Minggu, 23 Oktober 2016 20:30 WIB
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Liga
Forum Study Yogyakarta (LFSY) menggelar aksi unjuk rasa dalam rangka
memperingati Hari Hak Asasi Manusia di halaman Gedung DPRD Provinsi DIY di
Jalan malioboro, Jogja, Selasa (10/12/2013). Aksi ini menuntut pengungkapan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti, kasus hilangnya Wiji
Thukul, dibunuhnya aktivis buruh Marsinah dan aktivis HAM Munir. (JIBI/Harian
Jogja/Desi Suryanto)
Presiden Jokowi dinilai belum punya prestasi dalam mengurus pelanggaran HAM berat. Hal itu diprediksi baru dilakukan Jokowi pada 2021.
JAKARTA — Penanganan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hampir tidak tersentuh selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
“Kalau orang bilang HAM diabaikan, ya itu benar adanya, karena memang tidak ada prestasi dalam bidang itu,” kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, dalam dialog Evaluasi Dua Tahun Kepemimpinan Jokowi di Kantor Setara Institute, Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Hal itu dinilai dari tidak adanya keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pemerintah saat ini, kata Ismail, memang sulit untuk melakukan upaya konkret penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Benturan politik akan sangat terasa.
Dia meramalkan jika benar Jokowi serius ingin mengusut masalah HAM masa lalu, hal itu baru bisa dilaksanakan pada tahun kedelapan kepemimpinannya. “Dengan catatan dia berhasil memimpin dua periode,” kata Ismail.
Pada masa itu, menurut Ismail seharusnya pengaruh politik Jokowi sudah semakin kuat. Di sisi lain, sejumlah petinggi negara yang diduga terlibat mulai kehilangan pengaruh politik.
Adapun upaya pemerintah mengusut satu kasus HAM masa lalu sempat tampak dengan mewacanakan penyelesaian nonyudisial dalam peristiwa 1965-1966. Namun, bentuk konkretnya hingga saat ini tidak ada.
Adapun perkara pelanggaran HAM berat masa lalu di antaranya adalah peristiwa Trisakti (Mei 1998), Semanggi I (1998) dan II (1999), kerusuhan sosial (Mei 1998), penghilangan orang secara paksa (1997?1998), Talangsari Lampung (1989), penembakan misterius (1982?1985), Tragedi 1965 (1965?1966), kasus di Wasior (2001), dan Wamena (2003).
Sumber: SoloPos.Com
0 komentar:
Posting Komentar