HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Tampilkan postingan dengan label Seni Rupa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Rupa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Februari 2020

Tugu-Tugu Palu Arit di Indonesia


Oleh Andri Setiawan


Tugu-tugu palu arit pernah menjulang di beberapa daerah di Indonesia. Simbol kekuatan PKI pada masanya.

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Repro Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Sebuah tugu di Madiun tengah menjadi sorotan. Tugu yang berada di interchange menuju gerbang tol Madiun itu disebut mirip simbol palu arit. Isu ini viral setelah Roy Suryo melalui akun twitter-nya mengunggah kicauan mengenai tugu ini.
“Tweeps, Patung yg terletak di pinggir Jalan Tol Madiun ini lagi kontroversi, banyak pihak yg menginginkan Patung ini dibongkar karena mengingatkan Trauma masa lalu di daerah tersebut sekitar tahun 1948 silam. Bagaimana pendapat anda? Benarkah Patung ini mirip2 simbol2 tertentu?” tulis Roy Suryo disertai foto tugu tersebut.
Unggahan tersebut kemudian ditanggapi oleh politikus Partai Gerindra Fadli Zon. “Kesan ‘Palu Arit’ tak bisa dinafikan. Apakah ada kesengajaan?” cuitnya.
PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri (JNK), sebagai pengelola tol, menyebut bahwa bentuk tugu tersebut dibuat berdasarkan logo JNK.
“Dilihat dari sisi sudut tertentu, tugu ikonik membentuk huruf J, N, K. Tugu menjulang vertikal dari arah barat ke timur membentuk huruf J,” sebut Dwi Winarsa, Direktur Utama PT JNK, dikutip kompas.com.
Kemudian, jelas Dwi, lengkung yang melingkar akan membentuk huruf N jika dilihat dari atas. Dan dari Simpang Susun Madiun ke arah timur akan membentuk huruf K.

Sementara itu, mengutip detik.com, Kepala Bakesbangpol Kabupaten Madiun Sigit Budiarto menyebut selama ini warga Madiun tidak pernah menyoroti tugu tersebut.
“Saya tiap hari lewat tugu itu ya biasa saja,” ungkapnya.
Namun, sekelompok orang bersama Center of Indonesia Community Studies (CICS) mendesak agar tugu tersebut dibongkar.

Saat Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaya pada paruh pertama dekade 1960-an, pernah berdiri tugu-tugu palu arit yang berukuran besar.
Namun, pasca peristiwa 1965, tugu-tugu ini dihancurkan bersamaan dengan pelarangan segala hal yang berhubungan dengan PKI.

Surat kabar Harian Rakjat, memuat beberapa foto tugu yang tampaknya dibangun dalam rangka menyambut ulang tahun ke-45 PKI pada 23 Mei 1965. Berikut ini beberapa tugu yang termuat di Harian Rakjat periode Mei-Juni 1965.

Tugu Palu Arit di Cililitan

Tugu palu arit di Cililitan, Jakarta. (Harian Rakjat, 27 Mei 1965).

Harian Rakjat menulis, “Begitu kita memasuki Kota Djakarta dari arah selatan, kita akan disambut oleh tugu raksasa yang menjulang tinggi yang di puncaknya palu arit besar berdiri teguh. Bandingkan orang yang berdiri di bawah dengan tinggi tugu itu. Tugu ini terdapat di perapatan jalan Cililitan.”

Penyair Taufik Ismail menyebut keberadaan tugu itu dalam Himpunan Tulisan 1960-2008.
“Di Cililitan, yang sempat saya saksikan, PKI mendirikan sebuah tugu berwarna putih, di atasnya lambang palu arit berwarna emas kemilau ditimpa sinar matahari,” tulisnya.

Tugu Palu Arit di Palembang

Tugu palu arit di Palembang. (Harian Rakjat, 9 Juni 1965).

Di Palembang, PKI membangun dua tugu besar. Tugu pertama berbentuk palu dan arit terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Sumatera Selatan.

Sedangkan tugu kedua berada di depan Masjid Agung Palembang. Tugu ini tidak menonjolkan palu arit sebagai obyek utama, melainkan seorang laki-laki tengah memutar stir. Di belakang tampak Jembatan Ampera.

Tugu Banting Stir di Palembang. (Repro Harian Rakjat, 8 Juni 1965).

Tugu Palu Arit di Surabaya

Tugu palu arit di Surabaya. (Harian Rakjat 10 Juni 1965).

​Tugu palu arit di Surabaya ini sekaligus menjadi podium rapat umum ulang tahun ke-45 PKI di Surabaya. Dalam foto ini disebutkan bahwa Wakil Ketua II CC PKI Njoto tengah berpidato dalam rapat umum tersebut.

Tugu Palu Arit di Losari

Tugu palu arit di Losari. (Harian Rakjat, 5 Juni 1965).

Tugu ini berada di Losari, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Disebutkan bahwa tugu ini juga menjadi jalur estafet panji-panji PKI dari Denpasar.

Tugu Palu Arit di Medan

Tugu palu arit di Medan. (Repro Harian Rakjat 23 Juni 1965).

Tugu palu arit ini disebut berada di Medan. Harian Rakjat menulis, “15.000 massa dengan penuh perhatian mendengarkan pidato Ketua Delegasi PB Vietnam Le Duc Tho dan Sudisman anggota Politbiro/Kepala Sekretariat CC PKI dalam rapat raksasa ultah ke-45 PKI di alun-alun Merdeka Medan tgl 30/5.”

Jumat, 10 Agustus 2018

100 Tahun Hendra Gunawan : Satu Kisah dari Kebon Waru


Oleh: Dika Irawan & Diena Lestari 10 Agustus 2018 | 02:00 WIB



Indonesia beruntung memiliki maestro seni lukis seperti Hendra Gunawan. Semasa hidupnya, dia berjuang menyuarakan suara rakyat lewat lukisan-lukisannya. Kepeduliannya terhadap bidang kesenian, tak dapat diragukan.

