Kamis, 20/10/2016 20:30 WIB
Sidarto Danusubroto
menyebut sejumlah kelompok yang memiliki pengaruh politik belum siap
membuka kasus pelanggaran HAM yang selama ini jadi beban bangsa. (CNN
Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto
Danusubroto menyebut kekuatan politik tertentu belum siap mengungkap
sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pembunuhan
aktivis Munir Said Thalib.
"Hampir semua kasus HAM itu ada resistensi untuk diungkap. Ada kekuatan politik yang belum siap bicara kebenaran," ujar Sidarto di Jakarta, Kamis (20/10).
Sidarto mendapatkan banyak pertanyaan mengenai pengungkapan berbagai
kasus HAM yang jalan di tempat. Ia menegaskan, tidak semua elemen
masyarakat setuju dengan penyelesaian kasus HAM.
Sidarto mendasarkan pendapatnya pada aksi penolakan terhadap karya maupun diskusi yang berbau Tragedi 1965.
"Pemutaran film Pulau Buru digerebek. Diskusi ilmiah mengenai pelanggaran HAM di Universitas Gadjah Mada digerebek. Pemutaran film Act of Killing juga," tutur Sidarto.
Sebagai langkah awal, Sidarto mendesak pemerintah mengubah paradigma terhadap HAM. "Tidak perlu malu buka masa kelam, supaya kita tidak mengulangi lagi apa yang terjadi di masa lalu," tuturnya.
Pekan ini Kantor Staf Presiden menerbitkan laporan setebal 72 halaman
bertajuk Dua Tahun Kerja Nyata Jokowi-JK. Namun penyelesaian pelanggaran
HAM tidak masuk dalam tiga fokus utama dan delapan topik khusus.
Sementara itu, seperti tercantum dalam dokumen Nawacita, Jokowi-JK berjanji untuk menuntaskan kasus HAM yang hingga saat ini terus menjadi beban sosial-politik bangsa.
Pada draf target kerja yang disusun sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden itu menyebut sejumlah kasus, yaitu Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.
Khusus Tragedi 1965, Menko Polhukam Wiranto menyatakan Indonesia saat itu sedang dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, kata dia, seluruh tindakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan keamanan nasional.
"Untuk menyelesaikannya, diarahkan melalui cara nonyudisial, mempertimbangkan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan," ujarnya, 1 Oktober lalu.
(abm/rdk)
"Hampir semua kasus HAM itu ada resistensi untuk diungkap. Ada kekuatan politik yang belum siap bicara kebenaran," ujar Sidarto di Jakarta, Kamis (20/10).
Sidarto mendasarkan pendapatnya pada aksi penolakan terhadap karya maupun diskusi yang berbau Tragedi 1965.
"Pemutaran film Pulau Buru digerebek. Diskusi ilmiah mengenai pelanggaran HAM di Universitas Gadjah Mada digerebek. Pemutaran film Act of Killing juga," tutur Sidarto.
Sebagai langkah awal, Sidarto mendesak pemerintah mengubah paradigma terhadap HAM. "Tidak perlu malu buka masa kelam, supaya kita tidak mengulangi lagi apa yang terjadi di masa lalu," tuturnya.
|
Sementara itu, seperti tercantum dalam dokumen Nawacita, Jokowi-JK berjanji untuk menuntaskan kasus HAM yang hingga saat ini terus menjadi beban sosial-politik bangsa.
Pada draf target kerja yang disusun sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden itu menyebut sejumlah kasus, yaitu Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.
Khusus Tragedi 1965, Menko Polhukam Wiranto menyatakan Indonesia saat itu sedang dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, kata dia, seluruh tindakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan keamanan nasional.
"Untuk menyelesaikannya, diarahkan melalui cara nonyudisial, mempertimbangkan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan," ujarnya, 1 Oktober lalu.
|
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161020164530-20-166841/anggota-wantimpres-sebut-kasus-ham-tertahan-kekuatan-politik/
0 komentar:
Posting Komentar