bekerja di perusahaan milik Tuan Mellema yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Satu per satu rahasia keluarga Mellema dan kebobrokan Eropa terkuak. Selama ini pula Minke selalu membela Eropa, mengagung-agungkannya, dan kerap menulis dalam Bahasa Belanda. 


Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Keahlian menulis Minke dipuji oleh Nyai Ontosoroh. Di salah satu adegan, Nyai Ontosoroh mengaku menyayangi Minke bukan sebagai menantunya saja tapi anaknya sendiri. 
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari," ujar Nyai Ontosoroh. 
Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di tengah kepergian Annelies yang membuat Minke sedih, Jean Marais melukis sebuah potret tentang sosok pujaan Minke. Kisah hidup Nyai Ontosoroh dan Annelies membuka fakta menyedihkan tentang ketidakadilan.

Dalam setiap surat, kalimat, dan kata-kata yang memuat perjalanan Annelies dan Panji Darma, Minke dan Nyai Ontosoroh selalu mempertanyakan di mana letak keadilan.
 "Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya."
Energi Baru Nyai Ontosoroh

Hadirnya Marsha Timothy menjadi sosok Nyai Ontosoroh menggantikan Happy Salma sukses memberikan warna dan energi baru. Nyai Ontosoroh tak lagi dimiliki Happy Salma maupun Sita Nursanti semata. Namun Marsha membawakannya secara totalitas. Tanpa jeda satu kesalahan sekalipun, tanpa salah dialog, maupun penghayatan yang terasa hambar. 


Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Proses latihan Marsha selama 4 bulan lamanya berbuah manis. Penonton dapat merasakan getirnya hidup Nyai Ontosoroh dalam kata-kata yang diucapkan Marsha, tentang keadilan yang tak bisa diraihnya, kasih sayang kepada Annelies yang tak pernah memandang sebelah mata terhadap pribumi maupun lingkungan di Pulau Jawa, Hindia Belanda.

Nyai Ontosoroh bertransformasi dalam setiap gerak-gerik Marsha di atas panggung. Pengunjung tak lagi memandang Marsha sebagai seorang Ida Nasution (Perempuan Perempuan Chairil) dan Marlina (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak).

Perpaduan Marsha bersama Reza Rahadian pun ibarat kopi hitam yang dicampur dengan gula, pas rasanya. Tak manis, tak juga terlalu pahit. Lukman Sardi memainkan Jean Marais pun bak seorang seorang pria yang sudah tinggal lama di Prancis.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di antara 'tanpa cela' tersebut, ada beberapa penggambaran akting Chelsea Islan yang terlihat terlalu berlebihan sebagai Annelies. Dari bangku penonton, terdengar celetukan dan tawa ketika Annelies bersikap 'terlalu manja'. Meski begitu, di akhir kehadiran Annelies penonton terenyuh dengan kesedihan yang dialami.

Dengan setting sederhana dan empat ruang yang dibagi, 'Bunga Penutup Abad' menjadi salah satu pertunjukan teater yang menghibur di penghujung tahun. Dipenuhi unsur multimedia, masih ada salah teknis dan perpindahan adegan yang terkesan 'kasar' tapi hal tersebut bisa tertutup serta diampuni sementara waktu.

Dipentaskannya 'Bunga Penutup Abad' membuka kembali kenangan akan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Seperti kata produser Happy Salma,   
"Mengadaptasi karya sastra ke atas panggung teater butuh usaha dan jerih payah yang tak henti."