HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Genjer-genjer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Genjer-genjer. Tampilkan semua postingan

Senin, 30 September 2019

Identik Dengan PKI, Ini Kandungan Gizi dan Manfaat Sayur Genjer


30 September 2019 09:28    

Sayur Genjer (Sumber foto: Cookpad)

Tahukah kamu tanaman genjer atau lagu ‘Genjer-genjer’? Lagu ‘Genjer-genjer’ merupakan lagu rakyat Banyuwangi yang identik dengan PKI. Genjer-genjer merupakan lagu ciptaan M Arief dan Bing Slamet, yang diaransemen ulang oleh CC PKI dan justru menjadi lekat dengan organisasi komunis tersebut.

Sayur genjer memang terdengar asing bagi masyarakat perkotaan. Namun, bagi masyarakat di daerah perdesaar, genjer menjadi makanan favorit yang memiliki rasa yang khas dan kandungan gizi yang baik untuk tubuh.

Daun genjer biasanya diolah menjadi tumisan, lalapan, sebagai campuran pada gado-gado atau pecel, atau dimanfaatkan sebagai pengganti  kangkung. Seperti sayuran hijau lainnya, daun genjer memiliki kandungan gizi yang tinggi, yaitu serat, protein, kalsium, fosfor dan zat besi.

Kandungan gizi dalam daun genjer tersebut memiliki beragam manfaat bagi tubuh. Serat dalam sayur genjer berkhasiat melancarkan pencernaan, mencegah sembelit, membantu proses pencernaan makanan, mengikat lemak dalam tubuh, meningkatkan metabolisme tubuh, dan menstabilkan kadar gula darah.

Protein berguna untuk membentuk massa otot, menambah stamina dan tenaga, dan mengikat lemak di dalam tubuh. Kalsium dan fosfor berkhasiat untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi, dan mencegah osteoporosis.

Selain itu, zat besi dalam sayur genjer berguna untuk menambah nafsu makan dan memperlancar metabolisme. Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk mencoba sayur genjer?

Sabtu, 29 September 2018

Geger “Gendjer-gendjer”


2018/09/29

Lirik lagu "Gendjer-gendjer" asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Lagu berjudul “Gendjer–gendjer” menjadi salah satu lagu populer saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) terutama tahun 1965. Ternyata lagu ini ciptaan orang Banyuwangi. Penciptanya bernama Sjamsul Arifin.

Lagu ini diciptakan tahun 1942 saat zaman pendudukan penjajah Jepang. Sjamsul adalah tentara yang bertugas di Pemerintah Militer O.D.M. Buduran, Sidoarjo dengan pangkat sersan. Ia menjabat sebagai Kepala Pera/Masjarakat.

Selama aktif di militer, namanya adalah Sjamsul Arifin. Setelah keluar dari militer dan aktif di PKI, berganti nama menjadi Mohamad Arif dan biasa dipanggil Arif. Istri Arif, Suyekti, mengatakan lagu “Gendjer-gendjer” ciptaan suaminya itu terinspirasi dengan kondisi masyarakat yang miskin dan dirundung kelaparan saat dijajah Jepang tahun 1942.

Karena terbatasnya persediaan pangan, rakyat kecil waktu itu memanfaatkan tanaman genjer sebagai lauk pauk. Genjer merupakan salah satu jenis sayuran yang tumbuh liar di persawahan. Sebelumnya, genjer hanya dijadikan makanan itik namun karena dalam kondisi darurat, genjer dimakan sebagai lauk pauk.

Melihat realitas ini, Arif terinspirasi menciptakan lagu untuk memberi semangat agar rakyat tidak putus asa dan bekerja giat.
“Dia mengingat-ingat waktu itu dia dan teman-temannya miskin,” tutur Suyekti semasa hidupnya, Oktober 2006. “Untuk memperingati rakyatku yang mlarat  (miskin) agar semangat. Ayo sama-sama bekerja,” ujarnya menirukan perkataan suaminya.
Suyekti lahir di Malang tahun 1927. Lalu ikut pamannya di Banyuwangi dan bertemu Arif. Januari 2007 Suyekti meninggal dunia.

Suyekti

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” sebenarnya menceritakan bagaimana rakyat yang memungut genjer di sawah untuk dimakan sebagai sayuran.
“Waktu itu zaman Jepang dimana rakyat kelaparan. Bapak, ibu dan teman-teman bapak mengalami sendiri bagaimana menderitanya,” kata putra tunggal Arif, Sinar Samsi.
Menurut pria kelahiran 25 Juni 1953 itu, kondisi mengenaskan juga dialami keluarganya. Lagu ini akhirnya populer di kalangan massa PKI. Saking populernya lagu ini, Arif menjadi tokoh penting PKI dan selama tahun 1965 pernah diundang Presiden pertama RI Soekarno sebanyak tiga kali. Bahkan pernah diundang ke RRC untuk pentas seni.

Lirik lagu “Gendjer-gendjer” asli tulisan tangan penciptanya, Mohamad Arif.

Inilah lirik lagu “Gendjer-gendjer” berbahasa Banyuwangi (Osing) karya Arif yang dikutip dari buku kumpulan lagu Arif dan kami terjemahkan dalam bahasa Indonesia:

Gendjer-gendjer nong kedokan pating keleler (Genjer-genjer bertebaran di pematang sawah)
Emak’e thole teko-teko muputi gendjer (Para ibu berdatangan mengambil genjer)
Oleh sak tenong mungkur sedot sing toleh-toleh (Memperoleh satu bak, lalu langsung balik badan tanpa lihat-lihat di sekeliling)
Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih (Sekarang genjer-genjer sudah dibawa pulang)
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol ring pasar (Genjer-genjer pagi-pagi dijual di pasar)
Didjejer-djedjer diuntingi podo didasar (Ditata berbaris, diikat dan dijajakan)
Emak’e djebeng podo tuku nggowo welasah (Ibu-ibu berbondong-bondong membeli dengan membawa bak)
Gendjer-gendjer saiki arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)
Gendjer-gendjer mlebu pendil wedang gemulak (Genjer-genjer dimasukkan tungku yang berisi air mendidih)
Setengah mateng dientasi wong dienggo iwak (Dimasak setengah matang dan ditiris, dijadikan lauk pauk)
Sego rong piring sambel djerok nong pelontjo (Dimakan dengan nasi dua piring dan sambal jeruk di atas meja)
Gendjer-gendjer dipangan musuhe sego (Genjer-genjer sekarang siap dimakan dengan nasi)

Menurut Samsi, lirik lagu ini kemudian ada yang mengubahnya. Namun ia tidak hafal dengan gubahan lagu tersebut. Samsi hanya hafal gubahan kalimat pertama dalam bait pertama. Kalimat “Gendjer-gendjer ono nang kedokan pating keleler” diubah menjadi “Gendjer-gendjer, dewan jendral pating keleler” yang artinya “Gendjer-gendjer, dewan jendral mati bergelimpangan“.

Gubahan lirik lagu itu pun jadi kontroversi karena dianggap menghina para jendral yang dibunuh dalam pemberontakan PKI tahun 1965.

Samsi menunjukkan buku tulisan tangan berisi lagu, sajak, dan puisi ciptaan Arif.

Meskipun aktif di militer, Arif berjiwa seni yang tinggi. Samsi menunjukkan buku koleksi sajak, puisi, dan lagu karya ayahnya yang mencapai 60 lebih dalam bahasa Osing dan Indonesia ejaan lama. Rumah Arif dulu terletak di Temenggungan, Banyuwangi. Setelah penumpasan G30S/PKI, keluarga Arif pindah ke Singotrunan, Banyuwangi.

Setelah bertugas di Sidoarjo, sekitar awal 1950 Arif ditarik ke Markas Militer di Banyuwangi yang sekarang menjadi markas Kodim 0825 Banyuwangi. Namun tiba-tiba ia mengundurkan diri 30 Maret 1950 berdasarkan Surat Tanda Pemberhentian No.303/Adm./Duc./Bdr./50 yang saat ini masih disimpan Samsi.

Arif lebih memilih ke jalur politik dan masuk PKI. Arif sempat menjadi Anggota DPRD Banyuwangi tahun 1963-1965. Menurut teman dekat Arif yang juga seniman lagu, Basir Noerdian, selama duduk di DPRD tersebut Arif tidak memperoleh gaji.
“Selama tiga tahun di DPRD itu nggak menerima gaji, berbeda dengan DPR sekarang yang gajinya jutaan,” tutur Basir. Hal ini dibenarkan istri Arif, Suyekti. “Di DPRD nggak ada yang bayar,” kata Suyekti.
Selain aktif di PKI, Arif juga aktif dalam bidang kesenian. Arif dipercaya menjadi Kordinator Seni Rakyat Indonesia Muda (Sri Muda). Berbeda dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), Sri Muda tidak memiliki garis kordinasi langsung dengan PKI. Tapi Sri Muda mendukung aktivitas PKI.

Saat terjadi penumpasan G30S/PKI, Arif ditangkap dan dijebloskan di Markas CPM yang terletak di Sukowidi, Banyuwangi. Hingga akhirnya Arif dibawa ke sebuah markas militer di Malang. Setelah itu nasibnya tidak diketahui lagi. (*)

Selasa, 19 September 2017

"Genjer-Genjer" yang Terus Ditakuti


Oleh: Nuran Wibisono - 19 September 2017

Bing Slamet, salah satu penyanyi yang mempopulerkan lagu 'Genjer-genjer' ciptaan M.Arif. FOTO/Istimewa

Lagu ciptaan seniman Using bernama M. Arief itu dibuat untuk menggambarkan kesusahan warga Banyuwangi saat penjajahan Jepang.

Dalam kereta ekonomi yang membawa saya dari Jember menuju Banyuwangi, 2010 silam, pikiran saya penuh oleh adegan di film Pengkhianatan G 30/S PKI. Dalam film propaganda buatan 1984 itu, salah satu adegan yang paling membuat bulu kuduk meremang adalah ketika anggota Gerwani mengelilingi para jenderal yang ditawan, lalu menyilet wajah mereka, diselingi nyanyian "Genjer-Genjer."

Setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang, barulah semua mulai terang. Film Pengkhianatan murni fiksi, termasuk adegan Gerwani menyilet wajah para Jenderal sembari bersenandung "Genjer-Genjer." Meski sejarah September 1965 mulai benderang, lagu itu tetap berada di sisi gelap sejarah Indonesia.

