Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 21 Desember 2018
Kotagede; 1900. FOTO/Wikicommon
Kotagede yang tenang dihangatkan persaingan Muhammadiyah dan PKI. Keduanya berebut massa perajin perak sebelum geger 1965.
Seminggu ini lini masa media sosial diramaikan kasus pemotongan nisan salib di makam seorang warga Kotagede bernama Albertus Slamet Sugihardi. Pemotongan salib dilakukan setelah almarhum Slamet dimakamkan pada Senin (17/12/2018). Foto nisan salib terpotong itu lantas viral dan mengundang perdebatan.
Bejo Mulyono, tokoh masyarakat Purbayan, tempat tinggal Slamet, menjelaskan bahwa pemotongan nisan salib dilakukan karena pemakaman itu akan dikhususkan untuk Muslim. Pemotongan nisan itu pun dilakukan setelah ada kesepakatan antara warga dan keluarga almarhum.
Bejo juga menyebut, pemotongan salib dan larangan misa arwah itu dilakukan untuk "menghindari konflik".
Kotagede adalah ibu kota pertama Kesultanan Mataram yang berdiri pada pertengahan abad ke-16. Meski kemudian ibu kota kesultanan berpindah-pindah, Kotagede tetap memiliki posisi penting hingga kini. Kota ini juga menjadi persemayaman leluhur-leluhur pertama dinasti Mataram. Tak heran jika kemudian ia menjadi objek ziarah bagi penganut Islam maupun Kejawen.
Sementara itu dari aspek ekonomi, pusat kerajinan perak dan logam lain adalah penggerak ekonomi Kotagede. Di masa lalu, tepatnya pada dekade 1920-an hingga 1930-an, kerajinan perak pernah amat berjaya. Ia menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Kotagede.
Sebagaimana dicatat H.J. van Mook dalam monograf klasiknya, Kuta Gede (1972), lanskap sosial, ekonomi, dan budaya Kotagede sejak lampau dibentuk oleh ketiga aspek itu.
Pada 1920-an, sebagaimana diamati van Mook, penduduk Kotagede terbagi dalam empat lapis golongan. Golongan pertama adalah para elite yang terdiri dari abdi dalem dan pamong praja. Di lapis kedua ada golongan pedagang-pedagang kerajinan perak besar. Lalu ada golongan tukang perak dan pedagang-pedagang kecil. Lapis paling bawah dari masyarakat Kotagede diisi para buruh dan petani kecil yang tinggal di selatan kota (hlm. 19-21).
Dari sisi ideologis, golongan elite adalah penganut sinkretisme Islam-Jawa yang kuat. Sementara itu paham keislaman Islam yang lebih ortodoks—yang dapat diidentifikasi sebagai simpatisan Muhammadiyah—banyak dianut kalangan lapis kedua dan ketiga.
Karena semangat komunal yang kuat, hampir tak ada gesekan berarti di antara kedua golongan ini. Namun, pada 1920-an, van Mook mulai mengamati bahwa dinamika masyarakat Kotagede mulai menghangat lantaran masuknya komunisme di kalangan golongan lapis ketiga.
Syarekatul Mubtadi lalu melebur dengan Muhammadiyah pada 1923. Dalam waktu yang hampir bersamaan, PKI juga melebarkan sayap ke Kotagede. Pada tahun-tahun selanjutnya, Muhammadiyah dan PKI-lah yang mengisi dinamika politik lokal Kotagede.
Sebagaimana sinyalemen yang dicatat van Mook, antogonisme kedua organisasi ini di permukaan tampak seperti pertentangan antarkelas sosial. Namun, menurut Mitsuo Nakamura, akar gesekan Muhammadiyah dan PKI bisa jadi jauh lebih dalam. Karena saat itu pemimpin komunis Kotagede masih dapat dihitung jari dan mereka bukanlah golongan miskin.
Di antara anggota awal PKI Kotagede kala itu adalah seorang sekretaris desa yang berasal dari keluarga bekel yang cukup makmur. Lalu ada seorang prajurit keraton yang kerabat salah satu saudagar besar. Lainnya adalah para pegawai pemerintah bergaji lumayan besar menurut standar lokal dan pengrajin perak yang cukup kaya.
Menurut Nakamura, gesekan antara Muhammadiyah dan PKI kala itu lebih disebabkan oleh perbedaan pilihan politik dan soal keagamaan.
Konflik terbuka di antara PKI dan Muhammadiyah terjadi pada 1924. Mulanya adalah aksi pembubaran rapat umum PKI di Yogyakarta oleh orang-orang Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada Agustus. Muhammadiyah kembali merecoki acara PKI pada Desember.
