22 OKTOBER
2016 | 13:25
Tak banyak yang tahu mengenai buku penting ini. Padahal,
buku ini berusaha memberi jawaban atas salah satu polemik tua dalam sejarah
umat manusia: hubungan seni dan politik. Perdebatan soal ini telah membelah
para seniman dan pendukungnya dalam dua kubu besar: ‘Seni untuk Seni’ versus “Seni
untuk Rakyat”.
Adalah Basuki Resobowo (BR), seorang pelukis besar
Indonesia, yang berusaha menjawab perdebatan itu dalam bukunya, “Bercermin Di
Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat”. Diterbitkan oleh penerbit Ombak,
pada tahun 2005, buku itu kurang tersebar luas dan diketahui banyak orang.
Memang sejak BR berusaha memenuhi niatnya menulis. Akan
tetapi, beberapa kali niatan itu kandas di tengah jalan. Namun, tiba-tiba
sebuah kejadian memaksanya harus menulis dan menjelaskan posisi.
Adalah
pernyataan Sudjojono, bekas kawan seperjuangannya, yang membuat BR sangat
‘terprovokasi” menulis. Sudjojono bilang, “melukis dan politik adalah dua hal
yang berlainan.”
Judul buku: Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni dan Masyarakat
Penulis: Basuki Resobowo
Penerbit: Ombak
Cetakan: April 2005 Tebal: xxii + 139 halaman
ISBN: 979-3472-18-9
Bagi BR, kata-kata Sudjojono itu ibarat “petir di siang
hari”.
“Setelah membaca kata-kata Sudjojono saya menjadi kaget. Ia pisahkan seni dari politik atau seni dari revolusi,” kata BR (hal. 11).
BR berusaha mengingat-ingat masa lalu, tepatnya tahun 1938,
ketika Sudjojono dan sejumlah pelukis progressif mendirikan organisasi bernama
Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Saat itu, dalam kenangan BR,
Sudjojono termasuk pencetus seni-rupa modern.
Menurut Sudjojono, sebagai seorang seniman—sekaligus sebagai
manusia Indonesia—karya seni haruslah bercorak Indonesia. Agar bisa bercorak
Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari kehidupan rakyat.
Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun
haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme!
Pemikiran Sudjojono tertancap kuat pada BR. BR masih
mengingat pesan Sudjojono pada dirinya:
“Bas, memang benar apa yang mereka (baca: pelarian Indonesia di Singapura) bilang. Apalagi kita sebagai seniman jangan sampai absen dan tidak ikut mengalami situasi politik yang penting dari sejarah bangsa Indonesia. Lingkungan dan masa memainkan peranan dalam terjadinya suatu karya seni, sekalipun bukan sebagai komponen yang menentukan.” (Hal. 16).
BR adalah seorang marxis-tulen. Tak heran, cara pandangnya
tentang seni pun sangat dipengaruhi marxisme. Di sadar, cita-cita
kesenian haruslah dianggap sebagai upaya membawa seni kepada paham
estetika baru, yaitu melenyapkan selera borjuis yang dekaden dan menghidupkan
seni yang mengisi dan memperkaya unsur kerohanian pada golongan lebih luas pada
masyarakat, yaitu massa rakyat. Inilah aliran “Seni untuk Rakyat” (Hal. 22).
Gerakan “Seni untuk Rakyat” makin menguat tatkala Sudjojono
bersama seniman-seniman progressif lainnya mendirikan Seniman Indonesia Muda
(SIM) pada tahun 1946. Organisasi ini, seperti diakui BR, adalah embrio dari
organisasi kesenian terbesar di tahun 1960-an: Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).
Haluan “seni untuk Rakyat”, yang sudah menjiwai SIM,
kemudian dikembangkan oleh Lekra menjadi gerakan “1-5-1”: politik sebagai
panglima, meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan artistik, tradisi baik
dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kreativitas massa,
realisme sosial dan romantik revolusioner, dan turun ke bawah (turba).
Lukisan Telanjang
Di buku kecil yang hanya 139 halaman ini, BR juga berusaha
menulis secerca kisah perjalanan hidupnya. Lalu, Hersri Setiawan, aktivis Lekra
yang memberi prakata di buku ini, berusaha meringkasnya lagi dalam artikel
penutup berjudul “Sosok Basuki Resobowo”.
Ia bercerita tentang lukisannya yang bergambar “wanita
telanjang”. Basuki menuturkan, pada saat pameran lukisan pelukis SIM di Madiun,
tahun 1947, lukisan tersebut diikutsertakan. Baru dua hari dipamerkan, lukisan
itu sudah hilang. Rupanya, ada kelompok yang tak senang dengan lukisan itu.
Dianggap merusak akhlak!
Chairil Anwar, yang sempat melihat lukisan itu, mengaku
terkesima. Penyair terkemuka Indonesia sampai berdiri 10 menit di depan lukisan
itu. Bahkan ia menyempatkan waktu untuk membuat puisi tentang lukisan
itu: Surga. “Hebat kau, Bas, semua yang kau ceritakan ada di lukisan itu,”
kata Chairil kepada BR.
Bagi BR, lukisan telanjang itu merupakan bentuk “pendobrakan”
terhadap kebudayaan Indonesia yang dekaden. Namun, ia mengatakan, lukisan
telanjangnya berbeda dengan lukisan telanjang-nya Affandi.
“Citranya bukan mendobrak budaya yang dekaden, melainkan media komunikasi high society di masyarakat eropa dan juga Indonesia,” kata Basuki (Hal. 52).
Tetap Teguh!
Dalam buku itu, BR juga seakan menegaskan sikap politiknya
tak pernah luntur: seorang marxis. Kendati, ia menerima pahit-ketir akibat
pilihan politiknya itu dan membuatnya menjadi “imigran politik” di Eropa.
Bahkan, ketika kawan seperjuangannya, Sudjojono, seakan
berpindah-haluan, Basuki tetap memeluk erat keyakinan politiknya itu. Padahal,
ia terkadang menyaksikan kisah pahit para imigran politik di luar negeri:
frustasi, pertikaian, hingga perpecahan.
Perjuangan memang tak mengenal kata akhir. Begitulah, pada
tahun 1990-an, BR masih terlibat dalam aksi politik menentang eksekusi 6 tapol
PKI (Ruslan Wijayasastra dkk) di Indonesia dan berbagai aksi mendukung
perjuangan anti-kediktatoran orde baru di tanah-airnya.
Basuki dilahirkan di Baturaja, Palembang, Sumatera Selatan.
Sebagai anak asuh seorang paman yang berpangkat Wedana-polisi, Basuki bisa
mengenyam pendidikan di ELS (sekolah rendah anak-anak eropa). Pada tahun
1930-an, ia sempat ke jogja dan bersekolah di Taman Siswa.
Tahun 1930-an itu, ia mulai mengenal dan berkenalan dengan
Sudjojono. Sejak itu pula Basuki bertransformasi menjadi pelukis revolusioner.
Menjelang pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Basuki menggelar
aksi mural untuk mengabarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 ke khalayak luas.
Ia terilhami oleh pelukis kiri Meksiko, Diego Rivera, yang
membuat propaganda melalui mural di tembok-tembok. BR pun melakukannya
pada trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya. Dengan demikian,
sebelum proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, sebagian rakyat sudah tahu bahwa
Indonesia sudah MERDEKA.
Rudi Hartono, pimred berdikarionline.com
0 komentar:
Posting Komentar