Oleh: Indira Ardanareswari -
23 Oktober 2019
Seorang anggota Pergerakan Wanita Indonesia (Gerwani) berbicara di
sebuah upacara untuk memperingati pendirian organisasi. (wikimedia
commons/Suara Indonesia. 25 January 1954)
Sejumlah aktivis perempuan yang ditangkap
setelah PKI dinyatakan terlarang disebut “tapol perempuan masa epilog”.
“Memang aku pengurus pusat organisasi yang sekarang dilarang, tapi aku tak tahu dan tak ada urusan dengan penculikan jenderal-jenderal itu. Itu perang politik tinggi. Orang awam takkan tahu atau mengerti.”Itu adalah renungan Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), pada malam terakhir sebelum ia tertangkap polisi militer. Seperti ia tuturkan dalam Perempuan - Kebenaran dan Penjara (1999: hlm. 14) yang disunting oleh Koesalah Soebagyo Toer, Sulami sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak akhir tahun 1965.
Setelah melakukan gerakan bawah tanah selama kurang lebih dua tahun, Sulami akhirnya ditangkap Corps Polisi Militer (CPM) pada bulan Juli 1967. Informasi ini sedikit berbeda dengan yang dipaparkan Sudjinah, kawan seperjuangannya. Ia menyebut bahwa dirinya dan Sulami ditangkap berbarengan pada tanggal 17 Februari 1967, hanya lokasi penangkapannya yang berbeda.
Sulami digelandang menuju markas Kodam Jaya dan tiba sekitar pukul dua pagi. Di sana, kawan-kawan seperjuangannya sesama aktivis Gerwani dan organsiasi lain sudah lebih dahulu ditahan. Di antara pengurus kantor pusat Gerwani yang ditahan aparat setelah peristiwa G30S, ia termasuk yang paling akhir ditangkap.
Ditahan Dulu Baru
Diadili
Seperti para aktivis Gerwani lainnya, Sulami dan Sudjinah
dijebloskan ke penjara Bukit Duri tanpa pengadilan. Penjara perempuan Bukit
Duri adalah bekas sekolah Tionghoa di Jalan Gunung Sahari Jakarta, yang khusus
menampung tahanan politik perempuan. Para tahanan menjulukinya “rumah setan”
karena penyiksaan luar biasa yang terjadi di dalamnya.
Sulami dan Sudjinah ditempatkan di sel sempit yang penuh bercak darah di setiap sudut tembok. Dari tempat itu, mereka dapat menyaksikan kekejaman dan kekerasan seksual yang dilakukan para interogator kepada tapol perempuan di seberangan sel tahanan. Menurut Sulami, kekerasan itu mirip dengan yang dilakukan oleh serdadu Jepang pada tahun 1942.
Sulami dan Sudjinah ditempatkan di sel sempit yang penuh bercak darah di setiap sudut tembok. Dari tempat itu, mereka dapat menyaksikan kekejaman dan kekerasan seksual yang dilakukan para interogator kepada tapol perempuan di seberangan sel tahanan. Menurut Sulami, kekerasan itu mirip dengan yang dilakukan oleh serdadu Jepang pada tahun 1942.
“Sekilas muncul dengan bayangan mata saya serdadu-serdadu Jepang yang sedang menghajar pemuda-pemuda pejuang Indonesia dengan kekejaman tanpa batas. Orang digebug, disetrum, ditanam sampai pingsan, ditekuk dengan tong berduri besi […] sampai mati kaku, orang perempuan diperkosa beramai-ramai,” kenangnya getir (hlm. 16).Menurut pengakuan Sudjinah kepada Fansisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer (2006: hlm. 159), ia dan Sulami, serta dua tahanan perempuan lain: Sri Ambar (Ketua Seksi Perempuan SOBSI) dan Suharti Harsono (Sekretaris Seksi Perempuan BTI) tidak pernah dituduh terlibat dalam peristiwa 1 Oktober 1965 yang menewaskan tujuh orang petinggi militer.
Sulami dan kawan-kawannya justru ditahan atas tuduhan melakukan tindakan makar dan subversi. Keempat perempuan itu dijuluki “tapol perempuan masa epilog” dan dikumpulkan dalam satu sel yang terpisah dari tahanan lain, berdekatan dengan sel narapidana kriminal.
“Mereka diisolasi di Blok C. Blok ini diperuntukan bagi aktivis masa epilog. Ini sebutan bagi para aktivis yang masih melakukan kegiatan pasca 1965, setelah PKI dinyatakan terlarang,” tulis Ria Susanti (hlm. 159).Sulami ditahan di Bukit Duri tanpa kejelasan nasib selama lebih dari sembilan tahun. Menurutnya, pemerintah baru membawa kasus mereka ke muka pengadilan pada tanggal 1 Januari 1976, beberapa tahun setelah Bung Karno wafat.
Gara-gara Membela
Sukarno
Sebelum diangkat menjadi Sekretaris DPP Gerwani, Sulami
pernah menjabat sebagai Ketua Gerwani cabang Surabaya. Saskia Wieringa
dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010: hlm. 221) menyebut Sulami
sebagai sosok yang keras dan radikal.
Selama masa pendudukan Jepang, Sulami bergabung ke dalam Pemuda Putri Indonesia (PPI) dan sempat turun ke medan perang menjadi tentara. Di tahun-tahun berikutnya, ia mulai berkenalan dengan pemikiran aktivis perempuan sekaligus penganut Marxis, Clara Zetkin, melalui ceramah-ceramah Sukarno.
Ketimbang menjadi pendukung PKI, Gerwani dan para kadernya lebih tepat disebut sebagai pembela Sukarno. Ketua DPP Gerwani, Umi Sardjono bahkan menolak ketika ada yang menyebut Gerwani sebagai onderbouw PKI.
Kepada Fransisca Ria Susanti, Umi menjelaskan bahwa keputusan Gerwani untuk berafiliasi dengan PKI atau tidak, sebenarnya baru akan diputuskan pada bulan Desember 1965.
Ketika pecah peristiwa berdarah di pengujung bulan September 1965, Sulami mengaku segera meninggalkan semua pekerjaannya dan mulai hidup berpindah-pindah sembari melakukan kerja-kerja bawah tanah.
Menurut penelusuran Wieringa, kerja bawah tanah memulihkan kekuasaan Sukarno yang dilakukan Sulami dan kawan-kawannya sangat rapi sehingga sering luput dari pantauan tentara. Ia bertugas membawa dan menyelundupkan pamflet yang dicetak oleh Sri Ambar untuk diberikan kepada Sudjinah. Mereka kemudian mendistribusikan salinan pamflet itu dengan sangat terorganisasi.
Selama masa pendudukan Jepang, Sulami bergabung ke dalam Pemuda Putri Indonesia (PPI) dan sempat turun ke medan perang menjadi tentara. Di tahun-tahun berikutnya, ia mulai berkenalan dengan pemikiran aktivis perempuan sekaligus penganut Marxis, Clara Zetkin, melalui ceramah-ceramah Sukarno.
Ketimbang menjadi pendukung PKI, Gerwani dan para kadernya lebih tepat disebut sebagai pembela Sukarno. Ketua DPP Gerwani, Umi Sardjono bahkan menolak ketika ada yang menyebut Gerwani sebagai onderbouw PKI.
Kepada Fransisca Ria Susanti, Umi menjelaskan bahwa keputusan Gerwani untuk berafiliasi dengan PKI atau tidak, sebenarnya baru akan diputuskan pada bulan Desember 1965.
Ketika pecah peristiwa berdarah di pengujung bulan September 1965, Sulami mengaku segera meninggalkan semua pekerjaannya dan mulai hidup berpindah-pindah sembari melakukan kerja-kerja bawah tanah.
Menurut penelusuran Wieringa, kerja bawah tanah memulihkan kekuasaan Sukarno yang dilakukan Sulami dan kawan-kawannya sangat rapi sehingga sering luput dari pantauan tentara. Ia bertugas membawa dan menyelundupkan pamflet yang dicetak oleh Sri Ambar untuk diberikan kepada Sudjinah. Mereka kemudian mendistribusikan salinan pamflet itu dengan sangat terorganisasi.