Sekitar setahun sebelum pergi menuju Banyuwangi, saya mendengar cerita tentang Rudolf Dethu yang didatangi oleh aparat. Saat itu Dethu mengasuh program The Block Rocking' Beats. Acara di radio online ini memutarkan daftar lagu para narasumber. Hari itu, narasumbernya adalah Adib Hidayat, managing editor majalah Rolling Stone Indonesia. Dalam 33 lagu daftar lagu yang berkesan baginya, ada "Genjer-Genjer."
"Gerwani. PKI. Cakrabirawa. Orde Baru. Soeharto! Lagu yang tidak ada hubungan dengan PKI! Agitasi murahan nan cerdik dari Orde Baru," tulis Adib.
Selepas memutar lagu itu, Dethu didatangi aparat. "Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?” kata Dethu.



Lagu Kritik Sosial dari Banyuwangi

Muhammad Arief adalah seniman Using masyhur dari Banyuwangi yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1942, ia menciptakan lagu "Genjer-Genjer" sebagai gambaran kondisi warga Banyuwangi saat penjajahan Jepang. Sebelum penjajahan Jepang, genjer (Limnocharis flava) adalah tumbuhan untuk makanan ternak. Ketika Jepang jadi penjajah, banyak warga kelaparan dan terpaksa memakan tumbuhan yang awalnya dianggap hama itu. Salah satu liriknya adalah:

Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega

Jika diterjemahkan menjadi:

Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak

Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi


“Genjer-Genjer” menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet, juga Lilis Suryani pada tahun 1962. Pada masa pemerintahan Sukarno, banyak musikus memainkan lagu ini di istana.

Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.

Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, beberapa media seperti Angkatan Bersendjata, koran Pantjasila, dan Berita Yudha memuat berita tentang secarik kertas berisi notasi lagu "Genjer-Genjer". Notasi dan lirik lagu di kertas itu berbeda dengan lirik aslinya. Media-media itu juga menurunkan berita bohong tentang penyiksaan para jenderal.

Propaganda akan kesadisan yang dilakukan PKI membuat rakyat Indonesia marah. Maka terjadilah sejarah kelam dalam buku besar bernama Indonesia: pembantaian anggota PKI. Tercatat 1 hingga 1,5 juta orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh.

Dalam artikel berjudul "Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant," Ben Anderson, seorang Indonesianis, mengutip perkataan Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan bahwa korban pembantaian mencapai 3 juta orang.

Propaganda terhadap lagu "Genjer-Genjer" semakin langgeng karena film Pengkhianatan. Lagu itu kemudian menjadi sinonim PKI, dan karenanya dibenci sekaligus ditakuti. Utan Parlindungan dalam Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu (2014), menyebut lagu "Genjer-Genjer" sebagai, "bid'ah, larangan terkutuk yang menyetarakannya seperti hukum Tuhan, dalam kitab-kitab suci agama samawi" karena propaganda Orde Baru.

Di Banyuwangi, jejak "Genjer-Genjer" bisa dilacak melalui Andang Chatif Yusuf. Budayawan Banyuwangi ini pernah menjadi Koordinator Sastra LEKRA Banyuwangi, sekaligus teman baik Arief. Saya berkesempatan menemuinya di 2010, ketika keinginan mencari tahu tentang "Genjer-Genjer" amat menggebu.

Saat penangkapan anggota PKI terjadi hampir di seluruh Indonesia, Andang turut ditangkap bersama Arief. Mereka berdua dikurung di Penjara Lowokwaru, Malang, selama 106 hari tanpa proses pengadilan. Namun pada hari ke 107, nasib berbeda memisahkan keduanya. Andang dipindah ke Banyuwangi, dan Arief, menurut pengakuan sipir, dipindah ke Sukabumi. Tapi ia tak bisa ditemui.
"Arief diselesaikan," ujarnya lirih.
Diselesaikan adalah istilah yang ia pakai untuk menyebut dibunuh. Andang sempat berusaha mencari tahu jejak Arief, tapi hasilnya nihil. Hingga sekarang, mayat maupun kuburan M. Arief tidak pernah ditemukan.

Selain Andang, saya sempat berusaha mencari tahu keberadaan keluarga Arief. Tapi usaha itu dihentikan oleh penghubung (fixer) saya. Ia mengatakan bahwa keluarga Arief terpencar, dan citra buruk masih menimpa keluarga malang ini. Penghubung itu menyarankan saya tak usah mencari keluarga Arief.

Saya baru tahu tentang kabar keluarga Arief melalui berita sedih yang dimuat banyak media pada 2014 silam. Berita yang dilansir Kompas itu mengabarkan bahwa Sinar Syamsi, anak lelaki Arief, masih terus mendapat teror.


Pada September 1965, rumahnya dihancurkan massa. Selepas itu, Syamsi mendapat teror dalam bentuk lain. Ia berulang kali kena pemecatan sepihak dari tempatnya kerja. Saat berusaha melamar kerja, ia ditolak karena cap sebagai keluarga PKI.

Dampak propaganda Orde Baru memang amat dahsyat. Bahkan sebuah lagu yang diciptakan pada 75 tahun lalu masih berhasil dianggap mengerikan dan membawa identitas sebagai lagu komunis. Lagu itu juga kerap menjadi senjata untuk menyerang orang yang berseberangan pendapat.

