Nila Chrisna Yulika - 01
Okt 2019, 08:05 WIB
Lubang buaya adalah saksi bisu pembantaian para
jenderal pada 30 September 1965. Dalam tragedi itu, tujuh pahlawan revolusi
yang gugur dibuang ke dalam sumur berdiameter 75 sentimeter dengan
kedalaman 12 meter.
Sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI telah melakukan
beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani. Kemudian,
menyebarkan desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang akan merebut
kekuasaan pemerintahan.
Dewan Jenderal adalah sebuah nama yang ditujukan untuk
menuduh beberapa jenderal TNI AD yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden
Soekarno pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965.
Situasi semakin memanas ketika berkembang isu bahwa Dewan
Jenderal merencanakan pameran kekuatan (machts-vertoon) pada hari Angkatan
Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sesudah terkonsentrasinya kekuatan militer yang
besar ini di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan melakukan coup
kontra-revolusioner.
Alex Dinuth (1997) dalam Dokumen Terpilih Sekitar
G.30.S/PKI menyebutkan, susunan Kabinet Dewan Jenderal yang sudah
disiapkan, terdiri dari:
1. Perdana Menteri: Jenderal AH Nasution
2. Wakil Perdana Menteri/Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad
Yani
3. Menteri Dalam Negeri: RM Hadisubeno Sosrowerdojo
(Politikus Partai Nasional Indonesia, Mantan Gubernur Jawa Tengah, Mantan
Walikota Semarang)
4. Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani (Politikus
Partai Nasional Indonesia)
5. Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
6. Menteri /Jaksa Agung: Mayjen S Parman
7. Menteri Agama: KH Rusli
8. Menteri / Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim
Adjie (Pangdam Siliwangi waktu itu)
9. Menteri / Panglima Angkatan Laut: tidak diketahui
10. Menteri / Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya
Rusmin Nurjadin
11. Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol
Jasin
Pimpinan PKI DN Aidit membicarakan isu Dewan Jenderal
dengan Subandrio yang merangkap ketua BPI (Badan Pusat Intelijen). Isu itu
sampai ke telinga Presiden Soekarno. Bung Karno kemudian menanyakan kepada
Pangad Letjen. A. Yani: "Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan
Darat, antara lain, untuk menilai kebijaksanaan yang telah saya gariskan?"
Jenderal Yani menjawab, "Tidak benar, Pak. Yang ada
ialah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Dewan ini
mengurus jabatan dan kepangkatan perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat,".
Lalu isu itu dikembangkan lagi dengan menyebutkan, ada
jenderal-jenderal yang tidak loyal pada Pemimpin Besar Revolusi. Dewan Jenderal
akan mengadakan coup kontra-revolusioner. Isu itu berkembang sekitar Mei, Juni
dan Juli, mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September 1965.
Seperti dikutip dari Sekretariat Negara RI: "Gerakan
30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia - Latar belakang, aksi dan
penumpasannya", tanggal 4 Agustus 1965, Presiden Soekarno jatuh pingsan
dan muntah-muntah.
Menurut dokter terdapat dua kemungkinan dengan kondisi
Soekarno yaitu beliau akan wafat atau akan menjadi lumpuh.
Rupanya kejadian ini menimbulkan pikiran Pimpinan PKI, DN
Aidit yang baru kembali dari Moskow dan Peking untuk merebut kekuasaan.
Tampaknya ia berpikir, lebih baik mendahului daripada
didahului oleh TNI AD. PKI kemudian melaksanakan rapat dalam rangka menentukan
langkah-langkah yang dianggap tepat. Rapat yang dilaksanakan tersebut adalah:
1. Tanggal 6 September 1965 membicarakan mengenai situasi
umum dan sakitnya Presiden Soekarno.
2. Tanggal 9 September 1965 membicarakan kesepakatan
bersama untuk turut serta dalam mengadakan gerakan dan mengadakan tukar pikiran
tentang taktik pelaksanaan gerakan.
3. Tanggal 13 September 1965 tentang peninjauan kesatuan
yang ada di Jakarta.
4. Tanggal 15 September 1965, di antaranya membicarakan
persoalan kesatua-kesatuan yang akan diajak serta dalam gerakannya.
5. Tanggal 17 September 1965 membicarakan tentang
kesatuan yang sudah sanggup dalam gerakan seperti yang disediakan oleh Kol.
Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono.
6. Tanggal 19 September 1965 membahas gerakan-gerakan di
bidang politik, militer, dan observasi dengan Sjamkamarujaman ditunjuk sebagai
koordinatornya.
