31 October 2016 | Grace Leksana*
Jagus (duduk)
bersama istri dan anak-anaknya
INDONESIA, 1963. Negara berada dalam situasi krisis
pangan. Menurut catatan-catatan Dinas Pertanian Rakjat Djawa Timur, komposisi
dan manifestasi makanan kaum tani miskin dan buruh kecil sehari-hari untuk
daerah yang subur adalah sebagai berikut: 60 persen dari jumlah penduduk makan
ketela/ gaplek sepenuhnya, 80 persen makan jagung sepenuhnya, 30 persen memakan
gaplek campur beras, 15 persen memakan jagung bercampur beras, dan hanya 5
persen dari jumlah penduduk yang makan nasi[2]. Kondisi ini berbuntut pada munculnya
wabah kelaparan, busung lapar, penjualan hak milik, hingga meningkatnya tindak
kriminalitas. Dewan Pertimbangan Agung, dalam laporannya pada 1963 menyimpulkan
bahwa penghidupan sebagian terbesar rakyat, khususnya kaum tani sangat berat
karena mereka tidak memiliki persediaan bahan makanan, bibit dan pupuk[3]. Keadaan ini sangat membahayakan produksi
makan pada tahun 1964-1965 mendatang dan dapat mengganggu perjuangan
mengganyang Malaysia.
Seorang Pria
Bernama Jagus
Krisis pangan tetap terjadi, meskipun gerakan swasembada
beras sudah dimulai sejak 1959/1960, dengan fokus utama pada perbaikan dan
pemuliaan tanaman padi. Untuk menanggulangi kekeringan dan serangan hama,
riset-riset pemuliaan tanaman padi terpusat untuk menghasilkan varietas baru
dengan umur yang lebih pendek, hasil lebih banyak dan ketahanan untuk tumbuh di
tanah kering. Dalam kurun waktu 1955-1960, muncul jenis-jenis padi unggul baru,
seperti Sigadis, Remadja dan Djelita, yang kemudian disusul pada 1960-1964,
dengan varietas Dara Syntha dan Dewi Tara[4]. Jenis-jenis padi ini dihasilkan melalui
riset di Lembaga Penelitian Padi dan Djenis Tanaman Gandum, Departemen
Pertanian di Bogor. Hal yang perlu dicatat dari program swasembada ini adalah
peranan lembaga-lembaga swasta yang turut serta menghasilkan varietas unggul,
salah satunya adalah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan
Pembibitan (JLPKPP) di Klaten yang dipimpin oleh Jagus.
Jagus lahir dari keluarga lurah di Madiun, tetapi
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Klaten, Jawa Tengah. Pada mulanya
ia bekerja di sebuah Onderneming/ perkebunan Belanda di Pandan Simping,
Klaten. Pada 1935, ia berhasil melakukan riset seleksi yang menghasilkan
tembakau vorstenlanden baru yang kebal terhadap penyakit
phytophtora-nicotiana[5]. Atas keberhasilannya ini, Jagus menjadi
satu-satunya pribumi yang diberikan rumah di daerah perkebunan tersebut. Dari
sini pula, tampaknya, ia mulai mengabdikan dirinya pada penelitian varietas
tanaman.
Tekadnya untuk menghasilkan varietas padi unggul adalah
sebuah tekad ideologis. Dalam bahasanya sendiri “Aku wajib dan harus dapat
mewujudkan suatu jenis tanaman yang mengandung daya guna bagi nusa dan
bangsaku”[6]. Baginya, pelipatgandaan kapasitas
produksi pertanian rakyat termasuk dalam mata rantai strategi ekonomi Negara
dan strategi revolusi nasional Indonesia, yang tidak kalah serius dan penting
dengan masalah-masalah lainnya[7]. Setelah keberhasilannya dalam riset
tembakau, Jagus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menciptakan bibit
padi untuk sawah kering, karena menurutnya jumlah sawah kering di Indonesia
justru lebih banyak daripada sawah hujan. Dalam jangka panjang, keberhasilan
melipatgandakan produksi tidak hanya berarti swasembada beras, namun juga
menandakan kemampuan Indonesia untuk menjadi pengekspor beras.
Dalam sebuah artikelnya “Seleksi Tanaman Padi”, Jagus
menjelaskan bagaimana ia melakukan riset seleksi tanaman padi. Ia menyebutnya
dengan istilah bastaard-seleksi, dimana sifat-sifat turun temurun yang
berlainan dan penting dari tiap-tiap jenis padi dapat diubah sampai sebanyak-banyaknya
(ekstrim), dan dengan demikian didapat jenis-jenis padi baru[8]. Menurut Jagus, sifat-sifat tersebut
mencakup: panjang, besar dan berat gabah; panjang malai; banyaknya gabah pada
setiap malai; umur pendek; ketahanan terhadap kekurangan air; rasa nasi yang
enak; susunan malai yang bagus; dan kepastian hasil[9]. Melalui prinsip seleksi inilah, pada
1944 ia menciptakan bibit padi Sri Dorodasih, yang diambil dari nama putrinya
yang lahir pada 10 Maret 1941. Proses seleksinya juga sangat menarik. Jagus
berangkat dari tahun 1940, ketika ia menemukan 3 butir gabah dari tanaman padi
Rodjolele yang berukuran 16 mm, sedangkan ukuran umumnya hanyalan 11 mm[10]. Ia kemudian berkonsultasi dengan
seorang Doktor ilmu genetika dari Belanda tentang kemungkinan menciptakan gabah
sebesar 16 mm pada satu malai. Doctor itu menjawab tidak mungkin, karena adanya
3 butir gabah sebesar 16 mm hanya merupakan keadaan incidental saja, bukan
sifat turun temurun. Jagus tidak percaya begitu saja. Ketiga malai tersebut ia
tanam, namun sesuai argumentasi sang Doktor genetika, tanaman tersebut hanya
menghasilkan gabah dengan panjang 11 mm. Jagus tidak berhenti.
Ia lakukan perkawinan silang hingga akhirnya ditemukanlah
beras Sri Dorodasih dengan panjang gabah 16 mm. berat 1000 butir gabah kering
dari jenis ini kurang lebih 49 gram, sedangkan jenis padi umum di Indonesia
yang terberat kurang lebih 46 gram. Kemajuan tentang panjangnya gabah terus
diselidiki, dan pada 1956, Jagus berhasil menemukan jenis baru dengan berat 152
gram[11].
Jumlah padi dalam satu malai juga menjadi focus
penelitian Jagus. Awalnya, di tahun 1941, ia berhasil menemukan jenis padi
dengan jumlah gabah 500-600 butir pada satu malai[12]. Hasil ini 86 persen lebih banyak dari
padi Soblog, yang saat itu merupakan padi dengan jumlah gabah terbanyak, yaitu
sekitar 350 butir. Penelitian dilanjutkan, dan pada 1952, muncullah jenis padi
baru dengan jumlah gabah 800 butir pada satu malai. Kemudian pada 1956
ditemukan jenis lainnya yang menghasilkan hingga 900 butir. Sifat lain yang
berusaha dikembangkan oleh Jagus adalah umur pendek tanaman padi. Sebelum
melakukan seleksi, padi dengan umur terpendek adalah Karangserang, yaitu 145
hari[13]. Jagus kemudian menemukan jenis padi
yang berumur 135 hari, namun masih agak banyak gabah yang hampa. Jenis tersebut
kemudian ia kawinkan dengan padi Rodjolele, dan didapatlah jenis padi baru yang
berumur pendek dan rasa nasi yang enak. Jenis ini kemudian dinamakan Gendjah
Harum dan Gendjah Wangi dengan umur 125 hari dari menabur[14].
Penemuan-penemuan Jagus menarik perhatian Presiden
Sukarno. Pada 1947, Presiden Sukarno melalui Residen Surakarta, Sudiro,
menyatakan rasa bangga atas pencapaian Jagus dan menekankan untuk terus
melanjutkan penelitian tersebut[15]. Kemudian pada 1953, Presiden Sukarno
memberi perintah, yang disampaikan oleh Presiden Universitas Gajah Mada Prof.
Dr. Sardjito, untuk mencari jenis padi baru yang dapat ditanam di tanah yang
tidak ada irigasinya atau tanah kering[16].
Beberapa tahun kemudian, juga atas dukungan Presiden
Sukarno melalui H. Tjokronegoro, maka pada 1959 didirikanlah Jajasan Lembaga
Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten. Di sinilah
pada 1961, Jagus dan para koleganya menemukan empat varietas berikutnya, yaitu
Bintang Ladang, Bimokurdo, Bimopakso dan Retnodumilah. Jagus pun sempat
menerima kunjungan Presiden Sukarno di rumahnya di Klaten.
Percobaan penanaman padi hasil seleksi Jagus telah
tersebar di beberapa lokasi di Indonesia. Misalnya saja, di Jajasan Balai
Pendidikan Tani Pusat di Cipayung, Pasarrebo, Jakarta. Jenis GPP-19 pada 1962
menghasilkan 35 kw atau 42 kg per ha untuk area tanam seluas 120 m2[17].
Sedangkan padi huma jenis GP-243 yang berumur 120 hari
menghasilkan 19,6 kw/ ha[18]. Selain Jakarta, daerah lain yang juga
tercatat melakukan percobaan penanaman adalah Klaten (Kecamatan Trujuk dan
Djogonalan), Yogyakarta (Gunung kidul, Kulonprogo), Surakarta (Kecamatan
Pratjimantoro dan Selogiri), Surabaya, Jember (Kecamatan Tanggul), Kalimantan
(Kecamatan Liku-Sambas), hingga Irian Barat (yang dilakukan oleh civic mission
DAM VII Diponegoro di Kampung Bestur Past Distrik Sentani, Keresidenan Sukarnopuro)[19]. Keunggulan padi seleksi Jagus
berdasarkan hasil uji coba ini adalah kemampuannya bertahan dalam iklim dan
sifat tanah yang kering, hasil yang lebih banyak dan rasa beras yang enak.
Misalnya saja, suatu areal yang 70 persennya ditanami padi Jagus, jika
dikurangi oleh serangan hama uret dan tikus, maka setidaknya hasil bersihnya
hanya diambil dari 50 persen luas lahan.
Kisaran jumlah padi yang dipanen dalam kondisi demikian
sekitar 27 kw, sedanglan dalam kondisi normal bisa mencapai 54 kw[20].
Menerima kunjungan
Presiden Soekarno di Klaten
Hilangnya Sebuah
Inovasi
Jagus merupakan salah satu anggota pleno Pimpinan Pusat
Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi kiri yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia. Ia juga sempat menjadi anggota DPR-GR[21] dan mengajar, salah satunya di
Gerakan Tani Egom, sebuah institut tani yang dikelola oleh BTI. Pada Seminar
Produksi Pertanian dan Gerakan 1001 tahun 1963 yang diselenggarakan oleh BTI,
Jagus memberikan prasarannya tentang
“Pola Meluaskan Penanaman Padi Jenis Unggul Seleksi
Jagus”[22]. Dalam prasarannya ini, terlihat bahwa
Jagus memiliki ide tentang bibit desa yang dikelola bersama. Ia mengungkapkan
bahwa di tiap-tiap desa perlu ada kebun bibit desa yang digarap dan ditanggung
jawab secara gotong royong oleh keseluruhan massa Rakyat penduduk Desa itu,
untuk secara kontinu dan teratur menyediakan bibit-bibit yang dibutuhkannya[23].
Selain itu, di tiap desa juga perlu dikelola
lumbung-lumbung bibit yang merupakan sentral penyimpanan dan penyaluran
bibit-bibit kepada massa penduduk yang berkepentingan, secara kooperatif[24]. Hal terakhir yang juga tak kalah
pentingnya, menurut Jagus, adalah pendidikan kader tani untuk mempertahankan
jenis-jenis tanaman yang berkualitas, berpenghasilan tinggi dana mat dibutuhkan
oleh massa tani[25]. Di akhir prasarannya, ia mengusulkan
sebuah mekanisme penyaluran bibit dari Lembaga Penjelidikan Pertanian dan
Pembibitan ke setiap kebun desa, sehingga massa tani terus menerus mendapatkan
bibit unggul di setiap musim tanam[26].
Inovasi terakhir yang tercatat dari Jagus adalah padi
sawah Radjalele Baru pada tahun 1965[27]. Ia turut ditangkap bersama ratusan ribu
orang lainnya yang dituduh terlibat G30S 1965. Tuduhannya tidak jelas, namun
hampir pasti hal tersebut terjadi karena keterlibatannya dalam BTI. Nasibnya
bisa dikatakan lebih baik, karena ia dilepaskan dalam kurun waktu kurang dari 1
tahun. Detil penahanan Jagus belum terlalu jelas. Ingatan keluarganya akan
peristiwa ini masih samar, sebagian besar disebabkan karena anggota keluarganya
yang masih hidup tidak berada bersama Jagus saat penangkapan terjadi. Sebagian
kronologi yang terungkap hanyalah tentara datang ke rumah beliau, menangkap
Jagus dan menyita buku-buku serta catatan-catatan pribadinya. Tidak ada yang
tahu pasti mengapa ia kemudian dilepaskan.
Ia meninggal pada 5 Oktober 1975 dan dimakamkan di
Klaten. Kesehatannya semakin menurun pasca operasi prostat. Dalam ingatan
keluarganya, Jagus menggunakan areal rumah dan sekitarnya untuk eksperimen
padinya. Areal sawah di depan dan belakang rumahnya, serta pot-pot yang
bertebaran di dalam rumahnya menjadi focus hidupnya. Sang cucu mengingat
percobaan kedelai dan kapas wara-warni semasa hidup Jagus. Pasca kematiannya,
percobaan Jagus sempat diteruskan oleh putrinya namun tak berhasil
mengembalikan masa kejayaannya di tahun 1960an.
Beras seleksi Jagus hilang seiring dengan proyek revolusi
hijau Orde Baru. Proyek ini tidak hanya menyeragamkan penggunaan bibit, pupuk
dan pestisida, namun juga menghilangkan konsep kolektivitas pengelolaan benih
padi. Benih padi unggulan, yang dikenal dengan IR (International Rice), diimpor
dari Filipina. Tidak ada lagi pilihan bagi para petani selain menggunakan jenis
ini. Jalan satu-satunya untuk mendapatkan bibit tersebut adalah membeli, hampir
pasti melalui system kredit. Ide Jagus tentang sebuah kedaulatan pangan yang
dibangun antara lembaga riset dengan masyarakat melalui pengelolaan kolektif
kebun bibit, telah raib. Peranan masyarakat dalam riset tanaman padi pun
menjadi hilang, bersamaan dengan matinya JLPKPP dan lembaga penelitian agraria
lainnya. 1965 tidak sekedar menghilangkan nyawa, namun juga ide-ide yang
menggerakan masyarakat.
Sebuah Panggilan
Riset terbaru tentang genosida intelektual yang dilakukan
oleh Abdul Wahid, memperkirakan 115 orang dosen dan staf beserta 3.006 orang
mahasiswa di UGM disingkirkan dan menjadi tapol[28]. Ini tidak hanya terjadi di UGM, tetapi
juga di universitas-universitas lain di Bandung, Padang, Medan dan Makassar.
Bersamaan dengan itu, seluruh karya intelektual dan ide-ide mereka pun hilang,
seperti yang dialami Jagus. Ini menjadi sebuah panggilan bagi kita untuk
menggali kembali sumbangsih para pemikir dan innovator di masa lalu yang
(di)hilang(kan). Kerugian terbesar bangsa Indonesia pasca 1965, selain
kehilangan jutaan nyawa, adalah juga hilangnya ide-ide kreatif dan keberanian
untuk melawan cengkeraman pasar. Kala nyawa tidak mampu dihidupkan kembali,
yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan tempat yang layak bagi karya para
intelektual ini di dalam sejarah.
***
Grace Leksana, Penulis adalah
peneliti di Institut Sejarah Sosial Indonesia/ Kandidat Doktor Universitas
Leiden
————-
[1] Saya mengucapkan terima kasih kepada keluarga alm. Jagus,
terutama untuk koleksi foto mereka, serta kepada Hersri Setiawan dan Dharmawan
Isaak yang membantu merangkai kisah hidup Jagus.
[2] Arsip KOTI 1963-1967 No. 101, hal. 4. Koleksi Arsip Nasional
Republik Indonesia
[3] Ibid, hal. 16
[4] Sumintawikarta, Sadikin. Tjatatan Tentang Penelitian Tanaman
Pangan Antara Tahun 1945-1965 dalam Makagiansar, M & Sumintawikarta,
Sadikin (eds). 1965. Research di Indonesia 1945-1965: Bagian III Bidang
Pertanian. Jakarta: Departmen Urusan Research Nasional Republik Indonesia. Hal.
70.
[5] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri I dalam
Pesat no. 35 Th. 20, 1964, hal. 10.
[6] Ibid.
[7] ibid, hal. 9.
[8] Jagus. 1961. Seleksi Tanaman Padi dalam Pembangun Desa
edisi Untuk Manipol-Djarek. Hal. 6
[9] ibid.
[10] ibid, hal. 6-7
[11] ibid, hal. 7.
[12] Ibid, hal. 7.
[13] Jagus. Seleksi Tanaman Padi (lanjutan) dalam Pembangun Desa
edisi Manipol-Usdek, hal. 7.
[14] Ibid.
[15] Pesat, op cit. hal. 10
[16] Jagus. Seleksi Tanaman Padi, op cit. hal. 7.
[17] Hasil Percobaan Jagus: Varitet Sudah Mantap. Harian Rakjat, 19
Maret 1962. Hal. 2.
[18] Suara Tani no. 8 Th.XII, Agustus 1961, hal. 4-5.
[19] Jagus. Pemuliaan Tanaman Padi Tanah Kering, Seri II dalam
Pesat no. 31 th. 20, 12 Agustus 1964, hal. 12
[20] ibid.
[21] Periode jabatan Jagus belum diketahui secara pasti. Kemungkinan
sekitar 1959, melalui jalur non partai.
[22] Jagus. 1963. Pola Meluaskan Penanaman Padi Djenis Unggul Hasil
Seleksi Jagus dalam Pembangun Desaedisi Untuk Demokrasi dan Dekon. Hal.
21.
[23] Ibid.
[24] ibid.
[25] ibid.
[26] ibid, hal. 26.
[27] Sumintawikarta, Sadikin. Op cit. hal. 71.
[28] http://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965,
diakses pada 24 Oktober 2016.
Source: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar