Oleh SARAS DEWI, Dosen
Filsafat Universitas Indonesia
20 April 2019, 18:35:10 WIB
INGAR bingar pilpres dan pileg akhirnya usai sudah.
Indonesia telah melaksanakan pemilu. Tapi, siapa pun yang menjadi pemenang
harus ingat, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, khususnya terkait
dengan hak asasi manusia (HAM).
Dalam debat capres yang telah diselenggarakan, saat itu
capres nomor urut 01 Joko Widodo mengatakan kesukaran menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM berat masa lalu: “Memang kita masih memiliki beban pelanggaran
HAM berat masa lalu, tak mudah menyelesaikannya. Masalah pembuktian dan waktu
terlalu jauh. Harusnya ini selesai setelah itu terjadi.”
Pernyataan yang cenderung apologetik tersebut adalah
cermin bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia masih memandang HAM secara
arbitrer. Tidak diprioritaskannya HAM tampak dalam ajang pilpres, yakni isu HAM
sering kali hanya dimanfaatkan dalam janji politik, tetapi tidak kunjung
direalisasikan.
Kita patut bertanya, mengapa di Indonesia HAM tidak
diprioritaskan? Wawasan HAM memang masih rendah di masyarakat, padahal bagian
dari menjadi warga negara Indonesia adalah akar perjuangan HAM yang tertanam
dalam sejarah kebangsaan kita.
Semangat dari Pancasila, khususnya sila kedua kemanusiaan
yang adil dan beradab, adalah penghormatan pada martabat manusia. Hak asasi
adalah sesuatu yang intrinsik dalam kedirian manusia, sesuatu yang tidak dapat
disangkal, dicabut, atau dihilangkan. Pancasila dan UUD 1945 adalah sumber
justifikasi mengapa perlindungan terhadap HAM adalah sesuatu yang prinsipil,
dan atas alasan apa pun tidak dapat ditelantarkan.
Laporan yang disusun Amnesty Indonesia merumuskan 9
agenda HAM yang ditujukan bagi presiden dan legislatif terpilih. Amnesty
menggarisbawahi kasus-kasus pelanggaran HAM yang butuh perhatian dan ketegasan
dari pemerintah Indonesia, seperti: perlindungan terhadap kebebasan berekspresi
juga kebebasan berkeyakinan, penghormatan terhadap keberagaman dan kesetaraan
gender, perlindungan HAM di Papua, perlindungan hak asasi terkait dengan krisis
lingkungan dan sengketa lahan, dan diakhirinya impunitas kejahatan HAM masa
lalu.
Problem-problem HAM yang menumpuk menandakan bahwa
pemerintah masih ambivalen dalam bertindak. Hak asasi belum didahulukan, bahkan
kecenderungannya adalah dipertentangkannya kepentingan hak asasi dengan
negosiasi politik.
Itulah yang disampaikan Maria Katarina Sumarsih saat saya
menjumpainya pada Aksi Kamisan yang ke-582 sehari setelah pemilu dilaksanakan.
Sumarsih adalah Ibunda Norman Irmawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I yang
terjadi 13 November 1998 silam.
Dengan pakaian serbahitam, sambil memegang payung hitam,
dia bercerita kepada saya beserta anak-anak muda yang berdiri mengelilinginya.
Wajahnya tidak menyiratkan lelah meski perjuangannya begitu berat demi mencari
keadilan bagi anaknya.
Sumarsih berkisah bagaimana pada Pemilu 2014 dia berharap
besar pada kepemimpinan Joko Widodo. Bahkan, dia turut berkampanye agar paslon
Joko Widodo dan Jusuf Kalla memenangi pemilu. Sumarsih merujuk pada visi dan
misi Jokowi-JK yang mengatakan, “Kami berkomitmen menyelesaikan secara
berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai
dengan saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia seperti:
Kerusuhan Mei, Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Talang
Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965, dan kami berkomitmen menghapus semua
bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi
UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran
HAM.”
Namun, harapan terhadap keadilan yang dijanjikan belum
juga terwujud, alih-alih pemerintah mengusulkan dilakukannya rekonsiliasi
nonyudisial.
Penyelesaian nonyudisial yang diusung pemerintah justru
menurut saya adalah suatu pencederaan terhadap keadilan. Sumarsih beserta
keluarga korban yang lainnya memiliki hak yang semestinya dilindungi negara.
Keluarga korban berhak mendapatkan kejelasan, dan ditegakkannya hukum demi
kebenaran. Mustahil dilakukan rekonsiliasi tanpa kejernihan investigasi dan rekognisi
terhadap kejahatan HAM yang telah terjadi.
Sumarsih menuntut pada pemerintahan yang baru agar
menggelar pengadilan HAM ad hoc yang memiliki landasan hukum, yakni pada UU No
26 Tahun 2000 terkait dengan pengadilan HAM, begitu pula pada UUD 1945 pasal
281 ayat (4) yang meletakkan keutamaan pemenuhan HAM sebagai kewajiban negara.
Aksi Kamisan adalah tumpuan harapan bagi Sumarsih beserta
keluarga korban untuk memperjuangkan keadilan. Sebagai forum publik, Aksi
Kamisan mengisi absensi pemerintah dalam mengangkat persoalan HAM. Dalam Aksi
Kamisan itu, para peserta yang terdiri atas mahasiswa, pelajar, maupun elemen
masyarakat sipil lainnya dapat mempelajari dan mengutarakan pendapat. (*)
Editor : Dhimas Ginanjar
0 komentar:
Posting Komentar