Tahun 2009, Solo Radio FM yang memutar lagu "Genjer-Genjer" didatangi sekelompok orang yang mengaku dari Laskar Hizbullah. Para anggota laskar itu menuntut pihak radio meminta maaf. Kejadian yang sama terulang pada Minggu, 17 September 2017, saat massa anti demokrasi mengepung acara 'Asik-Asik Aksi' yang digelar di gedung Lembaga Bantuan Hukum.

Menurut massa, ada lagu "Genjer-Genjer" yang dinyanyikan oleh salah satu peserta. Lagu itu, menurut mereka lagi, "adalah nyanyian para Gerwani yang identik dengan PKI." Padahal, dalam acara itu tak ada penampil yang memainkan lagu "Genjer-Genjer."

Melihat bagaimana masih ada orang-orang yang ketakutan pada "Genjer-Genjer" membuktikan setidaknya dua hal. Pertama, propaganda puluhan tahun Orde Baru masih kuat menancap di sebagian orang. Kedua, jalan menuju sejarah Indonesia yang terang masih amat panjang, dan tentu saja melelahkan.

"Genjer-Genjer" menjadi salah satu indikatornya.

Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani

M. Arief menciptakan lagu "Genjer-Genjer" pada 1942

Senin, 27 Februari 2017

Genjer di sekitaran rumah

Feb 27, 2017

  • Satu percakapan di Kediri selatan
Mass Graves, Misbach Thamrin

Hanya ada aku dan nenek di rumah siang itu. Sekarang nenek tak lagi berjualan di warung depan rumah setelah beberapa minggu yang lalu jatuh dan terpeleset. Sebab itu ia diminta istirahat oleh anak-anaknya. 
Dagingnya sudah hampir hilang dimakan usia. Punggungnya kian membungkuk. Kaki dan pundaknya tiap malam basah minyak oles. Mata dan rambut makin memutih. Makin menjadi pula setelah tak bekerja.
“Bagaimana waktu Belanda dulu, Mak?” Tanyaku padanya. Aku memanggil nenekku dengan sebutan Mak’e. Ia tak terlalu lancar memakai bahasa Indonesia. Setiap percakapanku dengannya digelar dalam Jawa. Sejak naik sekolah menengah, aku bicara dalam Jawa Inggil dengannya. Sebelumnya tidak.
“Orangnya tinggi-tinggi, bagus, bersih. Mereka banyak di daerah dekat pabrik gula. Pernah sekali waktu mereka datang dengan mobil besar-besar. Perang. Orang-orang sini, Mbah Kung juga, merobohkan pohon-pohon di jalan supaya mereka tak bisa lewat. Yang sengsara itu waktu kedatangan Jepang. Orangnya kecil-kecil, kulitnya kuning. Sipit-sipit. Sengsara itu, Le. Waktu Belanda, aku jual sayur-sayuran di pasar. Waktu Jepang aku diperintah kerja di pabrik kapas. Bikin benang. Bareng dengan yang lain. Orang-orang pakai pakaian dari karung. Jalan kaki dari rumah. Berangkat subuh pulang malam. Beras susah. Makanan susah. Seadanya saja.”
“Rumah ini Mbah Yut yang buat, Mak? Siapa nama Mbah Yut?” 
“Ya. Namanya Mbah Kromo. Kartodikromo. Tapi rumah ini dulu belum seperti ini. Dulu masih gubuk. Ditembok tinggi kemudian oleh Mbah Kung. Dibangun lagi kan baru kemarin-kemarin sama ayahmu.”  
“Kerja apa Mbah Yut?”  
“Ya tani. Nggelak cikar, Le. Sampai ke Blitar, Tulungagung.”
Kutanyakan juga bagaimana akhirnya bisa kenal dan bersama dengan Mbah Kung, seorang yang kukenal selama lebih kurang tiga tahun saja, itu pun hanya tiap akhir pekan. Dan itu juga tak rutin. Dari tutur saudara-saudaraku, juga cerita dari tetangga, aku tahu ia orang yang cukup disiplin, atau jika aku tak keliru maka boleh dibilang keras. Cukup terpandang dan disegani. Waktu sekolah dasar, saat lebaran aku datang sendirian ke tetangga-tetangga hingga cukup jauh — sekitar 3 km dari rumah — kurasai perlakuan mereka padaku sedikit berubah setelah kujawab pertanyaan mereka cucu siapa aku ini. Dari mereka-mereka juga aku tahu di rumah inilah mereka dulu bisa menonton televisi. Itu lebaran bertahun-tahun lalu.

Sekarang aku tak pernah berkunjung sejauh itu. Dua tiga rumah sudah bagus. Pernah tidak ke tetangga sama sekali. Padahal tak yakin juga aku apakah setiap lebaran maka begitu saja akan saling memaafkan tanpa perlu pertemuan yang menjelaskan untuk apa maaf itu dan untuk apa memaafkan. Apakah benar akan lunas segala dosa sesama manusia setelah lewat satu lebaran saja. Dan aku tahu jawabannya dari keluarga juga: tidak.

Aku juga kenal Mbah Kung dari catatan harian yang ditulisnya. Peristiwa kelahiranku ada di situ. Terkisah di satu buku bersampul cokelat, dengan huruf bersambung miring, yang ditulis dengan pena pancur bersama peristiwa-peristiwa lain yang sama kecilnya. Juga dari buku harian itu kudapati nama siapa-siapa yang pernah tinggal di rumah itu. Nama siapa-siapa yang pernah membantu keluarga kami. Yang diceritakan padaku sebagai siapa-siapa yang oleh keluarga sedang dibantu. Atau dalam Jawa: diopeni. Yang sebagian aku kenal, sebagian besar lain tidak. Dan tak pernah kupertanyakan.

Juga dari cerita Mak’e kemudian aku tahu, keluarganya termasuk keluarga-keluarga awal di dusun itu. Dan banyak tetangga-tetangga juga ternyata masih saudara. Mak’e menyebut nama-nama, hubungan kekerabatannya, juga cerita yang menyertainya yang aku tak hafal semuanya. Dan kubalasi cerita-cerita itu dengan nggih dan anggukan kepala. Kuisap kopiku yang mulai dingin. Kuseduh tadi sebelum menyantap makan siang. Sambil juga membayangkan bagaimana keluarga Mbah Yut, yang aku yakin bukan dari keluarga bangsawan atau priyayi, bisa punya cukup tanah untuk diwariskan ke putrinya yang seorang itu, dan lalu ke cucu-cucunya yang berjumlah sepuluh. Belum terjawab sampai sekarang.
“Bagaimana waktu PKI, Mak?”  
“Biyen aku diseneni Mbah Kung melu nyanyi genjer,” katanya.
Mak’e bercerita ia ditegur oleh Mbah Kung karena ikut melagukan genjer-genjer.

Aku membayangkan Mak’e, ketika ia masih segar sekitar tahun 1965 silam. Pagi hari di depan rumah, dengan rambut digelung, mengenakan kain jarit, kemben, serta stagen yang melilit perutnya. Ia sedang menyapu halaman depan rumah yang cukup luas. Jalanan masih berbatu. Matahari masih samar, embun masih bersisa. Dari timur, serombongan orang, mungkin dua puluh, laki-laki dan perempuan, melintas depan rumah. Menyanyikan lagu genjer. Mengingatkan bahaya setan desa.
“Banyak orang naik sepeda rombongan. Nyanyi genjer-genjer,” ceritanya ke Mbah Kung dalam Jawa.
“Orang-orang komunis itu,” jawabnya, juga dalam Jawa.
Di sekitar waktu itu, tiap pekan mereka — kader Partai Komunis Indonesia dan organisasi pendukungnya seperti Barisan Tani Indonesia, Pemuda Rakyat, Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia — berkumpul dan melakukan agitasi di alun-alun Kota Kediri.

Membikin panggung rakyat. Mendeklarasikan siapa musuh rakyat — tujuh setan desa dan tiga setan kota. Bersamaan dengan itu juga, kelompok santri juga sedang sekuat tenaga menyebarkan selebaran, mengingatkan kepada kaum “beriman” tentang apa yang telah dilakukan oleh komunis di Madiun tahun 1948 dan apa yang terjadi di Kanigoro pada awal 1965.

Ramadhan di Januari 1965, terdengar kabar bahwa masjid pesantren Aljauhar, Kanigoro, Kecamatan Kras, yang diasuh oleh H Jauhari itu diserbu oleh komunis. Yang sampai di rumah waktu itu mungkin adalah kabar seperti ini: Waktu sembahyang subuh, segerombolan PKI datang ke masjid, masuk dengan masih menggunakan alas kaki, membubarkan pelatihan yang digelar oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), mengobrak-abrik masjid, mengalungkan arit ke leher imam, merobek dan menyebar halaman Alquran ke seluruh penjuru halaman masjid.

Dan kabar seperti itu juga yang mungkin sampai ke Mbah Kung. Dan itu sebab ia kemudian meminta Mak’e untuk tidak ikut seperti komunis menyanyikan genjer-genjer.

Muhidin M Dahlan dalam catatan mudiknya, Syawal itu Merah, pernah membahas peristiwa Kanigoro. Dari tulisan itu kutemukan bantahan orang-orang komunis:
Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2.
Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan. 
Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom. (Harian Rakjat 11 Februari 1965)

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadja pun sudah menundjukkan, bahwa maksud si pembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU. (Harian Rakjat 13 Februari 1965)

Kediri itu merah. Pada pemilu 1955 PKI menduduki peringkat pertama dengan 33% pemilih. Lebih besar 50% dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meningkat jadi 40% di 1957. 
Pada 1961, dari tulisan Kenneth R. Young dapat diketahui ada setidaknya tiga ribu buruh tani menduduki lahan di daerah Jengkol yang waktu itu masih milik pabrik gula yang dijalankan oleh militer.

Pada paruh Oktober 1965, di alun-alun yang pernah dipakai komunis melakukan agitasi, berkumpul para pendekar islam dari Banser/Ansor dan ormas-ormas Islam lainnya. Upacara besar tergelar. Dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam di Kediri. Direncanakan oleh Ansor, GPII; dan militer.

Dikomandoi oleh Maksum Jauhari, putra dari H Jauhari yang pesantrennya diserbu PKI beberapa bulan sebelumnya. Aku mengenalinya dengan nama Gus Maksum. Nama itu sering kudengar. Ilmu kanuragannya tinggi. Ada yang pernah bilang padaku, saking hebatnya, kambingnya saja tak mau merasakan nikmat dunia. Sudah melepaskan yang duniawi. Kambingnya hidup memakan sampah. Belum lagi, cerita bahwa ia memiliki naga.
Dipimpin olehnya, orang-orang itu mendeklarasikan siapa musuh islam — setan-setan komunis.
13 Oktober 1965. Maka dimulailah pembantaian besar itu..

