Efrial Ruliandi Silalahi | Oct 13, 2016
Ilustrasi
Sungai (Source: “Still River” by Skvor/Deviantart.com, CC
BY-NC-ND 3.0)
Masih teringat jelas di
kepalaku. Tahun 1997. Kala itu saya masih bocah ingusan berusia 8 tahun. Anak
polos yang masih duduk di sekolah dasar yang suka bertanya tentang apa yang
baru dilihatnya.
Kami mudik untuk merayakan hari raya. Pulang
kampung menggunakan bus. Kami melewati jembatan yang cukup panjang. Sungai di
bawah jembatan tampak begitu luas.
Saya bertanya pada Ayah: “Yah. Itu sungai apa
namanya?”
Ayah menjawab, “Itu Sungai Ular, nak.”
“Banyak ularnya ya yah? Kok bisa dibilang
Sungai Ular?”
Ayah tertegun sejenak. Dan beliau mengalihkan
pembicaraannya. Ayah berkata kepadaku kita sudah sampai di Deli Serdang.
Aku tahu ayahku menyimpan sesuatu dariku. Saya
penasaran, dan mendesaknya ntuk bercerita kepadaku mengenai Sungai Ular. Ibu
kemudian bercerita asal muasal nama Sungai Ular. Ibu berkata di sungai itu
terdapat sepasang buaya putih yang konon dapat merubah wujudnya menjadi manusia.
Mereka mencari mangsa, dan siap menerkam penduduk desa yang berada di sekitar
sungai pada malam hari. Aku takut mendengar cerita tersebut dan ibuku tidak
melanjutkan bercerita.
Sesampainya di kampung halaman orangtuaku, saya
sungkem kepada kakek dan nenek. Tanpa basa basi saya tanya kepada Kakek tentang
Sungai Ular. Kakek tertegun sejenak, dan akhirnya membenarkan cerita Ibu di bus
tadi.
Saya masuk perguruan tinggi 2007 lalu. Akhirnya
saya mendapatkan informasi lain mengenai Sungai Ular yang melegenda itu.
Ternyata mitos yang saya dengar dari orangtua maupun keluarga besar tidaklah
benar.
Saya mengerti mengapa orangtua saya menutupinya
kebenaran soal Sungai Ular dari saya. Orang tua saya sebenarnya tahu bahwa
Sungai Ular itu tempat pembantaian tapol. Namun, karena waktu itu yang berkuasa
masih Orba keluarga saya bungkam demi keselamatan keluarga.
Saya akhirnya leluasa berbicara mengenai G30S
dengan ayah saya sesudah memasuki bangku kuliah.
Orangtua saya tidak mengizinkan saya menontoh
film Pengkhiatan G30S/PKI ketika rutin diputar di TVRI setiap tanggal 30
September.
Alasan yang diberikan orang tua saya adalah
bahwa film tersebut ditayangkan jam 9 malam dan mengganggu jam tidur anak
sekolah yang masih SD. Alasan asli orang tua saya ternyata agar pikiran saya
tidak terhegemoni atas propaganda film (yang dibuat Orba).
Sesudah film dokumenter karya Joshua
Oppenheimer, Jagal dan Senyap, keluar, saya mendapatkan informasi lebih banyak
lagi mengenai Sungai Ular. Tempat pengambilan film dokumenter Jagal berada di
Medan dekat kampung halaman orangtua saya walaupun berbeda kecamatan.
Film dokumenter Senyap pengambilannya di Deli
Sedang tepatnya di sekitar Sungai Ular. Baru saya paham, kenapa tempat itu
dikeramatkan hingga sekarang. Masyarakat disana menganggap bahwa daerah
tersebut adalah saksi sejarah, tempat terakhir bagi yang akan dibantai oleh
sang jagal.
Sumber: Ingat65
0 komentar:
Posting Komentar