“Kami selalu membela Presiden, maka ketika pihak militer terutama Jenderal Soeharto berusaha mendongkel Bung Karno, kami berusaha membelanya,” kata Sudjinah kepada Wieringa (hlm. 437).Menurut Wieringa, Sukarno pun tidak berpangku tangan dan tetap berusaha melindungi aktivis perempuan melalui serangkaian pidato kenegaraan. Namun, cara ini sia-sia karena posisi Sukarno yang sudah sangat lemah dan mustahil menginspirasi rakyat. Sampai akhirnya pada Maret 1967, aksi pemakzulan Sukarno dari jabatan Presiden memulai perburuan sisa-sisa aktivis perempuan seperti Sulami yang dianggap memicu ekses negatif bagi Orde Baru.
Selama dalam penahanan, terkadang Sulami, Sudjinah, dan dua orang lainnya “dibon” atau dibawa keluar untuk diinterogasi di tempat terpisah. Meski tuduhan yang ditujukan kepada Sulami dan Sudjinah berbeda dari anggota Gerwani lain, tapi nasib mereka tak lebih mujur. Selama “dibon”, Sulami dipaksa mengakui kerja-kerja bawah tanahnya.
“Saya diberondong pertanyaan tentang sebuah siaran terkenal yang tersebar luas, yaitu Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS). Isinya mendukung komandonya untuk menyelesaikan peristiwa G30S sesuai hukum, mencegah timbulnya korban rakyat yang tak berdosa dan mencegah terjadinya perang saudara,” tulis Sulami dalam memoarnya (hlm. 23-24).Akan tetapi, baik Sulami maupun Sudjinah tetap bungkam. Bahkan Sudjinah mengaku lebih baik mati disiksa ketimbang buka mulut. Keduanya berkeras hanya akan bicara di pengadilan.
Pengadilan
Sandiwara?
Medio 1970-an, Orde Baru menetapkan Sulami dan Sudjinah
sebagai terdakwa tindakan makar dan subversi yang bertanggung jawab di balik
penerbitan dan penyebaran buletin PKPS. Bersama Sri Ambar dan Suharti, mereka
dibawa ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Yan Ipul &
Associates sebagai pembela.
Proses pengadilan itu memakan waktu lama. Vonis baru jatuh empat tahun kemudian, yakni di awal tahun 1980. Sulami dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup atau 20 tahun penjara. Sementara Sudjinah divonis hukuman kurungan selama 18 tahun, dan Sri Ambar serta Suharti masing-masing 15 tahun.
Tidak seperti aktivis Gerwani lainnya yang ditahan di kamp Plantungan di Kendal, keempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Ternyata Suharti menjadi yang paling akhir bebas dari tahanan pada tahun 1984, lantaran dituding aktif dalam rapat CC PKI pada 28 September 1965.
Dalam memoarnya yang terbit satu tahun setelah Orde Baru tumbang, Sulami mengutarakan keheranannya. Ia menganggap tuduhan aksi subversi itu hanya mengada-ada karena dilakukan saat Sukarno masih berkuasa. Selain itu, proses peradilan yang dijalaninya seolah hanya akal-akalan pemerintah Orde Baru.
Proses pengadilan itu memakan waktu lama. Vonis baru jatuh empat tahun kemudian, yakni di awal tahun 1980. Sulami dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup atau 20 tahun penjara. Sementara Sudjinah divonis hukuman kurungan selama 18 tahun, dan Sri Ambar serta Suharti masing-masing 15 tahun.
Tidak seperti aktivis Gerwani lainnya yang ditahan di kamp Plantungan di Kendal, keempatnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Ternyata Suharti menjadi yang paling akhir bebas dari tahanan pada tahun 1984, lantaran dituding aktif dalam rapat CC PKI pada 28 September 1965.
Dalam memoarnya yang terbit satu tahun setelah Orde Baru tumbang, Sulami mengutarakan keheranannya. Ia menganggap tuduhan aksi subversi itu hanya mengada-ada karena dilakukan saat Sukarno masih berkuasa. Selain itu, proses peradilan yang dijalaninya seolah hanya akal-akalan pemerintah Orde Baru.
“Apakah memang ada yang namanya pengadilan sandiwara? Kalau memang aku bersalah seperti ditudingkan oleh para interogator di awal penahananku, mengapa tidak dari dulu aku diadili? Bukankah menurut mereka, aku bersalah?” tulisnya.
Penulis: Indira
Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh
Editor: Irfan Teguh
Sulami dan tiga orang
kawannya ditangkap tahun 1967, dan baru diadili pada 1976.
0 komentar:
Posting Komentar