Misbach Thamrin

Entah berapa yang tiba-tiba menjadi halal darahnya. Ada yang mencatat, pada hari keempat setelah upacara besar itu, tertangkap setidaknya 40 ribu kader komunis. 
Dan lagi, pembantaian orang-orang komunis di Kediri termasuk yang paling mengerikan. Banyak hasil bantaian itu dibuang ke sungai Brantas dari belakang masjid agung. Mayat-mayat tak berkepala enggan tenggelam, bahkan sampai hanyut ke Surabaya. Saat-saat itulah Kediri benar-benar merah.

Masih terhitung satu kecamatan dengan rumah ini, di kawasan pelacuran, satu kilometer sebelah utara Pabrik Gula Ngadirejo, yang terjadi begitu mengerikan: di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis — seperti gantungan pisang-pisang yang dijual. Cerita di Pare pun tak kalah mengerikan. Seorang suami dipenggal kepalanya dan istrinya yang sedang hamil dibelah perutnya dan dicincang janinnya. Tak terbayang menjadi perempuan komunis dan dituduh komunis saat itu.

Diminta membuka jarit, memperlihatkan pahanya bagian dalam, apakah ada lambang palu arit atau tidak. Jika ada, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa lalu mati. 
Jika tak ada, disiksa, dipaksa mengaku, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa, lalu mati. 
Tentu juga tak pernah ada yang berlambang palu arit pahanya!
Kekejian itu, direncanakan dan dilakukan oleh orang-orang beriman dan beragama. Bahkan oleh mereka yang tinggi ilmu agamanya.
“Komunis itu orang-orang macam apa sebenarnya. Mereka pakai pakaian dan ikat kepala hitam-hitam. Mencari-cari orang. Oleh Kung-mu aku disuruh diam di rumah,” kata Mak’e.
“Siapa yang dicari?” tanyaku.
“Ya banyak. Yang dicari terus dibawa. Hilang. Kalau tidak dibunuh. Dibawa ke Srayut. Pak Puh-mu biasanya melihat,” jawabnya
Lalu ia menyebutkan nama-nama. Anaknya ini. Anaknya itu. Suaminya ini. Suaminya itu. Banyak sekali. Mak’e menyebut seperti baru terjadi kemarin. Dan nama-nama itu tak bisa kuingat semua. Akan tetapi, ia bercerita bahwa PKI dengan seragam hitam-hitam dan ikat kepala itulah yang memburu orang-orang, menculik mereka, atau menumpas mereka di sumber air yang bernama Srayut.

Ada juga yang kabur lalu dibunuh di sawah. Ia juga ceritakan orang-orang yang sembunyi di rumahku. Minta tolong kepada Mbah Kung untuk disembunyikan, dan dari nama-nama orang yang meminta tolong itu memang ada yang selamat. Salah satu orangnya baru saja meninggal karena sakit tahun kemarin. Aku ikut ke pemakamannya.

Mak’e kemudian mengambil wudlu. Aku masih diam di kursi itu. Apa jadinya jika dulu ia ikut menembang genjer?

Rabu, 03 Agustus 2016

Buku Foto Pemenang Kehidupan dan Upaya Menyingkap Isu 65/66


3/8/2016

Dok. Yuliana Paramayana
“Buku ini prosesnya saya bikin selama tujuh tahun. Saya menyambi, dulu pernah bekerja kantoran jadi fotografer di Kompas-Gramedia. Jadi setelah saya resign, saya lanjutkan. Awalnya saya membaca buku Fransisca Ria Susanti yang berjudul Kembang-Kembang Genjer. Saya bertemu dengan penulisnya dan kemudian bertanya. Kebetulan saya punya kawan dari salah satu ibu yang ada di sini yakni Ibu Pudjiati, Dialah yang membawa saya ke panti.”  
Berangkat dari kegelisahan Adrian bahwa terkadang isu 65/66 hanya diketahui oleh orang-orang tertentu, maka ia dan beberapa kawan mencoba mencari cara menerbitkan sebuah buku yang dapat menarik perhatian generasi muda. Adrian Mulya telah membaca banyak buku, di antaranya novel Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Leila S. Chudori.
“Setelah saya mengobrol dengan satu kelompok diskusi buku di salah satu fakultas di kampus UI, saya tanya kok dia punya satu kelompok diskusi yang khusus ngomongin isu 65/66, kamu awalnya tertariknya isu ini dari mana?“ terang Adrian Mulya dalam diskusi buku foto Pemenang Kehidupan karyanya sendiri pada Kamis (28/7) di Komunitas Sinemain, Badran Solo.  
Dari membaca novel tersebut membuatnya berpikir bagaimana mengemas isu yang berat seperti isu 65/66 agar lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh generasi yang tadinya awam. Sebagai seorang fotografer Adrian memiliki potret beberapa simbah penyintas.
“Lalu saya membuat konsep, ini lho ada potret seperti ini, paling nggak mereka tahu dan mulai tertarik. Pancingannya sudah kita berikan,” Adrian mengemukakan beberapa alasan dan motivasinya
Acara diskusi yang berlangsung selama 2 jam ini dipandu oleh Isyfi Afiani sebagai moderator dan menghadirkan Elizabeth Yulianti Raharjo, aktivis perempuan dari Jejer Wadon sebagai pembicara. Dalam diskusi buku foto tersebut Elizabeth mengemukakan bahwa beberapa program gerwani di masa lalu adalah di bidang pendidikan dengan memberantas buta huruf, mendirikan taman kanak-kanak, advokasi undang-undang perkawinan (asas monogami). Program-program tersebut sangat menyentuh problem mendasar para perempuan.

