Minggu, 23 Oktober 2016 − 05:05 WIB
Supardjo dan Istri. Foto:Istimewa/Hasan Kurniawan/SINDOnews
BRIGADIR Jenderal Supardjo merupakan salah satu tokoh
penting dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Sebelum ditangkap,
Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini sempat menulis
Kritik Oto Kritik (KOK) tentang G30S. Tulisan ini dianggap bebas
dari tekanan tentara dan bukan untuk memenuhi keinginan para
integrator, karena ditulis sebelum Supadjo ditangkap. Dengan demikian,
tulisan ini dianggap memiliki bobot kejujuran yang tidak diragukan lagi.
Dokumen Supardjo itu diberinya judul "Beberapa Pendapat jang
Mempengaruhi Gagalnja G30S, Dipandang dari Sudut Militer." Di dalam
dokumen itu, Supardjo dinilai berusaha sangat rasional di dalam
menuliskan analisisnya tentang G30S. John Roosa dalam bukunya
"Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto"
menyatakan, dokumen Supardjo istimewa karena dia orang "luar" yang
bergabung dengan G30S hanya tiga hari, sejak 30 September hingga 2
Oktober 1965. "Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui
dokumen ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G30S.
Ini satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh
pelaku G30S sebelum ia tertangkap," terangnya. Supardjo
merupakan tentara profesional yang karirnya sangat gemilang. Dari
seluruh pimpinan G30S, pangkatnya lah yang paling tinggi. Dia menjadi
brigadir jenderal pada usia 40 tahun, karena prestasinya dalam berbagai
pertempuran. Sampai 1965, Supardjo telah mengabdikan dirinya
sebagai tentara selama 20 tahun, dari saat perang kemerdekaan. Karir
militernya mulai melambung saat pertempuran di Jawa Barat melawan
pasukan Belanda dengan taktik kuda Troya-nya. Dia mencegat
kereta api dan diam-diam menaikkan 300 prajurit ke dalam
gerbong-gerbongnya. Saat kereta api melintas di kubu pertahanan Belanda,
para prajurit itu berhamburan keluar langsung menyerang dan
menghancurkan pertahanan lawan. Pada akhir 1950 dan awal 1960,
Supardjo juga memainkan peran penting dalam menumpas pemberontakan Darul
Islam (DI). Dia juga pernah mengikuti pendidikan di sekolah staf
tentara Pakistan, di Quetta, dan menulis naskah perang gerilya. Sebagai
tentara terlatih, Supardjo paham betul bagai mana menghancurkan musuh.
Menarik diperhatikan adalah bagai mana dia tertarik terlibat dalam G30S
pimpinan Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang pangkatnya lebih rendah
darinya?
Tidak hanya itu, saat G30S mengumumkan penurunan pangkat di atas letnan
kolonel, Supardjo juga telah mengorbankan karir militer yang telah
dirintisnya sejak 20 tahun. Apa motivasinya? Tidak lain karena isu Dewan
Jenderal itu sendiri. Supardjo disebut-sebut masuk ke dalam
anggota Dewan Jenderal. Dia bahkan yang menyampaikan setiap perkembangan
dalam rapat-rapat Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta
pada 5 Oktober 1965 bertepatan dengan Hari ABRI. Supardjo
menulis KOK-nya pada pertengahan 1966, setelah G30S dihancurkan. Karir
militernya saat itu sudah hancur. Begitupun dengan hidupnya. Istri dan
sembilan anaknya ditinggalkan, dan selalu mendapatkan pengawasan ketat
dari tentara. Pada situasi yang sangat menekan psikologi inilah,
dia menulis kritiknya dengan jernih tanpa membawa serta emosinya. Dalam
dokumen penting itu, Supardjo tidak menganggap dirinya sebagai salah
satu pimpinan yang bertanggung jawab dalam G30S. Dia tidak punya
pasukan dan tidak diberikan kepercayaan mengambil alih pimpinan untuk
melakukan gerakan militer. Namun dapat diduga dia menulis KOK itu untuk
Sudisman, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih hidup. Supardjo
memulai kritiknya dari awal keterlibatannya dalam G30S, yakni pada 30
September 1965. Sebagai prajurit terlatih, dia merasakan betapa G30S
tidak memiliki perencanaan matang, pasukan yang jelas, dan kepemimpinan
komando yang lemah. Saat operasi militer dilangsungkan, Komandan
G30S Letkol Untung keletihan karena sudah tiga hari berturut-turut
mengawal Presiden Soekarno. Bahkan saat G30S akan dilancarkan, malamnya
dia masih mengawal Soekarno di Istora Senayan. Untung juga
dianggap tidak bisa mengkoordinasikan pasukannya di Lobang Buaya. Hingga
larut malam, kegiatan di Lobang Buaya masih terus berlangsung dan
pasukan belum disiapkan. Bahkan, peluru-peluru dalam peti masih tersegel
dan belum dibuka. Saat malam jelang persiapan, pasukan yang
siap dengan G30S hanya dari Tjakrabirawa. Bahkan, ada pimpinan dari G30S
yang tiba-tiba mengundurkan diri dengan terang-terangan. Hal ini dipicu
tidak adanya tujuan yang jelas dari G30S. Sampai detik
dilangsungkannya gerakan, tidak ada gambaran perang yang jelas dari
pimpinan G30S. Apa yang harus dilakukan setelah peristiwa penyergapan
tidak ada, bagaimana situasi lawan, dan kekuatan pasukan sendiri tidak
ada gambaran.
Dalam situasi-situasi genting, pimpinan G30S bahkan lebih asyik diskusi
antara pimpinan dari kelompok militer dan sipil. Kelompok militer di
bawah kendali Untung, Latief dan Sudjono, serta sipil di bawah kendali
Sjam, Bono dan DN Aidit. "Ketika masuk berita bahwa Nasution
tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat,
kehilangan akal, dan tidak berbuat apa-apa.. Selama 12 jam, jadi satu
siang penuh, musuh dalam keadaan panik," terang Supardjo. Dalam
hukum militer, membiarkan musuh istrihat dan menyusun kekuatan adalah
kesalahan yang sangat fatal. Namun, hal itulah yang terjadi. Nasution
dan Soeharto akhirnya menyerang markas G30S di Halim dan berhasil
menghancurkan gerakan itu. Bahkan saat AURI menawarkan diri
bergabung dengan G30S untuk melawan serangan Soeharto, pimpinan G30S
sudah kehilangan semangat untuk menyerang. Akhirnya, pasukan dari RPKAD
menyerang G30S dan situasi yang menjadi sangat kacau. "Pasukan-pasukan
pemuda belum biasa menghadapi perang yang sesungguhnya. Pada moment
yang gawat itu, saya mengusulkan agar semua pimpinan saya pegang. Nanti
bila situasi bisa diatasi, saya kembalikan lagi. Tetapi tidak ada
jawaban," jelasnya. Sebaliknya, pimpinan G30S malah menghentikan
perlawanan masing-masing dan meminta semua pasukannya membubarkan untuk
diri, sambil menunggu adanya perundingan. Tetapi yang terjadi, pasukan
RPKAD malah terus menyerang dan menghancurkan PKI. Beberapa hal
lain yang menjadi catatan Supardjo adalah tidak dipenuhinya kebutuhan
makan para prajurit, sehingga banyak prajurit G30S yang masuk ke Kostrad
untuk mendapatkan makanan. Padahal, sebenarnya mereka sama juga
menyerahkan diri. "Akhirnya Nato (Nasution-Soeharto) cs
memegang inisiatif dan memulai tegen offensifnya. Kekuatan G30S mereka
kejar dan kesempatan yang lama mereka tunggu tidak disia-siakan, yaitu
mengobrak-abrik PKI," terangnya. Pada akhirnya, Supardjo
menyalahkan Aidit karena telah membawa PKI ke dalam kehancuran yang
sulit dipulihkan. Menurutnya, rencana awal revolusi akan dilakukan
bertingkat. Tetapi tiba-tiba diubah oleh Aidit menjadi gerakan PKI
seluruhnya. Tingkat pertama dari revolusi bertingkat adalah
menjadikan gerakan di dalam tubuh AD dengan jalan merebut pimpinan AD,
mulai dari mengganti panglima, dan para komandannya dengan
perwira-perwira yang demokratis revolusioner.
Tahap kedua, revolusi dipimpin oleh partai. Dimulai dengan mengerahkan
massa partai yang dibayangi oleh militer-militer progresif, persis
seperti yang dilakukan oleh kubu Nato cs saat menghancurkan PKI dan
pemerintahan Soekarno. Bila rencana revolusi bertingkat ini
berhasil, maka keuntungannya adalah ketika tentara dipukul, maka partai
yang tetap mempunyai legalitet untuk dapat melindungi militer. Tetapi
yang terjadi sebaliknya, revolusi dipimpin partai. "Kegagalan
revolusi kita, disebabkan di antaranya dipindahkannya rencana operasi
yang semula bersifat intern AD menjadi operasi yang langsung dipimpin
partai, sehingga menyebabkan terseratnya partai dan obrak-abriknya
partai," tukasnya. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang dokumen Supardjo dalam mengungkap kegagalan Gerakan 30 September 1965. Semoga memberikan manfaat. Sumber Tulisan : *Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Penerbit Buku Kompas, Juli 2010. *H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66, Cetakan Ketiga, 2008. *Victor M Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, Yayasan Obor Indonesia, Cetakan ke-4, September 2007. *John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra, Cetakan 1, 2008. (san )
http://daerah.sindonews.com/read/1149282/29/dokumen-supardjo-mengungkap-kegagalan-gerakan-30-september-1965-1477110699
0 komentar:
Posting Komentar