Oleh: Arbi Sumandoyo - 31 Oktober 2016
Ketika perang dingin pecah, Indonesia menjadi sarang agen-agen KGB melakukan kegiatan spionase. Tak terkecuali keterlibatan CIA dalam aksinya melancarkan spionase menghadang komunis di Indonesia. Badan intelijen negeri Paman Sam itu terendus dalam keterlibatan penggulingan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan.
Pada awal Januari 2010, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri (Bareskrim Mabes Polri) menangkap seorang agen CIA, yang namanya aslinya Robert Marshall Reid. Lelaki itu memiliki perawakan tak layak seperti gambaran seorang agen intelijen dalam film-film produksi Hollywood.
Bob Marshall, begitu Robert Marshall Reid disebut dalam pemberitaan media massa kala itu, digambarkan memiliki perawakan tinggi kurus. Usianya 56 tahun dan memiki rambut putih perak. Dia ditangkap ketika membuat paspor di daerah Bogor, Jawa Barat.
Penangkapan oleh petugas imigrasi telah mengungkap tabir sosok Bob Marshall sebenarnya. Sehari setelah dititipkan dalam tahanan Markas Besar Polri, diketahui identitas Bob yang bekerja untuk CIA. Motif keberadaan Bob tanpa identitas resmi dan berada di Indonesia membuat muncul spekulasi jika lelaki kurus itu sedang menjalankan misi spionase. Kepolisian pun mendalami motif tujuan Bob dan keterkaitannya dengan dinas rahasia Amerika tersebut.
Dari catatan imigrasi kala itu, Bob Marshall melakukan penyamaran identitas. Dia memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kepada imigrasi saat wawancara pembuatan paspor, Bob mengaku keturunan Inggris. Karena kejanggalan dokumen pembuatan paspor ini, Imigrasi Indonesia melaporkan keberadaan Bob pada Kantor Kedubes Amerika di Jakarta.
Belakangan diketahui, Bob Marshall merupakan buronan tiga negara, yaitu Amerika, Inggris dan Rusia. Dia diduga terlibat pemalsuan dokumen, penjualan senjata api dan kasus cek kosong. Bob menjadi buronan sejak tahun 1974. Selama dalam pelarian, Bob diakui memiliki 50 paspor palsu dari berbagai negara.
Spionase CIA di Indonesia
Jejak spionase CIA di Indonesia memang bukan hal baru. Buku-buku yang membahas soal penggalangan dan spionase CIA telah banyak diterbitkan. “Legacy of Ashes, the History of CIA” karya Tim Weiner, jurnalis The New York Times salah satunya. Pemenang Pulitzer itu mengulas rinci kegiatan spionase CIA di Indonesia dan membuat geger tanah air, setelah buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.
Buku tersebut menyebut Adam Malik, mantan Menteri Luar Negeri yang juga Wakil Presiden Indonesia ketiga sebagai agen CIA. Pemilik nama lengkap Adam Malik Batubara itu direkrut menjadi agen CIA oleh Clyde Mcavoy, seorang perwira tinggi CIA. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2005, Clyde mengakui jika CIA merekrut Adam Malik untuk dijadikan agen buat menjalankan operasi spionase di Indonesia.
Operasi menghanguskan ideologi komunis pun dilancarkan dari biaya diberikan oleh CIA. Untuk menyamarkan pengiriman dana, CIA membuat kerja sama samaran dengan tentara dengan cara menjual obat-obatan.
Melalui mendiang Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayor Jenderal, operasi antiPKI dilakukan. Terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dituding komunis. Penumbangan rezim Soekarno pun berlangsung dengan pertumpahan darah. Sampai saat ini, peristwa itu masih menjadi catatan hitam yang tak pernah terungkap siapa dalang pembunuhan masal dan penghilangan paksa itu.
Atas jasanya menjadi agen intelijen, Adam Malik pun mendapat pujian dari Wakil Presiden Amerika Serikat Hubert H Humprey sebagai orang cerdas yang pernah dia temui. Berkat dukungan Amerika juga, Adam Malik disebut pernah duduk menjadi Ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dari Komunisme ke Terorisme
Spionase CIA di Indonesia memang tak pernah berhenti dalam menerapkan pengaruh mereka dalam dunia intelijen. Setelah sukses dengan operasi pemusnahan ideologi komunis, kini dinas rahasia milik paman Sam itu gencar melakukan operasi intelijen pencegahan terorisme. Itu merupakan buntut dari tragedi 11 September 2001 yang merobohkan World Trade Center (WTC), yang membuat negara itu gencar mengajak intelijen lintas negara buat melakukan pertukaran informasi.
George Walker Bush adalah Presiden Amerika paling gencar menghamburkan uang soal ini. Dia pun tak pernah mendengar teriakan warganya atas invasi militer ke Afganistan yang banyak menelan korban sipil. Sebagai negara adikuasa, Amerika tentu bakal memberikan pengaruhnya ke negara-negara lain, tak terkecuali di Indonesia.
Apalagi Indonesia juga pernah mengalami aksi serupa, yaitu munculnya wabah terorisme. Dimulai dari bom di malam Natal dan memiliki sejarah kelam soal ancaman teror, Lembaga Telik Sandi di bawah kepemimpinan AM Hendropriyono pun melakukan kerja sama dengan AS. Tahun 2002, operasi inteljen penangkapan Umar Al Faruq berhasil dilakukan setelah ada informasi dari CIA. Pada saat itu, Umar Al Faruq, salah satu tokoh terorisme Asia Tenggara dibekuk oleh BIN.
Umar Al Faruq kemudian diterbangkan oleh CIA ke AS. Aroma operasi intelijen inipun terkuak. BIN diduga menaruh agen mereka dalam tubuh Mujahidin Indonesia. Penyerahan Faruq pun menjadi tanda tanya, apalagi orang yang disebut tangan kanan Osama Bin Laden itu diketahui juga melakukan serangkaian aksi terorisme di Indonesia. Belakangan baru diketahui, jika sejatinya ada operasi intelijen dibalik penangkapan Al Faruq di daerah Bogor, Jawa Barat.
Mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, membenarkan soal peranan lembaga telik sandi yang pernah dia pimpin dibalik penangkapan Al Faruq. Menurut As’ad, kerjasama dengan CIA tak lain gerakan antiterorisme yang digaungkan oleh Amerika.
Bob Marshall, begitu Robert Marshall Reid disebut dalam pemberitaan media massa kala itu, digambarkan memiliki perawakan tinggi kurus. Usianya 56 tahun dan memiki rambut putih perak. Dia ditangkap ketika membuat paspor di daerah Bogor, Jawa Barat.
Penangkapan oleh petugas imigrasi telah mengungkap tabir sosok Bob Marshall sebenarnya. Sehari setelah dititipkan dalam tahanan Markas Besar Polri, diketahui identitas Bob yang bekerja untuk CIA. Motif keberadaan Bob tanpa identitas resmi dan berada di Indonesia membuat muncul spekulasi jika lelaki kurus itu sedang menjalankan misi spionase. Kepolisian pun mendalami motif tujuan Bob dan keterkaitannya dengan dinas rahasia Amerika tersebut.
Dari catatan imigrasi kala itu, Bob Marshall melakukan penyamaran identitas. Dia memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Kepada imigrasi saat wawancara pembuatan paspor, Bob mengaku keturunan Inggris. Karena kejanggalan dokumen pembuatan paspor ini, Imigrasi Indonesia melaporkan keberadaan Bob pada Kantor Kedubes Amerika di Jakarta.
Belakangan diketahui, Bob Marshall merupakan buronan tiga negara, yaitu Amerika, Inggris dan Rusia. Dia diduga terlibat pemalsuan dokumen, penjualan senjata api dan kasus cek kosong. Bob menjadi buronan sejak tahun 1974. Selama dalam pelarian, Bob diakui memiliki 50 paspor palsu dari berbagai negara.
"Karena, Robert 'Bob' Marshall adalah buronan CIA atau badan intelijen Amerika Serikat dan interpol sejak 1974. Kejari Kota Bogor menganggap perkara ini adalah perkara tingkat penting, sehingga mengajukan beberapa persyaratan," kata Kepala Kantor Imigrasi Bogor, Ibrahim Saleh, seperti dikutip dari Antara.Namun, tudingan Bob menjadi agen CIA sampai saat ini tak pernah terjawab. Kedutaan Besar Amerika pun tak mengomentari keterlibatan Bob Marshall dalam CIA. Hingga Bob dideportasi oleh Pemerintah Indonesia, tudingan melakukan spionase dan memata-matai Indonesia tak pernah disangkalkan. Kala itu Bob hanya menyangkal atas tuduhan melanggar Undang-Undang Keimigrasian. Keterlibatan Bob menjadi agen CIA di Indonesia sampai saat ini masih menjadi misteri. Kasus spionase ini pun menguap dari pemberitaan.
"Amerika terus memantau Indonesia dalam penyelesaian perkara ini," ujar Ibrahim Saleh.
Spionase CIA di Indonesia
Jejak spionase CIA di Indonesia memang bukan hal baru. Buku-buku yang membahas soal penggalangan dan spionase CIA telah banyak diterbitkan. “Legacy of Ashes, the History of CIA” karya Tim Weiner, jurnalis The New York Times salah satunya. Pemenang Pulitzer itu mengulas rinci kegiatan spionase CIA di Indonesia dan membuat geger tanah air, setelah buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia.
Buku tersebut menyebut Adam Malik, mantan Menteri Luar Negeri yang juga Wakil Presiden Indonesia ketiga sebagai agen CIA. Pemilik nama lengkap Adam Malik Batubara itu direkrut menjadi agen CIA oleh Clyde Mcavoy, seorang perwira tinggi CIA. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2005, Clyde mengakui jika CIA merekrut Adam Malik untuk dijadikan agen buat menjalankan operasi spionase di Indonesia.
“Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut,” kata Clyde Mcavoy.Weiner bahkan menjabarkan ulasan lebih dalam tentang spionase CIA dengan merekrut pejabat tinggi di pemerintahan Indonesia. Pada pertengahan Oktober, sebelum peristiwa pemberontakan G-30-S berlangsung, CIA membuat pemerintah bayangan di Jawa Tengah. Para elitenya adalah Sultan, Adam Malik dan juga Soeharto. Bahkan dalam bulan itu, ada sebuah pertemuan rahasia antara orang suruhan Adam Malik dengan atase politik Kedubes Amerika di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Bob Martens menyodorkan sebuah daftar target tokoh-tokoh komunis di Indonesia yang dirangkumnya dari sebuah surat kabar berhaluan komunis.
Operasi menghanguskan ideologi komunis pun dilancarkan dari biaya diberikan oleh CIA. Untuk menyamarkan pengiriman dana, CIA membuat kerja sama samaran dengan tentara dengan cara menjual obat-obatan.
Melalui mendiang Presiden Soeharto yang kala itu berpangkat Mayor Jenderal, operasi antiPKI dilakukan. Terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang yang dituding komunis. Penumbangan rezim Soekarno pun berlangsung dengan pertumpahan darah. Sampai saat ini, peristwa itu masih menjadi catatan hitam yang tak pernah terungkap siapa dalang pembunuhan masal dan penghilangan paksa itu.
Atas jasanya menjadi agen intelijen, Adam Malik pun mendapat pujian dari Wakil Presiden Amerika Serikat Hubert H Humprey sebagai orang cerdas yang pernah dia temui. Berkat dukungan Amerika juga, Adam Malik disebut pernah duduk menjadi Ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dari Komunisme ke Terorisme
Spionase CIA di Indonesia memang tak pernah berhenti dalam menerapkan pengaruh mereka dalam dunia intelijen. Setelah sukses dengan operasi pemusnahan ideologi komunis, kini dinas rahasia milik paman Sam itu gencar melakukan operasi intelijen pencegahan terorisme. Itu merupakan buntut dari tragedi 11 September 2001 yang merobohkan World Trade Center (WTC), yang membuat negara itu gencar mengajak intelijen lintas negara buat melakukan pertukaran informasi.
George Walker Bush adalah Presiden Amerika paling gencar menghamburkan uang soal ini. Dia pun tak pernah mendengar teriakan warganya atas invasi militer ke Afganistan yang banyak menelan korban sipil. Sebagai negara adikuasa, Amerika tentu bakal memberikan pengaruhnya ke negara-negara lain, tak terkecuali di Indonesia.
Apalagi Indonesia juga pernah mengalami aksi serupa, yaitu munculnya wabah terorisme. Dimulai dari bom di malam Natal dan memiliki sejarah kelam soal ancaman teror, Lembaga Telik Sandi di bawah kepemimpinan AM Hendropriyono pun melakukan kerja sama dengan AS. Tahun 2002, operasi inteljen penangkapan Umar Al Faruq berhasil dilakukan setelah ada informasi dari CIA. Pada saat itu, Umar Al Faruq, salah satu tokoh terorisme Asia Tenggara dibekuk oleh BIN.
Umar Al Faruq kemudian diterbangkan oleh CIA ke AS. Aroma operasi intelijen inipun terkuak. BIN diduga menaruh agen mereka dalam tubuh Mujahidin Indonesia. Penyerahan Faruq pun menjadi tanda tanya, apalagi orang yang disebut tangan kanan Osama Bin Laden itu diketahui juga melakukan serangkaian aksi terorisme di Indonesia. Belakangan baru diketahui, jika sejatinya ada operasi intelijen dibalik penangkapan Al Faruq di daerah Bogor, Jawa Barat.
Mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali, membenarkan soal peranan lembaga telik sandi yang pernah dia pimpin dibalik penangkapan Al Faruq. Menurut As’ad, kerjasama dengan CIA tak lain gerakan antiterorisme yang digaungkan oleh Amerika.
“Penangkapan itu menjadi prestasi bagi BIN,” ujarnya saat berbincang dengan tirto.id, Selasa lalu. Dia pun menegaskan, hingga saat ini, kerjasama intelijen lintas negara pun masih dilakukan untuk mencegah aksi terorisme. Buat mencegah hal itu, Indonesia juga mengeluarkan produk turunan berupa Undang-Undang Anti Terorisme.
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar