BAMBANG MURYANTO - THE JAKARTA POST
Yogyakarta /
Sel, 18 Desember 2018 / 08:57 pagi
Survivor: Kehidupan nyata Sumilah bekerja di warung sate di Prambanan
pada 2 Agustus 2012. Setelah dibebaskan dari kamp wanita Plantungan pada tahun
1979, ia membuka kios untuk mendukung keluarganya. Sumilah wafat pada 27
Maret 2018 di usia 67 tahun. (The Jakarta Post / Bambang Muryanto)
Gedung Selasar Barat di dalam kompleks Universitas Gadjah
Mada (UGM) di Yogyakarta diubah menjadi warung sate pada malam 30 November.
Kios itu dikatakan milik Sumilah, yang dikenal
sebagai Bu Milah, yang selamat dari tragedi 1965 ketika
ratusan ribu orang Indonesia yang dituduh mendukung Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang sekarang telah mati.
Warung Sumilah tidak hanya menawarkan sate domba, dengan
aromanya yang menggugah selera, tetapi juga sepotong kebenaran sejarah tentang
genosida dan rekonsiliasi.
Warung itu, yang pernah dibuka di Pasar Prambanan
Yogyakarta, adalah latar belakang cerita teater berjudul Selamatan
Anak Cucu Sumilah (Jamuan untuk Anak dan Cucu Sumilah).
Tiga belas perempuan yang selamat dari genosida, anggota
rombongan Teater Tamara, dan sekitar 30 mahasiswa UGM, yang merupakan bagian
dari kelompok Teater Gadjah Mada, serta pemain dari Malya Studio, ikut serta
dalam pertunjukan drama selama dua jam.
Drama itu tidak membuat pemisahan antara penonton dan pemain.
Penonton bebas untuk menyaksikan aksi para pemain, yang
dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing melakukan gantung domba,
memotongnya, menusuk daging dengan tusuk sate bambu dan memanggang daging tusuk
sate menjadi sate.
"Proses pembuatan sate adalah metafora halus yang menggambarkan berbagai bentuk penyiksaan yang dilakukan pada orang [yang dituduh mendukung PKI]," direktur permainan Irfanuddien Ghozali mengatakan kepada The Jakarta Post .
Spectre rise: Svetlana (kanan depan), salah satu putri ketua Partai
Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit, berpartisipasi dalam pertunjukan drama
Selamatan Anak Cucu Sumilah. (The Jakarta Post / Bambang Muryanto)
Maria Goretti Sumilah, tokoh kehidupan nyata di balik drama
itu, yang ditangkap secara salah, meninggal pada 27 Maret tahun
ini. Sumilah bukanlah tokoh politik, artis, atau intelektual
terkemuka. Dia hanya salah satu dari orang-orang biasa yang menjadi korban
penangkapan yang serampangan tanpa pernah direhabilitasi oleh negara.
Yohanes Bayu Aji, anak bungsu Sumilah, tersentuh oleh
pertunjukan itu. Di masa kecilnya ia juga memiliki stigma menjadi anak
PKI.
“Saya ingin masyarakat tahu bahwa ibu saya bukan penjahat. Dia memang seorang tahanan politik tetapi dia tidak tahu apa-apa tentang politik,” katanya, sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Pada 20 November 1965, ketika Sumilah tinggal di Prambanan
dan baru berusia 14 tahun, ia ditangkap oleh tentara. Target yang benar
seharusnya adalah wanita lain yang juga memakai nama Sumilah, seorang guru sekolah
dasar yang berasal dari Kulon Progo.
Sumilah kemudian mengalami serangan seksual ketika dia
diinterogasi.
Negara kemudian segera menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun
kepada Sumilah tanpa pengadilan yang layak.
Sepanjang masa hukuman, negara memindahkan Sumilah dari
Penjara Wirogunan di Yogyakarta ke Penjara Bulu di Semarang, Jawa Tengah, dan
akhirnya ke kamp wanita, Plantungan, di Kendal, juga di Jawa Tengah.
Sumilah akhirnya mendapatkan kebebasannya pada tahun 1979
dan kemudian membuka kios sate untuk menghidupi keluarganya.
Ketika sekitar 300 penonton berkumpul di panggung, membuat
suasana di alun-alun barat Fisipol UGM sangat mirip dengan pasar tempat kedai
Sumilah dulu, pertunjukan dimulai. Beberapa perempuan yang selamat sebagai
pemain membagikan makanan ringan dan topi kertas kepada para pengunjung.
Pengeras suara tingkat menengah menyampaikan lagu
"Bersuka Ria" (Bersukacita) dan "Soleram"
dalam irama lenso (tarian sapu tangan) untuk
membangun getaran tahun 1960-an.
Para pemain juga menyanyikan lagu anak-anak berjudul “Mana
Dimana Anak Kambing Saya?” (Where's My Baby Goat?) Dan memutar liriknya menjadi
“Mana Dimana Kambing Hitam Saya?” (Where's My Scapegoat?).
Ini
menggambarkan bagaimana PKI dan anggotanya dijadikan kambing hitam atas kudeta
yang gagal yang dimulai dengan pembunuhan enam jenderal angkatan darat pada 30
September 1965, di Jakarta, mendorong Angkatan Darat untuk memburu siapa pun
yang dianggapnya sebagai pendukung PKI.
Perburuan tentara untuk anggota PKI dan dugaan pendukung
mengakibatkan kematian antara 500.000 dan 2 juta orang, menurut berbagai
sejarawan, menjadikannya salah satu pembantaian terbesar yang terjadi setelah
Perang Dunia II.
Dalam kelompok yang tergantung domba, seorang wanita
mengenakan topi berjalan sambil membunyikan jam kecil. Dia membacakan
jumlah dosen, mahasiswa, dan pejabat administrasi UGM yang diberhentikan oleh
rektor UGM karena diduga sebagai pendukung PKI.
"Prof. Herman Johannes, 6 Januari 1966: 112 dosen, tiga asisten dosen, 2.986 mahasiswa, 1.212 staf administrasi,” kata wanita dalam kelompok ini.
Menurut Abdul Wahid dalam artikelnya yang
berjudul Campus on Fire: Universitas Indonesia Selama Gejolak
Politik tahun 1950-an-1960-an yang diterbitkan di Archipel ,
Paris, tahun ini, dari 11 universitas negeri, UGM mengeluarkan jumlah dosen,
mahasiswa, dan anggota staf terbesar. .
Sri Muhayati, yang saat itu menjadi bendahara Korps Dewan
Mahasiswa Sekolah Kedokteran UGM, adalah salah satu dari korban itu.
“Lima puluh tahun yang lalu saya adalah seorang mahasiswa kedokteran UGM dan surat dari rektor UGM Prof. Herman Johannes memaksa saya untuk berhenti,” katanya kepada para penonton.
Kartu identitas mahasiswa dan surat pemberhentiannya sebagai
mahasiswa UGM dipajang di pameran arsip yang diselenggarakan bersama dengan
pertunjukan teater. Benda-benda lain yang dipamerkan adalah sepatu kets
yang dimiliki oleh seorang yang selamat bernama Bu Endang,
sementara dia dikurung di Plantungan, sabun mandi untuk penyelundupan surat
cinta, foto-foto 1965 korban yang selamat dan empat video dengan testimonial.
Dalam pertunjukan mereka, beberapa aktor juga membaca
kutipan dari penangkapan Minke oleh Jaques Pengemannan dalam novel Pramudya
Ananta Toer, Rumah Kaca. Kelompok-kelompok membaca
versi yang berbeda: Tugas Berat untuk Pangemannan (Pekerjaan Berat
untuk Pangemannan ), Pitung-Pitung Moderen ( Pitung Modern), Pengasingan
Minke (Isolasi Minke) dan Kematian Minke (Kematian
Minke).
Irfanuddien mengatakan, kisah Minke menggambarkan bagaimana
para penguasa kolonial Belanda selalu mengawasinya sehingga membangkitkan
semangat nasionalisme dan ini cocok untuk menggambarkan situasi para penyintas
tahun 1965.
"Mereka [yang selamat] bebas tetapi mereka tampaknya tetap di rumah kaca di mana mereka selalu diawasi," tambahnya.
Sementara itu, dosen UGM Ulya Niami Efrina Jamson mengatakan
pertunjukan teater berfungsi sebagai bukti bahwa universitas, yang merupakan
salah satu tempat konflik dan kekerasan pada tahun 1965, sekarang bisa menjadi
tempat rekonsiliasi.
"Rekonsiliasi tidak dapat terjadi kecuali ada pengakuan akan kebenaran tentang masa lalu," katanya.
Irfanuddien setuju dengan Ulya dan dia mengatakan bahwa
pementasan drama itu juga merupakan bagian penting dari proses rekonsiliasi
karena itu akan memberi tahu banyak anggota generasi muda tentang masa lalu.
"Awalnya mereka terkejut mengetahui tentang insiden yang terjadi di masa lalu," katanya.
Retyan Sekar, seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia,
adalah salah satu siswa yang terkejut setelah dia menonton pertunjukan itu dan
mengatakan harus ada lebih banyak program untuk mengungkapkan kebenaran di
balik genosida 1965.
"Suara para penyintas harus didengar untuk menerangi orang-orang muda," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar