Tampilkan postingan dengan label Munir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Munir. Tampilkan semua postingan
Senin, 21 Oktober 2019
Tak Dibahas Jokowi Saat Pidato, Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Bakal "Mangkrak"?
16.45
Aceh, Genosida 65, Impunity, Jokowi, Kejahatan HAM, Kliping, Munir, Pembantaian Massal, PKI
No comments
21.10.2019
Dalam pidato politiknya, Minggu (20/10), Presiden Jokowi
sama sekali tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia. Berikut sejumlah kasus
pelanggaran HAM masa lalu yang belum diusut tuntas.
Dalam pidato politiknya saat Sidang
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, di Gedung DPR-MPR, Jakarta Selatan,
Minggu (20/10), Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menyinggung soal Hak
Asasi Manusia (HAM).
Padahal, selama lima tahun pemerintahannya dalam periode
pertama, Presiden dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
pelanggaran HAM. Padahal agenda penegakan HAM masuk dalam visi, misi dan
program yang disebut Nawa Cita.
Rencana itu tercantum dalam Sembilan Agenda Prioritas
visi misi Jokowi – JK pada halaman 9 poin 4.
Lalu apa saja, sembilan kasus pelanggaran HAM yang belum
menemui titik terang hingga saat ini? Berikut daftarnya.
Pelajar muslim Indonesia membakar kantor pusat PKI, di
Jakarta
Pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965 –
1966
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah
mengeluarkan laporan yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai pelanggaran HAM
berat (gross human rights violation).
Operasi militer 1965-66 disebut sebagai tindakan
genosida, menurut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948.
Peristiwa ini menewaskan jutaan warga sipil tidak
bersenjata, simpatisan PKI dan penduduk sipil sebagai perlawanan spontan
masyarakat. Versi militer menyebutnya sebagai aksi pembantaian “Operasi
Penumpasan” untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI yakni Partai Komunis Indonesia,
sampai ke akarnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), bersama dengan korban-korban pelanggaran HAM berat 1965 sering
menyerukan kepada semua komponen bangsa untuk menuntut negara menerangkan
sejarah gelap masa lalu.
Hingga detik-detik terakhir masa kepemimpinan Jokowi,
kebijakan negara untuk mengungkap sejarah masa lalu belum juga jelas.
Aceh sejak 1976
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dibentuk
pada 15 Agustus 2015, sebagai mandat MOU yang ditandatangani pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.
Namun komisioner KKR Aceh menilai, pemerintah pusat
sampai saat ini tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu di Aceh.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra juga pernah mengatakan, pembahasan
tentang masalah penyelesaian pelanggaran HAM seringkali hanya dibahas saat
debat Capres-Cawapres, namun enggan diimplementasikan setelah perang gagasan di
arena debat tersebut selesai.
Operasi militer Indonesia di Aceh dimulai 19 Mei 2003 atas izin dari
Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden saat itu
Penembakan
Misterius (Petrus) 1983 – 1985
Ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban
operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius
(petrus) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara
resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan
pelanggaran HAM berat.
Seringkali penghambat pengungkapan pelaku pelanggar HAM
berat di masa lalu, diakibatkan pelakunya masih hidup dan memegang peranan
penting di pemerintahan. Di sisi lain secara psikologis, korban yang hidup
dan anggota keluarga korban masih ketakutan dan merasa bersalah.
Dari hasil penelitian Kontras, memang target Petrus
adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para
korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim
Soeharto.
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta.
Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada
Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar
perampokan yang meresahkan masyarakat. Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.
Dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri,
Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19
Januari 1983, diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini
kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi
lainnya
Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang
signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang
diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di
antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di
antaranya tewas ditembak.
Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat
dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga
dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah,
dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Tanjung Priok 1984
Peristiwa Tanjung Priok sudah memasuki 35 tahun tanpa ada
pertanggungjawaban dan keadilan dari pemerintah untuk korban maupun keluarga
korban. Meskipun sudah dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc pada tahun 2001,
namun ternyata masih gagal menjamin pemenuhan hak-hak pemulihan bagi korban dan
keluarga korban peristiwa Tanjung Priok.
Kasus Tanjung Priok berawal dari demo masyarakat di Jl
Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 1984. Saat itu terjadi penembakan oleh aparat
terhadap pendemo. Ratusan orang tewas ditembak namun data dari kelurga korban
sebanyak 80 orang tewas.
Pemerintah saat itu menyatakan ada islah antara korban
dan pelaku sehingga korban mencabut kesaksian di persidangan. Namun keluarga
korban mengatakan islah merupakan istilah pemerintah terhadap penyuapan yang
dilakukan. Pemerintah tidak pernah minta maaf, memberikan penggantian dan juga
merehabilitasi korban.
Kasus Talangsari
1989
Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Talangsari
merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan
Soeharto. Kebijakan ini dapat dilihat dari penyerbuan yang dilakukan militer
(ABRI) terhadap warga sipil. Selain itu, peristiwa ini diikuti dengan
pernyataan pembenaran, penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan
terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan peristiwa
Talangsari.
Hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM (2006)
menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari,
berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara paksa terhadap
77 orang, perampasan kemerdekaan terhadap 53 orang, penyiksaan menimbulkan
korban sebanyak 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi sekurang-kurangnya
berjumlah 229 orang.
Peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998 , menimbulkan banyak korban
Kasus penghilangan
paksa 1996 – 1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa
periode 1997-1998, terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia
(Pilpres), untuk periode 1998-2003. Pada masa itu, terdapat dua agenda politik
besar. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.
Kedua, Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang
pada saat kasus itu terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Soeharto. Kasus
penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, menimpa para aktivis, pemuda
dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan
Orde Baru.
Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah
dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan negara.
Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat
menghambat jalannya roda pemerintahan.
Semanggi I dan II
1998
Setelah 21 tahun, kasus pelanggaran HAM pada tragedi
Semanggi I dan II belum juga diselesaikan. Tragedi Trisakti, peristiwa
demonstrasi mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Suharto, yang terjadi pada
12 Mei 1998 justru menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat
keamanan mencapai 685 orang. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke
Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya
Rahman.
Sedangkan Tragedi Semanggi I, yang terjadi pada 13
November 1998, menewaskan sekurangnya lima mahasiswa, sementara Tragedi
Semanggi II, 24 September 1999, menewaskan lima orang.
Petugas bersiaga dan warga desa dibawa ke tempat yang aman dari
pemberontak
Tragedi Wasior dan
Wamena 2000
Peristiwa pembunuhan terhadap warga Desa Wonoboi, Wasior,
Papua hingga saat ini masih meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban.
Peristiwa Wasior Berdarah yang terjadi pada tahun 2001
merupakan salah satu tragedi besar yang pernah terjadi di Papua.
Komnas HAM menyebut setidaknya 4 orang tewas, 39 terluka
akibat penyiksaan, 5 orang dihilangkan secara paksa dan satu orang mengalami
kekerasan seksual.
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata
oleh orang tidak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi
penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil,
sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas
HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi
penyelidikan kasus tersebut.
Aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang meninggal akibat diracun.
Pembunuhan aktivis
HAM Munir Said Thalib 2004
15 tahun berlalu, kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir
Said Thalib belum juga menemui titik terang. Sejumlah organisasi HAM seperti
Kontras, Kontras dan LBH memandang sikap pemerintah Presiden Jokowi tidak lebih
baik dari era Presiden SBY dan Megawati.
Di masa pemerintahan keduanya masing-masing pernah
mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pembentukan Tim Penyelidik, sedangkan
Presiden Jokowi tidak ada sikap yang ditunjukkan untuk menyelesaikan kasus.
Hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta terkait kasus pembunuhan Munir harusnya
ditanggapi serius.
pkp/ts (dari berbagai sumber)
Jumat, 05 September 2014
SATU DEKADE KASUS MUNIR - Kamisan: Menolak Lupa Kasus Munir
Utami Diah Kusumawati, CNN
Indonesia | Jumat, 05/09/2014 15:03 WIB
Adhi Wicaksono (CNN
Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Kamisan, menolak lupa. Kamisan, lawan ketakutan. Payung hitam, coba hapus kelam. Payung hitam, untuk keadilan.”Itulah penggalan lirik dari lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' yang dibawakan oleh grup band indie Sindikat Musik Penghuni Bumi (Simponi) di depan Istana Negara, pada Kamis (4/09).
Sore itu sekitar 50 orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), beberapa perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Komisi Nasional Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) dan Komisi Nasional Perempuan serta mahasiswa melakukan aksi Kamisan.
Menurut Bejo Untung, kordinator JSKK, aksi Kamisan ke-364 ini dilakukan untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti: Talang Sari 1989, Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, penculikan 1965/1966, penculikan 13 mahasiswa serta pembunuhan Munir.
Payung-payung hitam bertuliskan seruan kepada pemerintah digelar di depan Istana Negara. Gerakan aksi menggunakan payung hitam tersebut, berdasarkan keterangan Maria Katarina Sumarsih atau lebih dikenal dengan Sumarsih ibu dari korban Semanggi 1 Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), terinspirasi dari aksi demo serupa di Argentina dan gerakan aktivis perempuan pada 1999 di Jakarta.
“Hitam simbol keteguhan di dalam mencintai anak-anak, suami atau saudara kandung kami yang menjadi korban kekerasan,” jelas salah satu kordinator JSKK ini via telepon. “Sementara payung simbol perlindungan.”Sumarsih melanjutkan beberapa aksi serupa pernah dilakukan juga untuk mengenang korban kekerasan dan pelanggaran ham. Namun, aksi tersebut tidak pernah bertahan lama. Misalnya, aksi konvoi motor untuk mengenang Munir yang hanya dilakukan selama dua bulan saja.
“Kami akan terus setia mengawal kasus ini sampai pemerintah memenuhi janji mereka,” tegasnya.Sementara itu, wakil kordinator Kontras, Kris Biantoro mengatakan selama sepuluh tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak ada perlindungan HAM yang ditegakkan. Kasus-kasus pelanggaran HAM pada era Soeharto termasuk misteri pembunuhan Munir tidak ada yang diselesaikan.
“Kerja Tim Pencari Fakta Munir tersendat di Kejaksaan. Laporan mereka juga tidak pernah dibuka oleh pemerintahan SBY,” ujarnya.Ia mengatakan memang pada 10 tahun pemerintahan SBY demokrasi di Indonesia secara normatif membaik. Hal ini dalam pengertian, banyak instrumen HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) diratifikasi seperti Konvenan internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Banyak Komisi Negara independen juga turut didirikan, ujarnya.
“Dari segi promosi bagus, tetapi dari segi pemenuhan perlindungan terhadap warga masih buruk. Tidak ada keadilan diwujudkan,” ia menegaskan.Novia Astriani dari Kasum mengatakan aksi Kamisan kali ini adalah untuk memberikan peringatan 10 tahun terhadap tragedi Munir. Ada beberapa acara akan diselenggarakan, diantaranya kampanye publik dalam car free day tanggal 7 September serta pemutaran film Munir dan diskusi publik di Perpustakaan Nasional pada 10 September dengan narasumber seperti pembuat film Dhanny Leksono.
“Kita mau munculkan orang-orang yang berkontribusi dalam kasus Munir. Ada yang akan buat lagu, musik, seni rupa,” ia menjelaskan.Musisi dari Simponi, M. Berkah Gamulya, mengatakan orang seperti Munir memberikan inspirasi bagi kalangan seniman termasuk bagi rekan-rekan di Simponi. Band yang dibentuk 2012 tersebut membuat satu lagu khusus yang mereka ciptakan di rumah masa kecil Munir di Batu, Malang, Jawa Timur.
“Paragraf pertama lagu 'Fajar Munir, Senja Kamisan' diambil dari puisi-puisi Suciwati Munir untuk suaminya,” katanya.Ia melanjutkan lagu tersebut merupakan komitmen mereka untuk terus konsisten menyuarakan kegelisahan sosial, seperti yang telah dilakukan oleh Cak Munir semasa hidupnya.
Minggu, 02 Juli 2000
Perlambatan kelahiran demokrasi
Ditulis oleh Munir | 02
Jul 2000
Dua tahun setelah Soeharto, nilai-nilai
otoriter tetap kuat. Tetapi kelompok-kelompok baru muncul untuk menantang
mereka.
Munir
Suharto sudah terlihat rentan sebelum pemilihan Orde Baru
terakhir pada tahun 1997, ketika kerusuhan meletus di berbagai
tempat. Kemudian krisis ekonomi menyusul, dan negara berantakan. Aktivis
penculikan pada awal 1998 hanyalah puncak dari reaksi oleh negara yang tidak
terorganisir di bawah tekanan yang meningkat. Saya sendiri adalah
target. Kami tidak punya banyak pilihan selain mencoba menghentikan
keadaan agar tidak menjadi lebih buruk. Mau tak mau aku merasa kami
menggulingkan tatanan politik. Aktivis yang diculik dekat dengan saya -
beberapa menghilang setelah mengobrol dengan saya di kantor atau di rumah.
Banyak orang secara sukarela bekerja untuk Kontras pada
awal 1998 karena menawarkan kepemimpinan bagi keinginan mereka untuk menentang
kekerasan negara. Bukan hanya mahasiswa tetapi perawat dan dokter ingin
menjadi sukarelawan. Kami tahu bahwa perubahan tidak bisa lagi ditunda.
Tetapi setelah Soeharto jatuh, justru korupsi dan bukan
kejahatan hak asasi manusianya yang menjadi pusat perdebatan. Kasus-kasus
HAM menjadi semacam komoditas politik bagi berbagai elit sipil. Mereka
digunakan untuk mendapatkan konsesi dari militer. Korupsi
berbeda. Tidak ada perlawanan dari militer di sana. Akibatnya siapa
pun yang ingin menjadi demokrat berbicara tentang korupsi, sekalipun mereka
adalah kroni Suharto.
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid ingin menghapuskan
dekrit yang melarang komunisme (TAP MPRS 25/1966) ia disambut dengan reaksi
negatif yang kuat dari masyarakat itu sendiri. Namun dekrit itulah yang
mengubah Orde Baru menjadi sesuatu yang otoriter pada awalnya dengan bertujuan
mengendalikan ideologi. Banyak dari elemen sosial ini sekarang mengancam
untuk menjatuhkan presiden. Bagi saya, itu menunjukkan betapa kuatnya Orde
Baru, meskipun dengan wajah sipil.
Gus Dur sangat kontras dengan presiden
sebelumnya. Dia adalah seorang guru agama, seorang aktivis hak asasi
manusia, dan simbol rekonsiliasi. Indonesia saat ini membutuhkan Gus
Dur. Sebagai orang yang demokratis, ia jauh melebihi kekuatan politik
lainnya di Indonesia. Dia siap untuk demokrasi, tetapi dia tidak seefektif
mungkin karena dia dikelilingi oleh kaum konservatif.
Secara formal, Orde Baru sudah selesai. Tetapi ia
bertahan dalam banyak individu dan nilai-nilai yang menonjol. Di mana-mana
kita melihat orang berbicara tentang reformasi tetapi melindungi Orde
Baru. Saya kira tidak ada partai politik tunggal tanpa angka Orde Baru di
dalamnya. Visi Orde Baru tetap kuat di dalam diri mereka melalui pandangan
mereka tentang ideologi dan masyarakat. Banyak elit politik tetap takut
pada gerakan buruh dan tani, yang mereka gambarkan sebagai
anarkisme. Mereka sengaja menghindari menyebutkan masalah perburuhan dan
pertanahan selama pemilihan terakhir.
Hukum, juga, pada dasarnya tetap Orde Baru. Korupsi
sedang ditangani dengan menggunakan instrumen hukum yang tidak pernah bisa
membawa korupsi untuk buku selama Orde Baru.
Hampir seluruh birokrasi sipil tetap di bawah kendali
pasukan Orde Baru lama. Mereka memperlakukan semua pertanyaan tentang
penyalahgunaan masa lalu sebagai serangan terhadap diri mereka
sendiri. Suatu mutualisme telah muncul antara birokrasi dan Soeharto untuk
menolak permintaan akuntabilitas.
Kekuatan untuk pembaruan juga dalam kebingungan. Banyak
dari mereka telah bergabung dengan pemerintahan baru. Mereka hilang karena
kebutuhan yang berkelanjutan untuk mengendalikan sistem. Banyak anggota
organisasi non-pemerintah (LSM) telah bergabung dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Yang lain telah menjadi anggota partai. Intelektual
juga sudah masuk. Ini menunjukkan hilangnya sumber daya non-partisan yang
sangat besar yang dulu tersedia untuk mendorong perubahan. Apa yang kita
lihat tahun lalu tidak membuat mereka terlihat seperti kekuatan yang kuat untuk
perubahan dari dalam. Kekuatan luar masih lebih efektif. Saya pikir
ini masih saat krisis.
Grup baru
Setelah jatuhnya Suharto, banyak LSM yang tampaknya
kehilangan arah. Mereka hanya berpikir untuk menjatuhkan Suharto, sehingga
ketika dia pergi mereka bingung. Tetapi sekarang kita melihat potensi baru
muncul. Di seluruh Indonesia, para guru, pekerja, dan jurnalis yang
sebelumnya tidak terlibat menciptakan berbagai institusi baru. Ini
bertujuan untuk memerangi korupsi, melawan kekerasan, bekerja untuk hak asasi
manusia. Mereka menyebut mereka Corruption Watch, Parliament Watch,
Military Watch, dan jumlah mereka luar biasa. Kami di Kontras kewalahan
oleh permintaan dari daerah untuk membantu mengaturnya. Di tempat-tempat ini
orang benar-benar baru dalam aktivisme politik.
Bukan hanya Orde Baru yang telah mati selama dua tahun
terakhir ini (walaupun ia bertahan dalam beberapa bentuk), tetapi kekuatan
pro-demokrasi juga mengalami masalah yang sama. Mereka telah menjadi
bagian dari sistem politik baru, sementara oposisi intensif mempromosikan
demokratisasi di luar sistem dilakukan oleh kelompok-kelompok baru
ini. Kelompok-kelompok baru memiliki perspektif yang jauh lebih baik
tentang demokrasi daripada mereka yang hanya berfokus pada Soeharto. Mereka
mempertanyakan birokrasi otoriter. Tidak ada yang pernah memikirkan hal
itu sebelumnya. Mereka percaya parlemen perlu diawasi. Itu baru
juga. Parlemen selalu menjadi pelengkap kekuasaan.
Lalu ada militer. Dulu itu adalah tabu terbesar
untuk mengkritik mereka. Sekarang bahkan orang-orang di pedalaman yang
jauh secara terbuka mendirikan organisasi-organisasi Pengawas Militer. Ada
satu di Kalimantan, di Sulawesi, bahkan di Madura. Mereka belum mahir
dalam pekerjaan media. Tetapi mereka cukup terorganisir dengan baik, dan
efektif. Mereka ingin mengendalikan pejabat militer desa (Babinsa) yang
mencoba membebankan biaya 'keamanan'. Mereka menolak campur tangan militer
dalam konflik tanah atau dalam pemilihan kepala desa. Mereka mungkin tidak
membuat kertas tetapi mereka adalah kekuatan nyata.
Sayangnya perjuangan hak asasi manusia kadang-kadang
diklaim oleh kelompok-kelompok tertentu - agama atau etnis - bukan oleh seluruh
masyarakat. Ini sangat mengkhawatirkan. Alih-alih melihat kejahatan
negara sebagai pelanggaran hak asasi manusia, orang melihatnya hanya sebagai
perjuangan antara kekuatan politik tertentu. Mereka melihat pembantaian
Tanjung Priok 1984, misalnya, sebagai perjuangan agama, dan pandangan ini
membuat Soeharto lolos. Kekerasan Mei 1998 terlihat dengan cara yang
sama. Lebih buruk lagi, itu menjadi chip tawar-menawar.
Selama penyelidikan Timor Timur Indonesia di mana saya
menjadi anggota, beberapa menggambarkan para jenderal sebagai milik satu
kelompok agama dan 'dikambinghitamkan' oleh yang lain. Para jenderal
militer tidak bisa lagi menggunakan basis politik lama mereka untuk melindungi
diri mereka sendiri, sehingga mereka mulai menggunakan agama dan
etnis. Ini adalah kemunduran besar bagi perjuangan untuk hak asasi
manusia.
Namun, saya punya anak, satu setengah tahun. Saya
berharap dia akan hidup di Indonesia yang lebih baik - lebih demokratis, lebih
mampu memberi makan populasi yang sangat besar, dan memiliki nilai-nilai
beradab. Dalam waktu dua puluh tahun, saya optimis itu bisa tercapai.
Artikel ini disusun dari
wawancara yang dilakukan dengan Munir oleh Gerry van Klinkenpada 16 Mei
2000. Hubungi Kontras melalui email: kontras@cbn.net.id.
Sumber: https://www.insideindonesia.org/the-slow-birth-of-democracy
Langganan:
Postingan (Atom)