Oleh: Faisal Irfani - 14
Desember 2018
Ilustrasi kriminalisasi 'palu arit' terhadap Budi Pego yang memprotes
pertambangan emas di Banyuwangi.
tirto.id/Lugas
Heri Budiawan, seorang petani buah naga di Banyuwangi,
divonis bersalah dengan tuduhan "menyebarkan komunisme".
“Kriminalisasi ini tidak bisa diterima akal,” kata Heri Budiawan, atau akrab disapa Budi Pego, dengan nada serius. “Bukti enggak ada, hanya foto. Tapi, saya justru dipidana.”
Pada Januari 2018, Budi Pego alias Cak Budi divonis 10
bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Mahkamah Agung lalu
memperberatnya menjadi empat tahun penjara, Oktober lalu.
Tuduhannya, Cak Budi dianggap menyebarkan paham
"komunisme". Ia dituding melanggar Ketetapan MPRS Nomor 25/1956
tentang Pembubaran PKI. Tuduhan kepada Cak Budi didasarkan lewat “barang bukti”
berupa foto spanduk dengan gambar palu arit.
Budi Pego dijatuhi pidana dengan tuduhan menyebarkan dan
mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme di publik melalui spanduk.
Aparat menganggapnya melanggar Pasal 107a UU No. 27 Tahun
1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan
kejahatan terhadap keamanan negara.
Tuduhan ini bermula saat ia dan warga setempat melakukan
aksi protes pada April 2017. Dalam aksi itu, pihak berwenang mengaku
“menemukan” spanduk dengan gambar palu arit di spanduk. Cak Budi pun diciduk.
Dari situ Cak Budi divonis 10 bulan penjara. Putusan itu dikuatkan Pengadilan
Tinggi Provinsi Jawa Timur, yang juga memvonisnya 10 bulan penjara, Maret 2018.
Selanjutnya, kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditolak;
Cak Budi malah dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Namun, menurut pengakuan
Cak Budi, dari total sebelas spanduk yang dicetak, tidak ada satu pun spanduk
dengan gambar palu arit.
Vonis itu membikin keluarganya terpukul. Istrinya
menyebut sang suami diperlakukan tidak adil. Cak Budi menetap di Desa
Sumberagung, Tumpang Pitu, dan bekerja sebagai petani buah naga, komoditas
andalan Tumpang Pitu. Ia juga merangkap kerja sebagai pedagang buah. Ia menjual
sendiri hasil panen di Banyuwangi dan sekitarnya.
Tanggapan PT BSI PT Bumi Suksesindo (BSI) memperoleh izin
pengelolaan tambang emas pada 2012. Izin yang didapat ialah IUP atau Izin Usaha
Pertambangan, dengan konsesi seluas 4.998 hektare.
PT BSI adalah anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold.
Tambang emas di Tumpang Pitu berdiri di kawasan hutan seluas 9.743 ha, terletak
di Sukamade. Izin eksplorasi diberikan oleh Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Poin
dari izin yang diberikan ialah perubahan fungsi dari kawasan hutan lindung
menjadi hutan produksi tetap.
Dari daerah, izin ini disetujui oleh pemerintah pusat,
diwakili Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifil Hasan. Lewat SK Menteri Kehutanan
No. 826/MENHUT-II/2013, lahan seluas 1.942 ha diserahkan kepada perusahaan
tambang untuk digarap.
Teuku Mufizar Mahmud, Corporate Communications Manager PT
BSI, menerangkan perusahaan juga sudah mengantongi IUP operasi produksi dan
sertifikat atas status clear and clean dari Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM).
"Kami harapkan dengan status obvitnas (obyek vital nasional) ini, tambang BSI secara aman dapat terus beroperasi dan manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Pemerintah berkepentingan bahwa sumber daya alam ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan negara," kata Mufizar melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto pada 19 Januari 2019.
Mufizar menyebut tambang emas BSI di Tumpang Pitu
merupakan aktivitas pertambangan yang patuh dan mengikuti seluruh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
"Tambang kami juga selalu taat peraturan dan berwawasan lingkungan, mengedepankan kearifan lokal serta melibatkan partisipasi masyarakat setempat," imbuhnya.
Mufizar mengklaim lebih dari 1.500 karyawan PT BSI,
sekitar 60 persen di antaranya merupakan warga Banyuwangi, dan 38 persen di antaranya
dari Kecamatan Pesanggaran. BSI secara konsisten juga menjalankan program CSR
untuk meningkatkan pemberdayaan dan kualitas hidup masyarakat di wilayah ini,
menurut Mufizar.
Terkait kasus yang menimpa Budi Pego, Mufizar mengatakan
perusahaan tidak mau ikut campur dalam proses hukum.
"Masalah tersebut tidak berkaitan dengan BSI ataupun Merdeka Copper Gold," bantah Mufizar. "Dalam menjalankan kegiatan penambangan, BSI senantiasa menjalankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam segala aspek kegiatan perusahaan, khususnya mengenai aspek lingkungan hidup."Kejanggalan Tuduhan 'Palu Arit' Budi Pego menyebut andil Bupati Banyuwangi Azwar Anas.
“[Bupati] Anas selalu berdalih bahwa izin tambang di sana adalah warisan [pemerintah sebelumnya]. Namun, nyatanya tidak. Izin keluar pada 2012, artinya Pak Anas sudah menjabat,” ungkap Cak Budi kepada Tirto, Senin (10/12) malam.
“Perlawanan kami dimulai ketika pra-konstruksi tambang," imbuh Cak Budi.
Warga menuntut agar perusahaan lebih
memperhatikan dampak ekologis dari aktivitas tambang. Namun, dari salah satu
protes itu Cak Budi dipidana dengan tuduhan membawa "spanduk berlogo palu
arit", dengan kata lain "menyebarkan komunisme", perkara yang
masih dilarang oleh hukum Indonesia sekalipun negara ini telah berusia 20 tahun
pasca-Reformasi.
Muhammad Soleh, kuasa hukum Cak Budi dari Lembaga Bantuan
Hukum Surabaya, menyebut kasus hukum yang menyeret kliennya "penuh
kejanggalan."
LBH Surabaya mendampingi Cak Budi menggantikan Amrullah,
advokat yang dipidanakan karena dianggap “mencemarkan nama baik”
“Barang bukti spanduk dengan gambar palu arit tidak dihadirkan. Hanya foto dan video. Ketika kami meminta pengadilan mendatangkan spanduk itu, pihak Majelis Hakim menolak. Alasannya: bukti sudah ada dalam bentuk foto,” terang Soleh kepada Tirto.
Kejanggalan kedua: keberadaan barang bukti tidak bisa
dihadirkan di persidangan alias “hilang.” Bagi Soleh, hal itu tidak masuk akal:
bagaimana bisa barang bukti dinyatakan hilang tapi persidangan tetap jalan?
“Yang terakhir: tidak ada saksi yang bilang Cak Budi membikin maupun memegang spanduk dengan gambar tersebut," tambah Soleh. Sementara Pasal 107a KUHP menyebut yang dianggap “menyebarkan komunisme” adalah kegiatan aktif dan masif, ujar Soleh.
“Bukan karena dianggap pegang spanduk lalu dibilang menyebarkan komunisme. Lagi pula, Cak Budi enggak begitu paham apa komunisme itu,” Soleh berkata.
Soleh menyesalkan Mahkamah Agung yang dianggap tidak
bekerja sesuai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi). Tidak ada surat perintah
penahanan, amar yang belum diterima, hingga lebih memilih menjalankan prinsip
judex facti alih-alih judex juris.
“MA itu harusnya menjalankan judex juris. Tapi, lewat vonis empat tahun yang dialamatkan ke Cak Budi, MA seperti menerapkan judex facti,” kata Soleh.
Dalam sistem hukum Indonesia, judex facti dan judex juris
adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil
keputusan. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menjalankan judex facti,
yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti
memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari
perkara tersebut.
Sementara Mahkamah Agung adalah judex juris, hanya
memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari
perkaranya.
Sampai pekan ini LBH Surabaya mengajukan penundaan
eksekusi terhadap Cak Budi kepada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri
Banyuwangi karena menilai putusan MA berselimut kejanggalan.
“Akibat [kriminalisasi] ini, teman-teman jadi takut melawan,” ujar Cak Budi. “Tapi, saya tidak boleh berhenti berjuang demi kebenaran.”
___
Riwayat Naskah Naskah ini tayang pertama kali pada 14
Desember 2018 (pukul 12.00 WIB) tanpa memuat pernyataan dari PT BSI. Karena
faktor itulah naskah diturunkan dari situsweb Tirto pada hari yang sama
(sekitar pukul 19.30 WIB) untuk mendapatkan konfirmasi. Pada 14 Januari 2019
pihak perusahaan menghubungi redaksi untuk menyampaikan konfirmasi. Keterangan
lebih lengkap akhirnya diterima redaksi pada 19 Januari 2019. Naskah
ditayangkan kembali pada 21 Januari 2019 dengan perbaikan. Redaksi meminta maaf
kepada pihak-pihak terkait dan publik atas kekuranglengkapan bahan pada naskah
awal maupun atas sempat diturunkannya naskah dari situsweb Tirto.
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam
Budi Pego divonis 10 bulan
penjara di Pengadilan Negeri Banyuwangi, lalu diperberat menjadi 4 tahun
penjara oleh MA
0 komentar:
Posting Komentar