HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label YPKP 65. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label YPKP 65. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2019

Makam Plumbon Jadi Situs Memori CIPDH-UNESCO


Oleh Andri Setiawan

Makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, masuk dalam situs memori CIPDH-UNESCO terkait pelanggaran HAM berat. Nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Pada 1980-an, sebuah makam dengan tumpukan batu di hutan Plumbon, Semarang hanyalah sebuah tempat bagi orang-orang yang mencari peruntungan nomor togel. Sesekali ada orang berziarah, namun tak dikenal siapa mereka.

Pasca Reformasi, tepatnya pada 2000, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sempat mengidentifikasi keberadaan makam yang diduga berisi kerangka korban-korban pembunuhan massal 1965 tersebut.

Namun, tak ada kelanjutan dari indentifikasi kala itu, hingga pada 2014, sekelompok aktivis yang membentuk Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) mulai membuka memori masa silam dari makam di tengah hutan jati itu.

PMS-HAM memerlukan waktu 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban serta melakukan pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah.
 “Jadi kami mencari kolega korban, keluarga korban, kemudian minta izin dari RT, RW, lurah, camat sampai walikota, Polsek, Polres, Polda, Koramil, sampai Kodam, dan kami tembuskan juga ke Mabes TNI,” ujar Yunantyo Adi Setiawan, Koordinator PMS-HAM kepada historia.id.
PMS-HAM kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 korban yang diperkirakan dikubur di makam tersebut. Mereka adalah Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono.

Moetiah adalah guru TK Melati dan anggota Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo adalah patih yang merangkap pengurus PKI Kendal. Joesoef adalah carik di Desa Margorejo dan anggota PKI di Cepiring. Soerono adalah anggota PKI dari Kedungsuren. Sachroni adalah anggota PKI dari Mangkang.
Sedangkan, Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid, merupakan anggota Pemuda Rakyat.

Yunantyo menyebut kedelapan korban dan belasan lainnya dibunuh tanpa proses hukum yang jelas.
 “Tidak ada pengadilannya. Baru dicurigai tapi sudah dibunuh. Jadi, sebagai upaya kemanusiaan kita waktu itu, rekonsiliasi dalam bentuk memanusiakan makam mereka,” terangnya.
Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut. Namun, karena Komnas HAM tidak merespons permohonan izin yang diajukan, maka dipilih opsi pemasangan nisan.

PMS-HAM juga berkaca dari peristiwa di Wonosobo pada 2000. Kala itu YPKP65 melakukan ekskavasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro, Wonosobo. Ketika hendak dimakamkan ulang di daerah Kaloran pada 2001, terjadi penolakan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Beberapa kerangka bahkan dibakar.

Maka untuk pemasangan nisan makam Plumbon, PMS-HAM melakukan dialog dengan Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) terlebih dahulu.
“Kita hanya bicara kemanusiaan saja, tidak bicara konflik masa lalu,” terangnya.
Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, 1 Juni 2015. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan).

Pada 1 Juni 2015, acara pemasangan nisan dilangsungkan bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila. Dengan mengundang warga, tokoh lintas agama, serta berbagai elemen masyarakat dan ormas, acara dapat berjalan dengan lancar. PMS-HAM juga melibatkan pemerintah daerah, pimpinan Perhutani Kendal selaku pemilik lahan hutan, serta pihak kepolisian dan TNI. Akhirnya, sebuah batu nisan dari marmer bertuliskan delapan nama korban pembunuhan berhasil didirikan.
“Intinya waktu itu kita resmikan dengan doa bersama lintas agama bersama warga bahwa tempat itu mulai 1 Juni 2015 menjadi tempat terbuka sebagai upaya kemanusiaan terhadap korban itu,” jelas Yunantyo.
Nisan ini menjadi monumen pertama korban pembunuhan masal 1965 yang didirikan secara resmi atas izin pemerintah. Acara ini juga sekaligus menjadi peristiwa rekonsiliasi kultural bagi korban, masyarakat dan pemerintah.

Pada 1 Mei 2019, Yunantyo mendapat surel dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH) yang berada dibawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yang meminta materi terkait makam Plumbon tersebut. CIPDH-UNESCO kemudian menetapkan makam itu sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat.

CIPDH-UNESCO didirikan pada 2007 di Buenos Aires, Argentina, untuk meningkatkan kesetaraan dan nondiskriminasi melalui program-program yang mempromosikan kesetaraan gender, keberagaman dan antarbudaya. CIPDH-UNESCO mengandalkan potensi pendidikan warisan budaya dan sejarah sebagai elemen penting dalam membangun identitas kolektif.

Selain itu, CIPDH-UNESCO juga memprioritaskan pendidikan HAM sebagai pendorong untuk mempromosikan budaya koeksistensi demokratis dan akses yang setara terhadap HAM. Untuk itu, CIPDH-UNESCO berupaya memvisualisasikan situs-situs terkait dengan memori pelanggaran HAM berat di seluruh dunia sebagai bagian dari warisan budaya kolektif komunitas dalam bentuk peta interaktif.

Proyek ini juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya, serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini dikenal.

Proyek ini mendata berbagai warisan meliputi arsip, warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan, genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik.
Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina.

Selain makam Plumbon, CIPDH-UNESCO juga memasukan Aksi Kamisan dalam peta mereka. Aksi dengan pakaian dan payung hitam di depan Istana Negara itu masuk dalam kategori warisan budaya tak benda dengan tema persekusi politik.

Senin, 07 Oktober 2019

Banyak lagi kuburan massal dari pembersihan merah Indonesia ditemukan


Konradus Epa, Jakarta Indonesia
7 Oktober 2019

Keluarga korban, yang selamat mengatakan bahwa mereka telah menunjuk hampir 350 situs baru yang berisi lebih dari 100.000 mayat

Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Pembunuhan Korban 1965, menyerahkan sebuah dokumen berisi bukti baru kuburan massal kepada perwakilan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional pada 4 Oktober. (Foto disediakan)

Keluarga korban dan penyintas pembersihan anti-komunis berdarah Indonesia 1965-66 telah menyerahkan apa yang mereka katakan sebagai lokasi kuburan massal 346 lainnya ke Kantor Kejaksaan Agung dan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional.

Lokasi diyakini di mana beberapa dari satu juta orang yang diperkirakan tewas selama pembersihan dimakamkan.

Mereka terbunuh karena dituduh memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia dan Tiongkok yang dibubarkan, yang disalahkan karena upaya kudeta yang gagal.

Temuan yang diajukan pada 4 Oktober menambah penemuan sebelumnya dari 122 kuburan massal pada tahun 2015.

Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP), mengatakan penemuan itu adalah hasil dari penelitian yang ekstensif dan pengumpulan bukti sejak 1999, segera setelah yayasan didirikan.

Dia memperkirakan bahwa 100.000 hingga 200.000 korban pembersihan dapat berada di kuburan. 
 "Penting bagi kami untuk membuat bukti baru tentang pembunuhan massal di depan umum," kata orang awam Katolik itu kepada ucanews.
Dia mengatakan penemuan itu dikompilasi dalam dokumen komprehensif yang mencakup nama-nama korban dan bagaimana mereka mencapai tujuan mereka.

Kuburan massal ditemukan di seluruh Indonesia dari Sumatra ke Jawa ke Nusa Tenggara Timur dan Barat, dan daerah lainnya.

Untung mengatakan yayasan melacak situs kuburan setelah berbicara dengan selamat dan orang-orang yang menyaksikan pembunuhan dan berani berbicara setelah beberapa dekade diam karena ancaman mengatakan kepada mereka untuk tidak mengatakan apa-apa.
"Jumlah makam akan meningkat karena penyelidikan masih berlangsung," katanya.
Dia mengatakan yayasan itu juga meminta Kejaksaan Agung untuk mengungkap sejauh mana tindak lanjutnya terhadap kasus-kasus pelanggaran hak terkait dengan pembersihan tersebut, khususnya tentang pembentukan pengadilan ad hoc untuk menyelesaikannya. 
 "Semua korban pembersihan anti-komunis membutuhkan keadilan," katanya.
Juru bicara Kantor Kejaksaan Agung Mukri, yang seperti banyak orang Indonesia hanya menggunakan satu nama, menyambut penemuan-penemuan baru dan mengatakan para penyelidik akan memperhatikan mereka.
"Tim jaksa sudah mengerjakannya dan melaporkan penemuan sebelumnya," kata Mukri kepada wartawan.
Sementara itu, YPKP meminta Komisi Hak Asasi Manusia Nasional untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran terkait penemuan tersebut.
Komisi "perlu melindungi kuburan agar tidak dihancurkan atau dihilangkan," kata Untung. "Situs-situs itu perlu dilindungi karena beberapa yang lain telah ditutup atau mayat dipindahkan untuk membangun mal, jalan, perumahan dan sekolah." 

Sabtu, 05 Oktober 2019

HEBOH Kuburan Massal Korban Peristiwa 1965, Jaksa Agung Angkat Bicara, YPKP 65 Serahkan Bukti temuan


Sabtu, 5 Oktober 2019 09:41

HEBOH Kuburan Massal Korban Peristiwa 1965, Jaksa Agung Angkat Bicara, YPKP 65 Serahkan Bukti temuan | KOMPAS.com/AMBARANIE NADIA

Jaksa Agung HM Prasetyo menilai, penemuan kuburan massal korban peristiwa 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 cukup dilaporkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM).

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (Ambaranie Nadia K.M)
"Kalau mereka mengatakan ada kuburan massal ya silakan sampaikan kepada Komnas HAM sebagai penyelidik perkara pelanggaran HAM," ujar Prasetyo di Kompleks Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Jumat (4/10/2019). 

YPKP 65 menyerahkan temuan ratusan kuburan massal kepada Komnas HAM sekaligus Kejaksaan Agung pada Kamis (3/10/2019) agar dapat dijadikan tambahan alat bukti penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.

Jaksa Agung mengatakan, dalam penanganan pelanggaran HAM berat, hasil penyelidikan Komnas HAM menjadi acuan untuk ditingkatkan ke penyidikan atau tidak.

Selama ini, hasil penyelidikan Komnas HAM dinilai masih kekurangan bukti dan petunjuk yang diberikan belum dilengkapi.
"Kami tidak mungkin menangani kasus tanpa didukung bukti-bukti yang kuat. Kami bisa memahami juga peristiwanya sudah sekian lama. Rasanya siapa pun akan menghadapi kesulitan menemukan bukti-bukti juga pelakunya, saksi-saksi dan sebagainya," ujar Prasetyo.
Ketua YPKP 65 sebelumnya meminta Jaksa Agung RI HM Prasetyo menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yang hingga kini dinilai mandek. 
"Saya ke Kejaksaan Agung itu dalam rangka untuk mempertanyakan mengapa kasus pelanggaran HAM berat 1965 tidak ada kelanjutannya sesudah ada rekomendasi Komnas HAM perlunya dibentuk pengadilan HAM ad hoc," kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Bedjo Untung di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis. 
Ratusan kuburan massal itu dimintanya dijadikan barang bukti pelanggaran HAM berat selama operasi militer pada rezim Orde Baru itu.

Apalagi, menurut dia, data yang diserahkan itu lengkap dengan nama korban yang dibunuh, ditahan, maupun disiksa.

Editor: Salomo Tarigan

Soal Kuburan Massal Tragedi 1965, Jaksa Agung: Silakan Lapor Komnas HAM

Sabtu, 5 Oktober 2019 | 07:38 WIB
Editor: Icha Rastika

Jaksa Agung HM Prasetyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung HM Prasetyo menilai, penemuan kuburan massal korban peristiwa 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 cukup dilaporkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Kalau mereka mengatakan ada kuburan massal ya silakan sampaikan kepada Komnas HAM sebagai penyelidik perkara pelanggaran HAM," ujar Prasetyo di Kompleks Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Jumat (4/10/2019). 
YPKP 65 menyerahkan temuan ratusan kuburan massal kepada Komnas HAM sekaligus Kejaksaan Agung pada Kamis (3/10/2019) agar dapat dijadikan tambahan alat bukti penanganan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.

Jaksa Agung mengatakan, dalam penanganan pelanggaran HAM berat, hasil penyelidikan Komnas HAM menjadi acuan untuk ditingkatkan ke penyidikan atau tidak.

Selama ini, hasil penyelidikan Komnas HAM dinilai masih kekurangan bukti dan petunjuk yang diberikan belum dilengkapi.
"Kami tidak mungkin menangani kasus tanpa didukung bukti-bukti yang kuat. Kami bisa memahami juga peristiwanya sudah sekian lama. Rasanya siapa pun akan menghadapi kesulitan menemukan bukti-bukti juga pelakunya, saksi-saksi dan sebagainya," ujar Prasetyo.
Ketua YPKP 65 sebelumnya meminta Jaksa Agung RI HM Prasetyo menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yang hingga kini dinilai mandek. 
"Saya ke Kejaksaan Agung itu dalam rangka untuk mempertanyakan mengapa kasus pelanggaran HAM berat 1965 tidak ada kelanjutannya sesudah ada rekomendasi Komnas HAM perlunya dibentuk pengadilan HAM ad hoc," kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 Bedjo Untung di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis. 
Ratusan kuburan massal itu dimintanya dijadikan barang bukti pelanggaran HAM berat selama operasi militer pada rezim Orde Baru itu.

Apalagi, menurut dia, data yang diserahkan itu lengkap dengan nama korban yang dibunuh, ditahan, maupun disiksa.


Kompas.Com 

Jaksa Agung Bantah Penanganan Kasus HAM Berat Dibilang Mandek


CNN Indonesia | Sabtu, 05/10/2019 02:30 WIB

Jaksa Agung M. Prasetyo berdalih penyelesaian pelanggaran HAM berat jika dipaksakan dengan pendekatan yudisial akan terkendala pengumpulan bukti-bukti. (CNN Indonesia/Ciputri Hutabarat)

Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung M. Prasetyo membantah penanganan pelanggaran HAM berat mandek di lembaga yang dipimpinnya. Dia beralasan bukti-bukti kasus HAM berat masih kurang untuk dinaikkan ke tingkat penyidikan.

"Selama ini meskipun sudah sekian lama proses penanganan pelanggaran HAM berat ini, dikatakan mandeg ya tidak, karena bagaimana pun hasil penyelidikan Komnas HAM jadi acuan kami untuk ditingkatkan ke penyidikan atau tidak," kata Prasetyo di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, dikutip Antara, Jumat (4/10).

Setelah beberapa kali dikembalikan kepada Komnas HAM, berkas perkara pelanggaran HAM berat kini posisinya di Kejaksaan Agung. Dia mengatakan saat ini berkas tersebut masih diteliti oleh jaksa penyidik.

Prasetyo memahami sulitnya mengumpulkan bukti terkait kasus pelanggaran HAM berat masa lalu karena peristiwanya sudah lama, sehingga saksi maupun tersangka diduga telah meninggal.

"Kami bisa pahami itu kalau Komnas HAM juga rasanya tidak mudah untuk menghasilkan penyelidikan yang maksimal, yang memiliki syarat untuk bisa ditingkatkan ke penyidikan," kata dia.

Daripada menempuh jalur yudisial yang masih menemui kendala, Prasetyo menyampaikan jalan yang lebih mudah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu adalah pendekatan nonyudisial dengan rekonsiliasi.

"Penyelesaian rekonsiliasi, pendekatan nonyudisial ini kan masih pro dan kontra, sementara kalau dipaksakan pendekatan yudisial ya itu kendalanya lamanya waktu peristiwa itu terjadi, tentunya terkait masalah pengumpulan bukti-bukti," kata Prasetyo.

Salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu adalah terkait Tragedi 1965/1966. Sebelumnya Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 Bedjo Untung menyerahkan temuan 346 kuburan massal korban pembunuhan 1965 kepada Komnas HAM serta Kejaksaan Agung.

Ia turut mempertanyakan bukti yang dianggap kurang oleh Jaksa Agung dan menjadi kendala penanganan pelanggaran HAM berat di jalur yudisial.

"Kami ingin mempertanyakan apa kekurangannya. Itu juga kami serahkan bukti memang betul ada kejadian kejahatan kemanusiaan tahun 1965. Mestinya Jaksa Agung tidak bisa mengelak bahwa kurang alat bukti atau segala macam," kata dia.

Menurut dia, temuan ratusan kuburan massal di sejumlah daerah di Indonesia dapat menjadi barang bukti agar kasus itu ditindaklanjuti Jaksa Agung.

YPKP 65 bahkan siap memberikan daftar nama sejumlah orang yang bisa menjadi saksi atas tragedi berdarah 1965 ke Kejaksaan Agung. Ini menyusul berlarutnya pengusutan kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut.

Sudah 54 tahun kasus tersebut terkatung. Berkas penyelidikan yang disusun Komnas HAM berulang kali dikembalikan Kejaksaan Agung lantaran dianggap kekurangan alat bukti.

Jumat, 04 Oktober 2019

Temuan 346 Kuburan Massal Korban '65 Dilaporkan ke Komnas HAM


CNN Indonesia | Jumat, 04/10/2019 02:05 WIB

Penyintas tragedi 65/66 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP 65) menyerahkan temuan 346 titik kuburan massal ke Komnas HAM. (CNN Indonesia/Nurika Manan)

Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966  (YPKP 65) menyerahkan temuan baru berupa 346 titik kuburan massal korban tragedi 65/66 ke Komnas HAM. Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan ratusan titik ini merupakan data yang dikumpulkan hingga 1 Oktober 2019 dari berbagai wilayah di Indonesia.

Temuan tersebut bertambah hampir tiga kali lipat dibanding pada 2016 sebanyak 122 titik.

Bedjo memprediksi jumlah tersebut masih akan terus bertambah. Itulah sebabnya, sambung Bedjo, YPKP 65 meminta Komnas HAM untuk menindaklanjuti temuan. Salah satunya, kata dia, dengan melindungi lokasi yang diindikasi sebagai kuburan massal.
"Kami minta Komnas HAM menindaklanjuti berupa merawat dan menjaga supaya kuburan massal ini tidak dirusak dan dihilangkan. Sekarang ada indikasi, banyak tempat yang sudah di-buldoser; dijadikan mall, wisata. Saya lihat itu di Purwodadi, Malang kemudian di Pemalang dan di Widuri," ungkap Bedjo kepada perwakilan Komnas HAM di ruang pengaduan, Jakarta, Kamis (3/10).
Temuan kuburan massal itu didasarkan pada keterangan sejumlah saksi mata, hasil pengecekan langsung, dan analisis dari tim YPKP 65.

Bedjo tak merinci jumlah perkiraan korban yang terkubur di ratusan titik kuburan massal tersebut. Namun bertolok dari laporan sebelumnya, Bedjo perkiraan jumlah korban di Purwodadi saja mencapai 5.000 orang.

Pada 2017 lembaganya menemukan 16 lokasi di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah yang diyakini sebagai titik kuburan massal, pembuangan mayat dan lokasi eksekusi orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Laporan temuan yang diserahkan ke Komnas HAM pun menunjukkan titik terbanyak terdapat di Jawa Tengah, yakni 119 lokasi. Kemudian diikuti Jawa Timur 116 lokasi, Sumatera Barat 22 lokasi, dan Sumatera Utara 17 lokasi.
"Karena itu Komnas HAM juga bisa melakukan investigasi khusus untuk kuburan massal. Dan kami siap untuk bekerja sama, untuk menunjukkan di lokasi mana [letak kuburan massal]. Mungkin misalnya, Komnas HAM perlu membuat tim penyelidik lagi," harap Bedjo.

Bukti Tambahan

Perawatan dan perlindungan terhadap lokasi kuburan massal diyakini bisa memberikan edukasi ke generasi mendatang. Salah satu penyintas, Eddy Sugianto berharap lokasi kuburan massal bisa menjadi saksi sejarah kelam Indonesia di masa lalu.
"Dari kuburan massal kita bisa memberikan pendidikan ke generasi yang akan datang bahwa di masa yang lalu pernah terjadi, demokrasi pancasila diubah menjadi otoriter," kata penyintas usia 80an tahun tersebut.
Ketua YPKP 65 Bedjo Untung menilai temuan ini juga bisa menjadi bukti tambahan Komnas HAM untuk dibawa ke Kejaksaan Agung. Pasalnya, kasus pelanggaran HAM tragedi 65/66 ini sudah lebih dari setengah abad terkatung.
"Sudah 54 tahun persoalan kami nyaris dilupakan," ujar Bedjo.
"Dengan temuan kuburan massal ini Komnas HAM bisa menindaklanjuti sebagai tambahan alat bukti, supaya Kejaksaan Agung tidak lagi berkelit kurangnya alat bukti. Kami cukup banyak bukti, kuburan massal dan beberapa kesaksian. Lalu Komnas HAM juga bisa menambah dokumen CIA yang sudah dibuka, surat menyurat dan testimoni korban," sambungnya.

Ia pun mengungkapkan sebagian besar penyintas tragedi 65/66 sudah berusia sepuh. Atas dasar itulah Bedjo pun meminta Komnas HAM turut mendorong lembaga lain seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan.
"Karena teman-teman kami sudah sepuh-sepuh, tua dan sakit-sakitan, apakah Komnas HAM tidak memiliki suatu terobosan supaya pinisepuh ini mendapat layanan medis, jaminan kesehatan, jaminan sosial karena ini manula juga dilindungi secara hukum," kata dia.
Imelda Saragih, perwakilan dari Komnas HAM mengatakan bakal menyampaikan temuan dan laporan pengaduan tersebut ke para komisioner. Ia mengatakan sudah mencatat permintaan dan masukan dari YPKP 65 yang selanjutnya akan diserahkan ke para komisioner.

Hari ini tak satupun anggota Komnas HAM yang bisa menemui para penyintas 65/66, lantaran tengah bertugas di luar kota.
"Kami hanya menerima, dan kami akan sampaikan ke komisioner. Mengenai tanggapan, nanti akan disampaikan ke komisioner," kata Imelda Saragih didampingi dua perwakilan lain dari Komnas HAM.
Bedjo Untung datang bersama tujuh penyintas lain perwakilan dari berbagai daerah. Setelah mengadu ke Komnas HAM, YPKP 65 juga akan menyerahkan berkas temuan tersebut ke Kejaksaan Agung. (ika/kid)

Kamis, 03 Oktober 2019

Penyintas Tragedi 1965 Bersedia Siapkan Saksi kepada Kejagung


CNN Indonesia | Kamis, 03/10/2019 22:05 WIB

YPKP 65 dan delegasi korban Tragedi 1965 saat mendatangi kantor Kemenko Polhukam, Jakarta. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) siap memberikan daftar nama sejumlah orang yang bisa menjadi saksi atas tragedi berdarah 65/66 ke Kejaksaan Agung. Ini menyusul berlarutnya pengusutan kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut.

Sudah 54 tahun kasus tersebut terkatung. Berkas penyelidikan yang disusun Komnas HAM berulang kali dikembalikan Kejaksaan Agung lantaran dianggap kekurangan alat bukti.

Salah satu penyintas 65/66 yang juga anggota YPKP 65 Soedarno berharap dengan menyerahkan sejumlah berkas berisi daftar orang-orang yang dibunuh, disiksa, ditahan di Pulau Buru atau juga yang meninggal di sejumlah tahanan, akan membantu proses penegakan hukum korps Adhyaksa.

"Kami memerlukan kepastian hukum. Supaya stigma yang kami terima tidak berlanjut, umpama bersalah akan kami terima risikonya dan umpama kami tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan negara maka stigma yang kami terima akan berakhir sampai sini," kata Soedarno di ruang pengaduan Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Kamis (3/10).

Komunitas yang berisi penyintas dan anggota keluarga korban tragedi 65/66 itu juga menyerahkan temuan 346 titik kuburan massal di berbagai daerah di Indonesia. Ketua YPKP 65 Bedjo Untung memastikan bersedia memberikan informasi ke Kejaksaan Agung. Termasuk bukti lain berupa foto, dokumen juga saksi mata.

"Jaksa Agung mestinya tidak bisa mengelak, karena kami mempunyai alat bukti yang sangat cukup," kata Bedjo ditemui seusai memberikan laporan pengaduan.

"Semuanya sudah saya assessment dan verifikasi di beberapa tempat. YPKP punya jaringan di beberapa daerah di seluruh Indonesia, yang menjadi saksi langsung, juga keluarganya. Jadi saya bisa mengatakan nilai dari laporan kami 99 persen benar," kata dia lagi.

Beberapa penyintas 65/66 yang menyambangi Kejaksaan Agung itu berasal dari berbagai daerah seperti Cirebon, Grobogan juga Pekalongan. Usia mereka rata-rata di atas 80 tahun.

Berlembar berkas laporan yang dilampirkan saat pengaduan itu diterima Kepala Sub Direktorat Hubungan Lembaga Pemerintah Kejaksaan Agung, Andi Rio Rahmat Rahmatu.

YPKP 65 dijanjikan pelaporan ini akan diproses dalam sepekan. Menurut Bedjo, perwakilan Kejagung menyatakan berkas akan diserahkan ke bagian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

"Ini seharusnya bukan YPKP yang membuktikan tetapi negara. Karena lembaga negara yang mempunyai kekuatan," kata Bedjo.

"Saat 2016 para korban sudah merasa gembira karena ada simposium [Simposium Nasional], ada angin segar. Tapi kemudian ditolak sebagian jenderal-jenderal. Mestinya pemerintah tidak boleh kalah dengan kelompok intoleran, karena itu kan forum ilmiah," ujar dia lagi mengingat.

Pada 2016 saat Luhut Panjaitan masih menjabat Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Simposium Nasional mengenai upaya penyelesaian tragedi 65/66 digelar. Saat itu purnawirawan Agus Widjojo--yang kini Ketua Lemhanas--menjadi salah satu penggagasnya.

Forum akademis yang mendatangkan peneliti, sejarawan hingga para saksi itu menghasilkan sejumlah rekomendasi namun hingga kini belum ditindaklanjuti pemerintah.

Ditemukan 346 Kuburan Massal, Kejagung Didesak Tuntaskan Tragedi 1965


Kompas.com - 03/10/2019, 17:43 WIB

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) saat melapor ke Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (3/10/2019). (KOMPAS.com/CHRISTOFORUS RISTIANTO)

JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) meminta Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti temuan kuburan massal korban Tragedi 1965. Ketua YPKP 65 Bedjo Untung menyatakan, sejatinya Kejagung sudah tak bisa lagi mengelak untuk menolak adanya temuan tersebut. 
"Mestinya Jaksa Agung tidak mengelak bahwa kurang alat bukti segala macam," ujar Bedjo saat beraudiensi dengan pihak Kejagung, Kamis (3/10/2019) di Jakarta.
 "Kami memiliki alat bukti yang cukup, kuburan massal bukan hanya satu dua, melainkan 346 dan itu masih bisa bertambah lagi," kata dia.
Bedjo menyebutkan, pihaknya menemukan 346 lokasi kuburan massal baru di sejumlah lokasi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Palembang, Lampung, Sukabumi, Tangerang, Bandung, dan lainnya.

Lokasi tersebut sudah didatangi oleh keluarga korban, sekaligus mereka gali informasinya dari para saksi-saksi. Sebanyak 346 lokasi kuburan massal tersebut, lanjutnya, merupakan data terkini dari temuan sebelumnya, yaitu 122 lokasi kuburan massal. Lokasi sebelumnya juga sudah dilaporkan ke Komnas HAM.

Sehingga, menurut YPKP 65, total ada 346 lokasi kuburan massal di Indonesia.
"Jadi saya bisa katakan 99 persen data ini benar. Sekali lagi kami mendesak Jaksa Agung untuk menindaklanjuti karena kami butuh kepastian hukum sehingga kami korban '65 tidak bisa menerima kompensasi. Jaksa Agung segera bentuk pengadilan ad hoc," tutur Bedjo.
Dia melanjutkan, temuan yang ia serahkan ke Kejagung akan diserahkan ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) dan diproses dalam satu minggu.

Diketahui, Kejagung sempat beberapa kali mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya Tragedi 1965.
  
Pada 2012 misalnya, Kejagung mengembalikan berkas kasus 65 ke Komnas HAM karena masih belum lengkap. Selain itu, Kejagung juga menilai kesulitan menyelidiki peristiwa yang sudah terjadi puluhan tahun silam itu.

Kemudian pada 2018, Komnas HAM menerima pengembalian sembilan berkas perkara pelanggaran HAM berat masa lalu dari Kejaksaan Agung pada 27 November 2018 lalu, salah satunya tragedi 65.

Kejaksaan juga memberikan petunjuk kepada Komnas HAM untuk melengkapi berkas tersebut.

Penulis : Christoforus Ristianto
Editor : Bayu Galih

Minggu, 07 April 2019

Mengenal Orde Baru: Genosida

Dhianita Kusuma Pertiwi - 
Selama dua dekade terakhir, tepatnya setelah kejatuhan rezim Orde Baru, sejumlah upaya telah dilakukan beberapa kelompok untuk mengkaji ulang peristiwa kekerasan massal yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1965–1966. Salah satunya adalah para peneliti, relawan, dan penyintas yang menginisiasi Peradilan Rakyat Internasional 1965 (International People’s Tribunal of 1965). Putusan final panel hakim menyatakan peristiwa berdarah yang terjadi beririsan dengan pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Suharto tersebut sebagai genosida.


Konvensi Genosida 1948 mendeskripsikan genosida sebagai “suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasionalitas, etnis, ras, agama, dan lainnya.” Peristiwa pembunuhan massal 65–66 yang menyusul G30S bertujuan untuk menghancurkan dan menghilangkan kelompok politik ‘kiri’, sehingga sebelumnya dianggap tidak sesuai dengan deskripsi tersebut. Tetapi beberapa peneliti di bidang kajian genosida dan kekerasan massal telah menyatakan definisi sempit genosida yang dihasilkan dari Konvensi Genosida 1948 dapat dimaknai lebih luas.

Upaya untuk menyosialisasikan hasil putusan peradilan tersebut agaknya sama sulitnya dengan usaha yang telah dilakukan berbagai pihak untuk melawan narasi resmi tentang peristiwa tersebut. Narasi resmi yang dibentuk oleh negara dan disebarkan (baca: dipropagandakan) melalui berbagai media seperti buku teks pelajaran sejarah, monumen, media budaya populer seperti film, dan penetapan undang-undang; cenderung berat sebelah.

Peran militer dalam membasmi komunisme diglorifikasikan sebagai tindakan heroik, sementara itu di sisi lain hampir tidak ada upaya untuk menggambarkan kesengsaraan yang dialami oleh para korban, penyintas, dan keluarganya. Bahkan rezim Orde Baru meluncurkan propaganda yang menyudutkan kelompok tersebut dengan gagasan ‘dosa turunan’ yang melekat pada anak-anak dan keluarga korban pembunuhan, kekerasan, serta mantan tahanan politik. Sebagai akibatnya, kontestasi narasi yang terjadi antara narasi resmi negara dengan narasi memori penyintas tidak hanya terjadi di panggung politik praktis di Indonesia, namun juga dalam kehidupan sosial masyarakat.

Terlepas dari tidak lagi digunakannya tanda ‘ET‘ di kartu identitas eks-tapol dan dikembalikannya hak-hak politik para penyintas peristiwa 65–66, antagonisme kelompok dan golongan masih terjadi sampai hari ini. Bahkan memasuki 21 tahun berakhirnya Orde Baru, isu-isu yang berhubungan dengan representasi ideologi kelompok kiri masih menjadi suatu permasalahan sosial tersendiri. 
Menuju pemilihan umum presiden mendatang, beberapa minggu yang lalu muncul tagar PKI vs Pancasila di media sosial, yang mengindikasikan masih berlangsungnya kontestasi narasi tersebut di kalangan masyarakat Indonesia.

Gagasan-gagasan yang diangkat sampai hari ini secara umum menggaungkan propaganda rezim Orde Baru dan menolak untuk mengakui adanya narasi kecil yang dimiliki oleh para penyintas. Hal ini agaknya diperburuk dengan respon-respon yang diberikan oleh sejumlah tokoh yang duduk di kursi pemerintahan terkait peradilan rakyat tersebut, juga keengganan masyarakat untuk membaca hasil-hasil penelitian terkait isu ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gagasan pernah terjadinya genosida di Indonesia masih belum bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat negeri ini.

Perjalanan dan perjuangan yang harus ditempuh oleh para aktivis, ilmuwan, relawan, dan juga penyintas untuk mengangkat narasi memori tentang kekerasan massal dan pembunuhan massal yang pernah terjadi di Indonesia jelas masih panjang, dan mungkin berat. Kontestasi narasi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir bisa saja melahirkan banyak pertanyaan dan inisiatif baru yang dapat memberikan perkembangan untuk pengetahuan yang ada saat ini. Dan Ibu Pertiwi tidak akan pernah bisa membohongi bahwa tubuhnya menyimpan ratusan ribu, atau bahkan jutaan, tubuh korban pembunuhan massal; juga tangis yang jatuh dari pelupuk mata para penyintas.
DhianDHarti.Com 

Minggu, 31 Maret 2019

“Jejak Kejahatan Genosida 1965 itu Nyata Adanya”

Rilis Pers: No. 190328/ypkp65/2019

“Jejak Kejahatan Genosida 1965 itu Nyata Adanya”

Jejak Genosida 1965-661 (selanjutnya disebut Genosida 65) yakni berupa kuburan massal para korban itu memang nyata ada. YPKP 65 melakukan penelusuran dan menemukan sebarannya berdasarkan temuan dan laporan para relawan di berbagai daerah di Indonesia. Pendataan jumlah titik kuburan massal korban Tragedi 1965-66 ini telah mencapai jumlah 319 lokasi; sampai pada akhir bulan Maret 2019 ini.

Jumlah ini, yang sebagian besar telah ditinjau (verifikasi awal), masih akan terus bertambah, terutama untuk lokasi di luar Pulau Jawa (yang karena keterbatasan sumber daya) belum bisa dilakukan verifikasinya. 

Dalam kenyataannya, keberadaan lokasi kuburan massal para korban Genosida 65 bukan lah satu-satunya warisan bukti kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang dilakukan rezime masa lalu.

Di luar kejahatan Genosida 65, sembilan kejahatan kemanusiaan lainnya juga didapati terjadi di hampir semua daerah yang diteliti: pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan (orang) secara paksa, propaganda kebencian, dan keterlibatan negara-negara lain2; selain juga perampasan terhadap asset properti maupun harta benda milik para korban.

Ihwal kejahatan Genosida 65 ini telah cukup banyak direfleksikan. Dan testimoni mengenai bagaimana kejahatan itu nyata terjadi, telah dan akan terus pula ditulis serta didokumentasikan.3 Bagaimana kemudian negara akan menyikapi kenyataan yang pernah terjadi pada sejarah kelam masa lalunya, sebagaimana kenyataan yang dialami langsung dan dikemukakan para korban; menjadi problem krusial yang terus-menerus akan didorong ke arah penyelesaian menyeluruh yang berkeadilan bagi para korban dan penyintas.

Tak berhenti mendesak Komnas HAM

Dalam hal mendesak kepada negara bagi penyelesaian tuntas yang bermartabat dan berkeadilan; para korban telah menaruh harapan besar kepada Komnas HAM sebagai lembaga negara non-pemerintah yang dibuat dengan mandat Undang-undang. Ekspektasi atas kinerja para komisionernya, terlepas dari siapa presiden di republik ini, harus menjadi pertimbangan utama para komisioner untuk -bila perlu- melakukan langkah terobosan yang memberi lebih kejelasan upaya konkret ketimbang retorika dan niat baik semata.

Dalam konteks hak asasi manusia ini, YPKP 65 tak perlu lagi mengungkit butir-butir “Nawacita” untuk selalu mengingatkan kewajiban dan otoritas negara. Temuan 319 lokasi kuburan massal yang bakal terus bertambah jumlah dan sebarannya sudah makin melengkapi temuan lain dan bukti-bukti baru soal kebenaran faktual bahwa telah terjadi Genosida 65 di Indonesia. Sehingga penyelesaian secara bermartabat dan berkeadilan bagi korban menjadi sebuah keniscayaan buat dilaksanakan.   

Oleh karena itu, YPKP 65 mendesak Komnas HAM hal-hal sebagai berikut:

1.    Komnas HAM melakukan langkah terobosan yang signifikan dan/atau langkah-langkah progresif lainnya, pasca berulang dikembalikannya berkas perkara pelanggaran HAM berat pada peristiwa 1965 oleh Kejaksaan Agung;
2.    Komnas HAM melakukan penyelidikan lanjut, investigasi menyeluruh dan komprehensif, proteksi dan exhumasi atas temuan kuburan massal yang merupakan bukti telah terjadinya pembantaian massal meluas di luar hukum;
3.    Penyelidikan lanjutan, investigasi menyeluruh dan komprehensif sebagaimana dimaksud pada item (1), menyangkut adanya praktek perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan (orang) secara paksa, propaganda kebencian dan keterlibatan negara-negara lain; yang merupakan pelanggaran HAM berat pada peristiwa 65.

Demikian hal-hal yang mendesak disampaikan untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para korban meliputi hak akan kebenaran, hak akan keadilan, hak akan rehabilitasi dan jaminan ketidakberulangan pada hari ini dan di kemudian hari.

Jakarta, 31 Maret 2019
____
1 mengacu pada Putusan Akhir Panel Hakim International People’s Tribunal 1965 dalam sidangnya di Denhaag (10-13 November 2015) yang dibacakan oleh Hakim Ketua Zak Yacoob pada 20 Juli 2016 dari Capetown, Afrika Selatan.
3 lihat www.ypkp1965.org

Senin, 25 Maret 2019

Menghimpun Korban Tragedi 65 Kendalsari


Membangun kemandirian kolektif bagi para korban/ penyintas di tengah mandeknya upaya penyelesaian kasus kejahatan HAM berat dalam tragedi 1965-66 dan setelahnya, sudah seharusnya menjadi hal yang lebih penting ketimbang terjebak pada wacana pemenangan pemilihan presiden maupun pemilu legislatif di tahun politik 2019.


Mengapa demikian? Karena siapa pun presidennya dan dari kalangan manapun politisinya; penyelesaian kasus kejahatan HAM berat harus menjadi prioritas. Urgensi ini muncul dan menjadi topik utama yang dibicarakan dalam pertemuan para korban tragedi 65-66 di Kendalsari, Petarukan Pemalang.

Belasan korban yang rata-rata telah berusia lanjut (70 tahun lebih_Red) merajut kembali komunikasi lintas profesi yang telah lama mengalami persekusi kekejian antara tahun 1965 hingga tahun-tahun 1970-an. Ada eks tapol Pulau Buru, mantan guru PNS, mantan aktivis (Gerwani, Lekra, Pemuda Rakyat, BTI), mantan tentara dan polisi militer; menggelar pertemuan lintas desa (10/3/19) di wilayah Petarukan itu.

Bukan PKI

Adalah Aruji Kisdiono (76) mantan prajurit CPM yang baru akan berdinas ketika Gestok 65 meletus dan menjadi korban dalam tragedi kemanusiaan masa itu hingga tahun-tahun setelahnya. Tanpa melalui proses hukum di pengadilan militer, dia ditangkap satuan Denpom dan dijebloskan ke penjara Purwokerto. Di hari tuanya kini, Kisdiono memiliki kesempatan buat aktif menjalin komunikasi diantara para korban tragedi 65 maupun keluarganya. Terutama untuk wilayah Taman, Petarukan, Ampelgading, Bodeh. Comal dan Kaso.

“Ini tak ada sangkut paut dengan politik PKI”, terangnya buru-buru.
Dia sendiri bukan anggota PKI ketika G30S meletus dan Gestok dilansir sebagai huru-hara reaksioner pembasmian komunis dimana-mana; tak terkecuali di Petarukan. Ayahnya yang terbilang keluarga kaya adalah Ketua BTI Ranting Kendalsari masa itu dan mantan pejuang kemerdekaan (veteran) pada masa perang kemerdekaan sebelumnya.

Istrinya, Sudi Rahayu tak luput menanggung resiko paska penangkapan dan pemenjaraan suaminya secara semena-mena. Sementara rumah keluarganya musnah, harta tak bersisa habis dijarah; perlakuan tak adil lainnya berlanjut berkepanjangan. 
“Ini bekas rumah keluarga yang dulu dirusak massa dan dijarah”, terang ibu tua ini menunjukkan bekas lokasi rumahnya yang lama. Matanya basah tapi bicaranya tegar bertutur tentang peristiwa November 1965.

Saat itu, rumah keluarganya diserbu dan dirusak massa. Harta dan isinya dijarah, bahkan padi di lumbung pun dikurasnya. Sudi Rahayu banyak menyaksikan kekejian huru-hara masa itu, karena ia tak ikut ditahan tentara. Kejahatan dalam berbagai bentuknya berlangsung dimana-mana. Perkosaan terhadap perempuan Petarukan pun terjadi pada masa itu.

Semua dilakukan atas nama pembasmian PKI, padahal keluarganya bukan PKI. Tak ada yang bisa menghentikan beringas kejahatan, tak ada yang bisa membantu korban untuk melakukan tuntutan.

Tak Melupakan

“Membantu korban akan dipekaikan”, terang ibu Sudi bertutur kisah kelam yang menimpa keluarganya di masa lalu; ngeri dan getir.
Kengerian yang sama juga menimpa banyak keluarga lainnya di desa Kendalsari. Puluhan tahun ia kenang kegetiran itu. Tapi sepanjang yang ia tahu, PKI tak pernah melakukan kejahatan seperti ini di desanya, juga di desa-desa Petarukan lainnya; tak juga di wilayah Taman, Ampelgading, Bodeh. Comal dan Kaso.

Secara umum, situasi Pemalang kala itu baik-baik saja. Aruji yang masa itu bersiap memasuki dinas kemiliteran juga memahami situasinya, tak ada benih keresahan umum. Keresahan timbul dan cepat meluas, justru ketika operasi militer mulai dilancarkan dengan melibatkan massa. Dan kekerasan massa ini menyerbu desanya, bahkan melanda pula rumah keluarganya pada bulan November 1965.

Sebagaimana pendapat umum para korban yang berhimpun itu, menurut Aruji yang akrab dipanggil Pak Kis, operasi militer ini dilancarkan dalam rangka penumpasan PKI. Dalihnya karena PKI mendalangi kudeta melalui gerakan yang disebut G30S. Dan itu di Jakarta, yang tak semua orang mengetahuinya, apalagi terlibat melakukannya.

Aruji tak melupakan itu dan setelah semua anaknya mentas ia aktif membangun kemandirian di kalangan para korban; dan beruntung karena sang istri mendukungnya...

Rabu, 10 Oktober 2018

Kejahatan Genosida Asia Dibahas di Pulau Jeju


  • Catatan dari Jeju 4.3 International Conference for the 70th Anniversary
JEJU 4.3: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung menyampaikan ceramah pada event "Jeju4.3 International Conference for the 70th Anniversary", dalam rangka memperingati 70 tahun pembasmian massal (genosida) penduduk Pulau Jeju (4/10) di Semenanjung Korea [Foto: Humas Ypkp 65]

Konferensi Internasional yang bertujuan menyiapkan platform bersama dalam menangani kejahatan “genosida” di beberapa negara Asia, sukses digelar di kota Jeju (Jeju-do) di pulau Jeju (Jeju-si) Semenanjung Korea; pada tanggal 4-6 Oktober 2018.

Konferensi bertema Kebenaran dan Keadilan Jeju 4.3: Menuju keadilan yang berkelanjutan ini diikuti oleh 200-an partisipan dan menghadirkan para delegasi terdiri dari para korban penyintas, peneliti, sejarawan dan kalangan akademisi negara-negara Asia: Jepang (Okinawa), Vietnam (Cambodia), Taiwan, Indonesia dan Korea Selatan serta akademisi (Thessaloniki - Greece).

Diantaranya adalah: Lee Kyu-Bae (Jeju International University Korsel), Heo Ho-Jun (Korsel), Kim Hun-Joon (Korea University), Kim Yeong-Beom (University of Daegu, Korsel),  Park Gu-Byeong (University of Ajou), Park Chan-Shik (Korsel), Kim Yoon-Kyung (Seoul National Uniersity), Yang Jeong-Sim (Ihwa Women’s University), Song Han-Yong (Korsel), Heo Yung-Sun (Korsel), Kang Ho-Jin (Korsel), Kim Bong-Gyu (The Hankyeoreh) dan Thanasis D.Sfikas (Aristotle University, Thessaloniki, Yunani), Cheng Nai-Wei (Taipei).

KIM MYUNG-SIK: Penyair Penyintas Korea Selatan Kim Myung-Sik berpartisipasi dalam Konferensi Internasional memperingati pembasmian massal penduduk Pulau Jeju di Semenanjung Korea [Foto: Humas YPKP 65]

Ada juga presentasi dari seorang penyair penyintas Korea, Kim Myung Sik; yang juga membacakan sajaknya. Di lokasi yang sama digelar pula Special Photo Exhibition yang mendokumentasikan genosida di Jeju. 

Sedangkan pembicara dari Indonesia: Bedjo Untung (YPKP 65 - Indonesia), Nisrina Nadhifah Rahman (KontraS - Indonesia). Pembicara dari Jepang: Murakami Naoko (Hiroshima University - Japan), Suzuyo Takazato (Okinawa - Japan), serta dari Vietnam Chhang Youk (Cambodia) yang mengemukakan Respon terhadap Genosida Cambodia dalam Konteks Global.

Pada konferensi internasional memperingati 70 tahun Tragedi Jeju 3 April 1948 itu, kasus-kasus genosida (pembasmian massal) hasil penelitian di beberapa negara dunia seperti Rwanda, Guatemala, Yunani, Korea Selatan, Vietnam dan Taiwan; termasuk genosida Indonesia 1965-66 juga direpresentasikan yang mendapat sorotan tak kurang dari 200 partisipan konferensi dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dan aktivis kemanusiaan Korsel maupun negara tetangga Asia lainnya.

Menariknya, diketahui ada kesamaan pola bahwa kejahatan kemanusiaan genosida yang pernah terjadi di beberapa negara Asia ini memiliki latar dan keterkaitan sama, menjadi kajian bagi mempertimbangkan adanya "benang merah" keterlibatan dan intervensi Amerika Serikat maupun negara lain yang menjadi sekutu penyokong adidaya.

Konferensi Internasional ini digelar oleh sebuah Komite Memorial dari Jeju 4.3 Research Institute, dalam rangka memperingati 70 tahun perlawanan yang melatari pembantaian massal 20.000-40.000 penduduk Pulau Jeju (termasuk korban perempuan dan anak-anak) terjadi antara tahun 1948-1954 yang menandai puzzle pembentukan Republik Korea Selatan pasca perang Korea.

Komisi Investigasi Kebenaran Jeju 4.3 dan konteksnya bagi Indonesia

MUSEUM JEJU 4.3: Tak seperti yang ditabukan di Indonesia, situs jejak kuburan massal para korban kejahatan genosida Korea dipertahankan sebagaimana adanya di museum Jeju 4.3 dan sebagian besar korban lainnya diekshumasi (dimakamkan ulang) di Taman Makam. Setiap saat masyarakat bisa melihat kembali jejak sejarah masa lalu bangsanya di museum ini [Foto: Humas YPKP 65]

Pada tahun 2000 Korea Selatan membentuk sebuah Komite Nasional Investigasi Kebenaran tentang Jeju 4.3. Komisi nasional ini bertujuan untuk menyelidiki tragedi Jeju 4.3 (Jeju 3 April_Red) dimana penduduk Jeju yang melancarkan perlawanan bersenjata dibalas dengan pembantaian massal yang terjadi pada rentang tahun antara 1948–1954.

Pada 2003 melalui laporan pertamanya, Komite Nasional Investigasi Kebenaran [Jeju4.3 Research Institute] ini mempublish temuan awal risetnya, dimana 14.028 penduduk pulau terbesar di Korea Selatan ini dibantai; sebagian lainnya ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan. Pembasmian massal ini dilakukan militer Angkatan Darat, Polisi Korea Selatan dan dengan memobilisir organisasi paramiliter yang direkrut dari elemen-elemen sipil sayap kanan; melalui apa yang disebut aksi polisionil dan semuanya dibawah pimpinan Militer Angkatan Darat Amerika Serikat sebagai penguasa (pendudukan) transisional di Korea Selatan.[1]

Tiga tahun berikutnya (2006) pada sebuah upacara peringatan tragedi Jeju 4.3 pemerintah Presiden Roh Moo-hyun secara resmi menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada rakyat di Jeju-si.

Dalam konteks Indonesia -pertama- ini perbedaan mendasar dari kedua negara, Korea dan Indonesia; dalam hal memandang kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembasmian massal (genosida) yang pernah terjadi di kedua wilayah negara pada masa lalunya. Korea berani secara terbuka dan jujur mengakui adanya kejahatan genosida Jeju 4.3 dan meminta maaf kepada -terutama- rakyat Jeju-si yang telah menjadi korban. Sedangkan Indonesia masih tertutup dalam dalih "komunis yang memberontak" atau "kudeta PKI" dengan cara selalu mengait-kaitkan upaya penuntasan kejahatan Genosida 65-66 dengan kebangkitan PKI yang cuma hoaks belaka.

Bagi Jeju4.3 Research Institute momentum pengakuan Roh Moo-hyun ini merupakan tantangan lanjut untuk meneruskan kerja-kerja kemanusiaannya sampai tahun 2009 dengan melaksanakan berbagai proyek penyaringan dan reparasi bagi para korban; sehingga membuatnya menjadi komisi kebenaran paling panjang dalam sejarah. [2]

Dalam konteks Indonesia (Genosida 1965-66) dimana telah terjadi apa yang oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM_Red) 2012 disebut sebagai “kejahatan HAM berat” hasil penyelidikan pro-yustisia dan menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah (Kejakgung) untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. Seiring dengan itu dibuatlah Undang-Undang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR_Red) namun dibatalkan Mahkamah Konstitusi tak lama setelah berlalu tahun pembuatannya.

Sehingga -diakui maupun tidak- sampai pada batas ini kajian lanjut yang mengarah pada pentingnya rekonsiliasi nasional pun seakan dikandaskan.

Dari Jeju 4.3: Menuju Keadilan Berkelanjutan

MUSEUM: Museum Jeju 4.3 berisi dokumentasi lengkap kejahatan genosida Korea, dalam berbagai bentuk dan media; menjadi sarana pembelajaran bagi generasi muda mengenai sejarah bangsanya [Foto: Humas YPKP 65]

Peran dan intervensi Amerika Serikat dalam perang yang terjadi di beberapa negara Asia, seperti Cambodia dan Korea menyeruak dalam sesi-sesi diskusi selama konferensi internasional ini digelar. Semuanya merupakan ekses dari berlangsungnya Perang Dingin sebagai bagian dari peta dan situasi politik internasional yang terbelah diametral dalam dua blok kepentingan kekuasaan Barat dan Timur.

Makalah Bedjo Untung  “Cold War, Genocide and the Role of United States” [Dapat Disimak Disini] Ketua Umum YPKP 65 dari Indonesia yang dipaparkan pada sesi awal konferensi pun banyak mengulas peran dan intervensi Amerika Serikat dalam pembasmian massal (baca: genosida) Indonesia pada Tragedi 1965-66 dan tahun-tahun setelahnya. Pembasmian massal, sebagaimana pembantaian besar-besaran terhadap 30.000-40.000 penduduk di Pulau Jeju; adalah kejahatan terhadap kemanusian yang sama kelamnya.

Bedanya, dalam konteks Jeju 4.3, Korea Selatan telah bisa melampaui perdebatan itu secara sehat dan menyelesaikan kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalunya dalam merintis masa depan bangsa menuju keadilan yang berkelanjutan (towards the sustainable justice). Pulau Jeju telah berubah dari pulau kematian di masa lalu menjadi pulau perdamaian di masa yang akan datang. Menariknya, sejarah kelam ini tak dimonopoli oleh wacana dominan kekuasaan belaka; serta menjadi materi pembelajaran di sekolah-sekolah Korea.

Tak ayal lagi, popularitas dan daya tarik pulau vulkano Jeju-si lebih dari apa yang ada pada adagium tourism seputar temukan kelebihan Jeju dalam hal “batu, angin dan wanita” belaka, melainkan juga sebagai pulau bersejarah dalam cakupan dua pembaruan adagium sekaligus: “mengenang kejahatan genosida masa lalu dan membangun perdamaian abadi di masa depan..”
________
[1] Catatan dirangkum dari diskusi konferensi internasional Jeju 4.3
[2] Wikipedia, 2014