7. Tanggal 22 September 1965 penentuan sasaran para
perwira tinggi Angkatan Darat.
8. Tanggal 24 September 1965 memantapkan kesanggupan dan
kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan
yang akan digerakkan.
9. Tanggal 26 September 1965 pemantapan terhadap rapat
sebelumnya.
10. Tanggal 29 September 1965 penetapan nama gerakannya
yaitu Gerakan 30 September dan putusan perubahan hari H dan jam J yang dibuat
oleh Sjam.
Saat Tragedi
Berdarah
Gerakan G30S ini juga melibatkan sebagian pasukan Tjakrabirawa. Adalah
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Letkol Untung Syamsuri yang memimpin
gerakan ini.
Seperti dikutip dari Merdeka.com, Petrik Matanasi,
penulis buku, "Tjakrabirawa", Untung memanfaatkan hari ulang
tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober untuk menggalang kekuatan pada 30
September 1965. Dalam peringatan HUT ABRI, dia ditunjuk sebagai pengatur parade
pasukan. Posisi ini membuat dia punya kesempatan mengontak bekas anak buahnya
di Kodam Diponegoro.
Pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok yakni Pasopati,
Bimasakti dan Pringgodani dan dipimpin perwira dari Tjakrabirawa, anak buah
Untung.
Pasopati dalam penculikan membunuh langsung tujuh
Jenderal AD yang akan diculik. Sebelumnya ada 8 Jenderal yang akan diculik.
Namun satu nama, Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro lolos karena sedang melawat
ke China. Satuan Pasopati terdiri dari 250 anggota Tjakrabirawa.
Sersan Mayor Boengkoes, anggota resimen Tjakrabirawa yang
menjadi salah satu pelaku penculikan terhadap tujuh jenderal mengungkap sebelum
penculikan terjadi, ada pengarahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30
September 1960 pukul 15.00 WIB.
Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal
yang dinamakan Dewan Jenderal untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno.
Boengkoes mengungkapkan, dia bersama para komandan
pasukan kemudian dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Tjakrabirawa,
Letnan Satu Doel Arif. Kemudian pasukan dibagi menjadi tujuh yang bertugas
menculik ketujuh Dewan Jenderal. Adapun Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas
menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati.
Tepat 1 Oktober 1965 dini hari, rombongan pasukan ini pun
berarak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma kemudian membelah Jakarta. Mereka
menuju Menteng, dimana rumah para jenderal berada. Sebagian lagi ke Kebayoran
Baru, rumah Jenderal DI Panjaitan.
Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah
dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I.
Panjaitan.
Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S.
Parman dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Sementara Jenderal Abdul Harris
Nasution yang jadi target utama penculikan berhasil lolos. Sementara putrinya
bernama Ade Irma Suryani Nasution meninggal dunia dan ajudannya Lettu CZI
Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution diculik.
Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik
menembak seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi
korban terakhir dalam kejadian ini.
Menurut keterangan Boengkoes, Tjakrabirawa bukan pasukan
mengeksekusi mati para jenderal. Dirinya hanya ditugaskan membawa para jenderal
itu ke Lubang Buaya. Menurut dia, ada pasukan lain yang melakukan eksekusi
tersebut.
Dikisahkan Yutharyani, Perwira Seksi Pembimbingan
Informasi Monumen Pancasila Sakti dari TNI Angkatan Darat yang
diwawancarai CNN Indonesia, tiga jenderal yang masih hidup
termasuk Pierre Andreas Tendean dibawa ke rumah penyiksaan.
Rumah penyiksaan yang dimaksud Yutharyani itu merupakan kediaman
salah seorang warga Desa Lubang Buaya. Rumah itu kini berada dalam Kompleks
Monumen Pancasila Sakti. Tak seperti sekarang, dulu Lubang Buaya ialah hutan karet yang sepi
penduduk.
"Sebelum dibunuh, mereka disuruh menandatangani yang namanya Dewan Jenderal, tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah," ujar dia.
"Padahal itu cerita khayalan yang dikarang PKI. Pak S. Parman lalu disuruh tanda tangan. Andai dia mau tanda tangan, berarti TNI AD benar-benar akan melakukan kudeta. Tapi beliau kukuh TNI AD tidak akan melakukan kudeta," kata Yutharyani.
Pada titik itulah, menurut Yutharyani, penyiksaan
terhadap para jenderal dan ajudan Nasution yang masih hidup dimulai. Mereka
semua Mayjen S. Parman, Mayjen R Suprapto, Brigjen Sutoyo, Lettu Pierre Andreas
Tandean akhirnya tewas dibunuh.
"Dipukul, dipopor pakai ujung senjata. Hasil visum menunjukkan ada retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah, karena mereka ditendang pakai sepatu lars yang keras,".
Dalam kondisi antara hidup dan mati, ujar Yutharyani,
tubuh para jenderal itu lantas digeret dan dimasukkan ke sebuah sumur di Lubang Buaya.
"Setelah tubuh mereka masuk semua, untuk meyakinkan mayat meninggal, mereka langsung ditembak lagi. Lalu jasad ditutup dengan sampah pohon karet, dan ditutup tanah serta ditanah pohon pisang utuh di atasnya seakan-akan di bawah itu tak ada mayat."
Saat jasad para jenderal itu terkubur di sumur Lubang
Buaya itu, hari telah berganti. 1 Oktober 1965.
Sumur ditemukan pada sore, 3 Oktober. Sumur lalu digali
pakai tangan. Keesokannya, 4 Oktober, mayat diangkat.
Sementara mengenai penyiksaan kepada para jenderal
sebelum dimasukan dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur,
terbantahkan melalui hasil visum yang dilakukan lima dokter atas perintah
tertulis yang ditandatangani Soeharto saat itu selaku Pangkostrad.
Kelima dokter itu diperintahkan untuk melakukan otopsi
dan VR (visum et repertum) atas jenazah para jenderal tersebut. Kelima dokter
itu adalah:
1. Dr. Roebiono Kertopati, Brigadir Jenderal pimpinan
tinggi kedua pada Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
2. Dr. Frans Pattiasina, Kolonel TNI, Korp Kesehatan
Militer Nrp. 14253, Perwira Kesehatan pada RSPAD.
3. Dr. Sutomo Tjokronegoro, Profesor pada Fakultas
Kedokteran pada Universitas Indonesia, ahli Penyakit dan Kedokteran Forensik
4. Dr. Liauw Yan Siang. Ahli Kedokteran Forensik
Universitas Indonesia,
5. Dr. Lim Joe Thay, Dosen pada Kedokteran Forensik,
Universitas Indonesia.
Hasil otopsi dan visum itu tidak menemukan adanya
pencungkilan bola mata maupun sayatan pada tubuh jenderal. Para dokter juga
tidak menemukan adanya pemotongan pada alat vital salah satu jenderal seperti
cerita yang berkembang selama ini.
Asal Usul Lubang
Buaya
Suasana di kompleks pemakaman Datuk Banjir di Kawasan Lubang Buaya,
Jakarta Timur.
Jauh sebelum tragedi memilukan itu terjadi, nama tempat
di Jakarta Timur itu memang sudah disebut Lubang Buaya. Ini tentu memiliki
sejarah tersendiri atas penyebutan wilayah tersebut.
Setelah ditelusuri, nama Lubang Buaya tersebut konon
disematkan oleh orang sakti zaman dahulu bernama Datuk Banjir. Tempat ini
dikenal sebagai markas buaya ganas.
Menurut keturunan Datuk Banjir, Yanto, kala itu sang
buyut tengah melintasi sungai besar di kawasan Lubang Buaya dengan menggunakan
getek, serta bambu panjang sebagai dayungnya. Namun dalam perjalanan, bambu
dayung itu tak menyentuh dasar sungai. Bambu itu tiba-tiba menyentuh ruang
kosong.
Setelah itu, lanjut dia, ruang kosong itu seolah menyedot
material di atasnya. Akibatnya, bambu dayung dan getek serta Datuk Banjir turut
tenggelam. Saat tenggelam itulah, Datuk melihat sarang buaya di dasar sungai.
"Bambu panjang (buat dayung) itu makin tenggelem, sampai bener-bener tenggelem. Lalu Mbah juga ikut tenggelem. Namun tiba-tiba dia muncul di deket sini," kata Yanto kepada Liputan6.com, Rabu, 22 Maret 2017, sambil menunjuk hamparan tanah kosong berupa rawa-rawa.
Setelah tenggelam ke dalam sungai dan muncul dengan
tiba-tiba, Datuk Banjir kemudian menepi. Dia merenungi pengalaman spritual itu
termasuk saat melihat sarang buaya di dalam sungai itu.
"Karena itulah dinamai Lubang Buaya dan Mbah langsung bermukim di sini, beranak pinak, sampai saya sekarang," kata Yanto.
