21.10.2019
Dalam pidato politiknya, Minggu (20/10), Presiden Jokowi
sama sekali tidak menyinggung soal Hak Asasi Manusia. Berikut sejumlah kasus
pelanggaran HAM masa lalu yang belum diusut tuntas.
Dalam pidato politiknya saat Sidang
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, di Gedung DPR-MPR, Jakarta Selatan,
Minggu (20/10), Presiden Joko Widodo sama sekali tidak menyinggung soal Hak
Asasi Manusia (HAM).
Padahal, selama lima tahun pemerintahannya dalam periode
pertama, Presiden dinilai tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
pelanggaran HAM. Padahal agenda penegakan HAM masuk dalam visi, misi dan
program yang disebut Nawa Cita.
Rencana itu tercantum dalam Sembilan Agenda Prioritas
visi misi Jokowi – JK pada halaman 9 poin 4.
Lalu apa saja, sembilan kasus pelanggaran HAM yang belum
menemui titik terang hingga saat ini? Berikut daftarnya.
Pelajar muslim Indonesia membakar kantor pusat PKI, di
Jakarta
Pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965 –
1966
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah
mengeluarkan laporan yang menyatakan peristiwa 1965 sebagai pelanggaran HAM
berat (gross human rights violation).
Operasi militer 1965-66 disebut sebagai tindakan
genosida, menurut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948.
Peristiwa ini menewaskan jutaan warga sipil tidak
bersenjata, simpatisan PKI dan penduduk sipil sebagai perlawanan spontan
masyarakat. Versi militer menyebutnya sebagai aksi pembantaian “Operasi
Penumpasan” untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI yakni Partai Komunis Indonesia,
sampai ke akarnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), bersama dengan korban-korban pelanggaran HAM berat 1965 sering
menyerukan kepada semua komponen bangsa untuk menuntut negara menerangkan
sejarah gelap masa lalu.
Hingga detik-detik terakhir masa kepemimpinan Jokowi,
kebijakan negara untuk mengungkap sejarah masa lalu belum juga jelas.
Aceh sejak 1976
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dibentuk
pada 15 Agustus 2015, sebagai mandat MOU yang ditandatangani pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.
Namun komisioner KKR Aceh menilai, pemerintah pusat
sampai saat ini tidak serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa
lalu di Aceh.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra juga pernah mengatakan, pembahasan
tentang masalah penyelesaian pelanggaran HAM seringkali hanya dibahas saat
debat Capres-Cawapres, namun enggan diimplementasikan setelah perang gagasan di
arena debat tersebut selesai.
Operasi militer Indonesia di Aceh dimulai 19 Mei 2003 atas izin dari
Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden saat itu
Penembakan
Misterius (Petrus) 1983 – 1985
Ratusan bahkan diyakini ribuan orang menjadi korban
operasi pemberantasan kejahatan atau yang dikenal operasi penembakan misterius
(petrus) periode 1983-1985. Namun sampai sekarang belum ada pengakuan secara
resmi dari pemerintah, termasuk Komnas HAM bahwa kasus ini merupakan
pelanggaran HAM berat.
Seringkali penghambat pengungkapan pelaku pelanggar HAM
berat di masa lalu, diakibatkan pelakunya masih hidup dan memegang peranan
penting di pemerintahan. Di sisi lain secara psikologis, korban yang hidup
dan anggota keluarga korban masih ketakutan dan merasa bersalah.
Dari hasil penelitian Kontras, memang target Petrus
adalah para bromocorah alias penjahat atau residivis. Namun, banyak juga para
korban merupakan pemuda dan aktivis yang selama ini menentang kebijakan rezim
Soeharto.
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta.
Pada tahun 1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada
Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar
perampokan yang meresahkan masyarakat. Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas.
Dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri,
Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodak Metro Jaya tanggal 19
Januari 1983, diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini
kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi
lainnya
Operasi Clurit yang notabene dengan Petrus ini memang
signifikan, untuk tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang
diantaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di
antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di
antaranya tewas ditembak.
Para korban petrus sendiri saat ditemukan masyarakat
dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga
dimasukan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah,
dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan.
