HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 27 November 2019

Membuka Lagi Buku Das Kapital


27 November 2019 - Francesco Hugo

Kredit ilustrasi oleh The Red Star Vanguard

SEBAGIAN dari Anda yang sering membaca artikel di Indoprogress barangkali kerap menemukan istilah pekerja, kapitalis, laba, eksploitasi, nilai-lebih, akumulasi, fetisisme, kapital, alienasi dan lain-lainnya.
Tapi apakah Anda betul-betul memahami makna dari istilah tersebut? Membaca beragam istilah tersebut, jujur saja saya pribadi terkadang mesti mencarinya di Google atau bahkan membuka buku lainnya untuk memahami maknanya.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa istilah semacam itu agak sulit dipahami secara langsung, apalagi untuk mereka yang jarang membaca tulisan-tulisan bertema teori atau kajian spesifik tertentu. Mengapa demikian? Sebab, kata-kata itu mewakili suatu kenyataan yang dirangkum ke dalam satu atau dua kalimat tertentu agar lebih mudah dipahami oleh orang lain – dalam arti lain kata-kata itu merupakan perwujudan dari sebuah konsep. Inilah yang sering ditemukan ketika kita membaca karya tulis atau artikel ilmiah, entah itu ilmu alam ataupun ilmu sosial. Dalam ilmu alam contohnya, kata evaporasi dan kondensasi memiliki arti yang berbeda. Jika evaporasi merupakan proses penguapan yang mana molekul dengan bentuk cair menjadi bentuk gas, maka kondensasi adalah proses yang sebaliknya.

Lalu apa hubungannya semua ini dengan pembacaan kita soal Marxisme?

Marxisme sendiri merupakan suatu penamaan atas suatu cara metode analisis sosial ekonomi-politik yang mengedepankan cara berpikir materialis dan dialektis terhadap perkembangan sejarah dan pemahaman relasi sosial serta transformasi bentuk masyarakat manusia. Marxisme berangkat dari rangkuman pemikiran serta metode berpikir Karl Marx dan Frederick Engels yang pada masanya gundah gulana menghadapi benturan gelombang pertama transisi bentuk masyarakat dari feodalisme ke kapitalisme di abad ke-19. Pemikiran keduanya dituangkan ke dalam banyak tulisan, mulai dari Theses On Feuerbach, The German Ideology, Communist Manifesto, Anti-Duhring, hingga Socialism: Utopian and Scientific, yang mana teori-teori serta cara berpikirnya menjadi landasan dari metode analisis ilmu sosial. Dari banyaknya tulisan kritik mereka terhadap bentuk mekanisme masyarakat kapitalisme, tidak ada yang lebih tajam dan sekomprehensif pemikiran mereka di dalam Capital: A Critique of Political Economy atau yang sering disebut dengan Das Kapital.

Ditulis oleh Marx dan diterbitkan pada tahun 1867, Das Kapital menjadi bukti greget-nya cara berpikir materialisme dialektis dan historis dalam membedah mekanisme di balik berjalannya kehidupan kita sehari-hari. Lewat karya ini juga, metode Marxisme mampu disematkan kategorinya sebagai suatu ilmu pengetahuan atau sains khusus di bidang ilmu sosial. Sepanjang sejarah semenjak diterbitkannya, sudah beragam tokoh dari segala bangsa membacanya kembali dan mencoba mengimplementasikannya. Hasilnya seperti yang telah kita lihat di sepanjang abad ke-20, pasang surut timbul tenggelam. Dari semua yang telah berlalu, Anda masih bisa berkenalan dengan karya-karya dari tokoh-tokoh terbaik seperti Louis Althusser, David Harvey, Paul Sweezy hingga Dicky Ermandara yang mana rajin mengisi tulisan di kolom Logika sebelum ini.  

Seperti apa kiranya isi buku itu? Satu yang pasti yaitu semua istilah sulit atau konsep rumit yang saya bahas di awal tulisan bisa ditemukan di dalamnya. Meski demikian, setidaknya kata-kata sulit itu dapat ditemukan dasar pemahamannya di dalam Das Kapital. Istilah-istilah tersebut memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa dipahami. Sehingga, mau tidak mau kita akan berjumpa dengan berbagai istilah atau kata-kata yang penuh makna tersebut.

Hal itu kemungkinan besar dikarenakan Das Kapital sendiri ditulis oleh Marx dua abad yang lalu dan juga luasnya cara berpikir holistik Marx yang belum tentu dapat disamakan dengan cara kita. Maka tidaklah mudah membaca buku ini dan memahaminya. Saya yang pernah membaca sedikit bisa menyarankan Anda untuk menyiapkan kesabaran tersendiri dalam mempelajari tulisan Marx yang satu ini. Perihal bagaimana lebih detailnya serba serbi Das Kapital, saya menyarankan Anda membaca kembali tulisan Kawan Dicky Ermandara dalam Logika edisi sebelumnya.
Khususnya yang berjudul “Kebaruan Kapital” dan “Pernah Membaca Marx?”

Dalam kesempatan kali ini saya akan langsung mengajak Anda kembali membuka buku yang tebalnya hampir menyaingi novel A Song of Ice and Fire-nya George RR Martin. Namun sebelum memasuki bab dan bagian-bagiannya, saya akan mencoba menemani Anda untuk mempersiapkan diri dengan membaca pengantar untuk edisi pertamanya. Tentu saja saya tidak akan menulis panjang lebar pengantar yang ditulis Marx, karena alangkah lebih bermanfaat kalau Anda membacanya sendiri. Tapi saya akan membantu Anda mengambil inti-intinya dengan mengutip beberapa kalimat sebagai permulaan pola pikir dalam memahami Das Kapital dan Marxisme itu sendiri. Saya akan membagikan pengalaman saya yang masih pemula ini kepada Anda, kurang lebihnya mohon dimaklumi dan kalau bisa dikoreksi. Kira-kira sebagai berikut yang telah selama ini saya pahami.

“Permulaan selalu sulit di dalam semua ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang bab pertama, khususnya bagian yang berisi soal analisis tentang komoditas, akan muncul sebagai yang paling sulit.” (Marx 1990: 89)

Sekilas, kalimat ini terasa sama sekali tak heroik dan sungguh tidak menyemangati kita para pembaca yang baru saja hendak memulai halaman pertama. Meski jujur, tapi cukup membuat siapapun yang membaca akan berpikir dua kali untuk melanjutkan pembacaannya. Namun inilah cara Marx menyampaikan pikirannya, jujur dan apa adanya sesuai dengan kenyataan. Lagipula buat apa heroik kalau tidak saintifik? Militansi dalam laku dan perjuangan haruslah didasarkan kepada pemahaman yang utuh dan bertanggung jawab mengenai dunia yang mau kita ubah. Dari kalimat Marx yang ini saja kita mampu memahami bahwa cara pikirnya berangkat dari realita dan memang pada kenyataannya membedah masyarakat hari ini tidak semudah kelihatannya. Sebab realita di balik yang terlihat selalu diselimuti kabut-kabut kebudayaan dan kehidupan sehari-hari yang praktis.

Contohnya ketika Anda lapar dan membelanjakan Rp12.000 rupiah untuk nasi, tempe orek, oseng kikil dan tumis pare di warteg persimpangan jalan. Saat piring sudah di tangan, Anda pasti langsung melahapnya di meja makan yang menghadap ke etalase kaca tanpa memikirkan suatu mekanisme yang ada di balik keadaan Anda makan di warteg. Padahal banyak mekanisme kenyataan yang memungkinkan tersedianya sepiring menu andalan Anda. Misalnya dari mana datangnya bahan makanan itu, bagaimana pemilik warteg mempertahankan keberadaan wartegnya hingga bagaimana satu lembar Rp10.000 dan selembar Rp2.000 dapat ditukarkan dengan sepiring nasi dan tiga lauk nikmat tersebut. Inilah yang coba dijabarkan oleh Karl Marx, sesuatu yang mendasari penampakan fisik.

Dengan demikian, untuk menjelaskan yang tidak menampak di mata kita, Marx memulai pembahasannya lewat sesuatu yang dapat dilihat dan dapat disentuh, tentu saja lewat komoditas. Karena komoditas merupakan salah satu produk dari cara manusia melangsungkan hidupnya yang dominan dua abad terakhir ini, yaitu kapitalisme. Di dalam komoditas terkandung sebuah nilai yang terbentuk akibat relasi antar manusia dalam suatu masyarakat manusia yang spesifik dan terorganisir pembagian kerjanya. Sehingga Marx tak melebih-lebihkan ketika dia mengatakan bahwa pembahasan tentang komoditas merupakan bagian yang paling sulit. Namun hanya melalui komoditaslah pintu masuk pembedahan masyarakat kapitalisme dimungkinkan. Mengapa demikian? Marx menjelaskannya dalam kalimat berikut.

“Fisikawan meneliti proses fisik alam yang mana muncul pada bentuk paling pentingnya dan paling sedikit terkena efek oleh pengaruh yang menganggu, atau di manapun memungkinkan ia akan membuat eksperimen dalam kondisi yang memastikan bahwa prosesnya akan muncul dalam wujud yang alami. Hal yang harus saya selidiki dalam pekerjaan ini adalah mode produksi kapitalisme dan relasi produksi serta bentuk hubungan yang sesuai dengannya.” (Marx 1990: 90)

Ia membandingkan pekerjaannya dengan apa yang dikerjakan oleh seorang fisikawan, bahwa yang ia berusaha selidiki tidak akan semudah para fisikawan menangkap realita alami atau membuat eksperimen sehingga mampu menangkap mekanisme alam. Kenyataan yang berusaha ditangkap oleh Marx merupakan cara kerja suatu masyarakat yang sulit dikalkulasikan secara pasti karena bergantung pada relasi yang diperankan oleh kumpulan manusia, yang mana tak hanya hidup sebagai hewan biologis tapi juga hewan sosial. Alhasil, penangkapan akan realitas terkadang terlihat jelas dan terkadang samar apabila kita berangkat hanya dari yang menampak, Marx berusaha menangkapnya lewat mekanisme yang berjalan di balik keadaan yang terlihat. Karena mekanisme itu bergerak dan tersembunyi di balik suatu masyarakat tertentu, Marx mesti mencari populasi dan sampel yang tepat untuk melancarkan pembedahannya menemukan mekanisme berjalannya masyarakat kapitalisme.

Dari populasi manakah kiranya Marx mengambil sampel? Tak tanggung-tanngung, dia langsung mengambilnya dari masyarakat Inggris di abad ke-19, pulau yang menjadi tanah kelahiran kapitalisme. Hal ini ia jelaskan di dalam pengantarnya, berikut  beberapa potong dari kutipannya dalam pengantar.

“Untuk alasan ini, di antaranya, saya mempersembahkan banyak sekali ruang dalam volume ini kepada sejarah, perincian, dan hasil dari undang-undang pabrik Inggris. Suatu bangsa dapat dan harus belajar dari bangsa yang lainnya. Bahkan ketika suatu masyarakat telah mulai melacak hukum dasar dari gerakannya dan – tujuan utama dari pekerjaan ini adalah untuk mengungkapkan gerakan hukum ekonomi dari masyarakat modern – ia tidak dapat melampaui fase alami dari perkembangan atau melepaskan dengan dekrit. Namun itu dapat memperpendek dan mengungari rasa sakit saat melahirkan.” (Marx 1990: 92)

Dari tulisannya, Marx mengatakan bahwa ia mempelajari masyarakat kapitalisme di Inggris lengkap dengan berbagai gejolaknya untuk mendapatkan hukum utama yang menjadi prasyarat berjalannya masyarakat di sana kala itu, dan tentu saja ia menemukannya. Lalu apakah hukum itu hanya berlaku di Inggris dan di abad ke-19 saja? Dia menjawabnya dengan menegaskan, hanya karena dia meneliti dan menemukan hukum tersebut di Inggris bukan berarti di negara berbeda akan berlaku hukum yang juga berbeda. Keadaan sosial dan kebudayaan mungkin saja beragam, namun hukum berjalannya masyarakat tetaplah serupa. Sehingga Marx mengajak segala bangsa untuk belajar dari studi kasus yang ia temukan di Inggris. Apa yang terjadi di Inggris dapat menjadi contoh pada bangsa lainnya kala itu, jika tidak bisa membendungnya minimal meminimalisir dampak merugikan kapitalisme.

Meski untuk hari ini himbauan Marx sudah sangat terlambat, tapi akan selalu ada peluang untuk menjadikan dunia ini lebih baik. Apabila kita mengerti mekanisme yang mengatur suatu permainannya, alih-alih terjebak di dalam permainan itu dan terus berputar mengikutinya, mengapa tidak ubah permainan itu menjadi seperti yang kita inginkan? Asalkan kita mengerti hukum yang mendasari bergeraknya masyarakat kapitalisme, kita akan mampu melampaui dan menggantinya dengan yang lebih menguntungkan segenap manusia dan juga planet bumi yang cuma satu-satunya ini.

Lantas seperti apa hukum yang berjalan di balik masyarakat kapitalisme itu? Bagaimana dengan hukum itu di abad ke-21 ini? Apakah hukum yang ditemukan Marx lewat Das Kapital masih sama berjalan seperti di abad ke-19? Jawabannya tidak berada di ujung langit, namun ada di antara kata-kata dan istilah-istilah sulit di dalam tulisan yang tertulis di dalam buku tebal yang untuk membawanya saja butuh usaha, atau ada di dalam e-book yang beratnya bahkan tak seberapa dibanding folder video drama Korea atau folder foto-foto keren travelling Anda. Itulah tantangan kita. Dalam pengantar edisi berbahasa Prancis, Marx menulis kalimat berikut:
“Tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak yang terang nan bercahaya.”
***

KKR dan Keadilan Hukum bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 27/11/2019, 07:38 WIB
Penulis Kristian Erdianto
Editor Icha Rastika
SHUTTERSTOCK/210229957Ilustrasi HAM

JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) dinilai menjadi langkah awal yang baik dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mekanisme penuntasan melalui KKR diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban serta keluarganya.
Sebab, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari berpendapat, pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.
"Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.

Sementara itu, opsi penuntasan melalui KKR diambil ketika terdapat kesulitan dalam hal pembuktian di pengadilan, misalnya, kurangnya alat bukti atau keterangan saksi atas sebuah kasus. 
"Ketika ada pelanggaran masa lalu tidak dituntaskan maka akan terjadi impunitas, sebuah kejahatan tanpa ada penyelesaian," kata Taufik.
"Tapi di sisi lain kita juga harus membuka peluang ketika ada kesulitan dalam hal membawa ke pengadilan ada ruang lain yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR," ucap dia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Merujuk pada catatan Kejaksaan Agung, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Pengungkapan kebenaran

Selain memberikan jaminan kepastian hukum, opsi penuntasan melalui KKR juga harus menjadi mekanisme bagi pemerintah dalam mengungkap kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dengan begitu, Taufik berharap KKR dapat menjadi pemecah kebuntuan yang selama ini menghambat penuntasan kasus.
Harus diakui bahwa selama ini penuntasan kasus HAM selalu terhambat oleh dua aspek, yakni hukum dan politik.
"Pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu itu adalah bagian dari pembelajaran bangsa ini. Bukan sekadar kita ingin menuding seseorang, mau memidanakan seseorang. Tapi titik beratnya lebih pada pengungkapan kebenaran dan belajar dari kejadian kelam masa lalu," ujar Taufik.
Menurut Taufik, jika nanti terbentuk, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM.

Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Ketika ada dua versi, ya jadikan itu tetap dua versi, tidak apa-apa, tetapi tercatat oleh negara, kalau menurut versi korban seperti ini, menurut pelaku seperti ini," kata Taufik.
Ia menekankan, bagian terpenting dalam KKR adalah peran negara dalam mendokumentasikan keterangan dari korban dan terduga pelaku. Artinya, pemerintah melegitimasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian dari sejarah Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, KKR juga mensyaratkan keaktifan pemerintah dalam mencari data-data yang selama ini sulit diakses oleh publik, misalnya terkait dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer.
"Data-data yang ada di intelijen atau di militer yang selama ini tidak mungkin diakses oleh publik, yang bisa mengakses siapa? Ya negara dengan kekuasaannya untuk minta. Kalau negara bisa mengakses data itu, bentangkan sebagai sebuah informasi. jadi gambaran mengenai kejadian itu bisa diketahui," ucap Taufik.
Tak miliki tendensi politik Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma berharap komisioner KKR nantinya diisi oleh orang yang tidak memiliki tendensi politik terhadap pelaku kejahatan HAM masa lalu.

Ia mengatakan, jabatan komisioner KKR harus diisi orang yang memiliki integritas, tidak berafiliasi terhadap partai politik, dan mempunyai kompetensi terhadap kasus HAM.
"Bisa diisi oleh orang yang selama ini tidak terlibat kejahatan HAM, tidak diduga bertanggungjawab atas suatu peristiwa, tidak punya tendensi politik terhadap pelaku," ujar Feri di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Feri, posisi komisioner dapat diisi oleh kalangan penggiat HAM, purnawirawan Polri yang fokus terhadap isu HAM, jurnalis, bahkan kelompok agamawan.

Baginya, yang terpenting dari wacana dibentuknya kembali KKR adalah pengungkapan kebenaran dari peristiwa masa lalu, termasuk perbaikan kondisi bagi keluarga korban, baik dalam bentuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi, maupun jaminan pelanggaran HAM tidak terjadi kembali di masa depan.
"Yang paling penting itu keadilan agar proses hukum tetap jalan," kata Feri.
Kompas.Com 

Selasa, 26 November 2019

Anggota Komisi III: KKR Harus Ungkap Kebenaran atas Kasus HAM Masa Lalu


Kompas.com - 26/11/2019, 21:41 WIB
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019). (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari berpendapat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) harus menjadi mekanisme bagi pemerintah dalam pengungkapan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.


Dengan begitu, ia berharap KKR dapat menjadi pemecah kebuntuan yang selama ini menghambat penuntasan kasus.
"Pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu itu adalah bagian dari pembelajaran bangsa ini. Bukan sekadar kita ingin menuding seseorang, mau memidanakan seseorang. Tapi titik beratnya lebih pada pengungkapan kebenaran dan belajar dari kejadian kelam masa lalu," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
"Memang KKR ini kita harapkan dapat memecah kebuntuan terhadap penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Selama ini kan terhambat karena memang kita harus akui ada problem hukum selain juga politik," ucapnya.

Menurut Taufik, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

Selain itu, KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM. Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Ketika ada dua versi, ya jadikan itu tetap dua versi, tidak apa-apa. Tapi tercatat oleh negara, kalau menurut versi korban seperti ini, menurut pelaku seperti ini," kata Taufik.
Taufik menekankan, bagian terpenting dalam KKR adalah peran negara dalam mendokumentasikan keterangan dari korban dan terduga pelaku. Artinya pemerintah melegitimasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian dari sejarah Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, KKR juga mensyaratkan keaktifan pemerintah dalam mencari data-data yang selama ini sulit diakses oleh publik, misalnya terkait dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer.
"Data-data yang ada di intelijen atau di militer yang selama ini tidak mungkin diakses oleh publik, yang bisa mengakses siapa? Ya negara dengan kekuasaannya untuk minta. Kalau negara bisa mengakses data itu, bentangkan sebagai sebuah informasi. jadi gambaran mengenai kejadian itu bisa diketahui," ucap Taufik.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, wacana menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu masih dibahas. KKR pernah dibentuk tahun 2004 lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, KKR bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.

Berdasarkan penuturan Jaksa Agung ST Burhanuddin, saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan.

Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi’

KKR Harus Jadi Ruang bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu untuk Bicara


Kompas.com - 26/11/2019, 20:29 WIB

Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) yang akan dihidupkan kembali oleh pemerintah harus menjadi ruang bagi korban pelanggaran HAM masa lalu atau keluarganya untuk bicara.


Ia menegaskan bahwa setelah KKR resmi dibentuk, keluarga korban perlu diberikan ruang untuk bersuara dan mengungkapkan keinginanya.
"Karena ada mekanisme KKR, maka kita harus berikan ruang bagi para korban. Kita harus dengarkan suara korban. Salah satunya yang bisa kita jadikan itu wadahnya adalah KKR," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

Selain itu, KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM. Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Jadi yang paling penting adalah suara korban didengarkan, keinginan korban harus ditampung meskipun punya kesulitan ketika akan dibawa ke pengadilan," kata Taufik.
Kendati KKR akan kembali dihidupkan, namun Taufik menegaskan bahwa pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.

 Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.
 "Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, wacana menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu masih dibahas.

KKR pernah dibentuk tahun 2004 lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, KKR bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.

Berdasarkan penuturan Jaksa Agung ST Burhanuddin, saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi

Kontras Nilai RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sudah Tak Relevan


Kompas.com - 26/11/2019, 19:36 WIB
Penulis : Achmad Nasrudin Yahya
Editor : Bayu Galih

Wakil Koordinator Kontras Feri Kusuma saat di Hotel Aeon, Jakarta, Selasa (26/11/2019).(KOMPAS.com/ACHMAD NASRUDIN YAHYA)

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( Kontras) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) sudah tidak relevan.
"Sudah tidak relevan kita bicara RUU atau UU, karena itu prosesnya akan lama, harus masuk Prolegnas, kemudian pembahasan di parlemen panjang," ujar Wakil Koordinator Kontras Feri Kusuma di Hotel Aeon, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Feri mengatakan, Kontras sejak dulu sudah mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan kebijakan tingkat presiden, seperti peraturan presiden (perpres). Menurut dia, Presiden dapat membentuk suatu komisi non-yudisial. Dengan demikian proses penanganan akan lebih cepat dibanding menunggu upaya jalur parlemen.

Di sisi lain, terkait rencana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang akan mengundang Koalisi Masyarakat Sipil untuk menduskusikan RUU KKR, pihaknya sejauh ini belum menerima ajakan tersebut.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa tak perlu lagi menghidupkan RUU KKR. Dalam pandangan Feri, proses RUU KKR untuk menjadi landasan hukum akan memakan waktu panjang.
"Ini sudah tidak tepat karena prosesnya akan lama dan draft RUU yang pernah dibatalkan oleh MK pada 2016 itu juga masih jauh dari apa yang kita harapkan," kata dia.
Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman menyebutkan, pemerintah berencana menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Hal itu disampaikan Fadjroel menjawab pertanyaan terkait kelanjutan kasus dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. 
"Usulan dari Menko Polhukam, Pak Mahfud MD, sebenarnya beliau menyarankan lagi untuk dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Selain itu, menurut dia juga penting untuk menentukan formula yang tepat. Misalnya apakah KKR ini hanya bersifat non yudisial atau sampai menyentuh ranah yudisial. Kemudian, kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mana yang akan lebih dulu diselesaikan.
"Itu nanti akan bicarakan lebih jauh," kata dia.

Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu, Mahfud Md Wacanakan Pembentukan KKR

 Liputan6 - 26 November 2019

Peserta aksi Kamisan saat aksi di kawasan Silang Monas depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/2). Seiring aksi Kamisan, JSKK meminta komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

 Jakarta - Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu merupakan salah satu janji pemerintah yang selalu ditunggu. Untuk menyelesaikan kasus tersebut, Menko Polhukam Mahfud Md mewacanakan tentang pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Oleh karena itu, Kemenkopolhukam akan mengundang keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.

"Pasti semua (keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu). Namanya mencari penyelesaian masalah secara komprehensif, pasti semua elemen terkait diundang," kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Menurut dia, pemerintah akan mendengar semua masukan dari keluarga korban. "Akan tetapi semua harus fair," lanjut Mahfud.

Fair yang dimaksudnya adalah, keluarga korban juga diminta mendengarkan suara pemerintah. Sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu cepat dilakukan.

"Fair artinya harus terbuka. Jangan ngotot-ngotot, sudah tidak bisa, masih aja ngotot gitu. Intinya nanti kita lihat saja," kata Mahfud Md.

Masuk Prolegnas

Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan sudah merancang konsep pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Tinggal nanti dibicarakan lagi. Sudah ada kok itu (konsepnya) sudah lama. Tinggal di follow up lagi," kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Menurut dia, pembicaraan konsep itu harus menunggu KKR ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 terlebih dahulu.

"Kan harus masuk Prolegnas dulu dong. Ini Prolegnas belum jadi, sudah bicara materi, gimana sih? Kan Prolegnas masih akan disahkan 18 Desember, berlaku 2020," ungkap Mahfud.

KKR pernah dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Namun, UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga dibubarkan
MK meminta untuk dibentuk KKR baru yang sejalan dengan UUD 1945, dan menjunjung tinggi prisip-prinsip hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional.

Berdasarkan laman resmi DPR, KKR sempat masuk Prolegnas 2 Februari 2015. Adapun, itu sudah sampai masuk di tingkat II, yaitu menunggu pengambilan keputusan RUU menjadi UU oleh Rapat Paripurna atau persetujuan RUU menjadi UU. Akan tetapi sampai sekarang belum disahkan.

KKR Dihidupkan Lagi, Mahfud Pastikan Keluarga Korban Kasus HAM Dilibatkan

Kompas.com - 26/11/2019, 09:11 WIB
Penulis Ihsanuddin | Editor Icha Rastika

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko-Polhukam), Mahfud MD, memberikan keterangan di Kantor Kemenko-Polhukam, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (20/11/2019).(Dian Erika/KOMPAS.com)

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan  Mahfud MD mengatakan, wacana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk mengungkap kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu masih dibahas.
Dia memastikan, keluarga korban hingga LSM akan dilibatkan.
"Pastilah (melibatkan LSM dan keluarga korban), namanya mencari penyelesaian komprehensif, semua diundang, semua didengar, tapi semua harus fair," kata Mahfud di kantornya, Senin (25/11/2019).
"Fair itu harus terbuka, jangan ngotot-ngotot, sudah enggak bisa ngotot-ngotot begitu," kata dia.
Mahfud mengatakan, keberlanjutan dibentuknya KKR juga harus dibicarakan dengan DPR terlebih dahulu. Pemerintah akan mengajukan UU tentang KKR ke dalam program legislasi nasional (prolegnas).
"Nanti dibicarakan, kan harus masuk prolegnas dulu dong. Ini proglenas belum jadi sudah mau bicara materi, kan prolegnas nantikan masih akan disahkan tanggal 18 (Desember), dan itu berlaku di tahun baru, masuk prolegnas baru urutan pembahasan," ujar Mahfud. 
KKR pernah dibentuk tahun 2004 lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Namun, KKR bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.

Penulis : Ihsanuddin
Editor : Icha Rastika

Kompas.Com 

Senin, 25 November 2019

Komnas HAM Minta Mahfud Libatkan Keluarga Korban Bahas KKR


CNN Indonesia | Senin, 25/11/2019 22:50 WIB

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai pelibatan keluarga korban penting di dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). (CNN Indonesia/Safir Makki)

Description: https://newrevive.detik.com/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=2403&loc=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Fnasional%2F20191125194904-12-451435%2Fkomnas-ham-minta-mahfud-libatkan-keluarga-korban-bahas-kkr&cb=c57298c8cd
Jakarta -- Komnas HAM meminta pemerintah melibatkan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM dalam membahas rencana menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai pelibatan korban atau keluarga korban merupakan hal yang penting.
"Kami kasih masukan kalau KKR seperti apa. Misalnya, korban (atau) keluarga korban harus diajak bicara, itu penting," ujar Taufan usai bersama pimpinan Komnas HAM bertemu Menko Polhukam Mahfud MD di kantornya, Jakarta, Senin (25/11).

Taufan menuturkan Komnas HAM juga memberi masukan mengenai formulasi yang tepat dalam menyelesaikan pelanggaran HAM lewat KKR. Dia berkata KKR harus memiliki formulasi untuk memilih pelanggaran yang harus diselesaikan di jalur yudisial atau nonyudisial.

Lebih lanjut, Ahmad enggan menyampaikan secara tegas sikap Komnas HAM perihal pernyataan Mahfud yang merasa pelanggaran HAM masa lalu cukup diselesaikan lewat jalur nonyudisial. Dia berkata pihaknya menilai pernyataan Mahfud hanya bagian dari ide.

Komnas HAM meyakini Mahfud tidak mungkin mengeluarkan pikiran yang negatif terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM.
"Kami kenal baik dengan beliau dan menyambut baik berapa ide-ide. Makanya tadi ada pernyataan yang kami anggap kontroversi, kami tidak anggap ada kontroversi," kata Taufan.


Menko Polhukam Mahfud MD. (CNN Indonesia/ Joko Panji Sasongko)

Pemerintah berencana menghidupkan kembali KKR. Mahfud berharap KKR menjadi jalan keluar penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang selama ini mangkrak.

Indonesia pernah memiliki Undang-Undang KKR. Namun, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Tak Ingin Berpolemik

Taufan mengatakan pihaknya enggan terus berpolemik dengan Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dia pun meminta Mahfud membantu mencarikan solusi atas persoalan tersebut.
"Tadi sudah kita bicarakan, kita tidak perlu lagi berpolemik panjang. Kita cari saja solusinya apa," ujar Taufan.
Dia menuturkan Mahfud berencana mengundang Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin untuk membahas soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM, khususnya perkara yang mangkrak hingga kini.

Dengan pertemuan itu, dia berharap ada solusi yang bisa dibuat oleh Mahfud.

Namun pimpinan Komnas HAM belum spesifik membahas penyelesaian kasus pelanggaran HAM saat bertemu dengan Mahfud. Dalam pertemuan itu, mereka juga membahas situasi HAM di Papua dan Aceh, serta intoleransi ekstrimisme.

Sebelumnya, Mahfud menyatakan pihaknya tak ingin ada tarik ulur antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, apalagi menjadi komoditas politik.


NAAAH...! Jangan Hanya Soal PKI, Ceritakan Juga Soal Penculikan Aktivis Yang Hilang Sampai Sekarang


Senin, 25 November 2019

Aan Rusdianto, korban penculikan Tim Mawar yang dipimpin Prabowo Subianto. (Ist)

JAKARTA- Soal sejarah, Aan Rusdianto, korban penculikan Tim Mawar 1997-1998 meminta agar tidak hanya soal Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi semua kejahatan HAM dimasa Orde Baru juga perlu diceritakan oleh para guru, dosen dan pendidik di setiap sekolah dan kampus. Hal ini menanggapi Menhan Prabowo Subianto Sabtu (23/11) lalu yang meminta agar para guru menyampaikan tentang sejarah PKI 1965.
“Jangan lupa ajarkan dan buka semua bagian hitam dari sejarah Indonesia yang lain. Dari pemberontakkan DI/TII, PRRI/Permesta, Kudeta militer 1965 yang didukung CIA pada masa orde lama. Sampaikan semua operasi yang melanggar HAM di Aceh, Timtim, Papua pada masa Orde Baru. Ini bagus agar semua generasi muda tahu dan sadar sejarah yang objektif. Supaya jangan terulang lagi dimasa depan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar semua pendidik menyampaikan juga bahwa masih ada puluhan aktivis Demokrasi yang hilang tak tentu rimbanya, diculik oleh tim mawar karena melawan Soeharto dan Orde Baru.
“Kalau perlu, Menhan bikin ‘Monumen Melawan Lupa’. Karena masih ada puluhan aktivis yang hilang pada tahun 1998. Masih ada jutaan keluarga yang hilang pada tahun 1965-1968. Dan tidak ada yang mau bertanggung jawab terhadap semua itu,” ujarnya.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Yos Suprapto, pelukis dan budayawan yang mengusulkan agar pemberontakan melawan Belanda tahun 1926 juga dibuka selengkap-lengkapnya.
“Pemberontakan 1926 ini adalah pemberontakan pertama. Dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ribuan penggeraknya adalah anggota PKI dan semuanya dibuang Belanda ke Boven Digul,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan segera membentuk sebuah Komite Penulisan Sejarah yang objektif agar menjadi fondasi penulisan dan pengajaran sejarah bagi generasi mendatang.
“Kasihan generasi muda kalau masih harus mengunyah kebohongan sejarah. Bangsa ini tidak akan besar diatas semua kebohongan, karena selalu mengulang kesalahan-kesalahan lama,” ujarnya.

Pesan Prabowo Subianto

Sebelumnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berpesan kepada seluruh guru atau pengajar di Indonesia agar menceritakan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI atau Partai Komunis Indonesia ke siswa-siswi di sekolah.

Hal itu pun disampaikan Prabowo Subianto di dalam acara bedah buku dan diskusi panel "PKI Dalang dan Pelaku Kudeta G30S/1965" di Gedung Lemhanas Jakarta, Sabtu (23/11).

Prabowo sebenarnya tidak hadir dalam acara ini, tetapi teks pidatonya dibacakan oleh Rektor Unhan Letjen TNI Tri Legionosuko.
"Saya harap guru sejarah di sekolah-sekolah menyampaikan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI yang benar kepada para siswa-siswi," ujar Tri membaca pidato Prabowo.
Menurut Prabowo, hal ini perlu dilakukan para guru sekolah agar siswa-siswi mengerti bagaimana sepak terjang PKI dan dampak dari gerakan itu.

Termasuk, kudeta yang dilakukan partai tersebut untuk menggulingkan era kepemimpinan Presiden Soekarno pada saat itu.

Bahkan, kehadiran PKI kala itu juga diduga bertujuan mengubah ideologi bangsa yang berpegangan pada Pancasila menjadi komunis.
"Komunisme telah mencatatkan lembaran hitam dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Bahwa PKI selalu mencari cara dan kesempatan untuk melakukan kudeta di Indonesia," kata dia. (Web Warouw)

Mahfud MD: Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu demi Kepentingan Negara


Kompas.com - 25/10/2019, 15:15 WIB
Penulis : Deti Mega Purnamasari
Editor : Diamanty Meiliana

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mohammad Mahfud MD saat pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dan melantik menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju dan kepala badan setingkat menteri.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan akan membahas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Pasti akan dibahas. Upaya-upaya menuntaskan (kasus pelanggaran) HAM masa lalu itu sudah dibahas," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (25/10/2019). Ia menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk membahas penyelesaiannya.

Hanya, penyelesaian bukan untuk demi kepentingan kelompok tertentu, melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
"Jangan diartikan harus sesuai dengan kehendak sekelompok orang, harus untuk kepentingan bangsa dan negara," kata dia. "Nanti kalau diselesaikan ada yang tidak setuju, lalu dianggap tidak selesai, itu bukan hidup bernegara. Cara preman namanya kalau gitu," kata Mahfud.
Beberapa aktivis penggerak HAM memang mendesak berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kali ini.

Peneliti Kontras Danu Pratama menilai selama lima tahun terakhir ini belum ada komitmen serius dari Jokowi sebagai Presiden untuk memajukan nilai HAM di tingkat legislasi.
"Selama lima tahun terakhir belum ada komitmen serius untuk memajukan nilai HAM di tingkat legislasi dan UU," ujar Danu di Kantor Kontras, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (21/10/2019). Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai hingga saat ini antara lain kasus tragedi Semanggi I dan II yang terjadi pada 1998.

Ketika PGRI Terbelah


Andreas JW - 25 November 2018
  • Refleksi Hari Guru 25 November
Ilustrasi: Pendidikan pada masa kolonial


Awal tahun 1965, pecah konflik serius di tubuh organisasi guru, PGRI. Konflik tajam bisa muncul karena secara sepihak, tanpa ada perundingan dengan pimpinan yang lain, Ketua PGRI Subiadinata, menyatakan PGRI bergabung dengan SOKSI. Padahal, organisasi PGRI harus non-faksentral.

Subiadinata diketahui luas sebagai aktivis dari unsur PNI kanan. Tentu saja, tindakannya ini memancing reaksi anggota PGRI dari unsur lain. Mereka protes keras atas tindakan sepihak dari Subiadinata, yang secara jelas melanggar keputusan kongres.

Dari sini konflik berkembang semakin meruncing dan sulit untuk didamaikan lagi. Para anggota PGRI yang tetap konsisten dengan pendirian bahwa organisasi PGRI harus non-faksentral, tidak setuju terhadap tindakan sepihak dari Subiadinata. Mereka lantas memisahkan diri. Mereka kemudian membentuk PGRI Non-faksentral. Tokoh-tokoh dibelakang kubu PGRI Non-faksentral di antaranya adalah Subandri, Muljono, dan tokoh Taman Siswa Elan alias Pak Hardjo.

Melihat konflik berkembang semakin tajam dan kelihatannya sulit didamaikan, Bung Karno menyatakan sangat prihatin. Selanjutnya Bung Karno berharap agar kedua kubu segera mencari jalan damai, menuju rekonsiliasi.

Keprihatinan Bung Karno disambut baik oleh kubu PGRI Non-faksentral. Mereka menyatakan bersedia melakukan rekonsiliasi, tapi dengan syarat kubu PGRI Subiadinata terlebih dahulu harus keluar dari SOKSI.
Argumentasi mereka, karena kubu Subiadinata sudah melanggar keputusan kongres.

Karena kedua kubu masih berpegang pada pendiriannya masing-masing, konflik pun terus berlanjut. Bahkan semakin panas. Bung Karno kemudian menugaskan Sujono Hadinoto untuk mengatasi konflik di tubuh organisasi PGRI agar tidak semakin berlarut-larut. Maksud Bung Karno, Sujono Hadinoto, dalam rangka menyelesaikan konflik ini, bertindak sebagai mediator; agar kedua kubu yang tengah berkonflik bersedia menempuh jalan rekonsiliasi.

Pada saat konflik tersebut berlangsung, "Saya tengah sibuk menangani berbagai pekerjaan di Mapenas," ungkap Siswoyo.
Sebagai Wakil Ketua Mapenas, ia tengah menyiapkan konsep Sistem Pendidikan Nasional. Di Mapenas, ia merupakan kolega tepercaya bagi Sujono Hadinoto.
 Selain di Mapenas, "Saya juga anggota DPR-GR dari Fraksi PKI yang membidangi pendidikan." Mungkin atas pertimbangan ini Sujono kemudian menunjuknya untuk turut membantu meredakan konflik dan menindaklanjuti proses rekonsiliasi di tubuh organisasi PGRI.

Siswoyo sudah tahu sejak lama bahwa di tubuh organisasi PGRI banyak terdapat elemen-elemen dari Taman Siswa. Dan ia juga tahu persis merekalah yang terutama menentang keras tindakan sepihak kubu Subiadinata. Kebetulan pula ia banyak mengenal dan sudah sejak lama bergaul akrab dengan mereka. Langkah pertama yang dilakukan, melalui elemen-elemen Taman Siswa,

"Saya mulai menggali informasi untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya duduk perkara yang terjadi. Dari sini saya lalu mulai mengatur langkah lanjutan untuk menyatukan kembali PGRI," tutur Siswoyo.

Menurutnya, sumber masalah berada di pihak kubu Subiadinata. Maka ia segera mengadakan pendekatan kepada pimpinan PNI. Kepada Sekjen PNI, Surachman, dijelaskan permasalahan serta sumber konflik di tubuh PGRI. Seraya tidak lupa,
 "Saya sampaikan pula instruksi Bung Karno agar secepatnya konflik dapat diselesaikan."

Ternyata di internal massa PNI sendiri terdapat perpecahan dalam menyikapi konflik tersebut. Banyak yang menyesalkan, mengapa konflik tersebut bisa terjadi. Terutama kader-kader pimpinan “PNI Ali-Surachman”, yang secara tegas tidak membenarkan tindakan yang dilakukan Subiadinata. Akibatnya, Subiadinata tidak berkutik, posisinya terjepit dan semakin lemah. Sebab, selain ditentang oleh massa PGRI, dia juga mendapat tentangan dari massa PNI.

Akhirnya dilakukan pertemuan di Kantor Pusat PNI untuk membahas penyelesaian konflik. Selain Sekjen PNI Surachman dan Prof. Dr. Sudiarto, "Saya juga hadir sebagai mediator," kata Siswoyo.

Hasil pertemuan inilah sesungguhnya kunci keberhasilan menyelesaikan konflik di tubuh organsasi PGRI. Terutama ketika pimpinan PNI memutuskan untuk “menarik” Subiadinata dari PGRI. Dengan begitu salah satu inti permasalahan sudah dapat diselesaikan, sehingga proses rekonsiliasi selanjutnya bisa berjalan mulus.

Akan halnya untuk menggantikan Subiadinata, "Saya mengusulkan Prof. Dr. Sudiarto duduk dalam kepengurusan PB PGRI, sebagai wakil dari unsur PNI. Dengan begitu dalam kepengurusan baru PGRI tetap melibatkan unsur-unsur Nasakom. Untuk ini Surachman setuju dengan usulan saya."

Berkat bantuan berbagai pihak, tugas untuk menyelesaikan konflik di PGRI, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Namun demikian tetap saja ada “pengorbanan” dari kedua belah pihak. Yakni, kubu PGRI SOKSI harus melepas Subiadinata; sementara kubu PGRI Non-faksentral harus merelakan Subandri mundur dari kepengurusan. Jadi jalan keluarnya adalah win-win solution.

Selanjutnya diadakan pertemuan rekonsiliasi kedua kubu yang berkonflik di kediaman pribadi Prof. Dr. Sujono Hadinoto di Jalan Cimahi No.5 Menteng, Jakarta.

Namun sejarah mencatat, selang beberapa bulan kemudian, menyusul Peristiwa 1965, banyak jatuh korban dari guru-guru kubu PGRI Non-faksentral. Baik itu ditahan maupun "dihilangkan".

PGRI Non Vaksentral dan KAGI

 Didi Suprijadi*


PGRI Non Vaksentral adalah PGRI yang beranggotakan guru guru yang berafiliasi ke PKI, dipimpin oleh guru guru yang berafiliasi politik ke Pemerintah dalam hal ini Presiden Soekarno yang saat itu ditopang oleh PKI.

KAGI Kesatuan Aksi Guru Indonesia adalah kesatuan aksi yang dibentuk oleh guru guru, yang berafiliasi ke paham Nasionalis dan berazaskan Pancasila, KAGI dipimpin oleh salah satu Ketua PB PGRI yang ditopang oleh Tentara Angkatan Darat.

Awal perseteruan PKI dengan PGRI terasa saat Kongres IX (31 Oktober – 4 November 1959) di Surabaya.infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar terasa,dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962).

Di era Demokrasi Liberal antara tahun 1959 – 1965 ini biasa dikenal dengan prinsip “siapa kawan – siapa lawan”. Kiranya prinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI.”kawan”adalah semua golongan pancasilais anti PKI yang Dalam Pendidikan mengamankan Pancasila,dan “Lawan”adalah PKI yang berusaha memaksakan pendidikan.”pancacinta”dan “pancatinggi”.

Di era ini kelompok yang dianggap lawan oleh PKI,hanya ada tiga kemungkinannya, di susupi,di pecah dua atau dibubarkan. PGRI oleh PKI berhasil dipecah dua, PGRI Kongres dan PGRI Non Vaksentral, Kemudian semua kita tahu kekuatan Pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan tersebut.

Puncak dari perseteruan adalah ketika Kongres X PGRI dilangsungkan di Jakarta pada November 1962. Dengan semangat Manifesto Politik 1959, guru-guru yang disokong PKI melakukan “pembangkangan” di tubuh PGRI di dalam kongres.

Setelah PKI di wakili oleh guru yang ber orentasi ideology komunis tak mampu lagi melakukan taktik penyusupan terhadap PGRI, maka mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang terangan untuk memisahkan dari PGRI.

Guru-guru itu melakukan eksodus besar-besaran dan membuat wadah tandingan PGRI Non-Vaksentral (PGRI NV) pada Juni 1964. PGRI Non Vaksentral dipimpin oleh guru guru yang berafiliasi politik ke Pemerintah dalam hal ini Presiden Soekarno yang saat itu ditopang oleh PKI.
Sedangkan PGRI hasil kongres di pimpin oleh M E Subiadinata menamakan dirinya PGRI kongres dan berafiliasi ke TNI angkatan darat yang ditopang kelompok Nasionalis.

KAGI (Kesatuan Aksi Guru indonesia)

PGRI bersama-sama dengan guru NU, Ikatan Guru Muammadiyah, Ikatan Guru PSII (Serikat Islam Indonesia), Ikatan Guru Marhaenis (PNI Osausep), Persatuan Guru Kristen Indonesia, Ikatan Guru Katolik, Persatun Guru Islam Indonesia dan Persatuan Guru PERTI membentuk KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).

KAGI dipimpin pertama kali oleh Drs. M. Rusli Yunus, salah seorang angguta PB PGRI, Selanjutnya KAGI terbentuk pula diberbagai provinsi.
Tiga tugas utama KAGI yaitu: Pertama, Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari urusan-urusan PKI dan Orde lama PGRI non Vaksentral, serikat sekerja pendidikan dan PETI (Persatun Guru Tekhnik Indonesia).

Kedua, Menyatukan guru didalam satu wadah organisasi guru yaitu PGRI.
Ketiga, Memperjuangkan agar PGRI menjadi organisasi guru unitaristik, independen dan non partai politik. Kelak dikemudian hari KAGI dijadikan musuh abadi oleh PKI, karena KAGI lah yang bergerak langsung menggayang dan menumpas PKI sampai akar-akarnya.

PGRI NV versus KAGI

Pergolakan keras ini menyeret PGRI Non Vaksenral ke dalam avonturisme politik baru yang selama ini samar-samar diakui.

PGRI Non-Vaksentral membawa guru bermain dalam politik praktis dengan mendukung Pemerintahan Soekarno yang didukung oleh PKI, justru awal dari hancurnya organisasi guru PGRI.

PGRI yang dibelakangnya ada Tentara, kemudian keluar sebagai pemenang dalam perebutan pengaruh politik berdarah di tahun 1965 melawan PGRI Non Vaksentral.

PGRI kongres dibantu dengan KAGI sepanjang 1966-1967 melakukan upaya pembersihan dan pengganyangan guru guru PGRI Non Vaksentral yang menjadi musuh dalam sejarah guru di Indonesia.

100 000 guru tewas dan hilang serta ribuan guru lainnya dipecat kehilangan jabatan sebagai guru. Tragedi kemanusian terhadap guru ini merupakan sejarah kelam bagi dunia guru dan pendidikan di Indonesia.

KAGI dan PGRI Kongres lah yang menekan terus untuk tidak munculnya paham Komunis di Indonesia, Sejarah mencatat PGRI hasil Kongres pimpinan ME Subiadinata bersama ABRI dan Orde Baru merupakan komponen utama dalam pemberantasan PKI di Indonesia.

Kelak dikemudian hari anak cucu keturunan PKI mempunyai perhatian tersendiri kepada PGRI ,ABRI dan Orde Baru.Untuk itu perlu kewaspadaan kita semua, anak turunan anggauta PGRI non Vaksentral dan simpatisan PKI tidak akan diam untuk melihat kejayaan PGRI.

PGRI kongres wajib meberlakukan AD ART secara benar dan konsekwen agar penyusup dan penumpang gelap tidak bisa masuk kedalam tataran pengurus, baik dari ranting sampai pengurus besar.

PGRI wajib dipimpin oleh orang yang berpaham kolektif kolegial bukan pemimpin yang otoriter dan mau menang sendiri. PGRI tetap pada jatidirinya sebagai organisasi perjuangan, profesi dan serikat pekerja.
PGRI tetap bersifat sebagai organisasi guru yang Independent, Unitaristik dan non Partai politik. Waspada..

Jakarta,29 Januari 2019

*Didi Suprijadi, Ketua MN KSPI