Oleh: Irma Garnesia - 28 Desember 2018
Aktivis Jaringan Solidaritas
Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta,
Kamis (29/9). Dalam aksi yang ke-461 tersebut mereka kembali menagih janji
Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM
masa lalu. TIRTO/Andrey Gromico Oleh: Irma Garnesia - 28 Desember 2018
Ketika proses rekonsiliasi dan pengungkapan terkait tragedi 1965 kebenaran
mandeg di tingkat negara, inisiatif pun datang dari sejumlah daerah. Bekerja
sama dengan pemerintah setempat.
Reformasi 1998 membukakan pintu
bagi aktivisme untuk menuntut tanggung jawab negara atas kekerasan massal
1965-1966. Inisiatif-inisiatif untuk memperjuangkan hak para penyintas yang
dimulai sebelum Soeharto lengser mendapat angin selama kepresidenan Abdurahman
Wahid alias Gus Dur.
Pemerintahan yang berlangsung selama dua tahun itu
(1999-2001) mengadopsi sejumlah kebijakan dan agenda penyelesaian kasus
kekerasan 1965. Meski beragam upaya di tingkat negara ini akhirnya mandeg
selama dua pemerintahan selanjutnya, dua puluh tahun sejak reformasi, ada
sejumlah LSM yang konsisten mendokumentasikan kesaksian dan mengampanyekan
nasib penyintas hingga memperjuangkan kompensasi bagi korban. Melalui artikel
bertajuk “Working from the Margins: Initiatives for Truth and Reconciliation
for Victims of the 1965 Mass Violence in Solo and Palu” yang dimuat dalam
kompilasi tulisan berjudul The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamics
and Legacies (2018), peneliti Sri Lestari Wahyuningroem mendedah dua kasus
perubahan strategi rekonsiliasi di tingkat lokal, yakni Sekber 65 di Solo dan
SKP HAM di Palu.
Ketika proses rekonsiliasi dan pelurusan sejarah mandeg
di tingkat nasional, dua inisiatif ini berimprovisasi mencari keadilan di
tingkat lokal. Sri Lestari Wahyuningroem adalah pengajar ilmu politik di
Universitas Indonesia. Ia banyak terlibat dalam penelitian seputar kekerasan
massal 1965. Menurut Wahyuningroem, proses desentralisasi yang terjadi
pasca-Reformasi membuka peluang bagi penyebaran ikhtiar menuntut kebenaran dan
keadilan (truth and justice), dengan otonomi dan keterbatasannya masing-masing.
Merintis dari Pinggir Setelah lama berkolaborasi dengan penyintas, sejumlah LSM
di Solo dan Palu akhirnya merintis kerjasama dengan pemerintah daerah demi
mewujudkan rekonsiliasi dan menuntut ganti rugi bagi korban kekerasan.
Guna menerobos hambatan-hambatan di lapangan yang kerap
mempersulit gerak para penyintas, Yayasan Pengabdi Hukum Indonesia (YAPHI) di
Solo membentuk Sekretariat Bersama 1965 (Sekber 65) pada 2005. Sekber 65
awalnya fokus menghimpun penyintas dan melibatkan mereka ke dalam agenda-agenda
kemasyarakatan, mulai dari aksi hingga penyelenggaraan seminar. Acara-acara
yang diadakan sukses mengundang perhatian publik, termasuk pelajar, ormas
setempat, dan media. Menurut catatan Wahyuningroem, Sekber 1965 mengubah
strategi dari yang awalnya fokus di akar rumput ke pendekatan dengan pemerintah
sejak 2010. Pada 29 September-1 Oktober 2010, Sekber 1965 menggelar acara
bertajuk “Membangun Rekonsiliasi untuk Mewujudkan Perdamaian” yang dihadiri perwakilan
pemerintah lokal, anggota DPRD, tokoh masyarakat, dan pemuka agama. Sayangnya,
kendati seluruh hadirin menyepakati deklarasi perdamaian dan rekonsiliasi, tak
ada tindakan nyata yang dihasilkan (hlm. 338).
Dua tahun berselang, Walikota Solo FX Rudyatmo menghadiri
acara peluncuran buku Menyimak Suara di Balik Prahara yang disunting Baskara T.
Wardaya dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam sambutan untuk acara
yang digelar Sekber 65 itu, Rudi menegaskan tindakan nyata diperlukan untuk
menyelesaikan kasus 1965. Sekber 65 merespons pernyataan Rudi dengan seminar
bertajuk “Masa Depan Penyelesaian HAM di Indonesia Pasca Pemilu” pada 25
Agustus 2014. Dalam kesempatan tersebut, Rudyatmo berjanji akan membuat program
rekonsiliasi dan meminta agar Sekber 65 menyusun ancangannya (hlm. 339).
Tantangan besar terhadap kampanye Sekber 65 datang dari TNI.
Meski telah diundang, tak satu pun perwakilan TNI yang
hadir di acara Sekber 65. Bahkan, pada Desember 2012, Komandan Daerah Militer
wilayah IV / Diponegoro melayangkan tudingan bahwa kegiatan Sekber 65 adalah
indikasi "kebangkitan komunis". Beberapa ormas Islam juga tak sekali
mengganggu jalannya kegiatan Sekber 65. Ikhtiar lokal yang dirintis Solidaritas
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP HAM) justru membuahkan hasil yang
lebih positif di Palu, Sulawesi Tengah. Dengan strategi inklusif (melibatkan
otoritas lokal, masyarakat sipil, komunitas, bahkan pelajar) kegiatan-kegiatan
SKP HAM sukses mengundang lebih banyak penyintas berpartisipasi dalam sejumlah
kegiatan akar rumput—termasuk pendokumentasian arsip, foto, dan rekaman
kesaksian dari 1.028 penyintas ke dalam sebuah database.
Hasilnya, SKP HAM berhasil mengidentifikasi 1.210 korban
kekerasan 1965-1966 di Sulawesi Tengah yang tersebar di Palu, Sigi, Donggala,
dan Parigi Moutong. Selain melibatkan pejabat setempat dan tokoh keagamaan
dalam acara-acara publik, para pegiat SKP HAM juga aktif keliling kampung untuk
mengajak warga berdiskusi tentang HAM, pentingnya pembentukan komisi
rekonsiliasi, dan kekerasan 1965. Program yang kemudian dinamai “Diskusi
Kampung” ini kelak berkembang sebagai wadah advokasi di tingkat kota. Dalam
pidatonya di peluncuran buku Memecah Kebisuan (2011) karya Putu Oka Sukanta,
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudarto mengakui kekerasan massal dan hukuman
skerja paksa memang terjadi di Sulawesi Tengah sepanjang 1965-1966 dan
setelahnya. Tak lama setelah itu, Walikota Palu Rusdi Mastura menghadiri
“Dialog Terbuka Memperingati Hari Internasional Hak Korban Pelanggaran HAM atas
Kebenaran dan Keadilan” (24/03/12) dan menyampaikan permintaan maaf dalam
kapasitas pribadi sekaligus mewakili pemerintah kota Palu atas peristiwa
kekerasan 1965-66 (hlm. 342).
Hasilnya cukup manis. Setelah berbulan-bulan penjajakan,
Walikota Palu akhirnya mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013
mengenai Rencana Aksi HAM daerah (RANHAMDA), yang kemudian menjadi dasar hukum
bagi pemenuhan hak asasi manusia di daerah yang bersangkutan. RANHAMDA kelak
diperluas guna mengakomodasi kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi
manusia di luar kasus kekerasan 1965-66. Ada enam program yang diluncurkan dari
peraturan baru ini, yakni: 1) Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana
RANHAM, 2) Persiapan ratifikasi instrument HAM internasional, 3) Persiapan
harmonisasi peraturan perundang-undangan, 4) Diseminasi dan pendidikan HAM, 5)
Penerapan norma dan standar HAM, 6) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Pemerintah Kota Palu menggandeng LSM ELSAM untuk pengembangan program
penanganan pelanggaran HAM 1965-66.
Pada 20 Oktober 2014, kedua belah pihak menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) di Jakarta. Kedua belah pihak juga meneken
MoU pengadaan program pendidikan hak asasi manusia selama dua tahun dan
penyelenggaraan beberapa sesi acara di TVRI dalam rangka menyosialisasikan
berbagai isu dan inisiatif HAM. Beda Daerah, Beda Nasib Kendati sama-sama
inklusif dan merangkul otoritas lokal, catat Wahyuningroem, pendekatan inklusif
dan kolaboratif ala SKP HAM dinilai membuahkan hasil yang lebih baik dibanding
Sekber 65. Diskusi Kampung yang dipelopori SKP HAM dimulai dari desa terpencil
(salah satu daerahnya dikenal sebagai ‘basis PKI’).
Cakupan Diskusi Kampung meluas seiring waktu, bahkan
mengikutsertakan kepala desa dan camat. Pertemuan-pertemuan pun digelar di
masjid atau balai desa dan dihadiri oleh segelintir warga. Sebaliknya, tulis
Wahyuningroem, pertemuan rutin Sekber 65 di Solo selalu dihadiri banyak orang
(rata-rata 30-40 peserta) sehingga acara kurang efektif. Pertemuan rutin
tersebut juga sangat jarang dihadiri perwakilan pemerintah daerah atau pihak
berwenang, kendati kerap diundang. Walhasil, pesan yang ingin disampaikan tak
sukses menjangkau khalayak luas.
Faktor perorangan rupanya juga penting diperhitungkan. Sekretaris jenderal SKP HAM Palu Nurlaela Lamasitudju berasal dari keluarga muslim taat. Ayahnya seorang ulama terkemuka yang mengelola pesantren setempat. Nurlaela dan keluarga sendiri pernah mengalami langsung suasana kekerasan komunal di Poso yang meledak sejak akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an. Tak hanya itu, ada banyak aktivis muda SKP HAM berasal dari keluarga penyintas 1965. Walikota Solo FX Rudyatmo dan Walikota Palu Rusdi Mastura dikenal sebagai pemimpin yang cakap. Namun, dibandingkan dengan Mastura, posisi Rudyatmo lebih sulit karena keberadaan ormas-ormas Islam dan kelompok penentang lainnya. Misalnya Front Pembela Islam (FPI) yang beberapa kali berusaha menyerang Rudyatmo terkait kasus kericuhan antara FPI dan preman setempat. FPI bahkan menuding Rudyatmo mendalangi kericuhan dan memerintahkan preman untuk menyerang FPI. Strategi SKP HAM dan Sekber 65 boleh jadi serupa. Namun terdapat proses dan hasil berbagai inisiatif daerah ini bisa berbeda karena sejumlah faktor. Pertama, dinamika politik setempat dan kepemimpinan politik lokal. Kedua, kepemimpinan, strategi, dan sumber daya tiap organisasi masyarakat, serta keterlibatan korban.
Akhirnya, ketiga, sifat dasar dari kasus-kasus kejahatan
serius 1965 yang terjadi di wilayah masing-masing. Jika semakin berat jenis
kejahatannya dan semakin dekat si pelaku dengan kekuasaan militer, inisiatif
apapun akan sulit diambil.
Dengan dukungan dari lembaga negara seperti Komnas HAM,
LPSK, dan Komnas Perempuan, kerja-kerja seperti yang telah dilakukan SKP HAM
dan Sekber 65 berpotensi menciptakan efek bola salju di daerah-daerah lain.
Seri Buku-Buku tentang Pembantaian 1965 yang Terbit Sepanjang 2018: Operasi
Trisula Digelar TNI untuk Bangkitkan Sentimen Anti-Komunis Pembunuhan Massal
1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM Ikhtiar Kebenaran dan Rekonsiliasi
Kasus '65 di Solo dan Palu Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah
Mundur Jokowi
=========
Pembantaian 1965-66
adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk
identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses
rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan
besar. Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku
akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini
terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018)
hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan ketiga.
"Ikhtiar Kebenaran dan Rekonsiliasi Kasus
'65 di Solo dan Palu" adalah ringkasan dari tulisan berjudul “Working from
the Margins: Initiatives for Truth and Reconciliation for Victims of the 1965
Mass Violence in Solo and Palu”, dimuat dalam buku The Indonesian Genocide of
1965: Causes, Dynamics and Legacies (2018) yang disunting oleh Katharine
McGregor, Jess Melvin, dan Annie Pohlman dan diterbitkan Palgrave Macmillan.
Disarikan oleh Irma Garnesia dan dikoreksi oleh Sri Lestari Wahyuningroem.
Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi Palgrave Macmillan.
Penulis: Irma Garnesia - Editor:
Windu Jusuf
Berbeda dari Palu, proses rekonsiliasi di Solo lebih sulit karena penolakan ormas dan militer setempat
0 komentar:
Posting Komentar