Kala itu PKI menggelar kongres nasional di sebuah pendopo dekat pasar utama Kotagede. Mulanya, Kongres yang dihelat pada 11-15 Desember itu berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Situasi jadi memanas kala PKI menggelar propaganda terbuka pada 14 Desember. Kader-kader Muhammadiyah dan PKI hampir saja terlibat bentrokan kalau saja polisi tak berjaga di sana.
Seturut laporan Residen Kotagede Diengemans yang dikutip Nakamura dalam studinya, konflik di antara Muhammadiyah dan PKI sebenarnya adalah hal baru. Orang-orang PKI memang tak suka kepada beberapa pimpinan Muhammadiyah, tapi bukan hendak menyerang Islam. Pun demikian Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dikenal sangat toleran oleh orang-orang PKI.
Kala itu industri kerajinan perak di Kotagede sedang mencoba bangkit lagi. Jumlah buruh kerajinan perak meningkat lagi selama dekade 1950-an. Kelompok inilah yang dimanfaatkan oleh PKI dan Masyumi untuk menggaet anggota. Menurut Mutiah Amini, hanya dua organisasi buruh yang mengakar kuat di Kotagede pascarevolusi, yaitu Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI dan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang berafiliasi dengan Masyumi.
Meskipun secara kasat mata anggota PKI Kotagede terus meningkat, tetapi pada Pemilu 1955 PKI tetap tak bisa melampaui perolehan suara Masyumi. Di Kotagede, dengan jumlah pemilih sekira 5.000 orang, PKI dan Masyumi sama-sama meraup sepertiga total suara. PNI yang secara nasional merupakan pemenang pemilu dan menempati posisi ketiga di Kotagede, harus puas berbagi sepertiga suara sisanya dengan partai-partai gurem lain.
Kejadian serupa juga terjadi pada Pemilu Daerah 1957. Seturut Nakamura, kali ini PKI berhasil unggul dari Masyumi meski dengan selisih tipis. Sejak itu, perkembangan PKI di Kotagede tak terbendung. Lebih-lebih saat Masyumi dibubarkan Presiden Sukarno pada 1960.
Bejo Mulyono, tokoh masyarakat Purbayan, tempat tinggal Slamet, menjelaskan bahwa pemotongan nisan salib dilakukan karena pemakaman itu akan dikhususkan untuk Muslim. Pemotongan nisan itu pun dilakukan setelah ada kesepakatan antara warga dan keluarga almarhum.
"Artinya khusus yang makam itu. Walaupun belum resmi, tapi akan dijadikan makam Muslim. Kemarin itu karena darurat, diperbolehkan, asal makam [Slamet] dipinggirkan dan tidak ada simbol-simbol Nasrani karena di sini mayoritas Islam," ujar Bejo kepada reporter Tirto di Yogyakarta, Selasa (18/12/2018).Selain melarang ada "simbol agama"—dalam hal ini di luar Islam—warga kampung melarang penyelenggaraan misa atau ibadah pemakaman secara Katolik di lokasi pemakaman dan di rumah almarhum. Buntutnya, misa arwah dilakukan di Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan pada Senin (17/12/2018) sebelum pemakaman, atau sekitar pukul 12.00.
Bejo juga menyebut, pemotongan salib dan larangan misa arwah itu dilakukan untuk "menghindari konflik".
Arena Konflik Sejak Dulu
Dalam sejarahnya, Kotagede memang kerap menjadi ajang konflik—dalam bentuk dan skala yang bervariasi. Salah satu yang cukup diingat adalah konflik ideologis di kota tua ini yang bermula dari masa pergerakan nasional.Kotagede adalah ibu kota pertama Kesultanan Mataram yang berdiri pada pertengahan abad ke-16. Meski kemudian ibu kota kesultanan berpindah-pindah, Kotagede tetap memiliki posisi penting hingga kini. Kota ini juga menjadi persemayaman leluhur-leluhur pertama dinasti Mataram. Tak heran jika kemudian ia menjadi objek ziarah bagi penganut Islam maupun Kejawen.
Sementara itu dari aspek ekonomi, pusat kerajinan perak dan logam lain adalah penggerak ekonomi Kotagede. Di masa lalu, tepatnya pada dekade 1920-an hingga 1930-an, kerajinan perak pernah amat berjaya. Ia menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Kotagede.
Sebagaimana dicatat H.J. van Mook dalam monograf klasiknya, Kuta Gede (1972), lanskap sosial, ekonomi, dan budaya Kotagede sejak lampau dibentuk oleh ketiga aspek itu.
Pada 1920-an, sebagaimana diamati van Mook, penduduk Kotagede terbagi dalam empat lapis golongan. Golongan pertama adalah para elite yang terdiri dari abdi dalem dan pamong praja. Di lapis kedua ada golongan pedagang-pedagang kerajinan perak besar. Lalu ada golongan tukang perak dan pedagang-pedagang kecil. Lapis paling bawah dari masyarakat Kotagede diisi para buruh dan petani kecil yang tinggal di selatan kota (hlm. 19-21).
Dari sisi ideologis, golongan elite adalah penganut sinkretisme Islam-Jawa yang kuat. Sementara itu paham keislaman Islam yang lebih ortodoks—yang dapat diidentifikasi sebagai simpatisan Muhammadiyah—banyak dianut kalangan lapis kedua dan ketiga.
Karena semangat komunal yang kuat, hampir tak ada gesekan berarti di antara kedua golongan ini. Namun, pada 1920-an, van Mook mulai mengamati bahwa dinamika masyarakat Kotagede mulai menghangat lantaran masuknya komunisme di kalangan golongan lapis ketiga.
“Meskipun hubungan antara madjikan dan tukang ramah seperti kebiasaannja dalam industri Djawa, namun banjak daripada mereka telah sangat merasakan tekanan tahun-tahun krisis dan mungkin djuga karena itu maka diantara mereka pada waktu2 terachir ini menganut “komunisme” ialah pergerakan jang nampak mendapat perlawanan agak keras dan tetap (kontinu) dari pihak orang jang berada, seperti dapat diduga,” tulis van Mook (hlm. 21).
Muhammadiyah vs PKI
Muhammadiyah dan PKI sebenarnya bukanlah organisasi sosial-politik pertama yang bercokol di Kotagede. Sejak 1910 Budi Utomo sudah mendirikan cabang di Kotagede, lalu disusul Sarekat Islam setahun kemudian. Warga Muslim juga memiliki organisasi lokal bernama Syarekatul Mubtadi yang berdiri bersamaan dengan Budi Utomo.Syarekatul Mubtadi lalu melebur dengan Muhammadiyah pada 1923. Dalam waktu yang hampir bersamaan, PKI juga melebarkan sayap ke Kotagede. Pada tahun-tahun selanjutnya, Muhammadiyah dan PKI-lah yang mengisi dinamika politik lokal Kotagede.
Sebagaimana sinyalemen yang dicatat van Mook, antogonisme kedua organisasi ini di permukaan tampak seperti pertentangan antarkelas sosial. Namun, menurut Mitsuo Nakamura, akar gesekan Muhammadiyah dan PKI bisa jadi jauh lebih dalam. Karena saat itu pemimpin komunis Kotagede masih dapat dihitung jari dan mereka bukanlah golongan miskin.
Di antara anggota awal PKI Kotagede kala itu adalah seorang sekretaris desa yang berasal dari keluarga bekel yang cukup makmur. Lalu ada seorang prajurit keraton yang kerabat salah satu saudagar besar. Lainnya adalah para pegawai pemerintah bergaji lumayan besar menurut standar lokal dan pengrajin perak yang cukup kaya.
Menurut Nakamura, gesekan antara Muhammadiyah dan PKI kala itu lebih disebabkan oleh perbedaan pilihan politik dan soal keagamaan.
“PKI menganjurkan aksi langsung untuk menggoyang kuasa rezim kolonial Belanda. Sementara Muhammadiyah, meski tak kurang antikolonial, tak ingin terlibat dalam aksi-aksi politik,” tulis Nakamura dalam The Crescent Arise over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town (2012: 73).Muhammadiyah, lanjut Nakamura, lebih mementingkan pendidikan religius daripada aksi politik. Muhammadiyah membebaskan anggotanya untuk menyuarakan aspirasi politik atau terlibat dalam politik praktis, namun mencegah keterlibatan organisasi. Para pengurus Muhammadiyah kala itu tak ingin politik merusak gerakan utama mereka di ranah pendidikan agama.
Konflik terbuka di antara PKI dan Muhammadiyah terjadi pada 1924. Mulanya adalah aksi pembubaran rapat umum PKI di Yogyakarta oleh orang-orang Sarekat Islam dan Muhammadiyah pada Agustus. Muhammadiyah kembali merecoki acara PKI pada Desember.
Kala itu PKI menggelar kongres nasional di sebuah pendopo dekat pasar utama Kotagede. Mulanya, Kongres yang dihelat pada 11-15 Desember itu berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Situasi jadi memanas kala PKI menggelar propaganda terbuka pada 14 Desember. Kader-kader Muhammadiyah dan PKI hampir saja terlibat bentrokan kalau saja polisi tak berjaga di sana.
Seturut laporan Residen Kotagede Diengemans yang dikutip Nakamura dalam studinya, konflik di antara Muhammadiyah dan PKI sebenarnya adalah hal baru. Orang-orang PKI memang tak suka kepada beberapa pimpinan Muhammadiyah, tapi bukan hendak menyerang Islam. Pun demikian Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dikenal sangat toleran oleh orang-orang PKI.
“Banyak titik-titik kesepakatan di antara PKI dan Muhammadiyah yang tak lagi diindahkan oleh pimpinan Muhammadiyah sekarang. Karena aksi ceroboh beberapa pimpinan Muhammadiyah, PKI dan Sarekat Rakyat kini mengambil sikap oposisi terhadap Muhammadiyah,” tulis Nakamura (hlm. 75).Percekcokan antara Muhammadiyah dan PKI di Kotagede baru berakhir pada 1926. Di beberapa kota di Hindia Belanda, PKI melancarkan serangkaian pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Tanpa kematangan rencana, pemberontakan itu gagal dan kemudian banyak kader PKI ditangkap dan dibuang ke Digul.
Sebelum G30S
PKI kembali aktif di Kotagede usai Proklamasi. PKI, bersama PNI, menjadi organisasi politik yang pertama hadir di Kotagede kala itu. Namun, dibanding PKI, PNI adalah entitas politik yang baru dikenal di Kotagede. Menurut Mutiah Amini dalam “Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede pada 1950-1960-an” yang termuat dalam bunga rampai Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (2011), PNI menancapkan pengaruhnya di Kotagede dengan memanfaatkan orang-orang Muhammadiyah.“PNI dapat tumbuh di Kotagede karena pengurus PNI Kotagede kebanyakan simpatisan gerakan Muhammadiyah [...] Namun, PNI memiliki kelemahan dalam hal kegiatannya yang kurang menyentuh masyarakat bawah sehingga PNI Kotagede juga hanya menjadi populer di kalangan masyarakat menengah-atas,” tulis Mutiah (hlm. 275).Partai lain tempat orang Muhammadiyah mengekspresikan aspirasi politiknya tentu saja Masyumi. Namun, dinamika hubungan Muhammadiyah dan PKI pada periode ini tak banyak diketahui hingga usainya revolusi pada 1950.
Kala itu industri kerajinan perak di Kotagede sedang mencoba bangkit lagi. Jumlah buruh kerajinan perak meningkat lagi selama dekade 1950-an. Kelompok inilah yang dimanfaatkan oleh PKI dan Masyumi untuk menggaet anggota. Menurut Mutiah Amini, hanya dua organisasi buruh yang mengakar kuat di Kotagede pascarevolusi, yaitu Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI dan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang berafiliasi dengan Masyumi.
“Meskipun SBII dapat menarik simpati buruh perak, popularitasnya masuh jauh di bawah SOBSI. Mayoritas buruh perak adalah anggota SOBSI sebab organisasi ini paling gencar dalam mencari massa dan memberikan janji-janji perbaikan kesejahteraan, sementara SBII lebih populer di kalangan komunitas Muslim,” tulis Mutiah (hlm. 279).
Meskipun secara kasat mata anggota PKI Kotagede terus meningkat, tetapi pada Pemilu 1955 PKI tetap tak bisa melampaui perolehan suara Masyumi. Di Kotagede, dengan jumlah pemilih sekira 5.000 orang, PKI dan Masyumi sama-sama meraup sepertiga total suara. PNI yang secara nasional merupakan pemenang pemilu dan menempati posisi ketiga di Kotagede, harus puas berbagi sepertiga suara sisanya dengan partai-partai gurem lain.
Kejadian serupa juga terjadi pada Pemilu Daerah 1957. Seturut Nakamura, kali ini PKI berhasil unggul dari Masyumi meski dengan selisih tipis. Sejak itu, perkembangan PKI di Kotagede tak terbendung. Lebih-lebih saat Masyumi dibubarkan Presiden Sukarno pada 1960.
“Di lapangan koperasi produksi perak, pimpinannya pun berganti dari sebelumnya diisi koalisi PKI-Masyumi, kini jadi koalisi PKI-PNI. Dalam kenangan orang-orang Kotagede, periode Demokrasi Terpimpin diingat sebagai ‘jaman PKI’,” tulis Nakamura (hlm. 123).Sejak Masyumi dibubarkan, Muhammadiyah di Kotagede justru mengalami peningkatan anggota. Menjelang 1965, mubalig-mubalig Muhammadiyah-lah yang mencoba mengimbangi propaganda PKI yang kian radikal.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Akar gesekan Muhammadiyah dan PKI jauh lebih dalam dari pertentangan kelas.
0 komentar:
Posting Komentar