Penyangkalan | Catatan
Pengantar: HarWib
Opini macam ini
tipikal omong kosong tentang bangsa yang menghormati kemajemukan dan menghargai
perbedaan. Mau memerangi kebigotan, tapi mengacu pada kehancuran dan pemusnahan
ala Timur Tengah. https://p.dw.com/p/3RUpt Padahal kita tahu bigot
politik tak kurang kejinya dengan kebigotan beragama.
Satu hal paling
menyedihkan dari propaganda dan corak berpikit di balik opini tsb: ia
mengabaikan fakta historis bahwa lebih setengah juta manusia dibinasakan sejak
1 Oktober 1965 dan jutaan lainnya disiksa, dipenjara puluhan tahun tanpa
diadili, perempuannya diperkosa, dipersekusi diasingkan, dan puluhan ribu orang
dikirim ke kamp kerja paksa Pulau Buru.
Hingga saat ini
negara tidak pernah mau mengakui kejahatan genosida tsb. Bahkan bukan cuma
menyangkalnya tapi juga membenarkan genosida sebagai Kesaktian Pancasila
berikut instrumen hukum koersif dan represifnya seperti TAP MPRS XXV/1966 dan
turunannya, terus melestarikan niat busuk untuk menumpas hingga ke
akar-akarnya.
Bagian dari bangsa
ini sudah dihancurkan sejak lebih setengah abad lalu. Korban yang hidup dan
para penyintasnya terus distigma dan kadang dipersekusi; tentu tanpa dipulihkan
penuh harkat dan hak-haknya sebagai manusia.
---
Pentingnya Merawat Kebhinnekaan demi Kesatuan Bangsa yang
Mulai Terkoyak
Salah satu tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini
(dan juga negara-negara lain di dunia ini sebetulnya) adalah bagaimana penduduk
negeri ini bisa merawat kebhinnekaan yang kini sudah mulai luntur dan terkoyak.
Inilah yang menjadi tema besar seminar yang belum lama
ini digelar oleh Pertiwi di Jakarta dimana saya menjadi salah satu
pembicaranya, selain Jenderal Hamli dari BNPT Polri dan Susaningtyas Kertopati
dari DPR RI. Ketua Umum Pertiwi, Putri K. Wardani, menegaskan tentang urgensi
merajut kembali spirit kemajemukan dan nilai-nilai kebangsaan yang mulai
"terusik” demi keutuhan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia yang
gemilang. Menurutnya, spirit kebhinnekaan dan nilai-nilai kebangsaan itu kini
bukan hanya terganggu oleh munculnya berbagai kelompok radikal-intoleran tetapi
juga oleh sisa-sisa Pilpres yang menimbulkan sejumlah luka
menganga.
Saya setuju dengan pendapat Putri Wardani bahwa semua
elemen bangsa Indonesia memang perlu diingatkan mengenai gejala dan fenomena
memudarnya spirit
kebhinnekaan dan kebangsaan lantaran "diserbu” oleh berbagai
kelompok agama, ideologi, dan politik radikal-intoleran yang antikemajemukan
dan kontrakebangsaan.
Sangat disayangkan kalau Indonesia yang supermajemuk dan
superkaya dengan aneka etnis, suku, bahasa, agama, kepercayaan, budaya, tradisi,
dan adat-istiadat ini kemudian musnah di kemudian hari hanya karena ulah
sekelompok ektremis-intoleran tersebut.
Sementara itu kelompok toleran-pluralis dan kaum pecinta
kemajemukan dan perdamaian lengah, abai, atau mungkin takut dan tak mampu berbuat
apa-apa untuk menyelamatkan aset-aset kultural bangsa yang tak ternilai
harganya. Jika tidak diantisipasi dengan cermat dan strategis, bukan hal yang
mustahil jika kelak kebhinnekaan bangsa Indonesia itu rontok berkeping-keping
ditelan oleh limbo sejarah dan hanya menyisakan penyesalan tiada tara seperti
apa yang pernah terjadi di Afganistan, Suriah, Irak, Arab Saudi, dlsb.
Sudah muncul sejak
lama
Penulis: Sumanto al Qurtuby
Meskipun, dalam konteks Indonesia, sejumlah kelompok
radikal-intoleran sudah muncul sejak lama di berbagai daerah: dari Sumatera dan
Jawa hingga Sulawesi dan Maluku tetapi gaungnya baru terasa mengglobal atau
menasional sejak tumbangnya rezim Orde Baru (Orba) dan terutama sejak munculnya
"dunia medsos”.
Di zaman Orba, nyaris sulit bagi kaum ekstremis-intoleran
untuk tumbuh dan berkembang biak (apalagi sampai menyebarkan paham dan
ideologi) karena Pak Harto sangat otoriter dan tidak memberi peluang secuil pun
bagi mereka untuk berkembang karena dianggap berpotensi mengoyak keamanan dan
stabilitas nasional (serta keluarga dan kroni Cendana tentu
saja).
Begitu rezim Orba tersungkur, "angin segar”
(demokrasi dan kebebasan) pun datang yang langsung dimanfaatkan dengan baik
oleh kelompok radikal-intoleran tersebut. Atas nama kebebebasan dan demokrasi,
mereka yang dulu bersembunyi di "lorong-lorong kegelapan” mulai
bermunculan ke publik dan berani unjuk gigi.
Rezim pasca-Orba yang cenderung lembek, khususnya rezim
SBY, turut memberi kontribusi bagi tumbuh-berkembangnya kelompok ini. Begitu
pula, media medsos yang bebas-merdeka di Indonesia dijadikan semaksimal mungkin
sebagai medium untuk mendistribusikan ideologi keagamaan yang antikemajemukan
dan antikemanusiaan serta ujaran-ujaran radikal-intoleran yang
menyesatkan.
Sejumlah saluran "tivi mainstream” yang mulai oleng
akibat gempuran media online (khususnya YouTube) pun mulai kehilangan
idealisme. Demi menghidupi "dapur tv”, mereka pun rela memberi panggung
bagi para penceramah dan simpatisan radikalisme dan intoleransi untuk berdakwah
dan meracuni publik Indonesia di stasiun-stasiun tv melalui ceramah-ceramah
keagamaan maupun program-program "relijius” lain yang overdosis. Akibatnya,
para penceramah toleran-pluralis yang mumpuni dan berkualitas pun tersingkir
diganti oleh para "penceramah abal-abal kelas pedagang kaki lima”.
Problem bangsa semakin bertambah dengan munculnya
sekelompok elit politik dan bisnis (termasuk lingkaran keluarga dan kroni
Cendana) yang sakit hati dengan Presiden Joko Widodo atau pemimpin
politik-pemerintahan siapapun yang bersih, anti-korupsi, berjiwa nasionalis,
dan berkomitmen kuat membangun kejayaan dan kemajuan bangsa (seperti mantan
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok) lantaran akses politik dan
previlase bisnis mereka dikebiri dan dipereteli.
Oleh karena itu kaum serakah kekuasaan dan bisnis ini pun
tidak segan-segan melakukan apa saja, termasuk kekerasan, menggelontorkan dana,
dan menggalang persekongkolan dengan para pedagang agama, tengkulak ideologi,
dan kelompok radikal-intoleran untuk menggoncang stabilitas rezim Jokowi dengan
berbagai macam cara: dari menghembuskan hoaks-hoaks murahan dan isu-isu
sentimen SARA yang dulu di zaman Orba "dimumikan” hingga "proyek
kerusuhan” dan makar.
Dimanapun di dunia ini, kelompok-kelompok agama,
khususnya kaum Islamis radikal, tidak memiliki komitmen kuat untuk
memperjuangkan idealisme keagamaan yang sering mereka kampanyekan dan
propagandakan. Mereka hanya berkoar-koar diluar saja tetapi rapuh dari aspek
komitmen dan idealisme. Itulah sebabnya kenapa mereka gampang sekali diajak
bersekongkol atau berjihad dengan kelompok manapun demi memerangi apa yang
mereka anggap atau imajinasikan sebagai "musuh umat Islam”.
Meskipun ironisnya apa yang mereka anggap sebagai
"musuh umat Islam” itu adalah umat Islam itu sendiri, sedangkan apa yang
mereka anggap sebagai "teman” umat Islam sejatinya adalah "musuh”
umat Islam itu. Sejarah mencatat, kelompok Islamis-radikal pernah berkoalisi dengan
rezim komunis Soviet, fasis Italia, Nazi Jerman, demokrasi Amerika, dlsb. Itu
artinya mereka tidak memiliki idealisme dan komitmen kuat membela Islam dan
umatnya yang sering mereka propagandakan.
Lalu apa yang perlu dilakukan guna membendung laju
kelompok radikal-intoleran?
Yang jelas strategi "top down” (misalnya melalui
kebijakan pemerintah) maupun "bottom up” (misalnya gerakan masif-intensif
masyarakat) perlu dilakukan secara simultan dan sinergis. Kolaborasi
pemerintah-masyarakat (state-society cooperation) perlu terus digalakkan.
Jelasnya, lebih khusus lagi, elemen "civil state” dan "civil society”
yang prokebhinnekaan,
toleransi dan perdamaian perlu terus bahu-membahu bekerja sama membendung arus
deras radikalisme dan intoleransi yang disebarluaskan oleh elemen-elemen "uncivil
state” (baca "oknum” pemerintah dan aparat radikal-intoleran) maupun
"uncivil society” seperti kelompok milisi/paramiliter, LSM provokator
kebencian, preman berkedok agama, sindikat bisnis yang serakah, dan seterusnya.
Jenderal Hamli dalam seminar yang disponsori oleh Pertiwi
seperti saya singgung di awal tulisan ini menegaskan perlunya penyebarluasan
pendidikan kearifan lokal warisan luhur leluhur bangsa yang sangat kaya yang
menjunjung tinggi kebhinnekaan dan toleransi melalui berbagai media: sekolah,
forum-forum pengajian, public gathering, dlsb.
Pendidikan memang sangat penting sekali. Kurikulum dan
buku-buku bacaan di sekolah-sekolah dari PAUD hingga Perguruan Tinggi yang
mengujarkan intoleransi, radikalisme, rasisme, etnosentirisme, dlsb harus
dienyahkan diganti dengan yang berspirit atau bermuatan toleransi dan
perdamaian. Selanjutnya, guru-guru dan dosen-dosen intoleran dan radikal harus
ditatar dan "diruwat”, dan jika tidak mau mengajarkan dan mendidik
pentingnya toleransi dan perdamaian kepada para siswa dan mahasiswa harus
ditindak tegas. Perlu dibentuk semacam dewan pengawas toleransi dan
kebhinnekaan di semua instansi pendidikan.
Bukan hanya di dunia pendidikan saja, oknum-oknum
pemerintah dan aparat dan juga pegawai negara (ASN) yang terpapar intoleransi
dan radikalisme harus disikapi secara serius dan ditindak tegas agar virus-virus
kekerasan dan antikemajemukan tidak menular. Para pekerja di BUMN yang terpapar
virus antipluralisme dan proradikalisme juga harus "diamankan” dan
diruwat.
Hanya dengan kerja sama intensif-sinergis antara "civil
state” dan "civil society” itulah, masa depan bangsa Indonesia diharapkan
masih bisa tetap terjaga dengan baik dan lestari serta selamat dari gempuran
kelompok intoleran dan radikal yang berusaha merusak sendi-sendi kemajemukan,
kebangsaan, keagamaan, dan keindonesiaan.
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan
pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals,
Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai
universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University,
University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor
(PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya,
khususnya Antropologi Politik dan Agama.
Ia telah menulis lebih dari
20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa
Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar
negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia
diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya
yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education
and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama
dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National
University of Singapore.
0 komentar:
Posting Komentar