Kompas.com - 07/11/2019, 16:33 WIB
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Bayu Galih
Editor : Bayu Galih
Jaksa Agung ST Burhanuddin
mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Kamis (7/11/2019). Rapat kerja tersebut membahas rencana strategis
Kejaksaan Agung tahun 2020. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama. (ANTARA FOTO/NOVA
WAHYUDI)
JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan sejumlah
hambatan dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa
lalu yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Dalam kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, ST
Burhanuddin mengaku pihaknya kesulitan untuk memperoleh alat bukti. Sebab,
faktor waktu yang sudah terlampau lama dan tempat kejadian perkara yang sudah
berubah.
"Sulit memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada," ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Menurut Burhanuddin, pembuktian peristiwa pelanggaran HAM
berat tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aturan dalam KUHAP menyatakan, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti keterangan ahli forensik, hasil uji balistik, dan dokumen terkait lainnya.
Aturan dalam KUHAP menyatakan, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti keterangan ahli forensik, hasil uji balistik, dan dokumen terkait lainnya.
"Pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat tunduk pada KUHAP, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti ahli forensik, uji balistik, dokumen terkait dan sebagainya," kata ST Burhanuddin.
Hambatan lain yakni belum dibentuknya pengadilan HAM ad
hoc. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, diperiksa dan
diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Artinya, Kejaksaan Agung tidak dapat melanjutkan proses penanganan perkara ke tahap penuntutan setelah penyelidikan dan penyidikan selesai.
Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Artinya, Kejaksaan Agung tidak dapat melanjutkan proses penanganan perkara ke tahap penuntutan setelah penyelidikan dan penyidikan selesai.
"Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM sifatnya pro justicia sehingga perlu izin dari ketua pengadilan, dan juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk," tutur dia.
Saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang
belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Delapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Delapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.
Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum
terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua
serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar