27 November 2019 - Francesco Hugo
Kredit ilustrasi oleh The Red Star
Vanguard
SEBAGIAN dari Anda yang sering membaca artikel di Indoprogress barangkali
kerap menemukan istilah pekerja, kapitalis, laba, eksploitasi, nilai-lebih,
akumulasi, fetisisme, kapital, alienasi dan lain-lainnya.
Tapi apakah Anda betul-betul memahami makna dari istilah
tersebut? Membaca beragam istilah tersebut, jujur saja saya pribadi terkadang
mesti mencarinya di Google atau bahkan membuka buku lainnya untuk memahami
maknanya.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa istilah semacam itu agak
sulit dipahami secara langsung, apalagi untuk mereka yang jarang membaca
tulisan-tulisan bertema teori atau kajian spesifik tertentu. Mengapa demikian?
Sebab, kata-kata itu mewakili suatu kenyataan yang dirangkum ke dalam satu atau
dua kalimat tertentu agar lebih mudah dipahami oleh orang lain – dalam arti
lain kata-kata itu merupakan perwujudan dari sebuah konsep. Inilah yang sering
ditemukan ketika kita membaca karya tulis atau artikel ilmiah, entah itu ilmu
alam ataupun ilmu sosial. Dalam ilmu alam contohnya, kata evaporasi dan
kondensasi memiliki arti yang berbeda. Jika evaporasi merupakan proses
penguapan yang mana molekul dengan bentuk cair menjadi bentuk gas, maka
kondensasi adalah proses yang sebaliknya.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan pembacaan kita soal
Marxisme?
Marxisme sendiri merupakan suatu penamaan atas suatu cara
metode analisis sosial ekonomi-politik yang mengedepankan cara berpikir
materialis dan dialektis terhadap perkembangan sejarah dan pemahaman relasi
sosial serta transformasi bentuk masyarakat manusia. Marxisme berangkat dari
rangkuman pemikiran serta metode berpikir Karl Marx dan Frederick Engels yang
pada masanya gundah gulana menghadapi benturan gelombang pertama transisi
bentuk masyarakat dari feodalisme ke kapitalisme di abad ke-19. Pemikiran
keduanya dituangkan ke dalam banyak tulisan, mulai dari Theses On
Feuerbach, The German Ideology, Communist Manifesto,
Anti-Duhring, hingga Socialism: Utopian and Scientific, yang mana
teori-teori serta cara berpikirnya menjadi landasan dari metode analisis ilmu
sosial. Dari banyaknya tulisan kritik mereka terhadap bentuk mekanisme
masyarakat kapitalisme, tidak ada yang lebih tajam dan sekomprehensif pemikiran
mereka di dalam Capital: A Critique of Political Economy atau yang
sering disebut dengan Das Kapital.
Ditulis oleh Marx dan diterbitkan pada tahun 1867, Das
Kapital menjadi bukti greget-nya cara berpikir materialisme dialektis dan
historis dalam membedah mekanisme di balik berjalannya kehidupan kita
sehari-hari. Lewat karya ini juga, metode Marxisme mampu disematkan kategorinya
sebagai suatu ilmu pengetahuan atau sains khusus di bidang ilmu sosial.
Sepanjang sejarah semenjak diterbitkannya, sudah beragam tokoh dari segala bangsa
membacanya kembali dan mencoba mengimplementasikannya. Hasilnya seperti yang
telah kita lihat di sepanjang abad ke-20, pasang surut timbul tenggelam. Dari
semua yang telah berlalu, Anda masih bisa berkenalan dengan karya-karya dari
tokoh-tokoh terbaik seperti Louis Althusser, David Harvey, Paul Sweezy hingga
Dicky Ermandara yang mana rajin mengisi tulisan di kolom Logika sebelum ini.
Seperti apa kiranya isi buku itu? Satu yang pasti yaitu
semua istilah sulit atau konsep rumit yang saya bahas di awal tulisan bisa
ditemukan di dalamnya. Meski demikian, setidaknya kata-kata sulit itu dapat
ditemukan dasar pemahamannya di dalam Das Kapital. Istilah-istilah tersebut
memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa dipahami. Sehingga, mau tidak mau
kita akan berjumpa dengan berbagai istilah atau kata-kata yang penuh makna
tersebut.
Hal itu kemungkinan besar dikarenakan Das Kapital sendiri
ditulis oleh Marx dua abad yang lalu dan juga luasnya cara berpikir holistik
Marx yang belum tentu dapat disamakan dengan cara kita. Maka tidaklah mudah
membaca buku ini dan memahaminya. Saya yang pernah membaca sedikit bisa
menyarankan Anda untuk menyiapkan kesabaran tersendiri dalam mempelajari
tulisan Marx yang satu ini. Perihal bagaimana lebih detailnya serba serbi Das Kapital,
saya menyarankan Anda membaca kembali tulisan Kawan Dicky Ermandara dalam
Logika edisi sebelumnya.
Khususnya yang berjudul “Kebaruan Kapital” dan “Pernah
Membaca Marx?”
Dalam kesempatan kali ini saya akan langsung mengajak
Anda kembali membuka buku yang tebalnya hampir menyaingi novel A Song of
Ice and Fire-nya George RR Martin. Namun sebelum memasuki bab dan
bagian-bagiannya, saya akan mencoba menemani Anda untuk mempersiapkan diri
dengan membaca pengantar untuk edisi pertamanya. Tentu saja saya tidak akan
menulis panjang lebar pengantar yang ditulis Marx, karena alangkah lebih
bermanfaat kalau Anda membacanya sendiri. Tapi saya akan membantu Anda
mengambil inti-intinya dengan mengutip beberapa kalimat sebagai permulaan pola
pikir dalam memahami Das Kapital dan Marxisme itu sendiri. Saya akan membagikan
pengalaman saya yang masih pemula ini kepada Anda, kurang lebihnya mohon
dimaklumi dan kalau bisa dikoreksi. Kira-kira sebagai berikut yang telah selama
ini saya pahami.
“Permulaan selalu
sulit di dalam semua ilmu pengetahuan. Pemahaman tentang bab pertama, khususnya
bagian yang berisi soal analisis tentang komoditas, akan muncul sebagai yang
paling sulit.” (Marx 1990: 89)
Sekilas, kalimat ini terasa sama sekali tak heroik dan
sungguh tidak menyemangati kita para pembaca yang baru saja hendak memulai
halaman pertama. Meski jujur, tapi cukup membuat siapapun yang membaca akan
berpikir dua kali untuk melanjutkan pembacaannya. Namun inilah cara Marx
menyampaikan pikirannya, jujur dan apa adanya sesuai dengan kenyataan. Lagipula
buat apa heroik kalau tidak saintifik? Militansi dalam laku dan perjuangan
haruslah didasarkan kepada pemahaman yang utuh dan bertanggung jawab mengenai
dunia yang mau kita ubah. Dari kalimat Marx yang ini saja kita mampu memahami
bahwa cara pikirnya berangkat dari realita dan memang pada kenyataannya
membedah masyarakat hari ini tidak semudah kelihatannya. Sebab realita di balik
yang terlihat selalu diselimuti kabut-kabut kebudayaan dan kehidupan
sehari-hari yang praktis.
Contohnya ketika Anda lapar dan membelanjakan Rp12.000
rupiah untuk nasi, tempe orek, oseng kikil dan tumis pare di warteg
persimpangan jalan. Saat piring sudah di tangan, Anda pasti langsung melahapnya
di meja makan yang menghadap ke etalase kaca tanpa memikirkan suatu mekanisme
yang ada di balik keadaan Anda makan di warteg. Padahal banyak mekanisme
kenyataan yang memungkinkan tersedianya sepiring menu andalan Anda. Misalnya
dari mana datangnya bahan makanan itu, bagaimana pemilik warteg mempertahankan
keberadaan wartegnya hingga bagaimana satu lembar Rp10.000 dan selembar Rp2.000
dapat ditukarkan dengan sepiring nasi dan tiga lauk nikmat tersebut. Inilah
yang coba dijabarkan oleh Karl Marx, sesuatu yang mendasari penampakan fisik.
Dengan demikian, untuk menjelaskan yang tidak menampak di
mata kita, Marx memulai pembahasannya lewat sesuatu yang dapat dilihat dan
dapat disentuh, tentu saja lewat komoditas. Karena komoditas merupakan salah
satu produk dari cara manusia melangsungkan hidupnya yang dominan dua abad
terakhir ini, yaitu kapitalisme. Di dalam komoditas terkandung sebuah nilai
yang terbentuk akibat relasi antar manusia dalam suatu masyarakat manusia yang
spesifik dan terorganisir pembagian kerjanya. Sehingga Marx tak
melebih-lebihkan ketika dia mengatakan bahwa pembahasan tentang komoditas
merupakan bagian yang paling sulit. Namun hanya melalui komoditaslah pintu
masuk pembedahan masyarakat kapitalisme dimungkinkan. Mengapa demikian? Marx
menjelaskannya dalam kalimat berikut.
“Fisikawan meneliti
proses fisik alam yang mana muncul pada bentuk paling pentingnya dan paling
sedikit terkena efek oleh pengaruh yang menganggu, atau di manapun memungkinkan
ia akan membuat eksperimen dalam kondisi yang memastikan bahwa prosesnya akan
muncul dalam wujud yang alami. Hal yang harus saya selidiki dalam pekerjaan ini
adalah mode produksi kapitalisme dan relasi produksi serta bentuk hubungan yang
sesuai dengannya.” (Marx 1990: 90)
Ia membandingkan pekerjaannya dengan apa yang dikerjakan
oleh seorang fisikawan, bahwa yang ia berusaha selidiki tidak akan semudah para
fisikawan menangkap realita alami atau membuat eksperimen sehingga mampu
menangkap mekanisme alam. Kenyataan yang berusaha ditangkap oleh Marx merupakan
cara kerja suatu masyarakat yang sulit dikalkulasikan secara pasti karena
bergantung pada relasi yang diperankan oleh kumpulan manusia, yang mana tak
hanya hidup sebagai hewan biologis tapi juga hewan sosial. Alhasil, penangkapan
akan realitas terkadang terlihat jelas dan terkadang samar apabila kita berangkat
hanya dari yang menampak, Marx berusaha menangkapnya lewat mekanisme yang
berjalan di balik keadaan yang terlihat. Karena mekanisme itu bergerak dan
tersembunyi di balik suatu masyarakat tertentu, Marx mesti mencari populasi dan
sampel yang tepat untuk melancarkan pembedahannya menemukan mekanisme
berjalannya masyarakat kapitalisme.
Dari populasi manakah kiranya Marx mengambil sampel? Tak
tanggung-tanngung, dia langsung mengambilnya dari masyarakat Inggris di abad
ke-19, pulau yang menjadi tanah kelahiran kapitalisme. Hal ini ia jelaskan di
dalam pengantarnya, berikut beberapa potong dari kutipannya dalam
pengantar.
“Untuk alasan ini,
di antaranya, saya mempersembahkan banyak sekali ruang dalam volume ini kepada
sejarah, perincian, dan hasil dari undang-undang pabrik Inggris. Suatu bangsa
dapat dan harus belajar dari bangsa yang lainnya. Bahkan ketika suatu
masyarakat telah mulai melacak hukum dasar dari gerakannya dan – tujuan utama
dari pekerjaan ini adalah untuk mengungkapkan gerakan hukum ekonomi dari
masyarakat modern – ia tidak dapat melampaui fase alami dari perkembangan atau
melepaskan dengan dekrit. Namun itu dapat memperpendek dan mengungari rasa
sakit saat melahirkan.” (Marx 1990: 92)
Dari tulisannya, Marx mengatakan bahwa ia mempelajari
masyarakat kapitalisme di Inggris lengkap dengan berbagai gejolaknya untuk
mendapatkan hukum utama yang menjadi prasyarat berjalannya masyarakat di sana
kala itu, dan tentu saja ia menemukannya. Lalu apakah hukum itu hanya berlaku
di Inggris dan di abad ke-19 saja? Dia menjawabnya dengan menegaskan, hanya
karena dia meneliti dan menemukan hukum tersebut di Inggris bukan berarti di
negara berbeda akan berlaku hukum yang juga berbeda. Keadaan sosial dan
kebudayaan mungkin saja beragam, namun hukum berjalannya masyarakat tetaplah
serupa. Sehingga Marx mengajak segala bangsa untuk belajar dari studi kasus
yang ia temukan di Inggris. Apa yang terjadi di Inggris dapat menjadi contoh
pada bangsa lainnya kala itu, jika tidak bisa membendungnya minimal
meminimalisir dampak merugikan kapitalisme.
Meski untuk hari ini himbauan Marx sudah sangat
terlambat, tapi akan selalu ada peluang untuk menjadikan dunia ini lebih baik.
Apabila kita mengerti mekanisme yang mengatur suatu permainannya, alih-alih
terjebak di dalam permainan itu dan terus berputar mengikutinya, mengapa tidak
ubah permainan itu menjadi seperti yang kita inginkan? Asalkan kita mengerti
hukum yang mendasari bergeraknya masyarakat kapitalisme, kita akan mampu
melampaui dan menggantinya dengan yang lebih menguntungkan segenap manusia dan
juga planet bumi yang cuma satu-satunya ini.
Lantas seperti apa hukum yang berjalan di balik
masyarakat kapitalisme itu? Bagaimana dengan hukum itu di abad ke-21 ini?
Apakah hukum yang ditemukan Marx lewat Das Kapital masih sama berjalan seperti
di abad ke-19? Jawabannya tidak berada di ujung langit, namun ada di antara
kata-kata dan istilah-istilah sulit di dalam tulisan yang tertulis di dalam
buku tebal yang untuk membawanya saja butuh usaha, atau ada di
dalam e-book yang beratnya bahkan tak seberapa dibanding folder video
drama Korea atau folder foto-foto keren travelling Anda. Itulah tantangan kita.
Dalam pengantar edisi berbahasa Prancis, Marx menulis kalimat berikut:
“Tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak yang terang nan bercahaya.”
***
0 komentar:
Posting Komentar