Liza Yosephine - 15 November
2019
JEWEL SAMAD/AFP
Keluarga korban penembakan Tragedi Semanggi 1998 tetap
menuntut proses peradilan di tengah rencana pemerintah menghidupkan kembali
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaika kasus pelanggaran HAM masa
lalu yang selama ini terbengkalai.
Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
juga merekomendasikan mekanisme yudisial.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan
melalui rencana KKR itu ada dua model penyelesaian.
"Artinya kalau sudah ada KKR, jadi kita ada dua model penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Yang pertama yudisial, yang kedua non-yudisial. Undang-undang KKR itu untuk soal penyelesaian non-yudisial itu," kata Beka.
Menurut Beka, Komnas HAM tetap memandang bahwa jalur
untuk penyelesaian masalah HAM masa lalu ialah seusai yang sudah tertera dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Undang-Undang kita itu hanya mengenal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial," ujarnya.
Keluarga korban dugaan pelanggaran HAM, Sumarsih,
menuntut penyelesaian pelanggaran kasus-kasus masa lalu melalui proses
pengadilan.
Sumarsih mengatakan bahwa mekanisme tersebut sebenarnya
sudah jelas diuraikan dalam UU Pengadilan HAM yang sudah ada.
Sumarsih adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma
Irmawan alias Wawan, seorang korban penembakan Tragedi Semanggi I pada 11-13
November 1998.
"Kalau menurut saya, pemerintah jangan membuat berbagai alasan untuk menghindar terhadap tanggung jawab, terhadap khususnya penembakan para mahasiswa," kata Sumarsih kepada BBC News Indonesia.
"Negara jangan melanggengkan impunitas dengan memberikan perlindungan kepada para pelanggar HAM berat, dan memeti-eskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," tambahnya.
Menurut Sumarsih, kepastian hukum adalah tahapan penting
untuk mencegah pengulangan kekerasan aparat.
"Bagi kami keluarga korban, tuntutannya adalah negara membentuk pengadilan HAM ad-hoc untuk menjangkau para komandan pemberi perintah kepada prajurit di lapangan yang melakukan penembakan itu," ujarnya, merujuk pada isi undang-undang yang mengatur penyelesaian dugaan pelanggaran HAM.
Mengapa pemerintah
menempuh proses rekonsiliasi?
Berdasarkan UU Pengadilan HAM, Jaksa Agung berwenang
melakukan penyidikan dalam menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Namun,
jalur tersebut sejauh ini terus mengalami kendala.
Kerusuhan Mei 1998 termasuk dalam dugaan pelanggaran HAM berat yang
masih mengganjal. AFP
Sejak 2002, Komnas HAM telah menyerahkan berkas
penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ke Jaksa Agung.
Sejak itu pula berkas-berkas tersebut mengalami proses bolak-balik antara kedua
instansi tersebut.
Diantara berkas perkara terkait termasuk berkas peristiwa
1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, lalu peristiwa
penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Berkas perkara kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya adalah
peristiwa Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, peristiwa
Talangsari 1989, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Wasior Wamena
2000-2003.
Selain itu, ada juga berkas pelanggaran HAM berat di Aceh
yang dikembalikan oleh Jaksa Agung, yaitu peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di
Provinsi Aceh, Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.
Pada Kamis (14/11), Menteri Koordinator bidang Politik,
Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, mengatakan pemerintah sedang
mengupayakan menghidupkan kembali penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui
jalur non-yudisial.
Peristiwa G30S/PKI dan kekerasan yang menyusul masih menjadi perdebatan
di kalangan warga Indonesia. GETTY IMAGES
Salah-satu caranya, menurut Mahfud, adalah memperbaiki
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang tidak berlaku
setelah dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.
"Iya (KKR dihidupkan kembali). Dulu kan kita punya undang-undang KKR ya, tapi dibatalkan oleh MK, dengan catatan harus segera diperbaiki," ucap Mahfud di kantornya, Jakarta, Kamis (14/11).
Menurutnya, konsep perbaikian UU KKR sudah pernah
dilakukan, namun tidak dilanjurkan, karena sejumlah menteri belum memiliki
pemahaman yang sama.
"Waktu itu sudah diperbaiki. Cuma kemudian antara menteri pada waktu yang lalu itu masih ada yang enggak cocok," ungkap Mahfud.
Mengapa
penyelesaian peradilan ditolak pemerintah?
Kebijakan penyelesaian non-yudisial, atau tidak melalui
proses peradilan, sudah sejak lama menjadi kehendak pemerintah Indonesia dalam
upaya penyelesaian masalah HAM berat di masa lalu.
Semenjak Reformasi 1998, pemerintah Indonesia lebih
berpihak pada jalur tersebut ketimbang upaya peradilan seperti dituntut para
pegiat HAM, yang dianggap 'sulit digelar' karena berbagai alasan.
Beberapa hal yang dianggap dapat menjadi tantangan dalam
proses peralidan termasuk menemukan bukti-bukti atau saksi-saksi, terumata
untuk kasus-kasus lama, seperti peristiwa 1965.
Orang-orang menyebut dirinya keluarga korban konflik Aceh menuntut agar
pemerintah mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM di masa lalu dalam unjuk rasa
di Banda Aceh, 10 Desember 2006. AFP
Dengan cara pandang demikian, maka lahir konsep
rekonsiliasi, rehabilitasi dan kompensasi sebagai jalan yang dianggap paling
bijaksana untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan masa lalu.
Undang-Undang KKR pertama kali terbentuk pada 2004, namun
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut pada 2006 karena dinilai
bertentangan dengan UUD 1945.
Komnas HAM: 'Kami
belum dilibatkan pembahasan rencana KKR'
Kini, setelah dipercaya menjadi Menkopolhukkam, Mahfud MD
menggaungkan kembali penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu,
dengan pendekatan rekonsiliasi.
"Sekarang kita koordinasikan lagi agar bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah HAM di masa lalu," kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud ini menandakan upaya terbaru pemerintah
untuk memajukan proses rekonsiliasi dalam penyelesaian kasus-kasus HAM seperti
diamanatkan saat Reformasi 1998.
Dalam hal ini, Komnas HAM menilai bahwa langkah tersebut
adalah kewenangan pemerintah untuk menjawab tuntutan penyelesaian masalah
kekerasan masa lalu.
"Tentu saja, kita akan melihat Komnas HAM nanti […] dimana peran Komnas HAM dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk oleh pemerintah ini," kata Komisioner Komnas HAM Beka.
Beka mengatakan bahwa pihaknya belum dilibatkan dalam
pembahasan rencana KKR, sehingga belum mengetahui konsep rekonsiliasi terbaru
yang akan dikembangkan oleh pemerintah.
"Kami belum terlibat dalam pembahasan rencana KKR itu. Tetapi kami serahkan kepada pemerintah," kata Beka.
0 komentar:
Posting Komentar