Tanjung Priok 1984
Peristiwa Tanjung Priok sudah memasuki 35 tahun tanpa ada
pertanggungjawaban dan keadilan dari pemerintah untuk korban maupun keluarga
korban. Meskipun sudah dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc pada tahun 2001,
namun ternyata masih gagal menjamin pemenuhan hak-hak pemulihan bagi korban dan
keluarga korban peristiwa Tanjung Priok.
Kasus Tanjung Priok berawal dari demo masyarakat di Jl
Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 1984. Saat itu terjadi penembakan oleh aparat
terhadap pendemo. Ratusan orang tewas ditembak namun data dari kelurga korban
sebanyak 80 orang tewas.
Pemerintah saat itu menyatakan ada islah antara korban
dan pelaku sehingga korban mencabut kesaksian di persidangan. Namun keluarga
korban mengatakan islah merupakan istilah pemerintah terhadap penyuapan yang
dilakukan. Pemerintah tidak pernah minta maaf, memberikan penggantian dan juga
merehabilitasi korban.
Kasus Talangsari
1989
Kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Talangsari
merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintahan
Soeharto. Kebijakan ini dapat dilihat dari penyerbuan yang dilakukan militer
(ABRI) terhadap warga sipil. Selain itu, peristiwa ini diikuti dengan
pernyataan pembenaran, penangkapan, penyiksaan, penahanan dan pengadilan
terhadap korban dan masyarakat yang dianggap terkait dengan peristiwa
Talangsari.
Hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM (2006)
menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Talangsari,
berupa pembunuhan terhadap 130 orang, pengusiran penduduk secara paksa terhadap
77 orang, perampasan kemerdekaan terhadap 53 orang, penyiksaan menimbulkan
korban sebanyak 46 orang, dan penganiayaan atau persekusi sekurang-kurangnya
berjumlah 229 orang.
Peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998 , menimbulkan banyak korban
Kasus penghilangan
paksa 1996 – 1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa
periode 1997-1998, terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik Indonesia
(Pilpres), untuk periode 1998-2003. Pada masa itu, terdapat dua agenda politik
besar. Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.
Kedua, Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang
pada saat kasus itu terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Soeharto. Kasus
penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, menimpa para aktivis, pemuda
dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan
Orde Baru.
Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah
dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan negara.
Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat
menghambat jalannya roda pemerintahan.
Semanggi I dan II
1998
Setelah 21 tahun, kasus pelanggaran HAM pada tragedi
Semanggi I dan II belum juga diselesaikan. Tragedi Trisakti, peristiwa
demonstrasi mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Suharto, yang terjadi pada
12 Mei 1998 justru menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti.
Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat
keamanan mencapai 685 orang. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke
Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya
Rahman.
Sedangkan Tragedi Semanggi I, yang terjadi pada 13
November 1998, menewaskan sekurangnya lima mahasiswa, sementara Tragedi
Semanggi II, 24 September 1999, menewaskan lima orang.
Petugas bersiaga dan warga desa dibawa ke tempat yang aman dari
pemberontak
Tragedi Wasior dan
Wamena 2000
Peristiwa pembunuhan terhadap warga Desa Wonoboi, Wasior,
Papua hingga saat ini masih meninggalkan luka mendalam bagi keluarga korban.
Peristiwa Wasior Berdarah yang terjadi pada tahun 2001
merupakan salah satu tragedi besar yang pernah terjadi di Papua.
Komnas HAM menyebut setidaknya 4 orang tewas, 39 terluka
akibat penyiksaan, 5 orang dihilangkan secara paksa dan satu orang mengalami
kekerasan seksual.
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata
oleh orang tidak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi
penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil,
sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas
HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi
penyelidikan kasus tersebut.
Aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang meninggal akibat diracun.
Pembunuhan aktivis
HAM Munir Said Thalib 2004
15 tahun berlalu, kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir
Said Thalib belum juga menemui titik terang. Sejumlah organisasi HAM seperti
Kontras, Kontras dan LBH memandang sikap pemerintah Presiden Jokowi tidak lebih
baik dari era Presiden SBY dan Megawati.
Di masa pemerintahan keduanya masing-masing pernah
mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pembentukan Tim Penyelidik, sedangkan
Presiden Jokowi tidak ada sikap yang ditunjukkan untuk menyelesaikan kasus.
Hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta terkait kasus pembunuhan Munir harusnya
ditanggapi serius.
pkp/ts (dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar