Dhianita Kusuma Pertiwi -
Selama dua dekade terakhir,
tepatnya setelah kejatuhan rezim Orde Baru, sejumlah upaya telah dilakukan
beberapa kelompok untuk mengkaji ulang peristiwa kekerasan massal yang terjadi
di Indonesia pada periode tahun 1965–1966. Salah satunya adalah para peneliti,
relawan, dan penyintas yang menginisiasi Peradilan Rakyat Internasional 1965
(International People’s Tribunal of 1965). Putusan final panel hakim menyatakan
peristiwa berdarah yang terjadi beririsan dengan pergantian kekuasaan dari
Sukarno ke Suharto tersebut sebagai genosida.
Konvensi Genosida 1948
mendeskripsikan genosida sebagai “suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan
untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok
nasionalitas, etnis, ras, agama, dan lainnya.” Peristiwa pembunuhan massal
65–66 yang menyusul G30S bertujuan untuk menghancurkan dan
menghilangkan kelompok politik ‘kiri’, sehingga sebelumnya dianggap tidak
sesuai dengan deskripsi tersebut. Tetapi beberapa peneliti di bidang kajian
genosida dan kekerasan massal telah menyatakan definisi sempit genosida yang
dihasilkan dari Konvensi Genosida 1948 dapat dimaknai lebih luas.
Upaya untuk menyosialisasikan
hasil putusan peradilan tersebut agaknya sama sulitnya dengan usaha yang telah
dilakukan berbagai pihak untuk melawan narasi resmi tentang peristiwa tersebut.
Narasi resmi yang dibentuk oleh negara dan disebarkan (baca: dipropagandakan)
melalui berbagai media seperti buku teks pelajaran sejarah, monumen, media
budaya populer seperti film, dan penetapan undang-undang; cenderung berat
sebelah.
Peran militer dalam membasmi
komunisme diglorifikasikan sebagai tindakan heroik, sementara itu di sisi lain
hampir tidak ada upaya untuk menggambarkan kesengsaraan yang dialami oleh para
korban, penyintas, dan keluarganya. Bahkan rezim Orde Baru meluncurkan
propaganda yang menyudutkan kelompok tersebut dengan gagasan ‘dosa turunan’
yang melekat pada anak-anak dan keluarga korban pembunuhan, kekerasan,
serta mantan tahanan politik.
Sebagai akibatnya, kontestasi narasi yang terjadi antara narasi resmi negara
dengan narasi memori penyintas tidak hanya terjadi di panggung politik praktis
di Indonesia, namun juga dalam kehidupan sosial masyarakat.
Terlepas dari tidak lagi
digunakannya tanda ‘ET‘ di kartu
identitas eks-tapol dan dikembalikannya hak-hak politik para penyintas
peristiwa 65–66, antagonisme kelompok dan golongan masih terjadi sampai hari
ini. Bahkan memasuki 21 tahun berakhirnya Orde Baru, isu-isu yang berhubungan
dengan representasi ideologi kelompok kiri masih menjadi suatu permasalahan
sosial tersendiri.
Menuju pemilihan umum presiden mendatang, beberapa minggu
yang lalu muncul tagar PKI vs Pancasila di media sosial, yang mengindikasikan
masih berlangsungnya kontestasi narasi tersebut di kalangan masyarakat
Indonesia.
Gagasan-gagasan yang diangkat
sampai hari ini secara umum menggaungkan propaganda rezim Orde Baru dan menolak
untuk mengakui adanya narasi kecil yang dimiliki oleh para penyintas. Hal ini
agaknya diperburuk dengan respon-respon yang diberikan oleh sejumlah tokoh yang
duduk di kursi pemerintahan terkait peradilan rakyat tersebut, juga keengganan
masyarakat untuk membaca hasil-hasil penelitian terkait isu ini. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa gagasan pernah terjadinya genosida di Indonesia
masih belum bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat negeri ini.
Perjalanan dan perjuangan
yang harus ditempuh oleh para aktivis, ilmuwan, relawan, dan juga penyintas
untuk mengangkat narasi memori tentang kekerasan massal dan pembunuhan massal
yang pernah terjadi di Indonesia jelas masih panjang, dan mungkin berat.
Kontestasi narasi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir bisa saja
melahirkan banyak pertanyaan dan inisiatif baru yang dapat memberikan
perkembangan untuk pengetahuan yang ada saat ini. Dan Ibu Pertiwi tidak akan
pernah bisa membohongi bahwa tubuhnya menyimpan ratusan ribu, atau bahkan
jutaan, tubuh korban pembunuhan massal; juga tangis yang jatuh dari pelupuk
mata para penyintas.
DhianDHarti.Com
0 komentar:
Posting Komentar