HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Munir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Munir. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Oktober 2019

Tak Dibahas Jokowi Saat Pidato, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Bakal "Mangkrak"?


21.10.2019


Dalam pidato politiknya, Minggu (20/10), Presiden Jokowi sama sekali tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia. Berikut sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum diusut tuntas.

Dalam pidato politiknya saat Sidang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, di Gedung DPR-MPR, Jakarta Selatan, Minggu (20/10), Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia (HAM).

Padahal, selama lima tahun pemerintahannya dalam periode pertama, Presiden dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM. Padahal agenda penegakan HAM masuk dalam visi, misi dan program yang disebut Nawa Cita.

Rencana itu tercantum dalam Sembilan Agenda Prioritas visi misi Jokowi – JK pada halaman 9 poin 4. 

Lalu apa saja, sembilan kasus pelanggaran HAM yang belum menemui titik terang hingga saat ini? Berikut daftarnya.

Pelajar muslim Indonesia membakar kantor pusat PKI, di Jakarta

Pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965 – 1966

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah mengeluarkan laporan yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai pelanggaran HAM berat (gross human rights violation).

Operasi militer 1965-66 disebut sebagai tindakan genosida, menurut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. 

Peristiwa ini menewaskan jutaan warga sipil tidak bersenjata, simpatisan PKI dan penduduk sipil sebagai perlawanan spontan masyarakat. Versi militer menyebutnya sebagai aksi pembantaian “Operasi Penumpasan” untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI yakni Partai Komunis Indonesia, sampai ke akarnya.  

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), bersama dengan korban-korban pelanggaran HAM berat 1965 sering menyerukan kepada semua komponen bangsa untuk menuntut negara menerangkan sejarah gelap masa lalu. 

Hingga detik-detik terakhir masa kepemimpinan Jokowi, kebijakan negara untuk mengungkap sejarah masa lalu belum juga jelas.

Aceh sejak 1976

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dibentuk pada 15 Agustus 2015, sebagai mandat MOU yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.

Namun komisioner KKR Aceh menilai, pemerintah pusat sampai saat ini tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. 

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra juga pernah mengatakan, pembahasan tentang masalah penyelesaian pelanggaran HAM seringkali hanya dibahas saat debat Capres-Cawapres, namun enggan diimplementasikan setelah perang gagasan di arena debat tersebut selesai.

Operasi militer Indonesia di Aceh dimulai 19 Mei 2003 atas izin dari Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden saat itu

Penembakan Misterius (Petrus) 1983 – 1985

Ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius (petrus) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat. 

Seringkali penghambat pengungkapan pelaku pelanggar HAM berat di masa lalu, diakibatkan pelakunya masih hidup dan memegang peranan penting di pemerintahan. Di sisi lain secara psikologis, korban yang hidup dan anggota keluarga korban masih ketakutan dan merasa bersalah.

Dari hasil penelitian Kontras, memang target Petrus adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim Soeharto.
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta.

Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.

Dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983, diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya


Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas  ditembak. 

Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. 

Tanjung Priok 1984

Peristiwa Tanjung Priok sudah memasuki 35 tahun tanpa ada pertanggungjawaban dan keadilan dari pemerintah untuk korban maupun keluarga korban. Meskipun sudah dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc pada tahun 2001, namun ternyata masih gagal menjamin pemenuhan hak-hak pemulihan bagi korban dan keluarga korban peristiwa Tanjung Priok.

Kasus Tanjung Priok berawal dari demo masyarakat di Jl Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 1984. Saat itu terjadi penembakan oleh aparat terhadap pendemo. Ratusan orang tewas ditembak namun data dari kelurga korban sebanyak 80 orang tewas.

Pemerintah saat itu menyatakan ada islah antara korban dan pelaku sehingga korban mencabut kesaksian di persidangan. Namun keluarga korban mengatakan islah merupakan istilah pemerintah terhadap penyuapan yang dilakukan. Pemerintah tidak pernah minta maaf, memberikan penggantian dan juga merehabilitasi korban.