Namun, dunia seni rupa Indonesia juga mujur memiliki sosok kolektor seperti Dr (HC) Ir. Ciputra. Pengusaha sukses di bidang properti ini tidak sekadar pengumpul lukisan-lukisan Hendra, tetapi juga menjaga hasil karya sahabatnya dengan sepenuh hati.

Janji seorang Ciputra untuk membuatkan museum yang menyimpan karya dan mengenalkan sosok Hendra Gunawan kepada generasi muda pun terwujud. Pada Agustus ini, Begawan Properti bahkan menggelar peringatan 100 Tahun Hendra Gunawan.

Ajang yang berlangsung hingga 12 Agustus di Ciputra Artpreneur Jakarta ini, memamerkan lukisan karya sang maestro yang belum pernah diperlihatkan kepada para pencinta seni. Pameran ini mengangkat tajuk Prisoner of Hope dan dikuratori oleh Agus Dermawan T. dan Aminudin TH Siregar.

Karya yang dipamerkan di Prisoner of Hope sangat kental dengan nilai kemanusiaan melalui teladan Hendra Gunawan sebagai pelukis. Pascapemberontakan G30S/PKI, Hendra harus mendekam di balik jeruji besi.

Stigma sebagai seniman komunis dan hidup menderita sebagai tahanan politik tidak lantas membuatnya berkecil hati. Semangatnya untuk berkarya tetap hidup. Hendra melampaui penderitaan dirinya itu sebagai risiko atas komitmennya membela kemanusiaan.

Salah satu kurator sekaligus kritikus seni Agus Dermawan T. tidak sepakat jika Hendra Gunawan dituduh sebagai komunis. Justru Hendra adalah filosof dan pejuang yang kerap melukiskan kondisi rakyat kecil karena empati dan keinginan untuk dekat dengan rakyat.

Kebetulan dia melihat visi tentang kerakyatan diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya Hendra pun bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi underbow PKI.
“Hampir semua seniman masuk [Lekra] pada saat itu. Jadi melihat kesamaan visi saja, sehingga mereka sepakat masuk [menjadi anggota], tetapi bukan berarti menjadi komunis,” jelasnya.
Penulis buku berjudul Surga Kemelut Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi ini mengatakan bahwa Hendra bukan partisan politik. 
Ketertarikannya terhadap kerakyatan yang membuatnya menjadikan rakyat sebagai objek lukisan. “Reputasi seni, ketajaman pikiran dan luasnya pergaulan Hendra pada suatu era menjadi idaman para pengelola organisasi politik. Hendra pun serta merta dilibatkan dan melibatkan diri dalam politik,” katanya.

Senada, Ciputra mengatakan bahwa tuduhan yang dilekatkan bahwa Hendra Gunawan adalah komunis tidak tepat. Dia menilai, Hendra justru berjuang melawan penindasan melalui karya lukisnya.
“Dia adalah pelukis rakyat. Hampir semua karya-karyanya menggambarkan manusia Indonesia kelas bawah. Tak ada gedung-gedung tinggi menjulang, dan manusia modern Indonesia dalam karyanya.”
Pada pameran yang diselenggarakan oleh Ciputra Artpreneur ini terlihat lukisan karya Hendra dari era post-revolusi dan post-politik. Ciri-ciri dari muatan lukisan periode ini adalah menonjolnya aspek human-interest, yang dalam tema menghadirkan hubungan harmoni antarmanusia.

Para pencinta seni dapat menikmati karya a.l. berjudul Tukang Duren, Penari Ular, Menangkap Kupu-kupu, Menyusui, dan Wanita Mencuci di Tepi Kali.

Sebagian besar lukisan post-revolusi dan post-politik yang diciptakan dalam penjara diberi tanda KW, singkatan dari Kebon Waru.

Jatuh Cinta

Tercatat sebagai kolektor terbesar lukisan dari Hendra Gunawan, dapat dikatakan bahwa sosok Ciputra jatuh cinta pada pandangan pertama dari karya seniman kelahiran 11 Juni 1918 tersebut.
“Saya akui [kehebatan] seniman-seniman lain [Basoeki Abdullah, Affandi, dan S. Sudjojono], tetapi yang paling saya kagumi adalah Hendra Gunawan. Karyanya sungguh luar biasa. Mulai dari warna, kompsisi, dan figur yang dilukisnya,” tuturnya.
Dalam pandangan Ciputra, warna-warna yang menjadi pilihan Hendra saat melukis sangat menari. Keterampilan Hendra menarikan jemari di atas kanvas tidak luput dari perhatian Ciputra.
“Hendra itu langsung melukis tanpa foto atau objek di depan mata. Semua konsep ada dalam pikirannya, dan langsung dituangkan pada kanvas. Dia tidak pernah mengulang atau mengoreksi karya. Dia sangat pasti dalam melukis. Pilihan warnanya juga luar biasa,” ujarnya.
Saat ini, lebih dari 100 lukisan karya Hendra Gunawan yang dimiliki oleh Ciputra. Di antara koleksinya tersebut, Ciputra sangat mengagumi karya Hendra yang bertajuk Pangeran Diponegoro Terluka (cat minyak pada kanvas, 204 x 495 cm, 1982).

Lukisan ini menyimpan misteri karena Hendra tidak menyelesaikan gambar wajah Pangeran Diponegoro. Hendra sendiri tidak menjelaskan kenapa tidak melanjutkan gambar itu. Hingga pelukis itu meninggal belum diketahui alasan tak merampungkan karyanya itu.
“Masih misterius,” tuturnya.
Melalui pameran Prisoner of Hope, Ciputra berharap para pencinta seni dapat mengapresiasi karya salah satu maestro seni lukis Indonesia. Menurutnya, Hendra adalah pelukis langka dan memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh seniman lainnya. Di belahan dunia lain, tak ada seniman yang menyamai pencapaiannya.

Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata menambahkan, dalam peringatan 100 tahun Hendra Gunawan juga digelar workshop tentang terapi lewat seni. Menurutnya, publik belum banyak mengetahui bahwa terapi melalui seni sangat bermanfaat.

Rina menjelaskan, workshop ini dipilih karena sejalan dengan gagasan Hendra.
“Sewaktu di penjara, Hendra tetap aktif memberikan pengajaran tentang tarian, senandung, dan nyanyian. Jadi kami melihat ada hal positif yang Hendra tularkan melalui hal tersebut.”
Editor: Diena Lestari
Sumber: http://surabaya.bisnis.com/read/20180810/466/826296/100-tahun-hendra-gunawan-satu-kisah-dari-kebon-waru

Senin, 25 September 2017

Begini Pengakuan Tan Po Goan, Sosok Pengacara Anti-PKI yang Pernah Membela Aidit dan Lukman di Pengadilan


Moh Habib Asyhad - Senin, 25 September 2017 | 13:40 WIB

Potongan wajah Dipa Nusantara Aidit, atau D.N. Aidit, yang dikenal sebagai Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI) dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta sebagai satu karya seni.

Intisari-Online.com - Sekitar 15 tahun sebelum geger 65, Aidit dan Lukman, dua pentolan PKI, pernah berurusan dengan pengadilan.

Bukan karena makar, bukan pula karena berpihak kepada Belanda. Mereka disidang gara-gara jadi penumpang gelap di sebuah kapal jurusan Tanjung Priok – Hong Kong

Bagaimana bisa Aidit dan Lukman terdampar di kapal ini, dan dan vonis apa yang akhirnya mereka dapatkan, mantan pengacara mereka pernah menuliskannya untuk Intisari edisi Desember 1977.

Tentu saja bukan sesudah 30 September 1965, tapi permulaan tahun 1950, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda.

Waktu itu, Ibu Moedigdio, mertua Aidit, datang pada saya untuk memberitahu bahwa menantunya dan Loekman ditahan di Tanjung Priok dan akan diadili keesokan harinya oleh Pengadilan Negeri Priok. Kejahatannya?
Menjadi penumpang tanpa karcis pada sebuah kapal K.P.M. yang sedang dalam pelayaran dari  Tanjung Priok ke Hongkong.

Perbuatan ini memang dapat dihukum menurut pasal 472 bis K.U.H.P. dengan hukuman maksimal 3 bulan penjara.

Mengapa orang pertama dan kedua dari Partai Komunis Indonesia ini bisa menjadi penumpang gelap pada kapal K.P.M. yang sedang menuju ke Hongkong?

Jawabannya ialah karena mereka berhasil menyelinap ke luar negeri ketika Belanda melaksanakan aksi militer kedua terhadap R.I.

Kemana mereka pergi? Sampai sekarang saya tidak tahu, entah ke Peking entah ke Moskow mungkin untuk "training" lebih lanjut.

Tapi pennulaan tahun 1950, ketika akan pulang ke Indonesia, mereka tersangkut di Singapura, tanpa uang dan tanpa paspor.

Mereka orang-orang cerdik. Mereka naik saja ke kapal K.P.M. yang singgah di Singapura dalam perjalanan antara Tanjung Priok — Hongkong.

Memang di Singapura semua orang boleh naik ke kapal yang berlabuh di sana. Keduanya bersembunyi dan baru keluar sesudah kapal berlayar lagi di laut lepas.

Mereka berbohong, menyatakan naik di Tanjung Priok untuk pergi ke Hongkong kemudian akan ke RRC dengan maksud menjenguk keluarga di sana.

Mereka berdua mengaku "she Tan", artinya nama keluarga mereka "Tan". Selain itu mereka juga mengakui bahwa mereka tidak bisa bahasa Cina.

Kapten kapal menyatakan bahwa menyesal ia tidak bisa mengabulkan permintaan kedua orang "she Tan" ini. Mereka harus dibawa kembali ke Tanjung Priok untuk diserahkan kepada polisi.

Selama perjalanan ke Hongkong dan dari Hongkong ke Tanjung Priok, mereka diharuskan bekerja di kapal dengan diberi sekadar uang belanja.
Selama kapal berlabuh 5 hari di Hongkong, mereka boleh ikut berjalan-jalan di darat, tapi selalu dikawal oleh jurumudi atau petugas kapal yang lain.  Jadi sebetulnya enak juga!

Setibanya di Tanjung Priok mereka diserahkan kepada polisi pelabuhan untuk ditahan dan disidangkan secara summier keesokan harinya.

Mereka berhasil memberi kabar kepada Ibu Moedigdio yang segera datang minta pertolongan kepada saya.

Keesokan harinya, Ibu Moedigdio dan saya datang ke Pengadilan Negeri Tanjung Priok. Saya beritahu panitera bahwa saya akan menjadi pembela Aidit dan Loekman.

Hakimnya adalah Asan Nasution (kini almarhum) yang kemudian menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta yang terkenal tegas sekali.

Kemudian saya bersahabat karib dengannya dan saya pernah bermalam 5 hari di rumahnya ketika Pak Nasution ini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang.

Tapi hari itu di Tanjung Priok saya baru pertama kali bertemu dengannya.
 "Mau apa Mr. Tan ini?" tanyanya. "Ini 'kan perkara summer dan kedua terdakwa sudah mengaku. Bagaimana akan dibela?"
Saya tertawa. "Saudara hakim," kata saya, "perkara ini kelihatannya tidak dapat dibela, tapi saya ingin menunjukkan bahwa kedua terdakwa terpaksa berbohong karena  mereka bukan naik kapal di Tanjung Priok, melainkan di Singapura. Mereka ingin pulang ke Indonesia, tapi tidak punya uang, tidak punya paspor. Maka itu mereka mengaku naik di Priok supaya dikembalikan ke Priok. Saudara hakim, saya dalam keadaan yang sama akan melakukan hal yang sama pula. Malah saya berani berkata bahwa saudara hakim sendiri akan berbuat demikian. Kalau saudara hakim mengakui bahwa saudara hakim akan berbuat begitu juga, maka saudara hakim sudah mengakui bahwa keadaan mereka sudah merupakan "rechtvaardigingsgrond" (alasan yang membenarkan) untuk perbuatan mereka dan mereka harus dibebaskan.  Selain itu saya juga ingin mengemukakan bahwa Aidit dan Loekman ini bukan penumpang gelap biasa, sebab mereka orang pertama dan orang kedua dari P.K.I."
Mendengar keterangan saya yang terakhir ini Pak Asan Nasution berkata:
 "Nanti dulu! Tepatkah persoalan ini dilihat dari sudut juridis saja? Apakah sebaiknya diajukan pula pertimbangan politis? Perkara ini saya undurkan dua minggu dan saya akan mintakan pandangan PAM (Polisi Aliran Masyarakat)".
Demikianlah perkara ini diserahkan kepada P.A.M. Aidit dan Loekman diambil sidik jarinya walaupun Ibu Moedigdio protes keras.

Pembelaan perkara ini diambil alih oleh saudara Luat Siregar S.H., yaitu anggota parlemen, Fraksi P.K.I, bekas pengacara di Medan.
Saya tentu saja tidak keberatan, sebab buat perkara ini sudah tentu saya tidak akan berani minta honorarium.

Akhirnya saya dengar bahwa hakim Asan Nasution menjatuhkan hukuman 2 minggu penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Saya anggap hukuman ini kurang patut. Maklumlah waktu itu hakim dan P.A.M. lebih anti P.K.I. dari saya yang ketika itu belum dimusuhi golongan komunis!

(Ditulis oleh Tan Po Goan S.H. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1977)

Sabtu, 22 Oktober 2016

Menegaskan ‘Seni Untuk Rakyat’


22 OKTOBER 2016 | 13:25


Tak banyak yang tahu mengenai buku penting ini. Padahal, buku ini berusaha memberi jawaban atas salah satu polemik tua dalam sejarah umat manusia: hubungan seni dan politik. Perdebatan soal ini telah membelah para seniman dan pendukungnya dalam dua kubu besar: ‘Seni untuk Seni’ versus “Seni untuk Rakyat”.

Adalah Basuki Resobowo (BR), seorang pelukis besar Indonesia, yang berusaha menjawab perdebatan itu dalam bukunya, “Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat”. Diterbitkan oleh penerbit Ombak, pada tahun 2005, buku itu kurang tersebar luas dan diketahui banyak orang.

Memang sejak BR berusaha memenuhi niatnya menulis. Akan tetapi, beberapa kali niatan itu kandas di tengah jalan. Namun, tiba-tiba sebuah kejadian memaksanya harus menulis dan menjelaskan posisi. 
Adalah pernyataan Sudjojono, bekas kawan seperjuangannya, yang membuat BR sangat ‘terprovokasi” menulis. Sudjojono bilang, “melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan.”

Judul buku: Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni dan Masyarakat 
Penulis: Basuki Resobowo 
Penerbit: Ombak 
Cetakan: April 2005 Tebal: xxii + 139 halaman 
ISBN: 979-3472-18-9

Bagi BR, kata-kata Sudjojono itu ibarat “petir di siang hari”. 
 “Setelah membaca kata-kata Sudjojono saya menjadi kaget. Ia pisahkan seni dari politik atau seni dari revolusi,” kata BR (hal. 11).
BR berusaha mengingat-ingat masa lalu, tepatnya tahun 1938, ketika Sudjojono dan sejumlah pelukis progressif mendirikan organisasi bernama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Saat itu, dalam kenangan BR, Sudjojono termasuk pencetus seni-rupa modern.

Menurut Sudjojono, sebagai seorang seniman—sekaligus sebagai manusia Indonesia—karya seni haruslah bercorak Indonesia. Agar bisa bercorak Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari kehidupan rakyat. Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme!
Pemikiran Sudjojono tertancap kuat pada BR. BR masih mengingat pesan Sudjojono pada dirinya: 
 “Bas, memang benar apa yang mereka (baca: pelarian Indonesia di Singapura) bilang. Apalagi kita sebagai seniman jangan sampai absen dan tidak ikut mengalami situasi politik yang penting dari sejarah bangsa Indonesia. Lingkungan dan masa memainkan peranan dalam terjadinya suatu karya seni, sekalipun bukan sebagai komponen yang menentukan.” (Hal. 16).
BR adalah seorang marxis-tulen. Tak heran, cara pandangnya tentang seni pun sangat dipengaruhi marxisme. Di sadar, cita-cita kesenian haruslah dianggap sebagai upaya membawa seni kepada paham estetika baru, yaitu melenyapkan selera borjuis yang dekaden dan menghidupkan seni yang mengisi dan memperkaya unsur kerohanian pada golongan lebih luas pada masyarakat, yaitu massa rakyat. Inilah aliran “Seni untuk Rakyat” (Hal. 22).

Gerakan “Seni untuk Rakyat” makin menguat tatkala Sudjojono bersama seniman-seniman progressif lainnya mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) pada tahun 1946. Organisasi ini, seperti diakui BR, adalah embrio dari organisasi kesenian terbesar di tahun 1960-an: Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).

Haluan “seni untuk Rakyat”, yang sudah menjiwai SIM, kemudian dikembangkan oleh Lekra menjadi gerakan “1-5-1”: politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kreativitas massa, realisme sosial dan romantik revolusioner, dan turun ke bawah (turba).

Lukisan Telanjang

Di buku kecil yang hanya 139 halaman ini, BR juga berusaha menulis secerca kisah perjalanan hidupnya. Lalu, Hersri Setiawan, aktivis Lekra yang memberi prakata di buku ini, berusaha meringkasnya lagi dalam artikel penutup berjudul “Sosok Basuki Resobowo”.

Ia bercerita tentang lukisannya yang bergambar “wanita telanjang”. Basuki menuturkan, pada saat pameran lukisan pelukis SIM di Madiun, tahun 1947, lukisan tersebut diikutsertakan. Baru dua hari dipamerkan, lukisan itu sudah hilang. Rupanya, ada kelompok yang tak senang dengan lukisan itu. Dianggap merusak akhlak!

Chairil Anwar, yang sempat melihat lukisan itu, mengaku terkesima. Penyair terkemuka Indonesia sampai berdiri 10 menit di depan lukisan itu. Bahkan ia menyempatkan waktu untuk membuat puisi tentang lukisan itu: Surga. “Hebat kau, Bas, semua yang kau ceritakan ada di lukisan itu,” kata Chairil kepada BR.
Bagi BR, lukisan telanjang itu merupakan bentuk “pendobrakan” terhadap kebudayaan Indonesia yang dekaden. Namun, ia mengatakan, lukisan telanjangnya berbeda dengan lukisan telanjang-nya Affandi. 
 “Citranya bukan mendobrak budaya yang dekaden, melainkan media komunikasi high society di masyarakat eropa dan juga Indonesia,” kata Basuki (Hal. 52).
Tetap Teguh!

Dalam buku itu, BR juga seakan menegaskan sikap politiknya tak pernah luntur: seorang marxis. Kendati, ia menerima pahit-ketir akibat pilihan politiknya itu dan membuatnya menjadi “imigran politik” di Eropa.
Bahkan, ketika kawan seperjuangannya, Sudjojono, seakan berpindah-haluan, Basuki tetap memeluk erat keyakinan politiknya itu. Padahal, ia terkadang menyaksikan kisah pahit para imigran politik di luar negeri: frustasi, pertikaian, hingga perpecahan.

Perjuangan memang tak mengenal kata akhir. Begitulah, pada tahun 1990-an, BR masih terlibat dalam aksi politik menentang eksekusi 6 tapol PKI (Ruslan Wijayasastra dkk) di Indonesia dan berbagai aksi mendukung perjuangan anti-kediktatoran orde baru di tanah-airnya.

Basuki dilahirkan di Baturaja, Palembang, Sumatera Selatan. Sebagai anak asuh seorang paman yang berpangkat Wedana-polisi, Basuki bisa mengenyam pendidikan di ELS (sekolah rendah anak-anak eropa). Pada tahun 1930-an, ia sempat ke jogja dan bersekolah di Taman Siswa.

Tahun 1930-an itu, ia mulai mengenal dan berkenalan dengan Sudjojono. Sejak itu pula Basuki bertransformasi menjadi pelukis revolusioner. Menjelang pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Basuki menggelar aksi mural untuk mengabarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 ke khalayak luas.

Ia terilhami oleh pelukis kiri Meksiko, Diego Rivera, yang membuat propaganda melalui mural di tembok-tembok. BR pun melakukannya pada trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya. Dengan demikian, sebelum proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, sebagian rakyat sudah tahu bahwa Indonesia sudah MERDEKA.

Rudi Hartono, pimred berdikarionline.com

Jumat, 21 Oktober 2016

Tentara Kedinginan dalam Sketsa Pulau Buru Seniman Lekra


Oleh : Tempo.co            
Jumat, 21 Oktober 2016 18:45 WIB

Gregorius Soeharsojo Goenito. (74), mantan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berpose di depan karya lukisnya yang ada dirumahnya di kawasan Trosobo, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (22/9). TEMPO/Aris Novia Hidayat

Yogyakarta-Gregorius Soeharsojo Goenito bersama puluhan tahanan politik berbaris. Mereka semua digambarkan kurus kering. Seorang tentara berdiri gagah membawa senjata menghadang para tahanan. Tentara itu terlihat kedinginan. Mereka sedang berada di Pulau Buru, dataran di Kepulauan Maluku yang 10 tahun lamanya dijadikan tempat menyekap tahanan politik yang dituding terlibat Gerakan 30 September 1965.

Situasi itulah yang digambarkan seniman Greg, panggilan akrab Gregorius, dalam bentuk sketsa. Dia seniman yang pernah berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Goresan hitam putih bertuliskan 'dia juga kedinginan' itu satu dari 20 sketsa ciptaan Greg yang dipamerkan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jumat, 21 Oktober 2016.

Greg banyak mengeksplorasi ekspresi yang mengungkapkan emosi penyintas atas peristiwa yang kelam. Sketsa banyak menggambarkan kengerian suasana Pulau Buru. "Kami harus apel setiap pagi dan sore selama 9 tahun. Sketsa itu catatan harian sebagai saksi sejarah," kata Greg.

Sketsa itu dipamerkan bersama diskusi buku Sketsa itu dipamerkan bersama diskusi buku berjudul Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa yang ditulis Greg.

Diskusi yang dihadiri para penyintas dari pembuangan Pulau Buru itu diselenggarakan Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia atau Pusdema pimpinan Sejarawan Baskara T. Wardaya.

Pusdema bekerja sama dengan sejumlah lembaga, di antaranya Ikatan Keluarga Orang Hilang, American Institute for Indonesian Studies, dan penerbit Insist Press. Selain Greg, diskusi itu menghadirkan Sejarawan Yosef Djakababa dan Budayawan Hairus Salim.

Sketsa dibuat Greg ketika menjalani masa tahanan politik pada 1966 hingga pembebasannya pada 1978. Selama di Pulau Buru, Gregorius bekerja menggarap ladang dan sawah. Secara sembunyi-sembunyi, Gregorius menciptakan sketsa dengan alat seadanya.

Sketsa Greg juga menggambarkan bagaimana para tahanan politik bertahan hidup dengan cara makan tikus. Dalam gambar Greg terdapat tikus yang dipegang tahanan politik.

"Saya makan cindhil (anak tikus) demi bertahan hidup," kata Greg.

Ada pula sketsa yang melukiskan dua tentara yang membawa senjata laras panjang mengapit Greg. Karya ini menggambarkan Greg yang ditangkap tentara. Greg masuk golongan B, dikategorikan sebagai orang yang terlibat tidak langsung peristiwa Gerakan 30 September.

Budayawan Hairus Salim yang menjadi pembahas sketsa dan buku karya Greg mengatakan yang menarik dari buku itu adalah menyajikan sketsa-sketsa yang halus, kuat, dan menangkap detail. Misalnya lanskap Pulau Buru yang digambar Greg.

"Kadang ada hubungan narasi, puisi yang saling terkait. Ada juga yang berdiri sendiri," kata Hairus Salim.

Hairus menunjukkan sketsa-sketsa ciptaan Greg kepada peserta diskusi. Ia juga membandingkan sketsa itu dengan sketsa Gumelar. Menurut Hairus, karya pelukis Greg melengkapi apa yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer, Hesri, dan Gumelar Demokrasno tentang apa yang terjadi di Pulau Buru. Sketsa itu menggambarkan cerita yang nyata.

SHINTA MAHARANI

Selasa, 04 Oktober 2016

Museum Rusia Restorasi dan Pamerkan Lukisan Langka Indonesia dari Era 50-an


OCT 04 2016



The State Museum of Oriental Art (Museum Seni Ketimuran) di Moskow membuka pameran karya lukisan minyak Indonesia dari tahun 1950 – 1960-an yang berhasil direstorasi.

Pameran yang bertajuk “Kehidupan Baru. Kesenian Indonesia” ini hadir untuk meramaikan Tahun Kebudayaan Rusia-ASEAN 2016. Ada 33 koleksi lukisan langka asal Indonesia yang dipamerkan dalam pameran ini.

Rustamadji. Perempuan dengan keranjang, 1960-an. Sumber: Press photo

Lukisan-lukisan ini disumbangkan kepada museum oleh Natalia Chetvaykina dan Vilen Sikorsky, dua orang warga Rusia yang pernah bekerja di Pusat Kebudayaan Uni Soviet di Jakarta dan Surabaya (1964 – 1965), pada 2008 dan 2014 silam. Sebelumnya, koleksi lukisan-lukisan itu berasal dari Harmain Rusdi, mantan duta besar RI di Sri Lanka.

Resobowo. Keluarga, 1960. Sumber:

Resobowo. Keluarga, 1960. Sumber: Press photo

Pada 1962, Rusdi membuat pameran karya pelukis Indonesia di Kolombo, Sri Lanka. Setelah tahun 1965, Rusdi pergi ke Uni Soviet, lalu pindah ke Eropa. Lukisan-lukisan miliknya pun ia hadiahkan kepada teman-teman Rusianya.

Rustamadji. Potret, 1950-an. Sumber: Press photo

Sebelum lukisan-lukisan tersebut diberikan kepada pihak musem, banyak lukisan yang tidak disimpan dengan baik, bahkan beberapa di antaranya benar-benar dalam kondisi buruk. Oleh karena itu, lukisan-lukisan ini pun terlebih dulu harus melalui serangkaian tindakan restorasi, mulai dari penguatan, duplikasi dengan dasar baru, peregangan pada bingkai kayu, hingga rekonstruksi fragmen lukisan yang hilang. Hasil kerja yang telaten dan teliti dari rangkaian restorasi ini kini dapat dinilai sendiri oleh pengunjung museum.

Rustamadji. Aliran bergenre, 1960-an. Sumber: Press photo

Semua karya ini dibuat pada periode kehidupan artistik Indonesia yang sangat penting dan sekaligus menandai tahap baru perkembangan seni rupa Indonesia. Di antara seniman terkenal yang lukisannya dipamerkan, yaitu karya A. Rustamaji (1932 – 1990), Basuki Resobowo (1916 – 1990), Joko Pekik (1938), Idji Tarmizi (1939 – 2001), dan lain-lain.

Bondan. Potret seorang gadis, 1960. Sumber: Press photo

Sejarah lukisan minyak di Indonesia masuk pada kuartal kedua abad ke-19, yaitu pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, seniman-seniman lokal mulai mengadopsi teknik menggambar seniman Eropa. Aliran yang populer adalah gambar pemandangan dan gambar potret. Pada 1930 – 1940, seiring dengan pertumbuhan kesadaran nasional dan keinginan untuk merdeka, tumbuh generasi seniman berikutnya yang mencari bentuk-bentuk eskpresi artistik baru.

Tarmizi. Kota Sukarnopura, 1963. Sumber: Press photo

Pada 1947, Rusdi bersama Affandi, Sudarso, Kusnadi, Trubus, Sutioso, dan beberapa seniman lainnya mendirikan sanggar “Pelukis Rakyat”. Dari sanggar ini, lahirlah beberapa pelukis yang cukup diperhitungkan, seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta.

Realisme sosialis adalah salah satu aliran dalam sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra atau kesenian. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat.

Karya-karya kelompok seniman ini kemudian dikenal dengan gaya realisme sosialisnya. Tema utama karya mereka mencakup kehidupan rakyat biasa dan perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang.

Rustamadji. Pembangunan di Berlin, 1961. Sumber: Press photo

Sayangnya, karena alasan ideologi, di Indonesia sendiri tidak banyak tersisa karya sosialis dari era 1950 – 1960-an. Karena itulah, pameran ini dianggap penting karena memperkenalkan sejarah Indonesia.

Kunsoiono. Potret seorang pemuda Indonesian yang membawa belencong, 1961. Sumber: Press photo
Pameran “Kehidupan Baru. Kesenian Indonesia” dibuka pada 28 September hingga 16 Oktober di Museum Seni Ketimuran.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.


Jumat, 30 September 2016

Ingin Luruskan Sejarah, Kesaksian Eks Tapol Pulau Buru


Yovinus Guntur , Surabaya - 2016-09-30

Dua bekas tahanan politik menceritakan kisah mereka ditahan di ‘Pulau Buangan’ karena tuduhan terlibat PKI.

Gregorius Suharsoyo Gunito duduk di antara lukisan di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, 28 September 2016.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Gregorius Suharsoyo Gunito (80) sibuk memilih lukisan yang tersimpan di samping rumahnya. Satu persatu, lukisan dibawa ke teras untuk dibersihkan. Ada 10 lukisan berbentuk sketsa yang punya kenangan tersendiri, karena dibuat di Pulau Buru, Maluku.

Greg adalah seorang tahanan politik yang dikirim ke pulau itu. Dia dibuang, pada 16 Agustus 1969 dari Nusakambangan. Sebelumnya ia ditahan di Koblen, Surabaya, Jawa Timur, selama 3 tahun.
“Saya berada di Pulau Buru sembilan tahun, sebelum kembali ke Pulau Jawa,” ujar Greg kepada BeritaBenar, Rabu, 28 September 2016.
Ia dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Greg yang guru teater memang menjadi aktivis Lekra, tapi tidak tercatat sebagai anggota PKI.

Ia dibawa ke Pulau Buru bersama 500 orang lain tanpa ada putusan pengadilan. Di sana, Greg tinggal di unit 3 bersama Pramoedya Ananta Toer.
Pembuangan mereka yang dituduh PKI setelah partai itu dinyatakan terlarang, menyusul tragedi 30 September 1965 – dimana tujuh jenderal dibunuh, dan berakhirnya kepemimpinan Presiden Sukarno.

Berbagai laporan menyebutkan dalam operasi “ganyang” PKI, ratusan ribu orang tewas. Tapi, pemerintah tak mengakui ada korban tewas dalam jumlah banyak serta tidak mau meminta maaf.

Garap lahan dan melukis

Selama di Pulau Buru, rutinitas Greg menggarap lahan untuk ladang dan sawah. Di malam hari, dia membuat sketsa dengan alat-alat yang sempat dibawanya.

Seluruh sketsa Greg menggambarkan tentang keindahan Pulau Buru.
“Saya melukis Pulau Buru, termasuk kedatangan misionaris di sana. Saya ingin menceritakan Pulau Buru adalah tempat yang tenang,” ungkap pria kelahiran Madiun, 10 Februari 1936 ini.
Menurut Greg, mereka yang dibuang ke Pulau Buru dikategorikan sebagai golongan B yaitu para aktivis pro-PKI dan ormasnya.
“Untuk tapol 65 ada tiga golongan yakni A,B, dan C. Mereka yang golongan A disidang di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati, seperti DN. Aidit,” jelas Greg.
Sedangkan golongan C, mereka yang dianggap simpatisan, tak terbukti punya kartu anggota dan “dilepaskan setelah menjalani pemeriksaan oleh aparat,” tambahnya.

Niat luruskan sejarah

Greg yang kini tinggal di Sidoarjo mengaku, masih ada suara sumbang dari sebagian masyarakat tentang keterlibatannya dalam “organisasi terlarang”. Namun hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk meluruskan sejarah.
“Setiap refleksi kemerdekaan di kampung, saya selalu memberikan semangat pada kaum muda akan pentingnya Pancasila dan persatuan, serta meluruskan sejarah yang selama ini tak benar,” tutur Greg, yang menghabiskan hari tuanya dengan tetap melukis.
Menurutnya, banyak orang dituduh PKI dan ormasnya tanpa lewat proses peradilan. Persoalan ini seharusnya diketahui masyarakat dan pemerintah bersedia mengakui kesalahan masa lalu.

Oei Hiem Hwie memperlihatkan koran Trompet Masjarakat di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya, 30 September 2016. (Yovinus Guntur/BeritaBenar)

Wartawan dituduh PKI

Pengalaman pernah ditahan dengan tuduhan terlibat PKI juga dialami Oei Hiem Hwie, pemilik Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.
Wartawan Trompet Masjarakat yang bermotto “Membawa Suara Kaum Ketjil Bebas Dari Segala Pengaruh” itu bertugas di bidang sosial politik pada 1960-an.

Peristiwa 30 September 1965 membuat Trompet Masjarakat ditutup. Oei ditangkap. Foto-foto, koran, buku, dirampas untuk dibakar. Untungnya, beberapa dokumen sensitif diamankan di atas plafon rumahnya di Malang.

Ia ditahan tanpa proses persidangan. Dia ditahan di Batu, Malang, Kalisosok dan Koblen, Surabaya, sebelum dibuang ke Buru pada 1970.

Di sana, ia bersahabat baik dengan Pramoedya. Bahkan, Pram sempat menitipkan ketikan karyanya kepada Oei untuk dibawa ke Pulau Jawa.
“Saya dibebaskan tahun 1978 dan berhasil membawa ketikan karya Pram. Ketika ia dibebaskan, saya hendak memberikan naskah itu, tapi ia menolak dan menyuruh saya menyimpannya,” ujar Oei.
Oei tiba di Pulau Jawa bersama 4.288 eks Tapol. Ia diberi surat pembebasan “pengembalian ke masyarakat” dan mendapat KTP bertanda ET atau Eks Tapol. Status ET baru dihapus setelah KTP Oei menjadi seumur hidup.

Ditanya soal perlakuan diskriminasi yang dialami, Oei hanya tersenyum. 
 “Kalau diskriminasi tidak perlu diceritakan. Anda pasti taulah,” cetusnya.

Sulitnya rekonsiliasi

Koordinator Ikatan Orang Hilang Indonesia Jawa Timur, Dandik Katjasungkana, mengatakan rekonsiliasi dan rehabilitasi seperti direkomendasikan dalam Simposium Nasional Tragedi 1965 yang digelar April lalu, sulit terwujud.

Salah satunya, menurutnya, karena belum dicabutnya Tap MPRS XXV/1966 yang melarang aktivitas PKI dan perkembangan ideologi komunisme dan marxisme di Indonesia.
Selain itu, “sampai sekarang tidak ada tanda-tanda dari pemerintah melakukan rekomendasi simposium,” ujarnya seraya menambahkan diskriminasi akan tetap dialami para Korban ‘65.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo berharap masyarakat tak lagi melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI karena itu bagian masa lalu bangsa.

Disisi lain, ia meminta tidak ada penggunaan lambang PKI di Jawa Timur dan Indonesia karena hal itu bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Saat ini, ada 30-an Korban ‘65 yang aktif dalam pertemuan non-formal di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Mereka adalah aktivis PKI, Lekra, Gerwani hingga yang ditahan tanpa persidangan.

Bagi Greg, Oei dan ribuan mereka yang dituduh terlibat PKI tanpa melalui pengadilan, tinggal di Pulau Buru adalah perjalanan hidup yang tak akan terlupa.

Rabu, 30 September 2015

Seniman Lekra, Besar dan Terhapus dari Sejarahnya Sendiri


Ardita Mustafa, CNN Indonesia | Rabu, 30/09/2015 07:05 WIB

Selain lukisan, Djoko Pekik juga sempat membuat karya seni tanah liat. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)

Jakarta, CNN Indonesia -- Selain pemimpin negara dan pemuka agama, seniman ialah sosok yang mampu memberikan pengaruh kepada orang banyak. Salah satu yang melegenda ialah kisah tentang organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kini seakan terhapus dari sejarah.

Dikutip dari buku Historical Dictionary of Indonesia tulisan Robert Cribb dan Audrey Kahin, Lekra didirikan atas inisiatif anggota yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada 17 Agustus 1950. Namun Lekra sama sekali terpisah dari partai tersebut. 

Setelah resmi dibentuk, A.S. Dharma yang didaulat sebagai Sekretaris Jendral pertama kemudian menerbitkan pengantar atau yang disebut mukadimah yang berisi visi dan misi Lekra demi merangkul anak muda dan seniman Indonesia.

Dalam mukadimah pertama yang disebarkan oleh Bakri Siregar di Medan, Lekra meminta anak muda dan para seniman Indonesia untuk bergabung demi mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis.

Enam tahun kemudian, mukadimah ke-dua disiarkan, kali ini mengusung visi dan misi realisme sosialis. Dalam mukadimah ini, Lekra semakin mendesak agar para seniman Indonesia turun tangan dan merapatkan barisan dengan masyarakat Indonesia.

Mukadimah pertama dan ke-dua mampu mengokohkan keberadaan Lekra, hingga akhirnya organisasi sarat seniman ini mengadakan konferensi nasional pertama yang dihadiri oleh Presiden Indonesia Soekarno di Surakarta, pada 1959.

Pertentangan dengan 'Manikebo'

Merasa didukung oleh Sang Proklamator, gerakan Lekra semakin mengakar. Tahun 1962, Lekra mulai dianggap pemimpin propaganda gerakan rakyat. Hingga tahun 1963, Lekra mengklaim telah memiliki 100 ribu anggota di 200 cabang di seluruh Indonesia.

Para anggota organisasi ini pun mulai bertentangan dengan para seniman yang tidak sepaham dengan Lekra, seperti HB Jassin dan Taufiq Ismail.

Mereka yang bertentangan dengan "teror-teror" Lekra lalu membuat petisi Manifes Kebudayaan pada 24 Agustus 1963, yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal.

Dikutip dari buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia [What and Who: Film Figures in Indonesia, 1926–1978] tulisan Yudiono K.S., Manifes Kebudayaan diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.
"Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963," bunyi Manifes Kebudayaan yang ditetapkan.
Pertentangan Lekra dan Manifes Kebudayaan, yang terkadang diplesetkan menjadi manikebo (sperma kerbau), pun semakin meruncing. Ditambah gagalnya kudeta, yang diduga digerakkan oleh PKI, pada Gerakan 30 September akhirnya membuat Soekarno turun tangan dan melarang perkembangan Lekra di Indonesia.

Terhapus dari Sejarah

Jauh di luar tuduhan propaganda dan pertentangan dengan Manifesto Kebudayaan, gerakan Lekra melahirkan banyak seniman yang punya karya tidak sembarang.

Dijelaskan oleh Amir Sidharta, kurator sekaligus pengamat seni, sejumlah penulis, sutradara film, pelukis hingga pematung Lekra menyumbang sejarah dalam dunia seni rupa Indonesia. Beberapa nama yang terpandang ialah Pramoedya Ananta Toer (penulis), Bachtiar Siagian (sutradara film), Djoko Pekik (pelukis) dan Amrus Natalsya (pematung).

Bachtiar Siagian bahkan pernah mendapatkan Piala Festival Film Indonesia sebagai Sutradara Terbaik pada 1960. 
"Selain teknik berkeseniannya, mereka juga besar karena memiliki sejarah panjang dengan Lekra. Sayangnya, mereka seakan dihapus dari peta dunia seni Indonesia karena terafiliasi dalam Gerakan 30 September," kata Amir saat dihubungi oleh CNN Indonesia pada Selasa (29/9).
Dihapus dari sejarah bukan hanya dilupakan, namun juga dihilangkan identitasnya. Dikisahkan Amir seperti nasib patung kayu milik Amrus yang diberi tajuk Keluarga Tandus di Senja.

Patung yang berada di Akademi Sosial Aliarcham, Jakarta, itu dibakar masyarakat yang tidak senang pada 1965. Alasannya cukup sepele, pematungnya adalah anggota Lekra dan patungnya ditempatkan di gedung milik PKI.

Padahal Amrus termasuk salah satu pematung terbaik menurut sejarawan seni Claire Holt.
"Sepengetahuan saya, banyak sekali lukisan karya anggota Lekra, tidak hanya beberapa yang terpanjang di Museum Seni Rupa dan Keramik. Kalau pun ada, banyak yang sengaja dihilangkan identitasnya, seperti dihapus tanda tangan pelukisnya," ujar Amir prihatin.
"Padahal karya seni tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi Indonesia," lanjut Amir.
Keindahan yang bermaksud, begitulah Amir menggambarkan konsep kesenian realisme sosialis yang dijunjung para seniman Lekra. Tidak heran, permasalahan rakyat kecil kerap menjadi benang merah dalam setiap karya mereka.
"Mereka berjuang menyuarakan kegelisahan sosia yang terjadi saat itu melalui goresan tinta hingga kuas. Mereka hanya berusaha membangun sebuah kesadaran sosial bahwa kapitalisme itu juga memiliki sisi buruk," kata Amir yang mengaku mengagumi karya Djoko Pekik dan Amrus Natalsya.
"Sekali lagi, sayang sekali para seniman ini lalu terjebak dengan pandangan negatif orang tentang Lekra sehingga maksud tersebut tidak terlalu sampai," lanjut Amir.
Sebagai pecinta seni, Amir berpendapat kalau pengalaman Lekra mungkin bisa menjadi pelajaran bagi para pelaku dunia seni saat ini, agar mampu memisahkan seni dan politik.
"Menurut saya, sah-sah saja bagi seniman untuk aktif berpolitik. Hanya saja harus ada ketegasan, agar pesan sosialnya dari karyanya tetap tersampaikan dan terwujudkan," kata Amir menutup pembicaraan.(ard/ard)