Sabtu, 01/10/2016 17:30 WIB
Ilustrasi pentas teater. (Ryan.brownell/Wikipedia)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Terpicu dari berbagai pertemuan dengan banyak
penyintas tahanan politik perempuan 1965, sutradara teater Faiza
Mardzoeki lalu menggagas pementasan yang kemudian ia beri judul Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer.
Dalam menyiapkan pementasannya, Faiza berbincang banyak dengan para penyintas. Kisah kemanusiaan yang dialami oleh para penyintas membuat ia tak bisa tidur dan kerap menangis.
“Saya tak bisa bayangkan, bagaimana mereka menghadapi keganasan sejarah bangsanya sendiri, tetapi bisa bertahan dengan tetap menjaga kebaikannya menjadi manusia,” ujar Faiza, dalam tanya jawab seputar pementasan peristiwa 1965, pada Rabu (28/9).
Temuannya tersebut, kata Faiza, lalu berbenturan dengan pengalaman pribadinya, sebagai produk generasi Orde Baru yang harus menelan kebohongan sejarah ‘65 yang dijejalkan sejak masa sekolah.
Dua pengalaman yang bertolak belakang antara belajar sejarah di sekolah dengan pertemuan langsung dengan para penyintas tapol ‘65 tersebut membuat dia kemudian merenung dan menemukan kesadaran baru tentang sejarah bangsa sendiri.
Dalam menyiapkan pementasannya, Faiza berbincang banyak dengan para penyintas. Kisah kemanusiaan yang dialami oleh para penyintas membuat ia tak bisa tidur dan kerap menangis.
“Saya tak bisa bayangkan, bagaimana mereka menghadapi keganasan sejarah bangsanya sendiri, tetapi bisa bertahan dengan tetap menjaga kebaikannya menjadi manusia,” ujar Faiza, dalam tanya jawab seputar pementasan peristiwa 1965, pada Rabu (28/9).
Temuannya tersebut, kata Faiza, lalu berbenturan dengan pengalaman pribadinya, sebagai produk generasi Orde Baru yang harus menelan kebohongan sejarah ‘65 yang dijejalkan sejak masa sekolah.
Dua pengalaman yang bertolak belakang antara belajar sejarah di sekolah dengan pertemuan langsung dengan para penyintas tapol ‘65 tersebut membuat dia kemudian merenung dan menemukan kesadaran baru tentang sejarah bangsa sendiri.
“Dari situ saya melakukan riset, dan lahirlah Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer,” ujarnya.
Panggung Teater
Drama Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer, kata Faiza, bisa disebut sebagai drama fiksi yang terinspirasi dari fakta sejarah. Penulisan naskah dilakukan setelah melakukan riset dan wawancara dengan para perempuan penyintas tapol ‘65, dan membaca banyak buku-buku sejarah terkait peristiwa ‘65.
Tidak hanya itu, Faiza juga sempat riset lapangan ke Plantungan, sebuah kamp pembuangan tapol perempuan pada peristiwa ‘65.
“Membuat cerita drama tentang ‘65, apalagi juga mengisahkan masalah yang sangat sulit yaitu soal kekerasan seksual yang dialami tapol perempuan, membutuhkan pengetahuan dan pemahaman konteks peristiwa dari setiap cerita yang saya dengar,” ujarnya.
Kisah dari penyintas, lalu dia lengkapi dengan literatur lain supaya tertangkap konteks peristiwanya. Apalagi mengingat banyak penyintas yang usianya sudah sangat sepuh, sehingga ingatan-ingatannya kadang remang-remang.
"Peristiwa ‘65 memang sudah 60 tahun berlalu. Oleh karenanya, perlu banyak membaca dan mendengar."
Untuk memperdalam cerita dan memainkannya, ia lalu mengajak para aktor, yang semua perempuan untuk bertemu dan banyak diskusi dengan para penyintas ‘65, mempelajari keseharian hidup para penyintas, dan bagaimana mereka menghayati masa lalu dan masa sekarang. Para pemain juga diwajibkan membaca buku-buku sejarah ‘65 dan menyimak banyak diskusi.
Tanggapan Publik dan Penonton
Pementasan Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer berlangsung aman (tanpa cekalan atau larangan pihak berwajib), selama tiga malam berturut-turut di GoetheHaus Jakarta, dengan jumlah penonton mencapai sekitar seribu orang.
Demi menjaga pementasan berjalan dengan aman, panitia penyelenggara menyiapkan pengacara, tim keamanan dan disiplin dalam hal pengaturan penonton. Persiapan ini perlu dilakukan mengingat masih adanya terjadi berbagai pencekalan dan larangan pementasan terkait peristiwa '65.
“Respon penonton sangat positif, para penyintas yang juga turut hadir menyaksikan pementasan itu, merasa bahagia karena kisah mereka yang senyap disuarakan,” ungkapnya.
Menyoal makin banyaknya karya seni yang mengangkat isu ’65, baik di teater, film, buku dan seni rupa, Faiza menilai hal tersebut sebagai hal yang positif.
“Peristiwa ‘65 adalah peristiwa sejarah yang sangat kelam. Saya sangat senang, apabila ada generasi muda, seniman, penulis, yang mau mengangkat isu ‘65, karena ini sangat penting.”
Kalau selama ini sejarah ‘65 hanya disuarakan dari pihak Orde Baru saja secara sangat sepihak, kata dia, sekarang sudah ada banyak suara.
“Kita bisa belajar dari banyak sumber. Karena sejarah tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak apa lagi hanya oleh kekuasaan. Dan yang sangat penting, kita mulai bisa mendengarkan narasi sejarah dari yang sangat personal dan individual,” tambah dia.
Narasi personal, menurut Faiza, sangat penting dalam sejarah agar publik tidak hanya dengar peristiwa-peristiwa heroik yang diciptakan kepentingan tertentu.
“Saya kira, banyaknya kalangan yang mulai menyadari peristiwa ‘65 sebagai sesuatu yang sangat menarik dan penting disuarakan, adalah hal yang sangat positif,” ujarnya.
Faiza menilai peristiwa ‘65 merupakan peristiwa kelam bangsa Indonesia yang harus dipelajari dan dihayati, supaya tidak terulang lagi. (rsa)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160929161033-241-162170/suara-1965-di-atas-panggung-teater/
0 komentar:
Posting Komentar