Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal
sebagai Poncke Princen (lahir di Den Haag, Belanda, 21 November 1925 –
meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76 tahun) adalah seorang
oposan sejati berkebangsaan Belanda yang pada 1949 beralih menjadi warga negara
Indonesia, sejak muda hingga tua, melawan berbagai rezim yang melakukan
penindasan dan penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari
rezim sayap kanan hingga rezim yang cenderung ke-kiri-kiri-an.
Dia hanya hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda,
selebihnya dia habiskan di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari
roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama
Pastoor Poncke.
Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an
tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C Princen
menggunakan nama Poncke. Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak
punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya.
Di Indonesia, dia terutama dikenal sebagai pejuang Hak
Asasi Manusia. Princen menikah dengan Janneke Marckmann (ke 1971) dan nanti
dengan Sri Mulyati. Dia ada empat anak: Ratnawati H.E. Marckmann, Iwan Hamid
Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan Wilanda Princen.
Latar Belakang
Princen lahir dan tumbuh di Belanda. Dia sempat mengenyam
pendidikan di Seminari dari 1939-1943. Pada tahun 1943, tentara Nazi Jerman
mulai menginvasi dan menduduki Belanda. Seminari tempat dia sekolah diisolasi
dan anak-anaknya dikurung di asramanya karena Belanda berada sepenuhnya dalam
suasana perang.
Pada tahun yang sama dia mencoba melarikan diri dan
tertangkap oleh Nazi. Dia pun dikirim ke kamp konsentrasi di Vught, lalu
dikirim lanjut ke penjara kota Utrecht. Di akhir 1944, sesaat setelah dia bebas
dari Jerman, dia kembali ditahan oleh pemerintah - kali ini pemerintah Belanda,
karena dia menolak wajib militer di tengah kondisi yang sangat kritis tersebut.
Ia pun dengan paksa masuk dinas militer dan dikirim ke jajahan Belanda di timur
yang berusaha untuk memerdekakan diri, yaitu Indonesia. Di negara jajahan ini
ia tergabung dalam tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL.
Mengabdi Republik,
Berjuang untuk Kemanusiaan
Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada
17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih
terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak
menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya,
meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan
pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia.
Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949
dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit
251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut
longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya.
Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh
tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma
isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah
Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula
dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang
Gerilya dari Presiden Soekarno.
Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer
Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai
penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan
iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan
mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan
pihak militer yang bertindak sewenang-wenang.
Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958.
setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan
mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih
bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966).
Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Partai Komunis
Indonesia (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden Sukarno dan
rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan
Darat. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi
energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer
dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan
Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru, menggantikan
rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah
dipenjara selama 4 tahun. Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin
mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan
penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan
sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.
Mengkritik Rezim
Ored Baru
Tetapi Princen kembali dikecewakan dengan rezim yang
baru, dan perjuangannya pun tak berhenti walaupun rezim yang berkuasa sudah
ganti. Princen justru membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela
korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota
PKI dan orang-orang yang dituduh komunis.
Pada tahun 1968 Poncke menitipkan sebuah perekam suara
kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk
dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin
penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Poncke memintanya mewawancarai
Pramoedya Ananta Toer diam-diam dan membuat sedikti laporan tentang keadaan di
Kamp tahanan itu buat Amnesty International yang kemudian mengangkat Pramoedya
sebagai ‘Prisoner of Conscience” lambang korban yang terinjak.
Tahun berikutnya, Poncke Karena pembelaan terhadap
korban-korban yang dituduh PKI ini, Princen sendiri di kalangan umum juga
sempat mendapat cap 'komunis' - orang lupa bahwa dia juga menentang kekuasaan
yang didominasi komunis pada masa Orde Lama.
Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen
mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian massal PKI di Purwodadi
Jawa Tengah. Kritik itu jelas melahirkan murka penguasa yang baru dua tahun
menikmati imperiumnya. Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan
tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius tidak
hanya terhadap Poncke tapi juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan
masyarakat Indonesia.
Tak ayal, Tuduhan pengikut komunis sebagai stigma yang
paling terkenal untuk mengamputasi musuh politik orde baru digunakan Soeharto,
Jenderal M. Panggabean (Panglima AD-KSAD pada waktu itu) dan Mayjen Soerono
Reksodimedjo (Pangdam IV Diponegoro) disematkan kepada Princen agar kemudian
lebih mudah untuk memenjarakannya.
Tidak hanya kritik yang dikeluarkan Poncke. Kakak dari
Keis Princen ini juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk
memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional soal kasus
Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah
tersebut. Begitu mengerikannya dampak kasus ini, pada tahun yang sama, ia
bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi
trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.
Gerakannya semakin meluas seiring ketidakadilan yang ia
saksikan. Tahun 1970, Poncke menjadi salah satu yang mempelopori berdirinya
Lembaga Bantuan Hukum.
Pada tahun 1974, Princen terlibat dalam penggalangan
demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Pembangunan
monumen raksasa ini secara umum dinilai sebagai langkah yang sangat tidak tepat
di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih buruk di saat itu. Princen
dipenjarakan karena aksinya ini, sejak tahun 1974 hingga 1976.
Berjuang Hingga
Akhir Hayat
Sejak dibebaskan tahun 1976, Princen tidak menjadi
kendor, tetapi malah semakin vokal membela Hak Asasi Manusia di bawah represi
orde militer yang menguasai negeri ini saat itu. Dia terlibat dalam pembelaan
HAM di Timor Timur salah satu dari dua kasus yang menonjol adalah pembantaian
Santa Cruz dan melindungi puluhan mahasiswa Timor-Timur. dia juga aktif dalam
masalah perburuhan. Sejak tahun 1976 dia tak pernah dipenjarakan secara
permanen, tetapi berulang kali diinterogasi dan juga diawasi secara ketat oleh
polisi, dan mungkin juga militer (yang tak jelas bedanya saat itu - sama-sama
ABRI).
Tahun 1980, ia juga ikut mendirikan YLBHI, menjadi
pengacara para korban pada peristiwa pembantaian Tanjung Priok (1984), membela
puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Mendagri Rudini (1989).
Mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia
Front for Defending Human Right (INFIGHT) 1989, Serikat Buruh Merdeka
Setiakawan (SBMS) tahun 1990, KontraS (1998) dan lain-lain. Pun ketika
masyarakat memberinya penghargaan Yap Thiam Hien Award 2002 sebagai tokoh HAM
bersama petani Jenggawah Jember, Poncke memandang penghargaan tersebut sebagai
bagian yang lahir dari proses panjang perjuangan penegakan HAM secara bersama
di Indonesia. Baginya didukung atau tidak bukan menjadi bagian utama dari upaya
pembelaannya secara konsisten terhadap manusia tanpa membedakan apakah ia
dituduh PRD - yang oleh Orde Baru dianggap turunan dari PKI atau ekstrem kanan.
Princen meninggal pada 22 Februari 2002 sebagai figur
yang sangat dihormati dan dihargai oleh tokoh dari berbagai golongan.
Pekerjaannya yang amat mulia kini dicoba diteruskan oleh
Ahmad Hambali seorang aktivis muda yang sempat bertemu dalam kondisi berkursi
roda ketika sama-sama membela petani Sagara Garut tahun 1990-an. Walaupun
pencekalan di tanah leluhurnya masih terus berlangsung hingga ajal menjemput,
namun rohnya kini bebas keluar masuk Den Haag, Heemstede, Amersfoort, Enschede,
Haarlem dan Sukabumi. Bebas juga dari protes kerdil para veteran perang
kolonial, dari Drs. Kamsteeg yang melarangnya menggunakan nama Poncke. Yang
tersisa hanya semangatnya. Sang desertir sudah pulang ke kesatuannya.
Sumber tambahan: Ahmad
Hambali, LPHAM dan Princen, Pengantar Draft Penelitian Studi Surat-Surat Protes
Princen tahun 1990, LPHAM, Jakarta, 2004
Pranalan Luar
•(Indonesia) HJC Princen -
Haji Belanda Pejuang HAM dalam "Tokoh Indonesia"
•(Inggris) Human Rights
Campaigner Continues Fight That He Began Decades Ago as a Dutchman: Just
Another Skirmish For Indonesian Warrior, Artikel di International Herald
Tribune
•(Inggris) (Belanda) Archief
Poncke Princen, Arsip di International Institute of Social History
Pembantaian
Purwodadi
Pembantaian Purwodadi merupakan salah satu babak
peristiwa pembantaian dan pembersihan sisa-sisa pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) di Purwodadi, Grobogan, Jawa
Tengah pada tahun 1968. Pembantaian ini terkenal di dunia
internasional setelah salah satu tokoh yang ikut di dalam pembersihan tersebut
memberikan kesaksiannya dan ditulis serta disebarluaskan oleh HJC
Princen (Poncke Princen) dan koran Harian KAMI dengan editornya
yaitu Nono Anwar Makarim. Salah satu hal kontroversi
dari kasus ini adalah adanya daerah yang diduga merupakan lokasi kuburan massal
korban pembantaian.[1][2][3] Lokasi
pembantaian tersebut diduga ada di daerah Kuwu, Hutan Monggot (berada di Geyer),
Sungai Ganjing, Sungai Glugu, Waduk Simo, Waduk Nglangon
(terletak di Mangunsari, Tegowanu) , Sendangtapak, Daplang, Tegowanu (semua berada di Kabupaten
Grobogan) serta Kedungjati, Mojolegi,Boyolali, serta Hutan
Sanggarahan.
Reaksi Pemerintah
Jenderal TNI Maraden Panggabean
Selang beberapa hari setelah tersiarnya kabar pembunuhan
massal di Purwodadi, banyak petinggi Angkatan Darat waktu
itu, seperti Panglima TNI AD Jend. M. Panggabean dan Pangdam Diponegoro Mayjend. Surono Reksodimedjo berlomba-lomba
menyatakan bantahannya bahkan Poncke dituduh sebagai agen komunis.
Menghadapi tuduhan itu Poncke balas menyerang mengatakan bahwa tuduhan itu tak
berdasar karena pada masa Sukarno, di saat PKI ada di atas angin, dia justru
menjadi lawannya. “Saya bukan seorang sentimentalis naif,” begitu kata Poncke.[10]
Reaksi
Internasional
Reaksi di Belanda
Cees dan Henk yang gagal membuat berita Purwodadi
ekslusif akhirnya tetap mengangkat kasus itu di De Haagsche Courant. Hasil
reportase Cees dan Henk ternyata membawa dampak yang cukup besar. Berita itu
menyulut reaksi dan gelombang protes dari masyarakat internasional, khususnya
di Belanda terhadap
rezim Orde
Baru. Surat kabar Belanda Trouw edisi 19 April 1969 menyiarkan
“surat terbuka” dari Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang
keberatan dengan niat jalinan kerjasama Belanda-Indonesia karena dengan
demikian melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia. Di lain
pihak pemimpin kelompok Indonesianis terkemuka,
Dr. J.M. Pluvier menyatakan bahwa pemerintah Soeharto bertanggung jawab
atas penangkapan terhadap orang-orang
kiri dan diskriminasi terhadap golongan Cina.[5]
Frans Seda
Bola salju yang menggelinding sejak peristiwa pembunuhan
massal di Purwodadi terungkap semakin membesar. Dalam rangka lustrum Universitas
Katolik Nijmegen, pada tanggal 17 April 1969 diselenggarakan sebuah ceramah
dengan mengundang Menteri Keuangan RI, Drs. Frans Seda sebagai
penceramah. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk mulai berceramah, Y. van
Herte seorang mahasiswa menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan
massal anggota PKI selama bulan Oktober 1965.
Frans menyanggupi
untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan
ceramah terlebih dahulu. Ternyata mereka menolak dan meminta pertanggungjawaban
Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Akibatnya
suasana menjadi kacau, bahkan Frans Seda diteriaki sebagai "Moordenaar
" dan "lafaard..!."(Pembunuh dan Pecundang). Akhirnya
ceramah dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan Aula Universitas lewat
pintu belakang.[5]
Prof.Dr. Ernst Utrecht
Prof. Dr. W.F. Wertheim, seorang Indonesianis yang juga
menjadi salah satu anggota komite Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan
Majalah Vrije Nederland juga
menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda
bagi pemerintah
Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda,
Wertheim kembali menegaskan, “tidak ada kerjasama” dengan rezim yang membiarkan
pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik.
Pemerintah Orde Baru, yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim, kemudian
melarangnya mengunjungi Indonesia.[5]
Posisi pemerintah Orde Baru semakin terpojok dengan
terungkapnya kasus pembunuhan massal di Grobogan. Kasus Purwodadi yang
dibongkar oleh Poncke telah menorehkan aib bagi Orde Baru di awal kekuasaannya.
Tidak tanggapnya rezim Soeharto terhadap kasus Grobogan menimbulkan reaksi
keras di luar negeri. Prof. Dr. Ernst
Utrecht, tokoh Indo-Belanda yang pernah masuk Konstituante
RI dan menjadi anggota PNI, dalam sebuah diskusi di Universitas Nijmegen,
Belanda, mengatakan bahwa “Repelita is onzin” (Repelita adalah omong kosong).
Ia juga mengatakan bahwa bantuan kepada Indonesia adalah sama dengan imperialisme
ekonomi yang membawa Indonesia memasuki Kapitalisme Barat. Kejatuhan Soekarno membawa angin
segar bagi masuknya pemodal asing karena Soeharto, yang baru saja memegang
kendali pemerintahan selama dua tahun, telah mengambil serangkaian
langkah-langkah untuk merealisasikan program perbaikan ekonomi dan memulihkan
stabilitas politik dalam satu paket dan stabilitas politik dijadikan prasyarat
bagi landasan pembangunan ekonomi.[5]
Reaksi di Luar
Belanda
Bukan hanya pers Belanda, pers Thailand juga
mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita, sehingga
perhatian khalayak diarahkan ke Indonesia. Akibatnya Kedutaan Besar RI di
Bangkok menjadi sasaran hujatan dan kritik pedas dari berbagai kalangan, baik
dari pemerintah maupun organisasi sosial lainnya di Bangkok. Kasus
Purwodadi tampaknya berdampak lebih jauh daripada yang diperkirakan. Soeharto
yang merasa terganggu oleh peristiwa itu, akhirnya membatalkan kunjungannya ke
sejumlah negara Eropa yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969.
Ia memutuskan baru akan mengunjungi Eropa termasuk Belanda pada tahun 1970.[5]
Berbeda dengan publik di Belanda, reaksi pers Amerika
Serikat terhadap pembunuhan massal terbesar sesudah Perang
Dunia ke II itu dingin-dingin saja. Bahkan semenjak awal tersiar kabar
penghancuran PKI di Indonesia, Majalah Time edisi 5
Juli 1966 menuliskan hal tersebut sebagai “berita terbaik bagi dunia Barat
selama bertahun-tahun di Asia.”[5]
Referensi
1. "Penemuan
16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi". historia.id. Diakses
tanggal 2017-11-17.
2. Affan, Heyder (2017-11-16). "Ditemukan 'kuburan
massal korban kekerasan 1965 ' di Purwodadi, Jawa Tengah". BBC
Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-27.
3. "Jejak
Kuburan Massal Purwodadi [1]". ypkp1965.org. Diakses
tanggal 2017-11-27.
4. "Belum
Satupun Dari 136 Titik Kuburan Masal Yang Dilaporkan YPKP65 Yang
Ditindaklanjuti - Tribunnews.com". Tribunnews.com. Diakses
tanggal 2017-11-27.
5. "Purwodadi:
Skandal Pertama Orde Baru". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
6. "Malapetaka
Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)". SOCIO-POLITICA (dalam
bahasa Inggris). 2009-10-21. Diakses tanggal 2017-11-17.
7. Samuel.,
Totten,; S., Parsons, William; W., Charny, Israel (2004). Century of genocide :
critical essays and eyewitness accounts (edisi ke-2nd ed). New York:
Routledge. ISBN 9780415944304. OCLC 57124951.
8. "Di Balik
Berita Purwodadi". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
9. "Soe
Hok Gie dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966". SINDOnews.com.
Diakses tanggal 2017-11-27.
10. 1945-,
Dhakidae, Daniel, (2003). Cendekiawan
dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. ISBN 9789792203097. OCLC 52594506.
0 komentar:
Posting Komentar