Kasus Talangsari 1989

Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Talangsari merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Kebijakan ini dapat dilihat dari penyerbuan yang dilakukan militer (ABRI) terhadap warga sipil. Selain itu, peristiwa ini diikuti dengan pernyataan pembenaran, penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan peristiwa Talangsari.

Hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM (2006) menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari, berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara paksa terhadap 77 orang, perampasan kemerdekaan terhadap 53 orang, penyiksaan menimbulkan korban sebanyak 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi sekurang-kurangnya berjumlah 229 orang. 

Peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998 , menimbulkan banyak korban

Kasus penghilangan paksa 1996 – 1998

Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres), untuk periode 1998-2003. Pada masa itu, terdapat dua agenda politik besar. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.

Kedua, Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang pada saat kasus itu terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Soeharto. Kasus penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, menimpa para aktivis, pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru. 

Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan.

Semanggi I dan II 1998

Setelah 21 tahun, kasus pelanggaran HAM pada tragedi Semanggi I dan II belum juga diselesaikan. Tragedi Trisakti, peristiwa demonstrasi mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Suharto, yang terjadi pada 12 Mei 1998 justru menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti. 

Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.

Sedangkan Tragedi Semanggi I, yang terjadi pada 13 November 1998, menewaskan sekurangnya lima mahasiswa, sementara Tragedi Semanggi II, 24 September 1999, menewaskan lima orang. 

Petugas bersiaga dan warga desa dibawa ke tempat yang aman dari pemberontak

Tragedi Wasior dan Wamena 2000

Peristiwa pembunuhan terhadap warga Desa Wonoboi, Wasior, Papua hingga saat ini masih meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban.
Peristiwa Wasior Berdarah yang terjadi pada tahun 2001 merupakan salah satu tragedi besar yang pernah terjadi di Papua.

Komnas HAM menyebut setidaknya 4 orang tewas, 39 terluka akibat penyiksaan, 5 orang dihilangkan secara paksa dan satu orang mengalami kekerasan seksual.

Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tidak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.

Aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang meninggal akibat diracun.

Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib 2004

15 tahun berlalu, kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib belum juga menemui titik terang. Sejumlah organisasi HAM seperti Kontras, Kontras dan LBH memandang sikap pemerintah Presiden Jokowi tidak lebih baik dari era Presiden SBY dan Megawati.

Di masa pemerintahan keduanya masing-masing pernah mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pembentukan Tim Penyelidik, sedangkan Presiden Jokowi tidak ada sikap yang ditunjukkan untuk menyelesaikan kasus. Hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta terkait kasus pembunuhan Munir harusnya ditanggapi serius.
pkp/ts (dari berbagai sumber)

Jumat, 05 September 2014

SATU DEKADE KASUS MUNIR - Kamisan: Menolak Lupa Kasus Munir


Utami Diah Kusumawati, CNN Indonesia | Jumat, 05/09/2014 15:03 WIB

Adhi Wicaksono (CNN Indonesia)

Jakarta, CNN Indonesia -- “Kamisan, menolak lupa. Kamisan, lawan ketakutan. Payung hitam, coba hapus kelam. Payung hitam, untuk keadilan.”
Itulah penggalan lirik dari lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' yang dibawakan oleh grup band indie Sindikat Musik Penghuni Bumi (Simponi) di depan Istana Negara, pada Kamis (4/09).

Sore itu sekitar 50 orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), beberapa perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Komisi Nasional Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) dan Komisi Nasional Perempuan serta mahasiswa melakukan aksi Kamisan.

Menurut Bejo Untung, kordinator JSKK, aksi Kamisan ke-364 ini dilakukan untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti: Talang Sari 1989, Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, penculikan 1965/1966, penculikan 13 mahasiswa serta pembunuhan Munir.

Payung-payung hitam bertuliskan seruan kepada pemerintah digelar di depan Istana Negara. Gerakan aksi menggunakan payung hitam tersebut, berdasarkan keterangan Maria Katarina Sumarsih atau lebih dikenal dengan Sumarsih ibu dari korban Semanggi 1 Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), terinspirasi dari aksi demo serupa di Argentina dan gerakan aktivis perempuan pada 1999 di Jakarta.
“Hitam simbol keteguhan di dalam mencintai anak-anak, suami atau saudara kandung kami yang menjadi korban kekerasan,” jelas salah satu kordinator JSKK ini via telepon. “Sementara payung simbol perlindungan.”
Sumarsih melanjutkan beberapa aksi serupa pernah dilakukan juga untuk mengenang korban kekerasan dan pelanggaran ham. Namun, aksi tersebut tidak pernah bertahan lama. Misalnya, aksi konvoi motor untuk mengenang Munir yang hanya dilakukan selama dua bulan saja.
“Kami akan terus setia mengawal kasus ini sampai pemerintah memenuhi janji mereka,” tegasnya.
Sementara itu, wakil kordinator Kontras, Kris Biantoro mengatakan selama sepuluh tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada perlindungan HAM yang ditegakkan. Kasus-kasus pelanggaran HAM pada era Soeharto termasuk misteri pembunuhan Munir tidak ada yang diselesaikan.
“Kerja Tim Pencari Fakta Munir tersendat di Kejaksaan. Laporan mereka juga tidak pernah dibuka oleh pemerintahan SBY,” ujarnya.
Ia mengatakan memang pada 10 tahun pemerintahan SBY demokrasi di Indonesia secara normatif membaik. Hal ini dalam pengertian, banyak instrumen HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) diratifikasi seperti Konvenan internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Banyak Komisi Negara independen juga turut didirikan, ujarnya.
“Dari segi promosi bagus, tetapi dari segi pemenuhan perlindungan terhadap warga masih buruk. Tidak ada keadilan diwujudkan,” ia menegaskan. 
Novia Astriani dari Kasum mengatakan aksi Kamisan kali ini adalah untuk memberikan peringatan 10 tahun terhadap tragedi Munir. Ada beberapa acara akan diselenggarakan, diantaranya kampanye publik dalam car free day tanggal 7 September serta pemutaran film Munir dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional pada 10 September dengan narasumber seperti pembuat film Dhanny Leksono.
“Kita mau munculkan orang-orang yang berkontribusi dalam kasus Munir. Ada yang akan buat lagu, musik, seni rupa,” ia menjelaskan. 
Musisi dari Simponi, M. Berkah Gamulya, mengatakan orang seperti Munir memberikan inspirasi bagi kalangan seniman termasuk bagi rekan-rekan di Simponi. Band yang dibentuk 2012 tersebut membuat satu lagu khusus yang mereka ciptakan di rumah masa kecil Munir di Batu, Malang, Jawa Timur.
“Paragraf pertama lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' diambil dari puisi-puisi Suciwati Munir untuk suaminya,” katanya.
Ia melanjutkan lagu tersebut merupakan komitmen mereka untuk terus konsisten menyuarakan kegelisahan sosial, seperti yang telah dilakukan oleh Cak Munir semasa hidupnya.

Minggu, 02 Juli 2000

Perlambatan kelahiran demokrasi


Ditulis oleh Munir | 02 Jul 2000

Dua tahun setelah Soeharto, nilai-nilai otoriter tetap kuat. Tetapi kelompok-kelompok baru muncul untuk menantang mereka.

Munir

Suharto sudah terlihat rentan sebelum pemilihan Orde Baru terakhir pada tahun 1997, ketika kerusuhan meletus di berbagai tempat. Kemudian krisis ekonomi menyusul, dan negara berantakan. Aktivis penculikan pada awal 1998 hanyalah puncak dari reaksi oleh negara yang tidak terorganisir di bawah tekanan yang meningkat. Saya sendiri adalah target. Kami tidak punya banyak pilihan selain mencoba menghentikan keadaan agar tidak menjadi lebih buruk. Mau tak mau aku merasa kami menggulingkan tatanan politik. Aktivis yang diculik dekat dengan saya - beberapa menghilang setelah mengobrol dengan saya di kantor atau di rumah.

Banyak orang secara sukarela bekerja untuk Kontras pada awal 1998 karena menawarkan kepemimpinan bagi keinginan mereka untuk menentang kekerasan negara. Bukan hanya mahasiswa tetapi perawat dan dokter ingin menjadi sukarelawan. Kami tahu bahwa perubahan tidak bisa lagi ditunda.

Tetapi setelah Soeharto jatuh, justru korupsi dan bukan kejahatan hak asasi manusianya yang menjadi pusat perdebatan. Kasus-kasus HAM menjadi semacam komoditas politik bagi berbagai elit sipil. Mereka digunakan untuk mendapatkan konsesi dari militer. Korupsi berbeda. Tidak ada perlawanan dari militer di sana. Akibatnya siapa pun yang ingin menjadi demokrat berbicara tentang korupsi, sekalipun mereka adalah kroni Suharto.

Ketika Presiden Abdurrahman Wahid ingin menghapuskan dekrit yang melarang komunisme (TAP MPRS 25/1966) ia disambut dengan reaksi negatif yang kuat dari masyarakat itu sendiri. Namun dekrit itulah yang mengubah Orde Baru menjadi sesuatu yang otoriter pada awalnya dengan bertujuan mengendalikan ideologi. Banyak dari elemen sosial ini sekarang mengancam untuk menjatuhkan presiden. Bagi saya, itu menunjukkan betapa kuatnya Orde Baru, meskipun dengan wajah sipil.

Gus Dur sangat kontras dengan presiden sebelumnya. Dia adalah seorang guru agama, seorang aktivis hak asasi manusia, dan simbol rekonsiliasi. Indonesia saat ini membutuhkan Gus Dur. Sebagai orang yang demokratis, ia jauh melebihi kekuatan politik lainnya di Indonesia. Dia siap untuk demokrasi, tetapi dia tidak seefektif mungkin karena dia dikelilingi oleh kaum konservatif.

Secara formal, Orde Baru sudah selesai. Tetapi ia bertahan dalam banyak individu dan nilai-nilai yang menonjol. Di mana-mana kita melihat orang berbicara tentang reformasi tetapi melindungi Orde Baru. Saya kira tidak ada partai politik tunggal tanpa angka Orde Baru di dalamnya. Visi Orde Baru tetap kuat di dalam diri mereka melalui pandangan mereka tentang ideologi dan masyarakat. Banyak elit politik tetap takut pada gerakan buruh dan tani, yang mereka gambarkan sebagai anarkisme. Mereka sengaja menghindari menyebutkan masalah perburuhan dan pertanahan selama pemilihan terakhir.

Hukum, juga, pada dasarnya tetap Orde Baru. Korupsi sedang ditangani dengan menggunakan instrumen hukum yang tidak pernah bisa membawa korupsi untuk buku selama Orde Baru.

Hampir seluruh birokrasi sipil tetap di bawah kendali pasukan Orde Baru lama. Mereka memperlakukan semua pertanyaan tentang penyalahgunaan masa lalu sebagai serangan terhadap diri mereka sendiri. Suatu mutualisme telah muncul antara birokrasi dan Soeharto untuk menolak permintaan akuntabilitas.

Kekuatan untuk pembaruan juga dalam kebingungan. Banyak dari mereka telah bergabung dengan pemerintahan baru. Mereka hilang karena kebutuhan yang berkelanjutan untuk mengendalikan sistem. Banyak anggota organisasi non-pemerintah (LSM) telah bergabung dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang lain telah menjadi anggota partai. Intelektual juga sudah masuk. Ini menunjukkan hilangnya sumber daya non-partisan yang sangat besar yang dulu tersedia untuk mendorong perubahan. Apa yang kita lihat tahun lalu tidak membuat mereka terlihat seperti kekuatan yang kuat untuk perubahan dari dalam. Kekuatan luar masih lebih efektif. Saya pikir ini masih saat krisis.

Grup baru

Setelah jatuhnya Suharto, banyak LSM yang tampaknya kehilangan arah. Mereka hanya berpikir untuk menjatuhkan Suharto, sehingga ketika dia pergi mereka bingung. Tetapi sekarang kita melihat potensi baru muncul. Di seluruh Indonesia, para guru, pekerja, dan jurnalis yang sebelumnya tidak terlibat menciptakan berbagai institusi baru. Ini bertujuan untuk memerangi korupsi, melawan kekerasan, bekerja untuk hak asasi manusia. Mereka menyebut mereka Corruption Watch, Parliament Watch, Military Watch, dan jumlah mereka luar biasa. Kami di Kontras kewalahan oleh permintaan dari daerah untuk membantu mengaturnya. Di tempat-tempat ini orang benar-benar baru dalam aktivisme politik.

Bukan hanya Orde Baru yang telah mati selama dua tahun terakhir ini (walaupun ia bertahan dalam beberapa bentuk), tetapi kekuatan pro-demokrasi juga mengalami masalah yang sama. Mereka telah menjadi bagian dari sistem politik baru, sementara oposisi intensif mempromosikan demokratisasi di luar sistem dilakukan oleh kelompok-kelompok baru ini. Kelompok-kelompok baru memiliki perspektif yang jauh lebih baik tentang demokrasi daripada mereka yang hanya berfokus pada Soeharto. Mereka mempertanyakan birokrasi otoriter. Tidak ada yang pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Mereka percaya parlemen perlu diawasi. Itu baru juga. Parlemen selalu menjadi pelengkap kekuasaan.

Lalu ada militer. Dulu itu adalah tabu terbesar untuk mengkritik mereka. Sekarang bahkan orang-orang di pedalaman yang jauh secara terbuka mendirikan organisasi-organisasi Pengawas Militer. Ada satu di Kalimantan, di Sulawesi, bahkan di Madura. Mereka belum mahir dalam pekerjaan media. Tetapi mereka cukup terorganisir dengan baik, dan efektif. Mereka ingin mengendalikan pejabat militer desa (Babinsa) yang mencoba membebankan biaya 'keamanan'. Mereka menolak campur tangan militer dalam konflik tanah atau dalam pemilihan kepala desa. Mereka mungkin tidak membuat kertas tetapi mereka adalah kekuatan nyata.

Sayangnya perjuangan hak asasi manusia kadang-kadang diklaim oleh kelompok-kelompok tertentu - agama atau etnis - bukan oleh seluruh masyarakat. Ini sangat mengkhawatirkan. Alih-alih melihat kejahatan negara sebagai pelanggaran hak asasi manusia, orang melihatnya hanya sebagai perjuangan antara kekuatan politik tertentu. Mereka melihat pembantaian Tanjung Priok 1984, misalnya, sebagai perjuangan agama, dan pandangan ini membuat Soeharto lolos. Kekerasan Mei 1998 terlihat dengan cara yang sama. Lebih buruk lagi, itu menjadi chip tawar-menawar.

Selama penyelidikan Timor Timur Indonesia di mana saya menjadi anggota, beberapa menggambarkan para jenderal sebagai milik satu kelompok agama dan 'dikambinghitamkan' oleh yang lain. Para jenderal militer tidak bisa lagi menggunakan basis politik lama mereka untuk melindungi diri mereka sendiri, sehingga mereka mulai menggunakan agama dan etnis. Ini adalah kemunduran besar bagi perjuangan untuk hak asasi manusia.

Namun, saya punya anak, satu setengah tahun. Saya berharap dia akan hidup di Indonesia yang lebih baik - lebih demokratis, lebih mampu memberi makan populasi yang sangat besar, dan memiliki nilai-nilai beradab. Dalam waktu dua puluh tahun, saya optimis itu bisa tercapai.

Artikel ini disusun dari wawancara yang dilakukan dengan Munir oleh Gerry van Klinkenpada 16 Mei 2000. Hubungi Kontras melalui email: kontras@cbn.net.id.

Sumber: https://www.insideindonesia.org/the-slow-birth-of-democracy