Oleh: Haris Prabowo - 29 Desember 2018
Ilustrasi pelarangan buku. Getty Images/iStockphoto
Akademisi menganggap razia dan penyitaan buku 'kiri' oleh tentara dan polisi di Kediri konyol. Ia juga perlambang kemunduran dan anti-ilmu pengetahuan.
Para akademisi mengecam penyitaan buku di Kediri, Jawa Timur, yang dilakukan oleh tentara dan polisi Rabu (26/12/2018) lalu. Mereka menilai razia buku itu—yang dianggap mempromosikan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan gagasan komunisme— salah dilihat dari aspek mana pun.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert mengatakan setidaknya ada tiga kekeliruan dalam razia itu. Pertama, wewenang pelarangan buku ada di Kejaksaan, bukan yang lain, dan itu pun lewat mekanisme yang panjang.
Oleh karena itu, Robert menyarankan agar aparat meminta maaf kepada pemilik toko 'Ki Ageng', yang berlokasi di Jalan Brawijaya Nomor 67 dan Nomor 24.
Jika menyangkut ideologi dan pemikiran secara umum, buku-buku tersebut tak bisa dilarang begitu saja.
Dwi sendiri adalah salah satu aparat yang turun langsung merazia buku.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert mengatakan setidaknya ada tiga kekeliruan dalam razia itu. Pertama, wewenang pelarangan buku ada di Kejaksaan, bukan yang lain, dan itu pun lewat mekanisme yang panjang.
"Bahkan dalam hukum yang saat ini berlaku, razia itu salah," kata Robert kepada reporter Tirto, Jumat (28/12/2018) kemarin.Pernyataan Robert berdasarkan kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Putusan itu menyatakan pemberangusan atau penarikan buku oleh Kejaksaan harus didahului dengan pembuktian di pengadilan. Dengan kata lain, tak bisa seperti tempo hari itu: datang begitu saja dan mengambil buku seenaknya.
"Yang kedua, yang memiliki tugas merazia buku bukanlah militer, kecuali militer era Hitler dan Soeharto, ya. Dan ketiga, dalam alam demokrasi, takut kepada buku itu konyol dan lambang kemunduran, apalagi banyak buku yang dirazia di Kediri ternyata adalah buku-buku yang justru ditulis oleh intelektual anti-komunis seperti Soe Hok Gie dan Ong Hok Ham," jelas Robert.Buku yang dimaksud adalah Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, & G30S1965.
Oleh karena itu, Robert menyarankan agar aparat meminta maaf kepada pemilik toko 'Ki Ageng', yang berlokasi di Jalan Brawijaya Nomor 67 dan Nomor 24.
"Baiknya juga aparatnya diberi sanksi dengan disuruh membaca dan mendiskusikan hasil bacaannya kepada publik. Jangan lupa tentaranya suruh baca," katanya.Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Rizky Hikmawan punya kritik berbeda. Ia menganggap razia salah karena itu menyamaratakan "ideologi sebagai suatu perspektif memahami segala hal di dunia" dengan "ideologi yang digunakan kelompok tertentu dalam kisaran sejarah".
Jika menyangkut ideologi dan pemikiran secara umum, buku-buku tersebut tak bisa dilarang begitu saja.
"Misalnya di jurusan Hubungan Internasional, ada pendekatan berbasis Marxisme, ada pula Neomarxisme. Dan itu dipelajari, masuk ke dalam ruang-ruang kelas. Kenapa? Karena itu buah pemikiran," kata Rizky kepada reporter Tirto. "Tetapi jika kita berbicara implementasi ideologi itu, itu persoalan lain," tambahnya.Komandan Distrik Militer (Kodim) 0809 Kediri Dwi Agung mengaku razia memang menyasar buku-buku yang dianggap mempropagandakan komunisme—meski salah satu yang dimaksud adalah Islam Sontoloyo, yang tak lain karya Presiden ke-1 RI, Soekarno. Razia dilakukan agar "menghindari keresahan masyarakat".
Dwi sendiri adalah salah satu aparat yang turun langsung merazia buku.
"Saat ini di Kejaksaan. Nanti akan dikaji dulu oleh Kajari [Kejaksaan Negeri Kediri] dan instansi terkait untuk langkah selanjutnya," kata Dwi kepada reporter Tirto.
Menghina Intelektualitas
Direktur Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis melihat dari perspektif lain. Menurutnya, razia bisa terjadi karena materi soal kebebasan akademik belum jadi salah satu mata ajar di Akademi Militer (Akmil)."Apakah sejauh ini pendidikan Akmil sudah memasukkan nilai menghargai kebebasan mimbar akademik, saya pun ragu," kata Beni kepada reporter Tirto. Ia juga menilai hal ini bisa terjadi karena watak aparat era reformasi tak banyak berubah seperti pada masa Orde Baru.Namun, lanjut Beni, meski ada alasan-alasan seperti yang ia sebut, pemberangusan buku tetap tak bisa dimaafkan karena itu sama saja dengan menghina intelektualitas.
"Jika hal seperti ini terus terulang, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia juga akan punah secara intelektual. Seperti apa yang diucapkan Heinrich Heine [sastrawan terkemuka dari Jerman]: 'bila orang membakar buku, akhirnya mereka juga membakar manusia'," pungkas Beni.
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar