Nurdiyansah Dalidjo*
Oct 20, 2016
Udara sejuk
langsung terasa begitu saya tiba di Malang pada suatu pagi menjelang siang.
Lega betul akhirnya bisa menghirup oksigen segar dengan cuaca cerah selepas
menempuh perjalanan dengan kereta api sekitar 14 jam dari Jakarta. Buat saya,
Malang jadi salah satu tempat paling berkesan di Jawa. Selain iklim yang
menenangkan, ia juga memiliki rumah-rumah peninggalan Belanda yang cantik.
Tetapi yang tak kalah menarik adalah beragam situs bersejarah yang sarat makna.
Kali ini, saya kembali ditemani Roni — kawan yang tinggal di Malang. Saya sebetulnya
amat ingin menelusuri tempat-tempat bersejarah yang “berbeda”. Jika pada
kunjungan sebelumnya, saya getol sekali dengan percandian, maka perjalananan
ini diinspirasi oleh suatu peristiwa yang baru saja saya kenang dan terkesan
begitu mendalam.
Emosi tentang
memori kelam yang terjadi di Malang tempo dulu yang saya dapati di novel Lasmi karya Nusya Kuswantin. Itu
tentang genosida 1965. Tidakkah angka yang menunjukkan tahun itu masih samar
atau mungkin bagi sebagian dari kita justru terdengar angker?
Dari perasaan
penasaran itu kami pun melakukan perjalanan ke tempat-tempat di Malang yang
terkait dengan peristiwa 1965.
Bendungan
Sutami dan Merah yang Mengalir di Sungai Brantas
Bendungan Karangkates atau Waduk Sutami adalah
danau buatan berupa waduk terbesar di Jawa Timur (luas permukaan sekitar 15
km2) yang dibangun oleh Ir. Sutami tahun 1964 sampai 1973 dan diresmikan
Presiden Soeharto tahun 1977. Bendungan ini menahan aliran Sungai Brantas dan
menampung air dari Gunung Arjuno maupun air hujan.
Awalnya berfungsi
sebagai pengendali banjir, pembangkit listrik tenaga air, dan penyedia air
irigasi, tapi belakangan berkembang untuk kegiatan pariwisata dan perikanan air
tawar.
Saya sebetulnya
agak males kalau sekadar melihat bendungan, tapi, ya, mumpung searah, jadi
mengapa tidak sekalian mampir.
Benar saja, waduk ini ternyata begitu ramai
menjadi arena rekreasi. Di sebelahnya, tampak plang bertuliskan “Taman Wisata
Karangkates” yang berarti pengembangan bendungan menjadi lokasi wisata sudah
dilakukan. Karcisnya murah, hanya Rp 7 ribu. Selain ada taman bermain dan kolam
renang, ternyata di tepian ada saung yang menghadap ke danau buatan. Lumayan
buat leyeh-leyeh di
bawah pohon sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Suasananya sudah seperti di
pantai!
“Katanya, ini lokasinya angker!” celoteh Roni tiba-tiba yang pastinya mengganggu keasyikan saya menikmati suasana. Roni memang punya banyak gosip soal tempat-tempat di Malang. Ia melanjutkan cerita, “Katanya, sih, kalau malam-malam di sekitar sini suka muncul penampakan hantu perempuan, kadang berwujud kuntilanak.”
Salah satu tanda kehadiran makhluk halus di
tempat itu adalah bau anyir darah atau bau daging busuk dibakar. Saya juga
bingung seperti apa bau macam itu! Salah satu spot angker
itu berupa jalanan yang berada di atas bendungan dan target si hantu adalah
para pengendara motor.
Cerita angker waduk ini kami dapat dari
obrolan kami dengan Yu Lik (bukan nama sebenarnya). Yu Lik adalah sapaan akrab
bagi perempuan berusia sekitar kepala enam yang juga kerabat Roni. “Yu” singkatan untuk mbakyu — bahasa Jawa untuk memanggil perempuan yang lebih tua. Dia bercerita
tentang peristiwa yang terjadi di desanya pada hari-hari tahun 1965–1966 — peristiwa kelam yang terjadi tak lama setelah hari itu tercatat
sejarah: G30S atau Gerakan 30 September.
Peristiwa itu terjadi saat Yu Lik beranjak
remaja. Kondisi di desanya sangat mencekam. Isu penangkapan simpatisan PKI
(Partai Komunis Indonesia), kian merebak. Bukan hanya anggota PKI yang
ditangkap, tapi juga kelompok-kelompok yang diduga terkait, termasuk Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) — organisasi
perempuan di Indonesia sekitar tahun 1950-an sampai 1960-an yang disebut-sebut
sebagai salah satu organisasi perempuan terbesar dan termaju di dunia pada
zamannya.
Di desa Yu Lik, konflik diawali dengan
kematian Pak Haji X. Pak Haji X ini adalah pemuka desa yang terpandang. Yu Lik
menjelaskan tentang sosoknya sebagai pelindung orang-orang yang dijadikan
target. Ia tak segan menasehati kelompok asing (dari luar desa) yang tiba-tiba
datang untuk menangkap orang-orang.
Nasehatnya itu
sederhana: “Kalau sesama manusia jangan saling membunuh,” kata Yu Lik meniru
ucapan Pak Haji. Desas-desus mereka yang ditangkap, sudah beredar luas. Kalau
tidak kembali, ya, berarti mati!
Ketika Pak Haji akhirnya tiada, pembantaian
masuk desa. Segerombolan pemuda berkostum serba putih mulai menggedor pintu
rumah-rumah warga desa pada malam hari dan satu per satu mereka diculik! Dulu
tak jauh dari desa ada lapangan luas yang dipakai untuk mengumpulkan
orang-orang. Mereka adalah simpatisan dan/atau orang-orang yang dituduh atau
diduga terkait dengan PKI, termasuk perempuan para anggota Gerwani. Mereka
dibariskan di lapangan tersebut.
Yu Lik juga bercerita soal sumur yang dipakai
untuk beleh orang.
Maksudnya, eksekusi mati dengan cara disembelih lehernya di sumur! Mereka yang
mati, kupingnya dipotong dan ditusukkan seperti sate sambil dipertontonkan ke
warga desa sebagai teror.
Mereka yang diculik, disiksa, dan dibunuh,
mayat-mayatnya sebagian dikubur seadanya. Sisanya dibuang ke jurang serta
Sungai Brantas — sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa
(setelah Sungai Bengawan Solo) yang alirannya juga menuju ke Bendungan Sutami.
Kala itu, setiap hari ditemukan banyak mayat di sepanjang aliran sungai, bahkan
ia bilang warna airnya keruh karena darah. Kami tak ingin menduga-duga, tapi
tragedi pembantaian itu terjadi bersamaan dengan periode awal pembuatan waduk.
Tak ada acuan data pasti berapa jumlah korban pembantaian terburuk dalam
sejarah Indonesia tersebut. Banyak dugaan beredar jumlahnya mencapai ratusan
ribu hingga jutaan orang.
Jurang
Mayit
Esoknya, kami pergi naik motor ke Gunung
Mujur yang sebagian besar masih berupa hutan. Lokasinya masih di Kecamatan
Karangploso, tepatnya di Desa Donowarih dan Desa Ngenep di lereng Gunung
Arjuno. Udara sangat segar di antara rimbunan pinus.
Kami sampai di warung kecil dan setelah kami
permisi memarkir motor, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
menapaki tangga tanah yang dialasi bebatuan. Pada suatu titik, saya begitu
kagum dengan apa yang ada di hadapan kami: Gunung Arjuno.
Dalam perjalanan pulang, diam-diam Roni ingin
menunjukkan suatu tempat yang menurutnya pasti akan mengejutkan saya. Ia melaju
melewati rute alternatif yang menghubungkan Kota Batu dan Kabupaten Malang.
Agak sedikit menjauh. Hari sudah mulai dekat dengan Magrib. Saya harap Roni
tidak semakin membuat saya khawatir.
Rute alternatif itu berupa jalanan aspal yang
tidak begitu lebar. Sisi kiri kami adalah tebing berbatu dan sisi kanan masih
berupa perkebunan serta jurang yang cukup terjal. Tak banyak rumah.
Kami akhirnya menepi di sebuah jembatan
kecil. Di bawah kami adalah kali yang dipenuhi bebatuan besar, anak Sungai
Brantas. Alirannya deras dan disangkuti cukup banyak sampah plastik.
“Ini yang namanya Jurang Mayit!” Mayit berarti mayat.
Roni menunjuk ke arah ujung aliran sungai
yang gelap dan dikerumuni hutan bambu lebat. Suara desiran yang membuat bulu
kuduk merinding ketika daun-daun bambu saling bersentuhan tertiup angin. Kami
dapat mendengar suara reot batang bambu yang bergeser. Seperti hembusan pasir
yang diiringi alunan bunyi patah perlahan.
Jurang Mayit.
“Kreeekkk…” Sesuatu berbisik dengan lirih.
Mengapa jadi terasa menyeramkan? Apakah Jurang
Mayit itu?
“Ini salah satu jurang yang jadi lokasi
pembuangan mayat-mayat PKI yang diceritakan Yu Lik!” Roni sukses membuat saya
tercengang kaget.
“Hah, serius?!” Pantas atmosfirnya jadi
tiba-tiba bikin ngeri begini!
“Dulu orang ngga ada yang
berani menyebut “Jurang Mayit” karena kalau ketahuan tentara, bisa ditangkap!”
Rasanya pilu membayangkan visual tubuh-tubuh
manusia yang berada di bagian belakang truk. Tertumpuk bersama puluhan lain
yang mungkin sudah jadi mayat atau mereka yang masih sekarat, lantas
digelontorkan ke jurang layaknya kumpulan debu dan kotoran pada pengki yang
dituang ke tempat sampah. Membayangkan rasa perih dan bunyi saat daging robek
dan tulang bergeretak akibat terhantam batu-batu besar dan tajam.
Tubuh yang terluka, hancur, mati, membusuk, dan
mengalir atau tersangkut seperti sampah yang kini mengotori sungai. Air yang
berubah keruh oleh darah dan badan yang tercerai-berai.
Kengerian di Museum Brawijaya
Esoknya, seperti rutinitas saya setiap ke
Malang, saya melakukan tur keliling kota sekadar menikmati keindahan
bangunan-bangunan lama bergaya art-deco yang cukup
menyenangkan hanya untuk dilihat-lihat.
Tetapi kali itu, saya terpikir singgah ke
Museum Brawijaya. Sudah cukup sering kami melewatinya, tapi enggan menyempatkan
mampir. Bahkan, Roni sendiri yang tinggal di Malang pun belum pernah juga
berkunjung.
Tampak depan museum, corak militer sudah
terasa. Ada tank dan meriam yang memberi pertanda. Di
halamannya juga terdapat patung dada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jadi,
kami hanya menduga-duga seperti apa isi museum yang dibangun tahun 1967–1968
atas prakarsa Brigjend TNI (Purn.) Soerachman, mantan Pangdam VIII/Brawijaya
tahun 1959–1962.
Ketika sampai di meja loket, seorang penjaga
berpakaian loreng menghampiri kami. Tak ada senyum, selain cuma memberitahu
harga tiket sebesar Rp 2 ribu. Ruang lobi dipenuhi dengan relief perjuangan dan
lambang-lambang TNI AD. Bagian koleksi ada pada ruangan di kedua sisi lobi.
Ketika kami masuk ke dalam, ada koleksi yang
mencuri perhatian kami. Koleksi tersebut adalah serangkaian foto pembantaian
para simpatisan PKI dan aktivis Gerwani tahun 1965. Terlihat pada foto, tubuh
mereka penuh luka, ada yang diikat sambil berbaris. Atmosfir mengerikan di
ruang yang hening itu tiba-tiba membuat saya ingin menangis. Wajah-wajah pada
potret yang memancarkan kesedihan. Atas sebuah perbedaan ideologi, nyawa
ditaruhkan menjadi begitu murah.
Tak ada ilustrasi tulis yang bisa kami baca,
tapi gambar bisa banyak berbicara dengan beragam tafsir. Tentang kondisi zaman
kelam di sekitar Malang dan tentang kaitan Kodam Brawijaya dengan PKI dan
pembantaian ’65-‘66.
Potret Kota Malang yang dengan bangunan tua peninggalan Belanda.
Keluar museum, badan saya terasa berat. Entah
apakah pengelola museum mempertimbangkan aspek psikologis bagi pengunjung yang
datang. Atau jangan-jangan, memang efek inilah yang diharapkan setelah
mengunjungi Museum Brawijaya yang terkesan mencekam. Perasaan angker sekaligus
ngeri seperti yang saya rasakan ketika mengunjungi Bendungan Sutami dan Jurang
Mayit muncul begitu keluar dari museum.
Setelah berkeliling jalan kaki untuk
menyegarkan pikiran, pikiran saya tetap tak juga tenang. Saya memikirkan mereka
yang mati, disiksa, dipenjara, atau hilang begitu saja. Mereka adalah orangtua
dari anak-anak yang kini telah beranjak separuh abad usia. Mereka memiliki
kakak, adik, bibi, paman, atau sanak keluarga dan kerabat lainnya yang mungkin
hingga kini masih diliputi banyak tanya.
Salah satu dari mereka adalah Bagas (bukan nama
sebenarnya) yang kebetulan seumuran dengan saya. Kami berdua lahir di
pertengahan tahun 1980-an. Kami tak tahu banyak tentang peristiwa 1965. Amat
sangat jarang kami mendengar cerita, apalagi beragam peristiwa seperti yang
diungkapkan Yu Lik.
Bagas mengatakan memang tak memiliki memori
tentang ’65. Namun, dia memiliki seorang paman yang tak pernah ia kenal selain
hanya nama.
Paman yang sosoknya absen, bahkan keluarganya
sendiri enggan mengenang atau berkisah tentang hilangnya saudara ayahnya itu di
tahun ‘65-’66. Saya melihat wajahnya yang ingin sedih, tapi bingung ketika ia
bercerita tentang pamannya yang hilang. Ada kekosongan yang sulit ia pahami.
Seperti halnya jeda yang terlewati bagi perjalanan sejarah negara ini. Kita
menanti. Bahwa ada banyak hal penting sebetulnya bisa kita pelajari. Andai
saja, negara mau mengakui.
Tentu saja, pengakuan dan permintaan maaf
mungkin dapat menjadi jawaban buat kita generasi muda yang selama ini diliputi
tanya apa yang sebenarnya terjadi tahun ’65 dan apa itu PKI.
Nurdiyansah,
adalah penulis buku Porn(O) Tour (Metagraf-Tiga
Serangkai, 2015). Barus aja menerbitkan buku independen berjudul Kota Tua JKT: Pergulatan Pariwisata,
Konservasi, & Kemiskinan.
Nurdiyansah Dalidjo, Writer & activist who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. www.instagram.com/penjelajah_rempah/Sumber: Ingat-65
0 komentar:
Posting Komentar