Mereka ketika dipenjara mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis serta seksual. Kekerasan seksual yang dialami oleh penyintas perempuan 65/66 adalah sesuatu yang khas dialami oleh penyintas laki-laki 65/66.
“Dan sampai saat ini pun kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi persoalan serius dan negara tidak punya konsep yang jelas dalam hal pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi. Saat ini beberapa teman jaringan melakukan advokasi pengesahan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual,” tutur Elizabeth
Mbah Pono, penyintas 65/66 yang hadir dalam diskusi mengatakan bahwa penyelesaian secara politik sulit. Tetapi bukan berarti perjuangan sudah selesai. Ibarat berperang dan melawan musuh, kemampuan kita sejauh mana untuk membela kemanusiaan. 
“Untuk itu saya sebenarnya ingin bertanya kepada generasi muda tentang peristiwa 65, apa yang sebenarnya terjadi. Kita tahu kalau berbicara peristiwa 65 maka PKI, Gerwani, pokoknya yang jahat-jahat itu ditempelkan kepada kita semua,” ujar mbah Pono.  
Kepada JP, Adrian Mulya menyampaikan harapan buku foto Pemenang Kehidupan  lebih dikenal masyarakat. Dia melihat ada kesenjangan di antara orang-orang yang paham isu 65/66 dan generasi yang lebih muda atau kini biasa disebut generasi milenia. 
“Makanya kenapa buku itu saya buat ringkas. Foto dan orangnya jelas, saya foto dengan baik, tulisannya juga pendek, nggak banyak bertele-tele dan nggak terlalu panjang, serta fokus kepada saat-saat terbaik para Mbah,” pungkas Adrian Mulya dalam diskusi yang dijaga ketat intel kepolisian Surakarta. (Astuti Parengkuh) 

Jumat, 13 September 2013

Mati Sunyi Pencipta Genjer-genjer


Friday, September 13, 2013


Dibungkus kresek putih, tiga buku tulis lusuh itu menguarkan bau debu menyengat. Warna kertasnya mulai memudar kecoklatan. Namun tulisan tangan di dalamnya masih terbaca jelas. Berisi ratusan lirik lagu dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah Using, lengkap dengan notasinya.

Di lembar kesebelas, judul lagu Gendjer-gendjer tertulis dalam warna merah. Di sebelah kanannya tergambar palu-arit, lambang yang dipakai Partai Komunis Indonesia saat itu. Gendjer-gendjer ditulis Muhammad Arief dalam bahasa daerah Using, Banyuwangi. Berisi tiga bait, masing-masing terdiri dari empat baris. "Lagu ini ditulis saat penjajahan Jepang tahun 1943," kata Sinar Syamsi, 60 tahun, anak Muhammad Arief, Rabu 11 September 2013.

Lagu Gendjer-gendjer cukup populer semasa Orde Lama. Terlebih setelah dinyanyikan Lilis Suryani dan Bing Slamet kemudian sering diputar di radio. Menurut Sinar Syamsi, lagu ini bercerita tentang penderitaan rakyat Banyuwangi akibat kekejaman Jepang. Meluasnya kelaparan, membuat penduduk Banyuwangi terpaksa memakan gendjer, gulma di sawah yang sebenarnya adalah makanan itik.

Muhammad Arief adalah seorang petani di Banyuwangi. Dia juga seniman angklung yang pandai mencipta lagu. Setelah Indonesia merdeka, Arief bergabung dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), organisasi yang didirikan Amir Sjarifuddin yang kemudian menjadi Pemuda Rakyat. Tahun 1950an, dia masuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), dan menjabat Ketua Bidang Kesenian. Setelah Pemilu pertama tahun 1955, Arief diangkat sebagai anggota DPRD setempat sebagai wakil seniman. 

Sinar Syamsi, mengatakan, setelah bergabung dengan Lekra ayahnya mendirikan grup angklung bernama Srimuda, kependekan dari Seni Rakyat Indonesia Muda. Anggotanya 30 orang, mulai pemain angklung, sinden dan penari. Srimuda berlatih setiap hari di rumah M. Arief yang saat itu berada di Jalan Kyai Saleh No 47, Kelurahan Temenggungan. "Kalau latihan mulai sore sampai malam," kata Syamsi di rumahnya Jalan Basuki Rahmat.

Angklung Srimuda ini cukup terkenal. Mereka sering menggelar pertunjukan seni dan mengisi acara-acara politik PKI. Bahkan Srimuda sering diundang ke Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Setiap kali tampil, kata Syamsi, Gendjer-gendjer menjadi lagu wajib karena menyuarakan penderitaan rakyat. Itulah akhirnya gendjer-gendjer menjadi populer di Nusantara. Dibawah label Irama Record, Lilis Suryani dan Bing Slamet merekam lagu ini pada 1965 dalam bentuk album kompilasi Mari Bersuka Ria. "Saat rekaman itu, saya, ibu dan bapak diajak ke Jakarta," kata ayah tiga anak ini mengenang.

Tak hanya menulis lagu berbahasa Using, M. Arief banyak menciptakan sejumlah mars paduan suara. Seperti Ganefo, Lekra, Aksi Tani dan Harian Rakjat. Lirik mars ini juga tertulis dalam tiga buku yang disimpan Syamsi. Mars akhirnya dipakai secara nasional dan beberapa di antaranya juga direkam. 

Andang Chatib Yusuf, 79 tahun, bekas Ketua Bidang Sastra Lekra, menyebut M. Arief sebagai pembaru musik tradisional Banyuwangi. Sebelum hadirnya karya M. Arief, kata Andang, lagu Banyuwangi masih bernuansa klasik yang berasal dari gending-gending tarian Gandrung sejak awal abad ke-19. 

Pada tahun 1940an, M. Arief banyak menciptakan lagu-lagu kritik sosial dan memadukannya dengan alat musik bambu, angklung. Selain Gendjer-gendjer, dua lagu lain karya M. Arief yang terkenal adalah Nandur Jagung dan Lerkung. "Ini juga ditulis saat pendudukan Jepang," kata ayah lima anak ini.

Setelah mendirikan Srimuda, M. Arief membentuk kelompok kesenian angklung hampir di seluruh desa. Saat itu antusiasme penduduk sangat tinggi, karena sejatinya darah kesenian masyarakat Banyuwangi sangat kuat. Setiap ada tokoh PKI datang seperti Njoto dan D.N Aidit, kata Andang, angklung Srimuda selalu tampil menjadi penarik massa. 

Oleh karena itu, Andang tak menampik akhirnya kesenian angklung menjadi semacam alat propaganda dan menjadi kunci keberhasilan PKI di Banyuwangi. Meskipun, kesenian lain seperti teater dan sastra saat itu juga berkembang pesat. "Tapi tak sefenomenal angklung," kata Andang.

Kesenian ini tiarap seiring dengan pelarangan PKI. Banyak senimannya dibunuh, termasuk penggagasnya, M. Arief. Syamsi ingat, saat itu hari mulai beranjak siang, saat tiba-tiba segerombolan massa menuju rumahnya. Syamsi yang saat itu berusia 11 tahun, bersama M. Arief dan ibunya, Suyekti, sempat melarikan diri. Dua jam kemudian setelah kondisi mereda, mereka pulang dan mendapati rumahnya sudah hancur. Hanya tersisa ratusan buku dan naskah lagu-lagu yang tertindih puing-puing.

Namun M. Arief menyadari kondisi masih cukup membahayakan. Dia lantas berpesan kepada istrinya: "Mungkin saya tak lama." Setelah pamit, M. Arief keluar rumah lagi. Bersama ibunya, Syamsi mengumpulkan buku-buku koleksi ayahnya. Demi menyelamatkan diri dan ibunya, semua buku-buku bacaan beraliran kiri dibakar. Hanya buku tulis berisi lagu-lagu yang diselamatkan Syamsi hingga sekarang. 

Keesokan harinya, Syamsi mendengar jika M. Arief ditangkap tentara dan ditahan di markas CPM. Bersama Suyekti dia sempat menjenguk M. Arief. Itulah pertemuan terakhir Syamsi dengan ayahnya.

"Saat itu bapak pesan supaya saya rajin belajar." Berikutnya, Syamsi mendengar kalau M. Arief ditahan di Kalibaru yang berbatasan antara Banyuwangi dan Jember. Berbekal satu rantang makanan, Syamsi berniat menjenguk M. Arief ke Kalibaru menggunakan kereta api. Dia diminta menemui seorang China, bernama Swan. Dari Swan inilah, Syamsi tahu M. Arief sudah dipindah ke Malang dan takkan kembali lagi ke Banyuwangi. "Saya langsung menangis histeris," 

M. Arief memang sempat ditahan di Lowokwaru, Malang. Dia satu sel dengan Andang Chatib Yusuf, sejawatnya di Lekra Banyuwangi. Menurut Andang, M. Arief tak banyak mengobrol. Dia terlihat sering termenung dengan mata kosong. Pernah dia bercerita kepadanya, kalau dia memikirkan nasib anggota grup angklungnya yang tersebar di desa-desa. 

Dua bulan mendekam di Lowokwaru, nama M. Arief masuk dalam daftar yang akan dibawa. Andang mengingat betul masa-masa perpisahan itu. M. Arief yang berusia sekitar 60 tahun, mendekati beberapa orang termasuk Andang, lalu berkata:
 "Saya tak ada harapan lagi. Mati mungkin hanya saya rasakan 5 atau 10 detik. Selanjutnya saya serahkan pada kalian." Semua di sel itu terdiam. M. Arief kemudian keluar dan tak pernah kembali lagi.

Nasib yang menimpa M. Arief terjadi pula pada karya-karyanya. Lagu Gendjer-gendjer, dilarang selama era Orde Baru. Meski begitu, Pemerintah Banyuwangi akhirnya menggunakan kesenian untuk mencari simpati penduduk pasca peristiwa 1965. Menurut Andang, mulai tahun 1970an, Pemerintah Banyuwangi memfasilitasi rekaman lagu-lagu daerah dan menghidupkan angklung, dengan catatan lagu yang dimainkan tidak mengkritik pemerintah.