Karier gemilang Omar Dani hancur seketika karena salah
langkah politik pasca Insiden Gerakan 30 September 1965.
Martin Sitompul - 15 April 2019
DI KALANGAN perwira tinggi AD (Angkatan Darat),
Menteri Panglima AU Omar Dani kerap kali dirundung. Namanya dijengkali
sekaligus disegani. Dani dijengkali karena dianggap masih perwira belia. Di
jajaran panglima angkatan perang, Dani adalah yang termuda. Meski demikian,
reputasi Dani tetap diperhitungkan sebab dia panglima pilihan Presiden Sukarno.
“Sejak saya di Kalimantan Timur, saya tidak senang pada orang itu (Dani). Saya selalu berpikir tentangnya (sebagai) ‘anak kemarin sore sudah mau memimpin kita’,” demikian pendapat Soemitro kepada Ramadhan K.H. dalam Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Soemitro adalah salah satu jenderal AD yang punya
pengalaman tidak enak terhadap Dani. Waktu itu, Soemitro menjabat
Panglima Mulawarman di Kalimantan Timur. Di saat yang sama, Omar Dani ditunjuk
sebagai Panglima Komando Siaga (KOGA) dalam rangka konfrontasi ganyang
Malaysia. Sebagai panglima di wilayah perbatasan dengan Malaysia, Soemitro
harus menyokong rencana operasi KOGA.
“Omar Dani, bocah kemarin sore, masih belum punya pengalaman perang,” kata Soemitro. “Tetapi malah disuruh memimpin kami-yang sudah bongkel-bongkel, yang sudah sejak zaman revolusi 45 sampai tua masih terus diajak perang.”
Digembosi Oknum AD
Penujukan Omar Dani sebagai Panglima KOGA cukup menohok
bagi pihak AD. Perasaan itu sudah mengakar sejak Presiden Sukarno mendapuk Dani
selaku Panglima AU. Menurut mereka, masih banyak perwira AURI lain yang jauh
lebih senior ketimbang Omar Dani. Dan lagi, Dani dikenal sebagai panglima
Sukarnois yang mendukung Sukarno tanpa reserve.Dalam perkembangannya, AD
menampilkan sikap antagonis terhadap AU.
“Mereka yang berada di luar sering lupa, Omar Dani memang seorang komandan yang handal, berpendidikan cukup bagus, berpengalaman tempur serta mempunyai prestasi bagus sebagai komandan skuadron,” ujar mantan tokoh AU Marsekal Madya (Purn.) Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi.
Ketika menangani konfrontasi Malaysia, disitulah Dani
“dihajar” oleh oknum petinggi AD. Semula yang membantu Dani adalah Laksamana
Muda Mulyadi, deputi operasi AL (wakil I) dan Brigjen Achmad Wiranatakusuma,
kepala staf Kostrad (wakil II). Pada awal 1965, konflik dengan Malaysia kian
memanas. KOGA diganti menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Susunan pembantu
Dani diganti lagi. Mayjen Soeharto, panglima Kostrad menjadi wakil I sementara
Laksamana Mulyadi turun menjadi wakil II. Kabarnya, Soeharto begitu
menginginkan posisi dalam jajaran tertinggi Kolaga sehingga dia menggeser
Achmad Wiranatakusuma.
Menurut Omar Dani, sebenarnya kinerja Achmad
Wiranatakusuma cukup memuaskan. Achmad cukup berjasa menyusun organisasi dan
rencana operasi KOGA. Selain itu, Dani dan Achmad membentuk staf yang kompak
dengan sinergi kerjasama lintas angkatan. Kedatangan Soeharto membawa perubahan
organisasi, mengutak-atik rencana, dan mengacaukan strategi dasar Kolaga
sehingga meruwetkan suasana.
“Segala apa yang diminta Jenderal Soeharto, tidak ada seorangpun yang berani menolaknya,” ujar Omar Dani dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV. Soeparno.
Kepemimpinan Omar Dani dalam Kolaga gagal mencapai
sasaran. Rencana operasi kerap kali tidak berjalan di lapangan karena AD punya
agenda tersendiri untuk mengakhiri konfrontasi. Soeharto secara diam-diam
menjalankan operasi khusus berupa aksi penyelundupan pangan ke pihak musuh.
Gerakan klandestin ini dijalankan anak buah Soeharto di
Kostrad: Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Mereka mengerahkan 200speedboat yang
dipakai melintasi Sumatera – Malaysia dan Singapura. Keduanya juga berperan
melakukan lobi-lobi rahasia terhadap pejabat politik Malaysia yang bertentangan
dengan kebijakan Omar Dani.
Selain itu, ada lagi Brigjen Kemal Idris, panglima komando tempur I yang enggan
melaksanakan perintah komando untuk melakukan infiltrasi.
Puncaknya, dalam rapat pimpinan KOTI, Soeharto mengatakan
kepada Presiden Sukarno bahwa Omar Dani kurang pantas menjadi panglima Kolaga.
Omar Dani sendiri tidak mengambil tindakan atau mengadu ke mana-mana atas
perlakuan yang menyudutkan dirinya itu. Hanya dengan Brigjen Soepardjo,
panglima komando tempur II, Omar dani dapat bekerja sama dengan baik.
Menurut sejarawan Humaidi, pembangkangan terhadap komando
Omar Dani merupakan suatu petunjuk bahwa AD tidak sepenuhnya mendukung upaya
Konfrontasi Malaysia. AD beranggapan konfrontasi adalah suatu langkah provokasi
PKI menarik dukungan masyarakat dan memperkeruh situasi politik. Sehingga
keberlangsungannya harus dihindari.
“Keikutsertaan Angkatan Darat dalam Konfrontasi Malaysia adalah suatu tindakan yang kontra-produktif, karena isu konfrontasi hanya menguatkan dukungan bagi kaum komunis yang menjadi pendukung politik gagasan tersebut,” tulis Humaidi dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962--1966.”
Rontok Setelah
Gestok
Hari laknat itu tiba: 1 Oktober 1965. RRI mengumandangkan
berita terjadinya operasi militer Gerakan 30 September (G30S) yang telah
menyelamatkan Presiden Sukarno. Gerakan yang dipimpin Letkol Untung itu
menciduk sejumlah jenderal AD yang diduga akan melancarkan kudeta Dewan
Jenderal.
Omar Dani menganggap kejadian itu bagian dari konflik
internal AD. Segera dia mengeluarkan surat perintah harian yang mengatakan:
AURI tidak turut campur dalam G30S dan AURI setuju dengan tiap gerakan
pembersihan yang diadakan dalam tubuh tiap alat revolusi sesuai garis Pemimpin
Besar Revolusi (Presiden Sukarno). Namun setelah perintah harian itu tersiar,
baru diketahui Gerakan 30 September didalangi oleh biro politik yang dipimpin
oleh D.N. Aidit, pemimpin PKI. Jelas, Dani mengambil langkah tergesa-gesa yang
berakibat fatal dalam hidupnya.
“Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto,” demikian catatan sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah. “Perintah itu dianggap oleh kelompok Soeharto sebagai bukti keterlibatan Omar Dani dalam mendukung G30S.”
Situasi politik menggoyahkan kepemimpinan Presiden
Sukarno. Secara perlahan, kekuasaan beralih ke tangan Jenderal Soeharto.
Dengan dalil pemulihan keamanan yang diperoleh lewat Surat Perintah 11 Maret,
Soeharto mulai menangkapi orang-orang yang dicurigai, termasuk Omar Dani.
Tudingan yang memberatkan Dani adalah kawasan Pangkalan AU Halim Perdana
Kusumah yang kerap dijadikan tempat latihan Pemuda Rakyat, organ pemuda PKI.
Selain itu, beberapa anggota AURI diduga terlibat dalam G30S.
Pada April1966, Omar Dani ditahan untuk dihadapkan ke
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Jurnalis kawakan Julius Pour
dalam G30S: Fakta atau Rekayasa mencatat, Omar Dani menyadari dirinya
bakal diajukan ke depan sidang peradilan yang penuh fitnah, tekanan serta
campur tangan penguasa. Di depan sidang Mahmilub, dengan sikap gagah Omar Dani
memberi penegasan:
“Segala macam tindakan dari anggota AURI selama berlangsungnya Peristiwa G30S, semuanya tanggung jawab saya, sama sekali bukan tanggung jawab mereka.”
Pengadilan Mahmilub pada akhirnya menyatakan Omar Dani
bersalah. Panglima Sukarnois ini dijatuhi vonis hukuman mati. Namanya pun
dinista selama rezim Orde Baru. (Bersambung).
0 komentar:
Posting Komentar