HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Genosida Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Genosida Politik. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Februari 2020

Literasi Sains dan Kemerdekaan Akademis


Farid Gaban - 24 Februari 2020



Banyak yang belakangan risau tentang maraknya pseudo-science serta menguatnya argumen agama untuk menjelaskan fenomena sehari-hari.
Renang di kolam bisa membuat perempuan hamil? Virus corona azab dari Allah dan bisa diobati lewat rukyah?

Orang juga kuatir tentang rendahnya literasi sains di Indonesia, tak hanya di kalangan orang awam, tapi bahkan juga di kalangan orang terdidik serta pejabat publik.

Menurutku, Indonesia masa kini sebenarnya sedang menuai metode cuci otak yang diterapkan di lingkungan akademis (sekolah dan kampus) sejak 1980-an. Ini merupakan buah dari hancurnya kebebasan akademis serta ambruknya wibawa mimbar akademis.

Pada era Orde Baru kita mengenal program "normalisasi kampus", menyusul luasnya demonstrasi mahasiswa menentang rezim. "Normalisasi kampus" adalah eufemisme dari "menjinakkan kampus"; supaya mahasiswa tidak melawan pemerintah.

Diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, program ini pada prinsipnya mendorong kampus semata menjadi pabrik tenaga kerja. Daya kritis dan kepekaan sosial mahasiswa dikebiri. Bahkan kemerdekaan kampus, yang disimbolkan oleh kewibawaan senat gurubesar, juga diruntuhkan.

Mimbar akademis dipancung antara lain dengan cara menjadikan para rektor dan gurubesar sekadar kepanjangan birokrat Kementerian Pendidikan. Kebebasan akademis makin luntur. Rektor, yang dulu merupakan wilayah hak prerogatif senat gurubesar, belakangan ikut dipilih oleh menteri, dengan selera politik.

Diskusi-diskusi di kampus, termasuk bedah buku dan bedah kasus, lebih diarahkan pada tema keilmuan sempit atau keprofesian. Terlarang mendiskusikan politik maupun masalah sosial (seperti penggusuran, ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam).

Mendiskusikan Marxisme, misalnya, diharamkan; sementara kapitalisme diterima dan diajarkan secara otomatis (by default).

Organisasi serta kegiatan mahasiswa dibatasi ruang geraknya, hanya yang berkaitan dengan seni, olahraga serta keagamaan. Banyak aktivis yang kuat aspirasi politik dan peka sosial harus menyuruk ke bawah tanah, menggunakan wadah-wadah pengajian untuk beraktivitas serta menyebarluaskan gagasan.

Tidak heran jika bahkan di sekolah dan kampus negeri, organisasi seperti OSIS digantikan oleh Rohis (remaja Islam), serta dewan mahasiswa digantikan BEM yang secara umum lebih mewakili aspirasi mahasiswa Islam saja.

Sejumlah kalangan, termasuk pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyebut banyak universitas terpapar "paham radikalisme". Bahkan jika ada benarnya, sinyalemen ini keliru diagnosis.

"Radikalisme" (jika ada) merupakan akibat, bukan sebab; dia merupakan buah dari hilangnya daya kritis. Fanatisme adalah kawan karib dari keengganan berdialog serta menguji kritis pandangan seseorang.

Dan fanatisme (bukan hanya berbasis agama, tapi juga fanatisme politik) tumbuh subur ketika kampus sendiri kehilangan kebebasan ilmiah/akademis.
Polarisasi politik kampus atas dasar suka-tak-suka politisi idola adalah salah satu wujud ambruknya pertimbangan-pertimbangan ilmiah.

Bermula pada masa Orde Baru, "penjinakan kampus" berlanjut ke era Reformasi. Bahkan ketika hari-hari ini Menteri Pendidikan hanya cenderung melihat kampus sebagai pabrik tenaga kerja belaka.

Dulu kampus tunduk pada politik (Orde Baru), kini tunduk para kekuasan kapital (korporat).

Runtuhnya kebebasan akademis di kampus bukan cuma kesalahan birokrat pemerintah. Tapi, juga para gurubesar yang rela kewibawaannya ditempatkan di bawah selera politik dan birokrasi.

Atau lebih konyol, para dosen dan profesor yang pada dasarnya merupakan hasil dirikan era Orde Baru itu, ikut-ikutan memberangus daya kritis serta kepekaan sosial para mahasiswa.

Membicarakan literasi sains harus dimulai dari menegakkan kembali kewibawaan kampus sebagai lembaga ilmiah yang punya kemerdekaan akademis.

***

Jumat, 14 Februari 2020

Demi Kebenaran, Keadilan dan Keterbukaan


·         Masalah Mahid-eksil di luar negeri

Kitir: 
MD Kartaprawira 


Dewasa ini telah berviral status-status tentang mahid yang tidak bisa pulang kembali ke tanah air, karena dicabut paspornya oleh rejim orba/Suharto berkaitan kasus 1965.

Status-status tersebut menyatakan bahwa sudah 50 tahun kasus mahid tidak dikutak-kutik (tidak ditangani) oleh Negara. Hal tersebut tidak benar dan tidak tepat, justru menyesatkan. Kita harus obyektif terhadap fakta yang ada, yang putih harus dikatakan putih, yang hitam harus dikatakan hitam.

Seperti kita ketahui, bahwa sebagai akibat perjuangan para mahid-eksil di luar negeri dan para peduli HAM di tanah air pada era reformasi, pemerintah terpaksa mengeluarkan UU Kewarganegaraan Indonesia /2006. Maka sejak itu sesuai Pasal 42 telah terbuka “lobang” kesempatan bagi para mahid-eksil untuk mendapatkan Kewarganegaraannya kembali dalam jangka waktu 3 tahun (sampai 01 Agustus 2009). Itulah politik pemerintah (SBY) yang oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin diformulasikan: “Tolak penyelesaian politik, tetapi setuju pemberian paspor/kewarganegaraan kembali kepada mahid-eksil” (bahkan juga kepada mereka yang bukan mahid-eksil).

Maka di Jerman, Belanda dan Kuba sebagian mahid-eksil telah berhasil mendapatkan kembali kewarganegaraannya. Bahkan saya pribadi pernah membantu/mendampingi seorang kawan ke KBRI Den Haag untuk mengurus masalah tersebut.

Tetapi ada banyak mahid-eksil yang menolak kebijakan berdasar UU Kewarganegaraan tersebut di atas. Alasannya a.l.:

1. Esensi kaidah kebenaran dan keadilan dalam kaitannya kasus 1965 tidak nampak dan tidak ada bau-baunya dalam UU tersebut, meskipun dalam considerannya banyak pasal-pasal HAM yang disebutkan. Bagi kami pengembalian kewarganegaraan/paspor hanyalah suatu buntut dari akibat penyelesaian masalah politik yang selalu diingkari oleh penguasa.

