Kompas.com - 07/11/2019,
20:36 WIB
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Icha Rastika
Editor : Icha Rastika
Jaksa Agung ST Burhanuddin
mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Kamis (7/11/2019). Rapat kerja tersebut membahas rencana strategis
Kejaksaan Agung tahun 2020. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama. (ANTARA FOTO/NOVA
WAHYUDI)
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin tak memahami mekanisme penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin tak memahami mekanisme penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III, Jaksa Agung menyebut
bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM tidak memenuhi syarat formil dan materil
sehingga Kejaksaan Agung tidak dapat melakukan penyidikan.
"Pernyataan ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung belum memahami dengan baik mengenai aturan hukum di UU Nomor 26 Tahun 2000 terkait hal-hal yang menjadi kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan kewenangan Jaksa Agung sebagai penyidik dalam proses hukum kasus-kasus Pelanggaran HAM yang berat," ujar Anam kepada Kompas.com, Kamis (7/11/2019).
Menurut Anam, alasan tidak lengkapnya syarat formil dan
materil berkas penyelidikan Komnas HAM tidak dapat menjadi hambatan penuntasan
kasus.
Anam mengatakan, sebagai penyidik, Jaksa Agung dapat berbuat banyak dalam menyempurnakan berkas perkara. Bahkan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menahan terduga pelaku. Namun, kata Anam, hingga saat ini Jaksa Agung belum pernah melakukan tugas dan kewenangannya untuk menyempurnakan berkas perkara tersebut yang telah selesai dalam tahap penyelidikan.
Anam mengatakan, sebagai penyidik, Jaksa Agung dapat berbuat banyak dalam menyempurnakan berkas perkara. Bahkan, Jaksa Agung memiliki kewenangan untuk menahan terduga pelaku. Namun, kata Anam, hingga saat ini Jaksa Agung belum pernah melakukan tugas dan kewenangannya untuk menyempurnakan berkas perkara tersebut yang telah selesai dalam tahap penyelidikan.
"Kondisi ini seperti lagu lama diputar berulang kali, hanya menggganti penyanyinya saja," kata Anam.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan
bahwa ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan karena syarat
formil dan materil berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM oleh Komnas
HAM belum lengkap.
Hal ini membuat pihak Kejaksaan Agung tidak dapat
melanjutkan tahap penyidikan dan penuntutan. Namun, Burhanuddin tidak
menyebutkan secara spesifik syarat formil dan materil apa saja yang belum
dilengkapi oleh Komnas HAM.
"Sebanyak 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti, hasilnya baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Dari 12 perkara, 8 kasus terjadi sebelum terbitnya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa
penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II
tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa.
Peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa
Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja, dan orang gila di
Banyuwangi tahun 1998.
Sementara itu, empat kasus lainnya yang terjadi sebelum
terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua,
serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
Tiga kasus lain yang sudah selesai yakni kasus Timor
Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984, dan peristiwa Abepura 2000.
0 komentar:
Posting Komentar