Datuk Banjir hidup di zaman Belanda masih menjajah. Ia
turut serta dalam perjuangan melawan kompeni. Dalam pertempuran melawan
Belanda, Datuk Banjir disebutkan menunjukkan kesaktiannya.
Meski kisah-kisah itu disebut tak masuk logika, Yanto
menyatakan kejadian itu memang terjadi. Bahkan sekitar dua bulan lalu,
peristiwa yang sama juga terjadi.
"Ya, bisa kelelep gitu, kayak orang kelelep. Mereka (serdadu kompeni) kayak tenggelem. Dua bulan lalu ada yang berenang segala, itu di aspal, ada tentara yang berenang. Pas ditanya, dia bilang ada banjir, padahal kering," tutur Yanto.
Kejadian yang dialami tentara itu lantaran sang prajurit
dianggap bersikap arogan. Dia tidak mengindahkan pantangan yang ada sehingga
seolah-olah merasa tenggelam.
"Enggak usah dilanjutin. Tapi ya gitu, sudah dibilang jangan, masih dikerjain, ya kena jadinya," ucap Yanto
Hingga akhir hayatnya, Datuk Banjir mengajarkan ilmu
agama dan ilmu silat, serta ilmu batin. Ia meninggal dunia di Lubang Buaya dan
dimakamkan tak jauh dari Monumen Pancasila Sakti.
Lubang Buaya Kini
Sejumlah siswa berfoto bersama di depan Monumen Pancasila Sakti, Lubang
Buaya, Jakarta, Minggu (1/10). Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila,
sejumlah pelajar mengadakan napak tilas ke monumen Kesaktian Pancasila.
(Liputan6.com/Faizal Fanani)
Sejak 30 September 1965, Lubang Buaya berubah wujud.
Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto menyulapnya menjadi kompleks memorial
megah.
Dua tahun setelah Gerakan 30 September, 1967, Soeharto
membebaskan 14 hektare lahan di Lubang Buaya dari permukiman warga. Enam tahun
kemudian, 1973, di atas lahan itu diresmikan Kompleks Monumen Pancasila Sakti.
John Roosa, Associate Professor Departemen Sejarah
University of British Columbia dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, mengistilahkan Lubang Buaya kini
sebagai “tanah keramat.”
"Sebuah monumen didirikan dengan tujuh patung
perunggu para perwira yang tewas. Semua berdiri setinggi manusia dengan sikap
gagah dan menantang. Pada dinding belakang deretan patung para perwira,
ditempatkan patung garuda raksasa dengan sayap mengembang," demikian John
Roosa memaparkan dalam bukunya.
Di Kompleks monumen Pancasila Sakti juga dijadikan area
tempat wisata bagi orang-orang yang ingin mengetahui sejarah.
Kompleks Lubang Buaya kini memang bukan hanya berfungsi
sebagai monumen sejarah, tapi juga jadi bagian dari wisata ziarah.
Sementara sumur yang menjadi tempat pembuangan jasad para
jenderal menjadi situs inti di zona utama Kompleks Memorial Lubang Buaya.
Seperti dikutip dari CNN Indonesia, situs itu memiliki luas sembilan
hektare.
Lubang sumur berdampingan dengan tiga bangunan yang
menjadi saksi bisu Gerakan 30 September 1965, yakni rumah penyiksaan, pos
komando, dan dapur umum.
Kompleks Lubang Buaya terus mengalami penataan sepanjang
Orde Baru. Terhitung dua dekade setelahnya, Soeharto membangun dua museum
sebagai etalase sejarah dalam bentuk diorama.
Pada 1981, Soeharto meresmikan Museum Paseban yang
merunutkan cerita persiapan pemberontakan, penculikan jenderal, penganiayaan,
pelarangan Partai Komunis Indonesia, hingga peralihan kekuasaan dari Sukarno ke
Soeharto.
Selanjutnya pada 1992, Soeharto meresmikan Museum
Pengkhianatan PKI. Ini museum penutup sebelum Soeharto lengser pada 1998.
Museum ini memuat diorama tentang sepak terjang PKI di Indonesia.
Peristiwa G30S tahun 1965, dengan Lubang Buaya sebagai
lokasi sentral tragedi menjadi tanda berakhirnya riwayat PKI. Kejadian itu
membuat PKI dihancurkan, dan dinyatakan sebagai partai terlarang tahun
berikutnya, 1966.
Benar atau tidaknya eksistensi Dewan Jenderal tak
diketahui jelas hingga saat ini, sama seperti G30S yang memiliki sejarah gelap,
dengan dalang yang tak pernah terungkap.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
0 komentar:
Posting Komentar