2. Bahkan berdasarkan Pasal 42 para mahid-eksil dimasukkan dalam satu ombyokan atau satu kotak dengan: a). orang-orang yang kehilangan kewargegarannya karena sesuatu hal selama 5 tahun atau lebih tidak melapor ke KBRI; b). Para pemberontak GAM, OPM dan lain-lainnya.
Pada hal para mahid-eksil teguh setia kepada NKRI, tidak pernah berontak, tapi dengan semena-mena dicabut paspornya oleh rejim Suhato. Dan para mahid-eksil tidak melarikan diri ke luar negeri, tapi dikirim untuk tugas belajar oleh Pemerintah sah Soekarno.

3. Dalam UU Kewarganegaraan/2006, para mahid-eksil diharuskan juga menyatakan sumpah setia kepada Negara RI. Nah ini suatu penghinaan yang menyedihkan dan memalukan. Sebab para mahid-eksil tidak pernah berontak kepada NKRI. Kami bukan anggota GAM dan OPM. Justru Suharto sendiri yang melakukan pemberontakan kepada Pemerintah sah RI melalui kudeta merangkaknya.

Lembaga Pembela Korban 1965 (LPK65) di Belanda tidak bisa menghalang-halangi anggotanya yang ingin memfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan kembali. Sebab hal tersebut adalah hak asasinya untuk menentukan kelanjutan kehidupan dirinya.
LPK65 sebagai satu-satunya lembaga legal di luar negeri tetap berjuang demi menegakkan kebenaran dan keadilan bagi para korban 1965.

Khusus untuk mahid-eksil LPK65 melakukan usaha-usaha terobosan atas UU Kewarganegaraan RI/2006 dengan segala cara dan jalan.

LPK65 telah berusaha untuk menyiarkan UU Kewarganegaraan/2006 beserta komentar-kritiknya melalui: website LPK65, milis-milis Nasional-list, HKSIS, Wahana dll, wawancara media-cetak dan radio, diskusi, dialog dengan pejabat dan privat. Saya sendiri telah berdiskusi dengan Bp. Hamid Awaludin (architek UU Kewarganegaraan/2006) di KBRI Moskwa ketika beliau menjabat sebagai dubesnya. Di samping itu telah saya siarkan artikel bersama kritiknya (3 seri) untuk menanggapi sosialisasi UU Kewarganegaraan/2006 yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata di Den Haag. Jadi sangat disayangkan sekali sudah hampir 14 tahun orang tidak tahu hal-hal tersebut di atas (terutama mereka yang menamakan dirinya Mahid dan mereka yang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan ilmu hukum).

Saya ( sebagai Ketum LPK65) telah berusaha keras untuk bertemu dan berdialog mengenai masalah eksil/mahid-eksil dengan Presiden Jokowi ketika tahun 2015 berkunjung ke Negeri Belanda. Tapi tidak berhasil mendapatkan undangan dalam salah satu pertemuan-pertemuan dengan masyarakat Indonesia, meski saya telah mengemis-ngemis melalui WAKAPRI KBRI Den Haag. Semoga pemerintah Jokowi bisa menyempatkan perhatiannya kepada masalah-masalah tersebut diatas. Bagaimana pun kami/mahid-eksil adalah Bangsa Indonesia.

Kalau mengenai masalah kepulangan para ex-WNI-ISIS jelas sikap saya dan mahid-eksil lainnya: TOLAK MEREKA!!! Presiden harus tegas. Mereka ini akan menyebabkan malapetaka yang lebih dahsyat kepada Negara dan bangsa - karena menyebarkan virus terorisme.

Sekian terima kasih, semoga artikel ini bermanfaat, terutama bagi penegakan kebenaran dan keadilan berkaitan sejarah tragedi nasional 1965. Salam.

Den Haag, 14 Februari 2020
  •   Tembusan/CC kepada:
Presiden Jokowi
Menteri POLHUKAM
KOMNASHAM
Para Peduli HAM
Semua fesbuker



Minggu, 09 Februari 2020

Ketika Indonesia Mendirikan CONEFO dan GANEFO Untuk Menandingi PBB dan Olimpiade

Penulis: Erik Hariansah - Minggu, 09 Februari 2020


Pada 7 Januari 1965, Presiden Sukarno mendeklarasikan Republik Indonesia keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan ini sebenarnya tidak pernah diterima secara resmi oleh PBB dan belum ada presedennya sejak organisasi internasional ini berdiri.

Keputusan Sukarno membuat Sekretaris Jenderal PBB yang saat itu dijabat oleh U Thant kebingungan. Ia perlu membongkar peraturan organisasi untuk menjawab dua pertanyaan pokok, yaitu apakah keputusan tersebut sah? Dan bagaimana sikap yang harus diambil PBB?

Butuh waktu dua bulan bagi U Thant untuk meresponnya. Dalam Piagam PBB menyatakan bahwa Majelis Umum memang diberi kewenangan untuk mengeluarkan negara anggota yang tidak patuh pada aturan. Namun tak ada keterangan jelas bagaimana sikap resmi PBB jika sebuah negara ingin keluar secara sukarela.

Setelah berkonsultasi dengan delegasi PBB dan staf resminya sendiri, U Thant akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mencegah sebuah negara yang ingin keluar dari organisasi PBB.

Mengapa Indonesia keluar dari PBB?

Semua bermula ketika Federasi Malaya yang dikenal dengan nama Persekutuan Tanah Melayu, ingin menggabungkan Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura menjadi satu negara baru. Indonesia sudah mencurigainya sebagai intrik untuk memecah belah Asia Tenggara sejak 1961. Namun segala kecaman tak membuahkan hasil.

Justru pada September 1963 Malaysia lahir di bawah restu Inggris. Sukarno menilai pembentukan Malaysia adalah proyek kolonialisme Barat yang akan mengancam eksistensi Indonesia yang baru merdeka. Ia melabeli Malaysia sebagai boneka bentukan Inggris.

Inggris dianggap akan menggunakan negara baru di Semenanjung Malaya untuk mengetatkan kontrol dan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka hendak melanjutkan kolonialisme gaya baru.

Saat suasana masih panas gara-gara konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, muncul rencana Malaysia akan dimasukkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Hal itu membuat Sukarno tambah geram. Pada tahun 1964, ia mengancam Indonesia akan keluar dari PBB jika rencana tersebut benar-benar diwujudkan.

Pada awal tahun 1965, Malaysia benar-benar diangkat sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Sukarno hilang kesabaran. Indonesia kemudian keluar dari keanggotaan PBB. Pada 20 Januari 1965 atau dua minggu usai deklarasi keluar dari PBB, Soebandrio mengirimkan surat resmi yang berisi pengunduran diri Indonesia dari PBB.

Indonesia mendirikan CONEFO

Setelah keluar dari PBB, Indonesia kemudian mendirikan Conferensi Negara-Negara Berkembang atau Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) pada tanggal 7 Januari 1965. Organisasi ini merupakan gagasan Presiden Sukarno yang dianggap sebagai tandingan terhadap PBB.

Penyelenggaraan CONEFO. Foto: boombastis.com

CONEFO merupakan bentuk kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya, yaitu Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat.

Adapun negara-negara yang menjadi anggota CONEFO di antaranya Indonesia sebagai pendiri, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, dan Vietnam Utara. Selain negara-negara anggota, CONEFO juga memiliki negara-negara pengamat, di antaranya Uni Soviet, Kuba, Yugoslavia, dan Republik Arab Bersatu.

Untuk keperluan penyelenggaraan konferensi antara anggota-anggota CONEFO, dibangun suatu kompleks gedung di dekat Gelora Senayan yang mendapat bantuan antara lain dari Republik Rakyat Tiongkok.

Konferensi tersebut belum sempat diselenggarakan hingga CONEFO dibubarkan oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Agustus 1966. Sementara kompleks gedung yang telah dipersiapkan sebelumnya dialih fungsikan dan dipergunakan sebagai Gedung DPR/MPR.

Pembangunan Gedung DPR-MPR. Awalnya gedung ini dipersiapkan untuk CONEFO. Foto: liputan6.com


Indonesia menyelenggarakan GANEFO

Selain mendirikan CONEFO, Indonesia juga pernah menyelenggarakan Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), ini adalah suatu ajang olahraga yang didirikan oleh Soekarno pada akhir tahun 1962 sebagai tandingan Olimpiade.

GANEFO menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga, hal ini bertentangan dengan doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang memisahkan antara politik dan olahraga.

Indonesia mendirikan GANEFO setelah kecaman KOI yang bermuatan politis, di mana pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Pada perhelatan akbar olahraga negara-negara Asia itu, Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab.

Aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI. Akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.

Pembukaan GANEFO di GBK. Foto: historia.id

Tidak kehilangan akal, Indonesia kemudian menyelenggarakan GANEFO sebagai ajang olahraga tandingan terhadap Olimpiade. GANEFO sempat beberapa kali diselenggarakan dan diikuti oleh ribuan atlet dari puluhan negara.

GANEFO I diadakan di Jakarta pada tanggal 10-22 November 1963. Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO pertama yaitu sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Pada GANEFO I, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 65 medali emas, disusul Uni Soviet, Indonesia, Republik Arab Bersatu, dan Korea Utara.

Setelah sukses dengan pelaksanaan GANEFO I, kemudian direncanakan lagi untuk penyelenggaraan yang kedua kalinya. Awalnya GANEFO II akan diadakan di Kairo, Republik Arab Bersatu pada 1967. Namun karena pertimbangan politik, akhirnya dipindahkan ke Phnom Penh, Kamboja dan pelaksanaannya dimajukan pada tanggal 25 November-6 Desember 1966.

Adapun jumlah peserta yang berpartisipasi pada GANEFO II yaitu sekitar 2.000 atlet dari 17 negara. Pada GANEFO II, Tiongkok menduduki peringkat pertama dengan 108 medali emas, disusul Korea Utara pada peringkat kedua, dan Kamboja pada peringkat ketiga.

Sementara itu, untuk pelaksanaan yang ketiga kalinya. Awalnya GANEFO III direncanakan diadakan di Beijing, Tiongkok. Namun Beijing membatalkan niatnya dan diserahkan ke Pyongyang, Korea Utara. Tetapi GANEFO III tidak pernah diadakan dan akhirnya GANEFO bubar.

Jumat, 10 Januari 2020

Pembersihan PKI di DPRD Yogyakarta

Oleh Nur Janti

PKI pernah menjadi partai paling kuat di Yogyakarta. Anggotanya dibersihkan dari DPRD setelah peristiwa 1 Oktober 1965.

Suasana rapat Komisi D DPRD Yogyakarta tahun periode 1977-1982. Foto: repro buku "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil Kerja DPRD DIY 1977-1982."

SEJAK Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai paling kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta. PKI menguasai mayoritas kursi DPRD dari 1955 sampai 1965. Pada pemilu pertama itu, PKI meraih 10 dari 40 kursi DPRD. PKI merebut 14 kursi Pada pemilihan anggota DPRD untuk menggantikan DPRD Peralihan pada 1957.

Menurut Julianto Ibrahim, pada kampanye Pemilu 1955, PKI aktif melakukan agitasi, infiltrasi, dan penggalangan massa di desa-desa melalui organisasi onderbouw-nya. PKI juga melakukan pengkaderan terhadap para buruh perkotaan, mahasiswa, pelajar, guru, bahkan militer. Selain itu, dalam upaya menguasai pemerintahan, PKI lebih suka berkerja sama dengan PNI.
“Upaya melakukan penggalangan massa di desa maupun perkotaan dan bekerja sama dengan partai lain terbukti membawa hasil yang baik pada Pemilu 1955,” tulis Julianto, “Goncangan pada Keselarasan Hidup di Kesultanan,” termuat dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian II Konflik Lokal.
Sementara itu, menurut Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta, salah satu faktor yang membuat PKI menarik minat banyak rakyat Yogyakarta adalah model kampanyenya yang berbeda. PKI melakukan pendekatan kepada rakyat dengan melakukan kunjungan langsung yang disebut Anjangsana. Untuk mencegah kejenuhan para calon pemilih, partai membuat sistem rolling kunjungan sehingga tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda. Untuk melakukan kampanye ini, PKI membutuhkan kader yang loyal mengingat strategi ini sangat menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Selain Anjangsana, PKI juga menyelenggarakan hiburan rakyat, misalnya pertunjukan ketoprak. Dalam pertunjukan diselipkan dialog yang mengandung nilai-nilai komunisme. Orang-orang berbondong-bondong datang ke balai desa untuk menonton pertunjukan tersebut, mengingat penduduk desa saat itu kekurangan hiburan. Model kampanye yang berbeda ini menjadi metode yang efektif untuk menarik simpati rakyat.

Dominasi PKI di DPRD Yogyakarta berakhir pasca peristiwa 1 Oktober 1965. PKI dan semua organisasinya dilarang. Orang-orang PKI dibersihkan, mulai dari lembaga negara hingga rakyat biasa. DPRD Yogyakarta salah satu lembaga yang melakukan pembersihan terhadap anggotanya dari PKI.

Sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, DPRD Yogyakarta melakukan penyusunan ulang anggota pada 26 Januari 1965. Berdasarkan arsip DPRD Yogyakarta No. 1/K/DPRD-GR/1965 terdapat 42 orang yang duduk di DPRD Yogyakarta dengan 8 orang berasal dari PKI.
Bersih-bersih lembaga negara dilakukan berdasarkan Pedoman Pemberantasan PKI dalam Tubuh Aparatur Negara yang ditandatangani Wakil Kepala Daerah Pakualam VIII tanggal 26 Juli 1966. Pedoman tersebut berdasar pada Instruksi Kogam No. 09/1966.

Berdasarkan arsip tersebut, diinstruksikan bahwa pembersihan di tiap lembaga berdasarkan laporan kepala dinas di masing-masing instansi. Kepala dinas bertugas untuk melaporkan nama-nama bawahannya yang menjadi anggota PKI atau organisasi yang dekat dengan PKI tanpa perlu melakukan interogasi. Orang yang tidak terima dituduh PKI diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada kepala daerah selambatnya September 1966.

Di tubuh DPRD Yogyakarta, terdapat 14 orang yang diberhentikan. Dari Surat Keputusan Pimpinan DPRD DIY No. 14/Kt-DPRD-GR/1965 anggota Fraksi PKI yang dikeluarkan dari DPRD Yogyakarta adalah Sudjiono, Sudibjo, A.M. Hardjono, Djaetun Dirdjowijoto, Nyonya S. Partoarmodjo, Marlan, Suwarno, dan Alimu Hardjodisastro. Sedangkan enam orang lainnya adalah Nyonya Sumarni Effendi (Gerwani), D.D. Susanto (Angkatan ‘45), Sudjadi Tjokroatmodjo (seniman Lekra), S. Djojohutomo (Barisan Tani Indonesia), Nona Murwani (SOBSI), dan Ir. Munadji (cendekiawan). Dari 14 orang yang dikeluarkan, dua di antaranya anggota pengganti yang belum sempat dilantik. Dua orang tersebut adalah Nona Murwani, yang seharusnya menggantikan posisi Sutikno dan Ir. Munadji menggantikan Prof. Ir. S. Purbodiningrat.

Purbodiningrat merupakan anggota DPRD Yogyakarta dari fraksi PKI sejak 1958 hingga 1961. Baru pada 1964, dia masuk sebagai golongan fungsional, khususnya cendekiawan.

Setelah pembersihan selesai dilakukan, DPRD Yogyakarta melakukan pengangkatan anggota baru melalui Keputusan Kepala Daerah No. III/1966 tanggal 20 Oktober 1966. Sebanyak 13 orang diangkat untuk mewakili Golongan Politik. Mereka berasal dari PNI (6 orang), NU (2 orang), serta IPKI, PSII, Partai Katholik, Parkindo, Partindo (masing-masing 1 orang). Sedangkan wakil dari Golongan Karya diangkat sebanyak 17 orang, terdiri atas fraksi Angkatan Bersenjata (6 orang), rohaniawan (2 orang), pembangunan spiritual (5 orang), dan pembangunan materiil (4 orang).

Baru berjalan enam hari, pengangkatan tersebut direvisi dengan mengadakan open-talk. Pertemuan pada 26 Oktober 1966 itu dipimpin oleh Komandan Korem 072/Pekuper Yogyakarta/Kedu. Hasil pertemuan mengubah jumlah wakil dari kedua golongan, yakni 27 orang wakil berasal dari Golongan Politik dan 21 orang berasal dari Golongan Karya.

Rabu, 27 November 2019

KKR dan Keadilan Hukum bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 27/11/2019, 07:38 WIB
Penulis Kristian Erdianto
Editor Icha Rastika
SHUTTERSTOCK/210229957Ilustrasi HAM

JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) dinilai menjadi langkah awal yang baik dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mekanisme penuntasan melalui KKR diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban serta keluarganya.
Sebab, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari berpendapat, pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.
"Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.

Sementara itu, opsi penuntasan melalui KKR diambil ketika terdapat kesulitan dalam hal pembuktian di pengadilan, misalnya, kurangnya alat bukti atau keterangan saksi atas sebuah kasus. 
"Ketika ada pelanggaran masa lalu tidak dituntaskan maka akan terjadi impunitas, sebuah kejahatan tanpa ada penyelesaian," kata Taufik.
"Tapi di sisi lain kita juga harus membuka peluang ketika ada kesulitan dalam hal membawa ke pengadilan ada ruang lain yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR," ucap dia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Merujuk pada catatan Kejaksaan Agung, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Pengungkapan kebenaran

Selain memberikan jaminan kepastian hukum, opsi penuntasan melalui KKR juga harus menjadi mekanisme bagi pemerintah dalam mengungkap kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dengan begitu, Taufik berharap KKR dapat menjadi pemecah kebuntuan yang selama ini menghambat penuntasan kasus.
Harus diakui bahwa selama ini penuntasan kasus HAM selalu terhambat oleh dua aspek, yakni hukum dan politik.
"Pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu itu adalah bagian dari pembelajaran bangsa ini. Bukan sekadar kita ingin menuding seseorang, mau memidanakan seseorang. Tapi titik beratnya lebih pada pengungkapan kebenaran dan belajar dari kejadian kelam masa lalu," ujar Taufik.
Menurut Taufik, jika nanti terbentuk, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM.

Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Ketika ada dua versi, ya jadikan itu tetap dua versi, tidak apa-apa, tetapi tercatat oleh negara, kalau menurut versi korban seperti ini, menurut pelaku seperti ini," kata Taufik.
Ia menekankan, bagian terpenting dalam KKR adalah peran negara dalam mendokumentasikan keterangan dari korban dan terduga pelaku. Artinya, pemerintah melegitimasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian dari sejarah Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, KKR juga mensyaratkan keaktifan pemerintah dalam mencari data-data yang selama ini sulit diakses oleh publik, misalnya terkait dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer.
"Data-data yang ada di intelijen atau di militer yang selama ini tidak mungkin diakses oleh publik, yang bisa mengakses siapa? Ya negara dengan kekuasaannya untuk minta. Kalau negara bisa mengakses data itu, bentangkan sebagai sebuah informasi. jadi gambaran mengenai kejadian itu bisa diketahui," ucap Taufik.
Tak miliki tendensi politik Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma berharap komisioner KKR nantinya diisi oleh orang yang tidak memiliki tendensi politik terhadap pelaku kejahatan HAM masa lalu.

Ia mengatakan, jabatan komisioner KKR harus diisi orang yang memiliki integritas, tidak berafiliasi terhadap partai politik, dan mempunyai kompetensi terhadap kasus HAM.
"Bisa diisi oleh orang yang selama ini tidak terlibat kejahatan HAM, tidak diduga bertanggungjawab atas suatu peristiwa, tidak punya tendensi politik terhadap pelaku," ujar Feri di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Feri, posisi komisioner dapat diisi oleh kalangan penggiat HAM, purnawirawan Polri yang fokus terhadap isu HAM, jurnalis, bahkan kelompok agamawan.

Baginya, yang terpenting dari wacana dibentuknya kembali KKR adalah pengungkapan kebenaran dari peristiwa masa lalu, termasuk perbaikan kondisi bagi keluarga korban, baik dalam bentuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi, maupun jaminan pelanggaran HAM tidak terjadi kembali di masa depan.
"Yang paling penting itu keadilan agar proses hukum tetap jalan," kata Feri.
Kompas.Com 

Senin, 25 November 2019

Ketika PGRI Terbelah


Andreas JW - 25 November 2018
  • Refleksi Hari Guru 25 November
Ilustrasi: Pendidikan pada masa kolonial


Awal tahun 1965, pecah konflik serius di tubuh organisasi guru, PGRI. Konflik tajam bisa muncul karena secara sepihak, tanpa ada perundingan dengan pimpinan yang lain, Ketua PGRI Subiadinata, menyatakan PGRI bergabung dengan SOKSI. Padahal, organisasi PGRI harus non-faksentral.

Subiadinata diketahui luas sebagai aktivis dari unsur PNI kanan. Tentu saja, tindakannya ini memancing reaksi anggota PGRI dari unsur lain. Mereka protes keras atas tindakan sepihak dari Subiadinata, yang secara jelas melanggar keputusan kongres.

Dari sini konflik berkembang semakin meruncing dan sulit untuk didamaikan lagi. Para anggota PGRI yang tetap konsisten dengan pendirian bahwa organisasi PGRI harus non-faksentral, tidak setuju terhadap tindakan sepihak dari Subiadinata. Mereka lantas memisahkan diri. Mereka kemudian membentuk PGRI Non-faksentral. Tokoh-tokoh dibelakang kubu PGRI Non-faksentral di antaranya adalah Subandri, Muljono, dan tokoh Taman Siswa Elan alias Pak Hardjo.

Melihat konflik berkembang semakin tajam dan kelihatannya sulit didamaikan, Bung Karno menyatakan sangat prihatin. Selanjutnya Bung Karno berharap agar kedua kubu segera mencari jalan damai, menuju rekonsiliasi.

Keprihatinan Bung Karno disambut baik oleh kubu PGRI Non-faksentral. Mereka menyatakan bersedia melakukan rekonsiliasi, tapi dengan syarat kubu PGRI Subiadinata terlebih dahulu harus keluar dari SOKSI.
Argumentasi mereka, karena kubu Subiadinata sudah melanggar keputusan kongres.

Karena kedua kubu masih berpegang pada pendiriannya masing-masing, konflik pun terus berlanjut. Bahkan semakin panas. Bung Karno kemudian menugaskan Sujono Hadinoto untuk mengatasi konflik di tubuh organisasi PGRI agar tidak semakin berlarut-larut. Maksud Bung Karno, Sujono Hadinoto, dalam rangka menyelesaikan konflik ini, bertindak sebagai mediator; agar kedua kubu yang tengah berkonflik bersedia menempuh jalan rekonsiliasi.

Pada saat konflik tersebut berlangsung, "Saya tengah sibuk menangani berbagai pekerjaan di Mapenas," ungkap Siswoyo.
Sebagai Wakil Ketua Mapenas, ia tengah menyiapkan konsep Sistem Pendidikan Nasional. Di Mapenas, ia merupakan kolega tepercaya bagi Sujono Hadinoto.
 Selain di Mapenas, "Saya juga anggota DPR-GR dari Fraksi PKI yang membidangi pendidikan." Mungkin atas pertimbangan ini Sujono kemudian menunjuknya untuk turut membantu meredakan konflik dan menindaklanjuti proses rekonsiliasi di tubuh organisasi PGRI.

Siswoyo sudah tahu sejak lama bahwa di tubuh organisasi PGRI banyak terdapat elemen-elemen dari Taman Siswa. Dan ia juga tahu persis merekalah yang terutama menentang keras tindakan sepihak kubu Subiadinata. Kebetulan pula ia banyak mengenal dan sudah sejak lama bergaul akrab dengan mereka. Langkah pertama yang dilakukan, melalui elemen-elemen Taman Siswa,

"Saya mulai menggali informasi untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya duduk perkara yang terjadi. Dari sini saya lalu mulai mengatur langkah lanjutan untuk menyatukan kembali PGRI," tutur Siswoyo.

Menurutnya, sumber masalah berada di pihak kubu Subiadinata. Maka ia segera mengadakan pendekatan kepada pimpinan PNI. Kepada Sekjen PNI, Surachman, dijelaskan permasalahan serta sumber konflik di tubuh PGRI. Seraya tidak lupa,
 "Saya sampaikan pula instruksi Bung Karno agar secepatnya konflik dapat diselesaikan."

Ternyata di internal massa PNI sendiri terdapat perpecahan dalam menyikapi konflik tersebut. Banyak yang menyesalkan, mengapa konflik tersebut bisa terjadi. Terutama kader-kader pimpinan “PNI Ali-Surachman”, yang secara tegas tidak membenarkan tindakan yang dilakukan Subiadinata. Akibatnya, Subiadinata tidak berkutik, posisinya terjepit dan semakin lemah. Sebab, selain ditentang oleh massa PGRI, dia juga mendapat tentangan dari massa PNI.

Akhirnya dilakukan pertemuan di Kantor Pusat PNI untuk membahas penyelesaian konflik. Selain Sekjen PNI Surachman dan Prof. Dr. Sudiarto, "Saya juga hadir sebagai mediator," kata Siswoyo.

Hasil pertemuan inilah sesungguhnya kunci keberhasilan menyelesaikan konflik di tubuh organsasi PGRI. Terutama ketika pimpinan PNI memutuskan untuk “menarik” Subiadinata dari PGRI. Dengan begitu salah satu inti permasalahan sudah dapat diselesaikan, sehingga proses rekonsiliasi selanjutnya bisa berjalan mulus.

Akan halnya untuk menggantikan Subiadinata, "Saya mengusulkan Prof. Dr. Sudiarto duduk dalam kepengurusan PB PGRI, sebagai wakil dari unsur PNI. Dengan begitu dalam kepengurusan baru PGRI tetap melibatkan unsur-unsur Nasakom. Untuk ini Surachman setuju dengan usulan saya."

Berkat bantuan berbagai pihak, tugas untuk menyelesaikan konflik di PGRI, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Namun demikian tetap saja ada “pengorbanan” dari kedua belah pihak. Yakni, kubu PGRI SOKSI harus melepas Subiadinata; sementara kubu PGRI Non-faksentral harus merelakan Subandri mundur dari kepengurusan. Jadi jalan keluarnya adalah win-win solution.

Selanjutnya diadakan pertemuan rekonsiliasi kedua kubu yang berkonflik di kediaman pribadi Prof. Dr. Sujono Hadinoto di Jalan Cimahi No.5 Menteng, Jakarta.

Namun sejarah mencatat, selang beberapa bulan kemudian, menyusul Peristiwa 1965, banyak jatuh korban dari guru-guru kubu PGRI Non-faksentral. Baik itu ditahan maupun "dihilangkan".

Minggu, 20 Oktober 2019

Catatan HAM Era Jokowi: Berhasil di Luar, Banyak PR di Dalam


Oleh: Adi Briantika - 20 Oktober 2019

Pengunjung menuntun sepeda sewaannya di dekat instalasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dari Amnesty International pada Peringatan Hari HAM Internasional Tahun 2017 di Taman Fatahilah, Kawasan Kota Tua, Jakarta, Minggu (10/12/2017). ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf

Indonesia berhasil menjadi salah satu anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Namun, keberhasilan itu tidak menular ke dalam negeri, di mana masih banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membawa kabar gembira ketika berkunjung ke markas PBB di New York, AS. Dalam akun media sosialnya, ia menyebut Indonesia berhasil menjadi salah satu anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022.
“Alhamdulilah..Indonesia berhasil terpilih menjadi anggota Dewan HAM periode 2020-2022 pada 17 Oktober 2019 di Markas PBB, New York,” cuit Menlu dalam media sosial dengan memasang tagar #IndonesiauntukDunia.
 Indonesia memperoleh suara tertinggi di kawasan Asia Pasifik yakni 174 dari 193 negara anggota PBB yang hadir dan memiliki hak suara. Terakhir, Indonesia menjabat posisi serupa mewakili Asia Pasifik pada periode 2015-2017.

Menurut pemerintah, Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB itu memiliki arti yang penting. Selain memiliki suara dalam isu HAM internasional, posisi ini juga menjadi ajang perjuangan kepentingan nasional, termasuk memagari kedaulatan NKRI.

Poin plus lainnya, posisi anggota Dewan HAM PBB ini menjadi ajang pengakuan masyarakat internasional terhadap kredibilitas Indonesia dalam memajukan, dan melindungi HAM di berbagai tingkatan.

Wapres Jusuf Kalla (JK) mengapresiasi keberhasilan Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB. Hanya saja, ia mengingatkan bahwa urusan HAM di ranah internasional tidak lantas meninggalkan urusan HAM di dalam negeri.
"Kami akan berfungsi tapi ada juga risikonya, kami harus jaga HAM dalam negeri. Jangan anggota HAM PBB tapi HAM dalam negeri (jadi) masalah," ucap Kalla di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jumat (18/10/2019).
Apa yang dikatakan JK benar adanya. Hanya saja, realisasi di lapangan tidak semudah ketika diucapkan. Janji Jokowi bersama JK untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum ada satupun yang berhasil diselesaikan.

Setidaknya ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang mengendap di Kejaksaan Agung antara lain Talangsari pada 7 September 1989, Kerusuhan Sosial Mei 1998, Penculikan Aktivis Mei 1998, Trisakti Mei 1998, Semanggi 13 November 1998, Semanggi II 24 September 1999, dan Kasus Abepura Papua 7 Desember 2000. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan PBB justru berpotensi menjadi bumerang lantaran banyak kasus pelanggaran HAM di dalam negeri yang mandek. 
"Indonesia mungkin lebih leluasa untuk melobi [isu internasional]. Tapi internasional akan semakin menyoroti kita. Kalau di sini masih ada diskriminasi, rasial, Indonesia bakal digebuk habis,” kata Ahmad di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Meski begitu, Komnas HAM mendukung terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB. Dia berharap posisi itu menjadi momentum pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di dalam negeri.

 Perlu Pembuktian Sementara itu, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri menganggap posisi anggota Dewan HAM PBB itu prestisius dan vital. Ini bisa menjadi tanda bahwa pemerintah memprioritaskan isu HAM. Hanya saja, lanjut Puri, pemerintah perlu memberikan bukti kepada masyarakat jika isu HAM menjadi prioritas.

Caranya adalah dengan menjawab kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang masih belum ada kejelasan sampai dengan saat ini. 
"Mereka hanya menjawab ada dua kasus prioritas penyelesaian yaitu kasus Wasior dan Wamena. Artinya pemerintah tidak bisa tebang pilih kasus, semua kasus harus mendapatkan proses akuntabilitas yang tepat," jelas Puri di kantornya.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga tidak sepenuhnya tugas eksekutif. Menurut Puri, legislatif pun harus ikut masuk guna menjawab tantangan hukum dan HAM di Indonesia saat ini dan ke depannya. Nanti, masyarakat akan berperan untuk mengawal kebijakan pemerintah, rancangan undang-undang.

Jika ini bisa terealisasi, presiden Jokowi dan wakilnya Ma'ruf Amin akan memiliki modal yang kuat hingga lima tahun ke depan.
"Kita (rakyat) tidak bisa mundur, kita harus terus sampai ke tahap yang mendekati idealisme Pasal 1 UUD 1945. Hukum harus digunakan untuk memberikan kebenaran," tutur Puri.
Payan Siahaan, bapak dari Ucok Siahaan, korban penculikan tahun 1997-1998 yang hingga saat ini belum ditemukan berharap Presiden Jokowi tidak menyertakan terduga pelanggar HAM duduk dalam pemerintahan. Dia mengaku khawatir, periode kedua pemerintahan Jokowi yang terkesan akan merangkul para pihak yang terduga tersangkut dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, misal Prabowo Subianto.
“Kami sudah berusaha untuk memenangkan Pak Jokowi tetapi jangan sampai Pak Prabowo ikut lagi menentukan kebijakan pemerintahan ke depan,” pungkas Payan.
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Ringkang Gumiwang

"Kalau di sini masih ada diskriminasi, rasial, Indonesia bakal digebuk habis [internasional]."

Tirto.ID 

Jumat, 04 Oktober 2019

Gerakan 30 September: Kematian Para Prajurit Cakrabirawa Setelah Subuh Maut 1 Oktober 65


Oleh: Petrik Matanasi - 4 Oktober 2019

Ilustrasi Nasib Naas Prajurit dan Sersan Batalyon Untung. tirto.id/Sabit

Parade kematian para prajurit Resimen Cakrabirawa yang memimpin penculikan dan menembak para perwira Angkatan Darat dalam G30S.

Pagi tanggal 16 Februari 1990 adalah pagi terakhir bagi empat orang mantan pasukan Cakrabirawa. Johannes Surono, Paulus Satar Suryanto, Simon Petrus Solaiman, dan Norbertus Rohayan dijemput dari selnya di Penjara Cipinang hendak dieksekusi. Satu regu tembak telah menunggu.

Dalam catatan Amnesty International Report (1991:119), keempat tahanan itu hampir semuanya telah lansia. Ketika diekseskusi, Johannes Surono berusia 60 tahun, Paulus Satar Suryanto 57 tahun, Simon Petrus Solaiman 60 tahun, dan Norbertus Rohayan 49 tahun.

Di antara mereka, hanya Rohayan yang mendapat kunjungan dari keluarga. Pamannya menjenguk Rohayan beberapa hari sebelum ia dieksekusi. Inside Indonesia nomor 14 April 1988 menyebut bahwa ia menderita diabetes dan penyakit lainnya.

Dua dekade lebih mereka ditahan rezim Orde Baru karena terlibat G30S. Saat peluru satu persatu menghabisi hayat, kematian mereka terdengar hingga negeri Belanda seperti diberitakan oleh surat kabar De Volkskrant edisi 19 Februari 1990.

Menurut Majalah Tapol nomor 98 April 1990, mereka ditangkap antara tanggal 4 hingga 8 Oktober 1965.

Rohayan berasal dari Angkatan Udara. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkalah Militer distrik Bandung pada 8 November 1969. Ia sempat mengajukan banding, namun pada Februari 1987 bandingnya ditolak. Lalu pada 5 Desember 1989 ia mengajukan grasi, dan lagi-lagi ditolak. Pada malam 1 Oktober 1965, Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

Sehari sebelum penangkapan Norbertus Rohayan, Satar Suryanto lebih dulu dicokok. Seperti terdapat dalam Gerakan 30 September dihadapan Mahmillub 2 Di Djakarta Perkara Untung (1966:21), Satar adalah sersan mayor dengan NRP 107453. Ia menjabat sebagai komandan peleton II Kompi C Batalyon II Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang tinggal di Asrama Tanah Abang. Saat menjadi saksi dalam perkara Untung pada 1966, usianya sekitar 34 tahun dan masih beragama Islam.

Satar memimpin penculikan Mayor Jenderal Suwondo Parman dan dijatuhi hukuman mati pada 29 April 1971 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Permohonan bandingnya ditolak, dan sebelum dieksekusi ia memakai nama Paulus Satar Suryanto.

Sebagaimana kawannya, Johannes Surono pun sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Saat itu usianya 36 tahun dan beragama Islam dengan nama Surono Hadiwijono. Lelaki kelahiran Pucungsawit, Solo itu adalah komandan peleton III kompi C batalyon Untung di Cakrabirawa.

Surono memimpin penculikan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan ditangkap pada 8 Oktober 1965. Lima tahun kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Pengajuan banding dan grasinya ditolak pada tahun 1986 dan 1989.

Jika Norbertus Rohayan adalah penembak Mayor Jenderal Raden Soeprapto, maka Simon Petrus Solaiman adalah orang yang diberi tugas oleh Letnan Satu Dul Arif untuk memimpin penculikan petinggi Angkatan Darat tersebut.

Menurut sumber pemerintah, Solaiman kelahiran Cepu, Blora, Jawa Tengah, pada 1927. Ia ditangkap pada 5 Oktober 1965 ketika Mayor Jenderal Soeprapto dan perwira Angkatan Darat lainnya dikebumikan di Taman Makam Kalibata.

Solaiman dijatuhi hukuman mati pada November 1969 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Seperti ketiga kawannya, banding dan grasi yang ia ajukan semuanya ditolak pemerintahan daripada Soeharto.


Para Eksekutor dan Pemimpin Penculikan Lainnya

Selain keempat orang tersebut, ada juga seorang prajurit bernama Anastasius Buang. Usia penembak Mayor Jenderal Suwondo Parman itu seumuran dengan Rohayan. Pertengahan 1980-an, Buang terancam dihukum mati. Namun ia baru meninggal secara misterius pada September 1989. Jenazah Buang berhasil ditemukan oleh keluarganya.

Rohayan dan Buang punya kesalahan yang sama dengan Sersan Dua Gijadi Wignjosuhardjo, mereka sama-sama menjadi eksekutor operasi penculikan.

Gijadi yang kelahiran Solo tahun 1928 adalah penembak Letnan Jenderal Ahmad Yani. Ia ditangkap pada 4 Oktober 1965 dan sempat menjadi saksi dalam perkara Untung. Menurut Inside Indonesia nomor 14 April 1988, Gijadi dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta.

Bersama Sersan Mayor Soekardjo yang memimpin penculikan Brigadir Donald Izacus Panjaitan, Gijadi dieksekusi mati pada Oktober 1988.

Setelah puluhan tahun menjadi tahanan Orde Baru, para pemimpin penculikan dan penembak dari pasukan Cakrabirawa itu pada akhirnya menyusul dua atasan mereka, Letnan Kolonel Untung dan Letnan Satu Dul Arif, ke alam kubur.

Untung adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan II Cakrabirawa, sementara Dul Arif Komandan Kompi C dari batalion yang dipimpin Untung. Sebagai prajurit penjaga presiden, para sersan dan kopral yang memimpin penculikan dan penembakan para jenderal tak dapat menolak perintah kedua atasannya.

Maka pada malam menjelang Subuh 1 Oktober 1965, mereka bergerak menculik dan menghabisi para perwira Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal kepada presiden lewat isu Dewan Jenderal. Puluhan tahun kemudian, parade kematian itu mereka hadapi sendiri.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Sebelum dieksekusi regu tembak, sejumlah terpidana mati peristiwa G30S memilih memakai nama Katolik.

Selasa, 01 Oktober 2019

Saat Bendera Setengah Tiang Tak Berkibar untuk Mengenang Tokoh Blora Korban PKI


Ahmad Adirin - 01 Okt 2019, 21:00 WIB

Kantor Kodim 0721 Blora, diketahui Liputan6 com mengibarkan bendera setengah tiang dalam rangka memperingati G30S/PKI. Untuk mayoritasnya kediaman warga Blora banyak yang tidak mengibarkan bendera setengah tiang. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Blora - Banyak warga di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tidak mengibarkan bendera merah putih setengah tiang dalam rangka mengenang pengorbanan pahlawan revolusi yang gugur dalam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau dikenal G30S PKI.
"Saya malah tidak tahu kalau hari ini itu peringatan G30S PKI," kata salah seorang warga Blora, Muhammad Usman, Senin, 30 September 2019.
Pantauan Liputan6.com, sepanjang Jalan Pemuda, Jalan Mr Iskandar, Jalan Gatot Subroto, Jalan Kolonel Sunandar, Jalan Sumodarsono, Jalan Reksodiputro, Jalan Sudarman, maupun beberapa jalan utama yang menghubungkan antarkabupaten.

Seperti arah jalan menuju Blora-Bojonegoro, Blora-Rembang, maupun Blora-Grobogan tampak sepi dari bendera merah putih setengah tiang. Ada warga maupun instansi yang memasang bendera setengah tiang, tetapi bisa dihitung jari.

Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Blora, Wahyu Djatmiko, mengatakan sepinya bendera merah putih berkibar setengah tiang karena pihaknya hanya melakukan imbauan lewat grup Whatsapp antarcamat.
"Dari kami memang tidak mengeluarkan edaran secara resmi. Tapi dari kami sudah berkoordinasi dengan camat melalui grup Watshapp untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada peringatan G30S/PKI," kata Wahyu.
Wahyu menyampaikan, tidak mengetahui imbauan tersebut tersalurkan atau tidaknya kepada masyarakat tingkat desa. Kata dia, beberapa lini yang sejak awal mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September itu dari pihak jajaran Kodim 0721 Blora.
"Kemarin yang mengatakan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September itu dari teman-teman jajaran TNI Kodim, untuk yang lainnya kami tidak mengetahui," ungkapnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Blora Komang Gede Irawadi, saat dikonfirmasi, menyampaikan bahwa pengibaran bendera sudah diinformasikan ke tingkat desa maupun kelurahan.
"Di tingkat desa dan kelurahan sudah diinformasikan ke masyarakat pak, dan itu setiap tahun sudah diinformasikan," tulis Komang, saat dihubungi melalui selularnya.
Saat disinggung terkait ada tidaknya surat resmi ataupun pamflet digital, Sekda Blora asal Bali ini tidak mengetahui detailnya informasi tersebut. Kata dia, akan mengecek hal tersebut ke bagian yang membidangi.

Memperingati hari G30S/PKI dengan mengibarkan bendera setengah tiang harusnya menjadi bahasan yang perlu kiranya disosialisasikan secara resmi pemerintah Blora agar dilaksanakan secara serentak.

Menengok sisi kelamnya kabupaten ini pada tahun 1948-1965, rentetan peristiwa terkait gerakan PKI Madiun pernah terjadi di Blora. Salah satunya kisah Bupati Blora Mr Iskandar pada bulan September 1948.

Bupati ini dulunya diculik PKI, kemudian disembelih di Gorong-gorong yang terletak di dukuh Pohrendeng, Desa Tamanrejo, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. 

Gerakan 30 September: Persahabatan Tiga Prajurit Cakrabirawa yang Berujung Celaka

Oleh: Petrik Matanasi - 1 Oktober 2019
                                       
Ilustrasi Persahabatan Boengkoes Doel Arif dan Djahurup. tirto.id/Sabit

Mereka berjuang bersama sejak zaman revolusi, baku bantu menumpas pelbagai pemberontakan, namun akhirnya tumbang karena terlibat Gerakan 30 September.

Djahurup dan Bungkus telah berkawan sedari zaman revolusi. Mereka selalu bersama sejak di Batalion Anjing Laut, Batalion 448, sampai Resimen Cakrabirawa. Keduanya berasal dari Karesidenan Besuki yang kebanyakan penduduknya bisa berbahasa Madura.

Mereka hanya beda kabupaten. Bungkus dari Situbondo, sementara Djahurup dari Bondowoso. Selain mereka, ada juga seorang lelaki bertubuh besar dan berkulit gelap yang berasal dari Bondowoso bernama Dul Arif. Mereka bertiga terlibat revolusi dalam Batalion Anjing Laut yang dipimpin Mayor Ernest Julius Magenda.
“Kami kawan sehidup semati sebagai anak buah Pak Magenda,” kata Bungkus kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant Major Bungkus" di Jurnal Indonesia Oktober 2004.
Kala itu, pangkat Bungkus masih prajurit satu, sementara Dul Arif sudah kopral. Motivasi mereka terjun ke kancah peperangan bukan untuk mencari uang, lagi pula kondisi keuangan negara tengah morat-marit.
“Sejak bergabung dengan TKR tahun 1945 hingga November 1949, saya tidak pernah menerima gaji," kata Bungkus.
Usai revolusi, mereka melanjutkan karir di militer dengan pangkat rendah dan gaji tak seberapa. Ketika terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), mereka dikirim ke sekitar Seram. Setelah itu, mereka tak lagi ditempatkan di Jawa Timur yang sekarang bernama Kodam Brawijaya, melainkan dipindahkan ke Jawa Tengah yang belakangan bernama Kodam Diponegoro pimpinan Kolonel Gatot Subroto.

Waktu itu, di Jawa Tengah terdapat batalion yang bermarkas di Salatiga, yang mayoritas prajuritnya berasal dari Jawa Timur dan terbiasa berbahasa Madura. Bungkus berada di batalion tersebut sekitar tahun 1953. Salah seorang perwiranya adalah Kapten Abdul Latief asal Surabaya. Belakangan setelah berpangkat kolonel, ia menjadi Komandan Brigade Infanteri Jaya Sakti di Jakarta dan terlibat Gerakan 30 September.


Kelak ketika tengah bertugas di Jakarta, kebiasaan mereka berbicara dalam bahasa Madura sempat menuai malu. Suatu hari saat berpesiar ke sekitar Pasar Senen, Dul Arif dan Bungkus bertemu dengan dua orang gadis pembantu sebuah warung yang berjualan dawet di salah satu pertigaan jalan.
“Kami duduk ngobrol dan ngrasani gadis itu dengan bahasa Madura. Tapi kok mereka kemudian tersenyum-senyum. Saya mulai curiga,” kata Bungkus.
Pemilik warung dan dua orang gadis pembantunya rupanya berasal dari Pasuruan dan bisa berbahasa Madura.



Menumpas Pemberontakan, Tumbang Bersama Cakra

Seperti di beberapa wilayah Indonesia lainnya, Jawa Tengah juga pernah mengalami gangguan keamanan. Pemberontakan Darul Islam (DI) dan Batalion 426 yang terpapar gerakan tersebut, membuat TNI mengerahkan banyak pasukannya untuk operasi penumpasan.

Saat bertugas di Batalion Infanteri 448 yang bermarkas di Salatiga, Bungkus juga dikirim ke Sumatra untuk menumpas pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Menurutnya, batalion itu dijadikan stoottroepen atau pasukan pemukul di sekitar Sumatra Barat.

Setelah lama berdinas di Jawa Tengah, Dul Arif, Djahurup dan Bungkus ditarik ke Resimen Cakrabirawa, pasukan khusus penjaga Presiden Sukarno. Pasukan ini biasa disingkat Cakra, mirip nama milisi Madura pro Belanda di era revolusi kemerdekaan, yaitu Barisan Cakra Madura.

Pada 1965, Dul Arif sudah berpangkat Letnan Satu, Djahurup berpangkat Pembantu Letnan Dua, dan Bungkus Sersan Mayor. Mereka berada di Kompi C yang dipimpin Dul Arif. Kompi mereka di bawah Batalyon Kawal Kehormatan II pimpinan Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri. Mereka tinggal di Asrama Cakrabirawa Tanah Abang.

Tanggal 30 September 1965, Letnan Satu Dul Arif mendapat perintah penting dari Letnan Kolonel Untung. Ia dan pasukannya yang tak sampai satu kompi, termasuk Bungkus di dalamnya, diperintahkan untuk pergi ke Lubang Buaya.
“Komandan Batalion kita memberi saya tugas memberangkatkan satuan Tjakra untuk sebuah misi. Ada sekelompok jenderal, yang disebut Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno,” kata Dul Arif kepada pasukannya.
Di bawah Untung, Dul Arif menjadi komandan pasukan Pasopati yang bertugas menculik para jenderal untuk menggagalkan isu kudeta Dewan Jenderal. Mereka harus dibawa ke Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965.

Bungkus bertugas memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Harjono (Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat) di Jalan Prambanan, Menteng. Sementara Djahurup kebagian tugas mengamankan Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Pertahanan Keamanan) di Jalan Teuku Umar, juga di daerah Menteng.

Operasi pasukan Bungkus dan Djahurup tak mulus. Mas Tirtodarmo Harjono tertembak di rumahnya, tapi masih bisa dibawa ke Lubang Buaya. Sementara Djahurup gagal mendapatkan Nasution, sebab yang mereka bawa justru ajudannya, Pierre Tandean.

Setelah malam jahanam dini hari 1 Oktober 1965 itu, Bungkus sempat kembali ke asrama Cakrabirawa sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan di asrama CPM Guntur.

Di tahanan ia bertemu dengan Abdul Latief. Sementara Djahurup bernasib sama seperti Bungkus dan Latief, Dul Arif justru melarikan diri tanpa jejak.

Namun menurut Heru Atmodjo dalam Gerakan 30 September 1965: Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo (2004), belakangan Dul Arif dibunuh secara diam-diam oleh Ali Moertopo di sekitar perbatasan Jawa Tengah.
"Dul Arif itu anak angkat Ali Moertopo," tulis Atmodjo.
Ali Moertopo memang pernah berkarir di Jawa Tengah sebagai perwira dan komandan kompi satuan Banteng Raider, dan Dul Arif dianggap anak buahnya selama di Jawa tengah.

Kita tahu, Ali Moertopo adalah perancang Orde Baru dan tangan kanan daripada Soeharto.


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Persahabatan Bungkus, Djahurup, dan Dul Arif berujung celaka.